Langsung ke konten utama

Prinsip Praktis Wawancara

live interview

  Selain prinsip-prinsip dasar tersebut, ada beberapa prinsip praktis lainnya yang layak dipertimbangkan untuk dipergunakan.
1.      Terbuka dan perhatian
Reportase, kata A.J. Liebling umumnya adalah menaruh perhatian pada setiap orang yang anda jumpai. Anda tidak harus menyukai semua orang yang anda wawancarai.
2.      Anda akan menuai hasil dari apa yang anda tanam
Pertanyaan bodoh sama dengan jawaban yang bodoh pula. Tipu dan kebohongan menghasilkan tipu dan kebohongan. Ketulusan menimbulkan ketulusan.
3.      Orang akan bicara lebih bebas jika mereka senang
Anda bisa membuat wawancara menyenangkan dengan cara mendengarkan sungguh-sungguh, dengan menghargai narasumber sebagai teman sesama, dengan tawa menyambut banyolan mereka, dengan mengajukan pertanyaan yang didasarkan pada persiapan matang sebelumnya dan dengan mendengarkan pada apa yang mereka katakan. 
4.      Dalam konversasi anda harus menambang berton-ton bijih untuk mendapatkan satu gram emas.

Kebanyakan orang hanya berbicara. Mereka menjawab pertanyaan anda sebisannya. Mereka tidak merasa perlu untuk bicara menurut bentuk cerita yang ingin anda tulis. Tugas andalah untuk membentuk semuanya menjadi cerita yang enak dibaca.
5.      Wawancara dianggap berhasil bila yang diwawancarai merasa bebas untuk mengatakan apa yang sebenarnya dipikirkan dan dirasakan.
Ini berarti bahwa anda harus mendengarkan tanpa rasa ingin mengadili, yang berarti berusaha mengerti pesan dari sudut pandang orang lain. Dengan melakukan ini bisa dihilangkan sikap ketidaktulusan, defensif yang berlebihan, kebohongan, dan kepalsuan yang menurut seorang ahli psikoterapi Carl Rogers, dikatakan sebagai “ciri kegagalan dalam komunikasi pribadi.”

Sepuluh Tahap Wawancara
Prinsip dasar dan prinsip praktis sebuah wawancara memang ditujukan untuk mempersiapkan sebuah wawancara yang sesungguhnya. Namun, prinsip-prinsip tersebut tidak “berhenti” ketika sang wartawan sedang atau sudah selesai mewawancarai seorang narasumber. Prinsip-prinsip wawancara tersebut juga dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan sebuah wawancara karena pada dasarnya sebuah wawancara hanyalah salah satu alat untuk memperoleh kebenaran.
Dalam pelaksanaan wawancara sendiri, sekurang-kurangnnya seorang wartawan harus melewati dan menjalani sepuluh tahap atau tingkat, yaitu:
1.      Jelaskan maksud wawancara.
Wawancara tanpa tujuan yang jelas cenderung akan ngalor-ngidul tidak menentu. Tujuannya harus diketahui oleh kedua belah pihak.
2.      Lakukan riset latar belakang.
Pelajari kliping berita di perpustakaan tentang orang yang akan diwawancara atau topik yang akan dibicarakan. Dalam banyak tulisan, anda harus berhubungan dengan banyak orang. Anda akan mewawancarai keluarga, teman, kolega, atau malah saingan dari orang yang anda wawancarai.
3.      Ajukan, biasanya melalui telepon, janji untuk wawancara.
Jelaskan tujuannya. Bersiaplah untuk “menjual” gagasan tulisan anda bila orang yang ingin anda wawancarai itu tidak antusias.
4.      Rencanakan strategi wawancara anda.
Susun pertanyaan menurut rencana yang anda ingin tanyakan. Dengan riset latar belakang seharusnya anda tahu jalan terbaik untuk menuju suatu topik. Jika orang yang anda hadapi itu dikenal sebagai pendiam atau suka mengelak, carilah sedapatnya tentang hobi, opini, minat, dan lainnya sehingga anda bisa bicarakan bersama dengan topik yang ingin anda bahas.
5.      Temui responden anda
Ulangi maksud wawancara. Perkenalan diri dan jual gagasan anda sekali lagi. Gunakan komentar-komentar untuk mencairkan suasana – ice breaker.
6.      Ajukan pertanyaan serius anda yang pertama.
Mulailah dengan topik yang menguatkan ego orang yang diwawancarai. Ciptakan suasana yang serasi dalam konversasi.
7.      Lanjutkan menuju inti dari wawancara.
Dengarkan. Ajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendalam.
8.      Ajukan pertanyaan-pertanyaan keras (yang sensitif dan menyinggung) bila perlu.
Namun simpanlah pertanyaan-pertanyaan demikian untuk diakhir wawancara.
9.      Pulihkan, bila perlu, dampak dari pertanyaan-pertanyaan keras itu.
10.  Setelah mengajukan pertanyaan, bersikaplah tenang dan perlihatkan perhatian penuh terhadap ucapan yang dikemukakan narasumber. Biarkan narasumber menyelesaikan jawaban atas pertanyaan, karena biasanya pernyataan penting acapkali keluar dibagian akhir.
11.  Apabila sumber melompat ke masalah atau pokok pembicaraan yang disukainnya tetapi menyimpang dari keinginan sang wartawan, cobalah kembalikan pembicaraan ke pokok masalah.
12.  Hindarilah sikap seakan-akan anda memperlihatkan diri lebih mengetahui. Ingat perannya adalah seorang wartawan yang memerlukan bantuan narasumber.
13.  Jika sumber menolak menjawab sebuah pertanyaan, ulangi lagi dengan cara lain melalui pertanyaan berikutnya dengan menjelaskan bahwa jawaban itu menjadi penting. Tentunya harus dipoles seakan-akan tidak akan memberitakan narasumber yang diwawancarai, bahkan sebaliknya.
14.  Sedapat mungkin hindari menuliskan setiap kata yang dikemukakan. Tulislah hal-hal yang penting saja. Tandailah hal-hal yang menarik. Kalau ada kutipan yang menarik, misalnya sebuah ungkapan, dengan santun mintalah untuk diulang kembali. Begitu pula pertanyaan-pertanyaan yang penting. Selesai wawancara, agar tidak lupa, langsung lengkapi catatan-catatan yang semula hanya catatan pendek itu.
15.  Akhiri dan simpulkanlah hasil wawancara anda.
16.  Sewaktu berpamitan mintalah kartu nama atau semacamnya untuk mengetahui ejaan nama yang benar dan nomer telponnya.

Memang wawancara membutuhkan keberanian tersendiri karena anda belum bertemu dengan orang-orang yang tidak anda kenal dan berbicara tentang masalah yang sedikit saja anda ketahui. Anda menghadapi risiko disepelekan orang atau dikritik tentang pakaian atau potongan rambut anda. Tetapi, tidak mengajukan pertanyaan adalah hal yang lebih buruk. Anda tidak pernah tahu tentang hal-hal yang mungkin akan mengagumkan anda. Kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang menarik pun akan hilang. Akhirnya, dengan banyak bertanya, ada sebuah hadiah menanti anda: Anda belajar. Belajar bukan hanya tentang fakta dan opini yang akan anda pakai sebagai bahan tulisan, tetapi juga akan menambah pengetahuan anda.
“Dia yang bertanya adalah orang bodoh untuk lima menit. Dia yang tidak (bertanya) adalah orang bodoh untuk selamanya,” tulis Ken Metzler dalam bukunya News-gathering, yang mengutip pepatah China.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.