Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2015

AKTIVISME

Perlu kiranya tulisan ini diawali dengan pagar — hedges dalam istilah linguis kenamaan: Georfe Leech. Pertama, tulisan ini berjarak dengan penulis karena semi ilmiah. Kedua, tulisan ini sebagai “pembayaran hutang” atas tulisan sebelumnya yang seolah mendegradasi makna “aktivis”. Ketiga, data dan referensi dalam tulisan ini didapat dengan metode introspektif atas segala hal yang penulis temui. Terakhir , semoga cerita kebahagiaan ini bisa membawa kebaikan bagi semua.   Tulisan ini tiba-tiba saja mengalir ketika saya mengingat ucapan Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti pada sebuah talkshow di sebuah stasiun TV beberapa bulan lalu. Topik diskusi saat itu adalah soal kabinet ideal yang mestinya Pak Jokowi susun. Prof. Ikrar berkali-kali menyebut bahwa kabinet mesti merekrut anak muda dan mantan aktivis. Anak muda yang dimaksud adalah berusia di bawah 40 tahun. Aktivis yang ia maksud dapat merupakan aktivis kampus dan aktivis lembaga non-profit lainnya. Terlepas dari jabatan apa ya

IDEOLOGI

“… pagi makan sore tiada, takan luntur cintaku pada-Mu. Baju satu kering di badan, takan pudar sayangku pada-Mu. ” (Gubug Derita by Yusnia)   “Ideologi itu seperti rambut. Tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang tidak memilikinya. Ada yang memamerkannya sebagai komoditas. Ada pula yang menyembunyikannya dengan hijab, topi, atau kopiah dengan alasan tertentu,” kata Galuh Febri Putra. 

Antara Idealisme, Ekstrimisme, dan Penyakit Hati

“Idealis(me)… orang-orang yang hidup di atas awan.” (Louis Kattsoff) Tulisan ini dibuat karena saya terus terngiang dengan pertanyaan seorang teman seangkatan yang hingga kini belum lulus. Kami mahasiswa angkatan 2007. Jadi, kira-kira teman saya ini sudah kuliah tujuh tahun. Dia mempertanyakan hal yang menurutnya berubah dari rekan-rekannya yang pernah aktif di organisasi kampus. “Manusia memang berubah,” begitu sindirnya. Menurutnya, rekan-rekannya yang dulu mengaku sebagai aktifis mahasiswa — yang dicitrakan sebagai mahasiswa idealis yang suka memikirkan nasib bangsa — kini telah kehilangan idealismenya.