Langsung ke konten utama

Cerita tentang TEMPO

cover majalah TEMPO

Bagi semua pemerhati, pengguna, dan penikmat media terutama media cetak pastilah mengenal dan mengidolakan Tempo, sebuah media yang selalu dipuji sebagai media yang konsisten terhadap makna esensi pers. Tempo adalah media yang lahir pada masa orde baru, sekitar tahun 1970-an. Salah satu kehebatan media ini adalah bagaimana Tempo tatp bisa terus kritis terhadap pemeritah orde baru saat itu walapun mereka yang memodali Tempo juga adalah orde baru itu sendiri.
            Tempo memang benar adanya adalah sebuah media yang dilahirkan oleh orde baru. Ciputra sorang saudagar yang teramat dekat dengan Soeharto itu lah yang menjadi pemodal Tempo. Tempo memilki relasi yang baik dengan pejabat-pejabat saat itu. Tempo memang sengaja menempel pada para pejabat saat itu untuk menjaga hubugann dan bagi kepentingan modal. Menempel namun tetap menjaga idealisme, Tempo menempel pejabat seperti Jendral Benny Moerdani, Moerdiono, Soedharmono, dan lain-lain, (Ignatius Haryanto)*. Walaupun secara financial Tempo dikuasai orde baru, Tempo selalu tegas untuk tetap pada esensi Pers sebagai pilar keempat demokrasi yaitu sebagai control social.

Menjalankan fungsi pers secara esensi memanglah berat apalagi pada masa orde baru. Sekian kali Tempo dibredel oleh pemerintah karena sering kali mengeritik kebijakan dan penyimangan pemerintah. Sebagai contoh pada tahun 1982 saat terjadi insiden Lapangan Banteng menjelang Pemilu 1982, Tempo dianggap pemerintah mengganggu keamanan. Untuk itu, Goenawan Mohamad, pimpinan redaksi Tempo saat itu harus menandatangani kesepakatan dengan Departemen Penerangan untuk tidak meliput isu-isu yang sensitif, termasuk yang menyangkut keluarga ”Cendana” (Janet Steele)*. Samapai pada puncaknya Tempo dipaksa tutup pada tahun 1994.
Pada kelahiranya yang kedua setelah tutup pada 1994, pada era pasca 1998 Tempo juga merasakan harus tertatih-tatih. Kondisi pasar saat ini telah jauh berbeda. Jika dahulu hampir 50 persen iklan dikuasai media cetak saat ini media cetak hanya mendapat bagian sekitar 20-30 saja. Selain masalah financial, masalah idalisme juga mulai tertekan oleh pasar. Bagaiman media cetak yang diminati pasara saat ini sangat mneggangu bagaiama isi yang ideal menurut Tempo. Mau tidak mau hal tersebut berpengaruh pula bagaimana para jurnalis Tempo saat ini.   Ignatius Haryanto dan rekan seperjuangannya hingga  mengungkapakan “semangat Tempo saat ini tinggal sejarah”.
Idealisme terkadang menjadi nilai yang relatif. Begitu juga tentang pendapat Ignatius Haryanto dan rekan-rekan. Makna edalisme pers bisa saja menurun jika dilihat hanya pada aspek kuantitas karena ukuran tersebut sangat berbeda antara jaman pengekangan orde baru dan era reformasi saat ini. Namun jika melihat idealisme dalam aspek yang paling ideal Tempo masihlah tetap sebagai Tempo yang dahulu. Ukuran idealisme Tempo saat ini berbeda karena “musuh” dan misi pers orba dan saat ini telah berbeda.
Tempo tetap masih menjadi yang konsisten terhadap makna esensinya. Tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah dan siapapun yang pantas dikritiki. Sebgai contoh adalah saat sang Bos Ciputra diduga melakuakan korupsi pada pembebasan tanah di pantai sekitar Ancol. Tempo secara tegas  tetap berani memberitakanya dengan susdut pandang yang mengkritisi (Dwi Wiyana)*.   
Menjadi musuh kekuasaan dan juga berperan dalam reformasi tentulah bukan masalah bagiamana sisi ideologis Tempo saja yang bermain tapi juga secara teknis.  Secara teknis Tempo memeilki berbagai kelebihan dari segi bahasa dan teritama dalam sisi investigasi. Secara tulisan bahasa Tempo seolah begitu kuat mampu untuk menghimpun opini public dan kemudian bereaksi. Dalam model investigasi Tempo juga mampu untuk benar-benar “menelanjangi” sebuah kasusu secara mendalam dan radix. Tak herna pula jika pada pemberitaan soal pembelian kapal laut bekas Jerman Timur yang membawa Tempo pada pembredelan berikurnya.
Menarik memang membicarakan media pers Tempo. Hingga pantas kita bicara “membahas Tempo adalah seperti belajar pers dan jurnalistik di Indonesia”. Hampir seluruh media di Indonesia baik cetak maupun TV pasti terdapat alumni Tempo. Gatra sebuah majalah yang saat ini besar secar sejarah juga adalah sempalan dari para wartawan Tempo. Para pendiri Gatra adalah meraka yang akhirnya memutuskan keluar dai Tempo saat terjadi konflik internal.


* Peneliti di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta. Pernah Bekerja untuk ”Tempo”.
* Penulis buku The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia.
* Salah satu wartawan Tempo yang saya temui saat kunjungan jurnalistik Presma POROS ke Jakarta, 2008.
   Tugas Journalism Class PBI UAD 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.