Langsung ke konten utama

Prinsip Dasar Wawancara


interview tool

Detak jantung jurnalisme terletak pada sumber berita dan keberhasilan wartawan dalam mengorek informasi dari sumber berita. Diantara keduanya terletak pula kemampuan wartawan dalam mengorek informasi dari sumber berita. Diantara keduanya terletak pula kemampuan wartawan dalam menggunakan teknik wawancara.
Wawancara adalah suatu proses yang mengharuskan penafsiran dan penyesuaian terus-menerus. Wawancara adalah suatu cara untuk mencari fakta dengan meminjam bendera (mengingat dan merekonstruksi) sebuah peristiwa, mengutip pendapat dan opini narasumber. Kunci wawancara yang baik, kata Mike Fancher, wartawan Seattle Times, “adalah memungkinkan narasumber mengatakan apa yang seharusnya dipikirkan, bukan memikirkan apa yang mau dikatakan.”
Wawancara merupakan salah satu dari empat cara memperoleh informasi. Tiga lainnya adalah seperti dijelaskan sebelumnya: Observasi langsung, observasi tidak langsung (“Pre-event” dan “Post-event”).
Teknik wawancara belum lazim digunakan sampai akhir abad ke-19. Ketika untuk pertama kalinya wawancara disajikan sebagai suatu karya jurnalistik oleh james Gordon Bannet pada tahun 1836. Semua surat kabar di London mencemoohkanya sebagai merendahakan jurnalisme karena kata-kataya hanya memuat bualan. Bahkan pada awal tumbuhnya persuratkabaran di AS, yaitu sekitar tahun 1700-an, para wartawan di negara itu belum menjadikan wawancara sebagai sesuatu yang penting.
Contoh belum lazimnya wawancara digunakan sebagai teknik mendapatkan berita di Amerika tampak pada zamannya Presiden Lincoln. Presiden Amerika paling terkenal ini sering bercakap-cakap dengan wartawan, tetapi tidak ada satupun wartawan yang mengutip percakapan mereka. Charles Nordhhoff, redaktur pelaksana koran  The Evening Post yang terbit di New York pernah berbicara dengan Presiden Andrew Jhonson. Ia kemudian menulis hasil percakapannya dan menyampaikannya kepada pemimpin redaksinya, tapi tulisannya itu tak pernah dimuat.
Pada abad ke-20 justru bisa dikatakan puncak karya-karya jurnalistik banyak dihasilkan dari wawancara. Dimulai dari James Reston sampai Bob Woodward dan Carl Bernstein. Abad ke-20 dikatakan sebagai era interview journlism, jurnalisme wawancara, dan itu berlanjut sampai dengan sekarang, abad ke-21.
Itulah sebabnya wawancara dikatakan sebagai kemampuan dan keterampilan yang mutlah harus dimiliki wartawan. Hampir tak ada satupun pekerjaan wartawan yang dilakukan tanpa mewawancarai seseorang untuk dimintai jasa atau bantuannya guna melengkapi informasi guna dipakai sebagai bahan tulisannya. Dengan katak lain, sesungguhnya betapa wawancara itu telah menjadi tulang punggung pekerjaan seorang wartawan.
Menurut cara dilakukannya, terdapat tiga macam wawancara. Pertama, wawancara secara tatap muka. Ini adalah wawancara yang dilakukan secara berhadap-hadapan yang sangat memberikan kemungkinan penggalian informasi lebih dalam dan luas karena sebelumnya dilakukan perjanjian lebih dahulu dengan narasumber, topik atau fokusnya sudah dirancang lebih dahulu dan dalam kesempatannya pun lebih khusus, baik tempat maupun waktu yang disediakan.
Kedua adalah wawancara melalui telepon. Ini biasanya untuk mengantisipasi deadline. Dalam wawancara melalui telepon,percakapan menjadi singkat dan seringkali narasumber menolak untuk menjelaskan suatu topik secara lebih mendalam, kecuali jika narasumber tersebut telah akarab dengan si wartawan. Dibandingkan dengan wawancara tatap muka, wawancara lewat telepon lebih terbatas. Pewawancara tidak bisa secara langsung melihat mimik bicara narasumber. Padahal dengan mimik bicara kita bisa membaca bahasa tubuh seseorang tentang kebenaran informasi yang diungkapkannya.
Ketiga adalah wawancara kelompok. Ini merupakan percakapan yang dilakukan oleh lebih dari satu orang narasumber dalam satu kesempatan. Kesempatan seperti ini biasanya muncul ketika terjadi suatu peristiwa bencana atau kriminalitas.               
Prinsip Dasar Wawancara
Dari definisinya, wawancara adalah sebuah konversasi atau perbincangan. Biasanya dilakukan antara dua orang dengan tujuan untuk mendapat informasi atas audiences yang tidak tampak. Konversasi ini biasanya berupa pertukaran informasi yang bisa menghasilkan suatu tingkat intelegensia yang tidak dapat dicapai oleh orang bila dilakukan sendiri.
Dalam sebuah wawancara, tidaklah berarti bahwa wartawan harus banyak bicara. Yang baik justru kebalikannya. Namun wartawan mempunyai tanggung jawab yang yang serius untuk melakukan pekerjaan dalam mempersiapkan wawancara sehingga percakapan tidak seperti di taman kanak-kanak. Selanjutnya dianjurkan agar wartawan, dengan mata yang ditunjukan pada kebutuhan dan kepentingan audiences yang tak tampak akan mengajukan jenis pertanyaan yang akan mendapat jawaban yang sesuai untuk pembaca.
Melalui sebuah wawancara, dianjurkan agar wartawan menjadi ahli setelah meneliti suatu topik dengan mendalam. Dengan hal ini, orang akan lebih berterus terang jika si wartawan juag terbuka dan terus terang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram