Langsung ke konten utama

Sejarah Pers Mahasiswa Part IV (1995-1999)


reformasi 1998

1995         [9 Maret 1995] Pijar dibredel dan Independen. Tak berbeda dengan nasib AJI
[14-17 Desember  1995] Konggres Nasional II PPMI Periode II 1995 – 1997 di LPM Tegalboto, Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Univesitas Jember. Dihadiri 77 LPM dari 47 PTmenetapkan perubahan singkatan Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia (PPMI) menjadi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).
-          Hasilnya: Presidium Pusat PPMI periode 1995-1997 selengkapnya adalah: Dwijo Utomo Maksum (Sekjen Presidium Pusat), Syafarudin Usman (Presidium Wilayah Kalimantan Barat), Moh. Ridwan (Presidium Wilayah Lampung), Nana Rukmana (Unsoued Purwokerto, Mediator Wilayah Jawa Tenganh), Anthon Yuliandri (Presidium Wilayah DI Yogyakarta), Ahmad Amrullah (Presidium Wilayah Jawa Timur), I Made Sarjana (Presidium Wilayah Bali), Arqam Azikin, Unhas (Mediator Wilayah Sulawesi Selatan), Mohammad Iqbal (Univ. Tadulako, Presidium Wilayah Sulawesi Tengah), Muhrim Bay (Presidium Wilayah Sulawesi Tenggara), dan untuk sementara Mediator Wilayah Jawa Barat adalah Dewan Kota Bandung.
-          Deklarasi Tegalboto: PPMI telah berani mengambil sebuah sikap tegas untuk tidak mengakui lembaga SIUPP dan STT. Dalam Deklarasi Tegalboto, Ecpose No.13 Th.VI/1996, halaman khusus.

-          Rekomendasi untuk membuat sebuah Kode Etik Pers Mahasiswa yang dijadikan acuan etika pers mahasiswa.
-          penempatan posisi, orientasi, serta sikap oposisi pengontrol kebijakan pemerintah
-          dibidang advokasi -- mengalami sedikit peluasan. Kerja-kerja tidak lagi hanya an sich diarahkan ke intern persma. Tapi juga mencakup hal-hal lain, sekitar kekerasan negara terhadap publik.
-          Pensosialisasian dan usaha pembentukan PPMI di berbagai daerah luar Jawa -- Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat terus dilakukan
Kongres II ini sempat dialihkan ke dalam kampus karena terdeteksi oleh aparat
Pembreidelan pers mahasiswa:
o   majalah Aspirasi UPN Jakarta, disertai pemecatan Pimrednya sebagai mahasiswa.
o   majalah Indikator FE Universitas Brawijaya, beberapa halamannya
o   majalah Arena IAIN Sunan kalijaga Yogyakarta
o   majalah Invest oleh Rektornya, STIESIA Surabaya
1996      [] Buletin Saksi Keadilan -- Sema Fakultas Hukum Universitas Lampung Dibreidel oleh Departemen Penerangan
[28 April 1996] keluar maklumat belasungkawa atas korban insiden Makasar tanggal 24 April 1996. Insiden terbunuhnya beberapa mahasiswa karena aksi menyikapi kebijakan kenaikan tarif angkutan.
[10 Mei 1996] Mukernas PPMI I di Lampung. Mengeluarkan surat pernyataan sikap, menyatakan bahwa keputusan Departemen Penerangan tersebut tidak beralasan. Karena buletin Saksi Keadilan --seperti halnya media mahasiswa yang lain-- tidak dibawah institusi Departemen Penerangan, sehingga tidak wajib mengikuti instruksi tersebut.[1][2] Selain itu dalam Mukernas pun dibicarakan prospek Wilayah DI. Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat sebagai mediator PPMI yang akan ditindak lanjuti lewat sosialisasi dan di musyawarahkan oleh wilayah-wilayah yang bersangkutan sesuai dengan kondisi dan potensi pasca Mukernas.
[20-21 Agustus 1996] pernyataan sikapnya PPMI tegas menolak segala bentuk pendekatan keamanan (security approach) yang dilakukan aparat untuk meredam sikap kritis masyarakat .[3]  terhadap kasus insiden aksi mahasiswa 24 April 1996 di ujung Padang (Makassar), Tragedi 27 Juli 1996 (pengambilalihan kantor PDI), Serta kasus pembunuhan terhadap  Fuad Mohammad Syafruddin, wartawan harian Bernas Yogyakarta.
1997      KONGGRES III di Surabaya
-          Sekretaris Jenderal : Eka Satia Laksmana (Tabloid Jumpa - UPM Universitas Pasundan- Bandung)
-          Mediator Jawa Timur : Dwi Muntaha (UKMP - Civitas UNMER - Malang)
-          Mediator Yogyakarta : Ade (Gema Intan )
-          Presidium Sumatra Selatan : Khoiriah (IAIN Raden Patah - Palembang)
-          Presidium Sulawesi Selatan : Suparno (Catatan Kaki - Univ. Hasanuddin Ujungpandang
1998         [Februari – November] gerakan reformasi sambung menyambung di berbagai daerah
[21 Mei 1998] Orde Baru tumbang ditandai dengan pengunduran Soeharto karena desakan mahasiswa dan rakyat bersatu.
[5 Juni 1998] disahkannya Permenpen No. 1/MENPEN/1998, yang berarti dicabutnya Permenpen No. 1/MENPEN/1984. maka dengan demikian mempermudah proses pemberian SIUPP, menyederhanakan 16 syarat menjadi hanya 3 syarat.
[2 November 1998] Balairung[4] mengadakan Sarasehan Pers Mahasiswa Se-Jawa Bali. Dalam forum ini dibahas soal pengunduran diri Eka Satya Laksamana, sekjen terpilih di Kongres III di Surabaya. PPMI seperti kapal tanpa nahkoda. Arus dari bawah tak terbendung mempertanyakan kondisi organisasi yang hampir porak-poranda. Acara digelar untuk menyiasati kebingungan pasca Soeharto tumbang. Namun pembicaraan mengarah pada cemooh dan hujatan pada sekjen yang menundurkan diri. Hingga senja forum tinggal 30an orang, itu pun dari delegasi jatim, jogja, dan jakarta, dan forum dilanjutkan. Akhirnya mengerucut pada usaha penyelamatan organisasi. “semua delegasi menyepakati bahwa untuk menyelamatkan organisasi tidak ada cara lain kecuali menuju kongres luar biasa.“ Konsep dibahas seperti agenda revitalisasi, struktur, dan pengoptimalan kerja presidium, dan pembagian kerjadijadwalkan. Jatim karena yang lebih solid, disepakati Jombang Undar sebagai tuan rumah KLB.
  [4 – 7 Desember 1998][5] Kongres Luar Biasa Periode IV 1998 – 2000 di LPM Ngacor Undar Jombang, Jawa Timur. Kongres berjalan alot, sempat molor hampir 12 jam. Pembahasan meliputi perombakan struktur organisasi, pembangunan jaringan kerja organisasi [JKO] dan proses pemilihan sekjen. Komisi A membahas AD/ART. Di komisi ini terjadi perdebatan seputar p[erombakan jalur koordinatif dan instruktif dalam struktur kepengurusan. Karena AD/ART hasil kongres III di Surabaya [1997] memilih jalur kultural atau hanya koordinatif di semua struktur organisasi di bahwa sekjend.  Hasil lainnya mengganti BPH dengan JKO, karena BPH selama ini hanya diisi oleh satu dua orang saja. JKO dipandang lebih kultural sebagai fungsinya yang instruktif. Fungsi ini dipandang sebagai celah dan harus diperbaiki.
Pengurus periode ini[6]:
Sekretaris Jenderal : Edie Soetopo ( Ekspresi - BPKM IKIP Yogyakarta)
Presidium Jawa Timur : M. Abdul Kholik (Arrisalah - IAIN Sunan Ampel Surabaya)
Presidium Jateng : Sohirin (SKM Amanat IAIN Sunan Walisongo)
Presidium Jabar : Melanie Agustine [menik] (UPM Isola Pos - UPI Bandung)
Presidium Jogja : Ade (Gema Intan)
Presidium palembang : Khoiriah (IAIN Raden Fatah)
Presidium Sulawesi Selatan : Suparno (Catatan Kaki - Univ. Hasanuddin Ujungpandang
Presidium Solo : Noer Mustari (Pabelan Pos - Univ. Muhammadiyah Solo)
Presidium Kalimantan Barat : Iwan Pontianak
Presidium Mataram : Nanda
Presidium Lampung ; ?
JKO ?
-          Orentasi PPMI mulai mengarah pada sinergitas gerakan masa rakyat. Karena sebagai sebuah wadah alternatif pemupuk orentasi gerakan persma Indonesia sudah seharusnya PPMI mengarahkan pers mahasiswa Indonesia untuk lebih dekat dengan garis masa rakyat. Pemberitaan dan isu usungan media persma harus mampu menyentuh persoalan-persoalan kerakyatan bahkan lebih jauh harus mampu melakukan pembelaaan.
Besar harapan ditujukan kepada sekjen baru terpilih, Edi Sutopo, agar PPMI bangkit dan agar PPMI tidak mengulangi sejarah IPMI, menjadi underbouw pemerintah yang dikritiknya sendiri. Dengan semangat perjuangan yang tertanam inilah hanya ada dua pilihan kalah menyerah atau bangkit terus berjuang.[7] Memang kondisi alternatif belum kondusif, meski di akhir masa orba. Dalam KLB di Jombang, PPMI ingin mengaktualisasikan diri akan arti dan kontribusi bagi perkembangan pers ma di Indonesia.
1999         [ ] Pra-mukernas di Jogja. Pertemuan ini untuk mempersiapkan agenda Mukernas di Bandung
                  [ ] Mukernas PPMI di UPI Bandung. Hasilnya memproritaskan proker , hal ini karena banyaknya rekomendasi kongres sebelumnya.
                  [6 Desember 1999] Dies Natalies PPMI VII di Denpasar Bali



[1] Wawancara dengan Edi Sutopo, salah satu peserta kongres, pada 30 Januari 2010 di Grobogan
[2] Agung Sedayu, “Kilas Sejarah PPMI” . Materi Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar Plus se Bali-NTB, di KNPI Bali, 17-18 Desember 2004. Dokumen PPMI.
[3] ibid.
[4]  Oleh Akhol Firdaus dalam Majalah Edukasi IAIN Sunan Ampel edisi XXIX/ Februari/1999 hlm. 54-55
[5]  “Kongres IV PPMI (Luar Biasa), Kepepet dan Ingin Tetap di Bawah Tanah” oleh Akhol Firdaus dalam Majalah Edukasi IAIN Sunan Ampel edisi XXIX/ Februari/1999 hlm. 54-55.
[6]  Wawancara dengan Edi Sutopo pada 30 Januari 2010 di Grobogan
[7] Majalah explants edisi 1999 hlm 51.”Sekali lagi tentang PPMI (Undar Jombang, 4-7 Desember 1998)
Penulis: Moch. Fathoni (Mantan Koor Litbangnas PPMI & alumni UAD)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.