global warming |
Belum masuk bulan puasa ataupun Lebaran, harga-harga telah naik berlipat-lipat terutama barang kebutuhan pokok. Tak terbayangkan bagaimana harga barang pada saat puasa dan Lebaran nanti jika kondisi ini tak bisa teratasi. Barang kebutuhan pokok yang mengalami kenaikan drastis adalah hasil pertanian seperti beras, cabai, bawang merah, dan sebagainya. Kekacauan iklim dan cuaca ditengarai sebagai sebab utama kelangkaan hasil pertanian. Sepertinya, mimpi buruk dampak pemanasan global mulai datang. Harus ada strategi untuk menghadapi dampak dari perubahan iklim dan cuaca karena pemanasan global ini.
Modernisasi menciptakan masalah bagi generasi saat ini. Revolusi industri yang terjadi pada abad ke-18 di Eropa ternyata menciptakan derita. Mekanisasi produksi yang pada awalnya bertumpu pada tenaga manusia dan hewan berganti dengan mesin-mesin berbahan bakar fosil memicu kerusakan bumi. Saat itu, bahkan hingga saat ini, sistem produksi yang bertumpu pada mesin dianggap mampu menyumbang kemakmuran bagi manusia. Kemakmuran dari revolusi industri dinikmati sebagian besarnya oleh negara-negara maju. Sementara negara-negara berkembang seperti Indonesia hanya menjadi pasar dari hasil produksi negara maju.
Walau tak terlalu menikmati kemakmuran dari mekanisasi industri, untuk soal dampak buruknya, negara berkembang justru malah paling merasakannya. Proses produksi yang mengandalkan bahan bakar fosil akhirnya menciptakan kerusakan yang fatal bagi keseimbangan ekosistem bumi. Polusi yang bersumber dari pabrik-pabrik negara maju menimbulkan pemanasan global. Pemanasan global menimbulkan kekacauan iklim dan cuaca di hampir semua belahan bumi. Di Indonesia, kekacauan itu nampak dari berubahnya pola iklim dan cuaca. Di satu wilayah bisa saja mengalami banjir, sementara pada saat yang sama wilayah lain malah sedang dilanda kekekeringan berat.
Kekacauan pola cuaca tentu berpengaruh pada sektor pertanian. Pertanian adalah bidang yang amat bergantung pada pola cuaca. Dua musim di wilayah tropis yaitu penghujan dan kemarau menjadi petunjuk utama para petani untuk menanam ataupun memanen. Dengan tak beraturannya musim, petani harus menangung kerugian karena tanaman yang mereka tanam mati atau tak berkembang sebagaimana mestinya. Kerugian itu bukan hanya dialami petani tapi juga seluruh masyarakat. Kelangkaan hasil pertanian menimbulkan naiknya harga-harga hasil pertanian. Ditambah dengan tingkat pendapatan masyarakat yang masih rendah, dampak pemanasan global ini sungguh sangat membuat masyarakat kesulitan.
Bisa dibilang, dampak pemanasan global yang tengah terjadi ini hanyalah permulaan. Rusaknya lingkungan masih akan terus terjadi dan pasti akan memunculkan dampak-dampak yang mungkin lebih besar. Pola alam semacam ini harus disikapi dengan merencanakan strategi pertanian untuk meminimalisir dampak perubahan iklim terhadap tingkat produksi pertanian. Pemerintah dan berbagai pihak harus mencari terobosan dalam bidang pertanian. Bibit tanaman harus dibuat untuk tahan terhadap prubahan cuaca yang ekstrim. Infrastruktur pertanian, seperti irigasi harus dirancang agar bisa tetap menyuplai air walau pada musim kemarau. Sistem distribusi hasil pertanian pula harus diatur sebaik mungkin agar kelangkaan dapat diperkecil kemungkinannya.
Walau menjadi penyumbang terbesar pemanasan global, negara-negara maju tetap tak mau mengalah untuk nasib bumi. Negara maju seperti Amerika tak mau menurunkan tingkat emisinya. Malah pada forum internasional seperti G20 mereka menekan negara berkembang untuk mengalah. Tingkat emisi berhubungan dengan tingkat produksi. Negara maju tak mau kehilangan keuntungan dengan menurunkan tingkat penggunaan energi fosil mereka. Indonesia, sebagai negara berkembang tak bisa lagi bergantung pada negara maju. Jelas di mata kita bagaimana masyarakat hidup teramat kesulitan karena kenaikan harga sebagai dampak dari kekacauan iklim. Pemerintah dan semua pihak harus berdikari menyiapkan langakah untuk mengahadapi cuaca dan iklim yang semakin ekstrim ini.
Komentar
Posting Komentar