Langsung ke konten utama

Masa Postmodern dan Masa Ramadhan

bulan Ramadhan

Quash flow quadrant, Managing the Time, hingga Rumus untuk Kaya barangkali telah begitu memberikan semngat menggebu untuk bertindak sebagaimana buku-buku itu anjurkan. Begitu menggebunya semngat yang buku interprise semacam itu berikan membuat kita seolah ingin mempraktikannya pada seluruh bidang kehidupan kita. Kita tidak lagi melihat kontexs hidup kita yang memang telah diatur untu menempatkan kita dalam peranan-peranan yang berbeda.
Hal yang terpenting adalah sukses yang diwarkan oleh pandangan dalam buku tersebut kita anggap wajib kita unttuk dipraktikan pada semua peranan dalam hidup kita. Setandar pencapaian International Standard Opertation (ISO) atau standar seberapa kita terpapapang dalam mesin pencarian Google adalah kesuksesan yang telah ditentukan dalam buku-buku hingga kebijakan-kebijakan multinasional Industrialism Tehory atau mungkin Economic Goal of the Year.

Saking tertegunnya kita dengan positivisme Ilmu Industri dan ekonomi menjadikan kita tidak lagi memperhatikan konteks dalam menentukan jalan dan aturan. Pula, menjadikan kita terbukti memilki ketrtenggalan budaya (Cultural Lag) dengan negara maju yang pula telah mulai beranjak meninggalakan ajaran yang berkembang di Amerika yaitu pragmatism dan Liberalismnya Adam Smith namun kita dengan bangga terus mencoba untuk mendewakannya.
            Masa industri sebenranya telah lama dunia ini tinggalkan. Bagaimana 1970 revolusi Indutri berobar hingga memunculkan perlawanan terhadapnya oleh teori konflik antar kelas sebenrnya telah kita sadari telah menjadi sejarah saja. Bagamana Facebook lebih dinggap tertercaya dalam mewakili kepentingan rakyat ketimbang DPR adalah bukti bahwa masa ini adalah masa informasi, bukan lagi industri.
Bagaiman cara kita menentukan pilihan membeli sepatu bermerek Nike ketimbang sepatu Cibaduyut di kaki lima jalan Pramuka yang sama persis bentuknya telah kita sadari bahwa kebutuhan fisik telah berubah menjadi kebutuhan rohani. Semua itu menjadi bukti bahwa positifisme Indutrilisasi dan Ekonomisasi telah mati.
Penjelasan yang lebih bisa diterima adalah bahwa peradaban manusia telah masuk ke alam postmodern. Sebuah alam yang mencoba mengembalikan manusia pada hakekatnya. Di sini juga pandangan idealis tentang realitas yang bermuara pada tingkatan “ruh”. Sebuah keyakinan bahwa kehidupan ini adalah realitas yang tercipta oleh suatu yang hakiki – yang tak pernah muncul dan sejarah ruang dan waktu.
Maka kini tiba-tiba ketenangan jiwa menjadi sangat penting. Kursus-kursus yoga yang mengandalkan meditasi menjamur di berbagai tempat. Sayanganya acapkali semua itu hanyalah bisnis semata. Kekisruhan hidup masyarakat sekali lagi dimanfaatkan oleh kaum kapitalis untuk membangun pundi-pundi penghasilan. Padahal menenangkan dan membahagiakan orang lain adalah kewajiban manusia yang harusnya dilakukan secara tulus dalam bingkai silahturahmi.
Untuk kesekian kali lagi kapitalisme memenangkan peperangan. 
           Namun, di Bulan Ramadhan ini kita diberikan waktu khusus untuk menjadi tenang, rilaxs, bahgaia, dan seterusnya tanpa ikut kurusus Yoga maupun terapi di spa. Kita cukup melakukan ibadah puasa – bersedia tidak melakukan apa yang disukai dan melakukan sesuatu kebajikan yang sebenarnya tidak disukai - untuk masuk dalam kejelasan hidup dan ketenangan hati.  Selamat berpuasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram