Langsung ke konten utama

Falsafah Pers di Dunia

Press, the 4th foundation of democracy

Seperti juga Negara yang memilki falsafah, pers juga memilki falsafahnya sendiri. Salah satu pengertian dari falsafah adalah tata nilai atau prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman dalam menangani urusan-urusan praktis. Falsafah menjadi penting bagi sebuah media pers karena itulah patokan dari semua aspek praktis dari media. Akan bahaya jika media pers akan tidak memahaminya karena bisa jadi pers menjadi media yang tidaka punya landasan dan hanya berorientasi pada hal pragmatis semata. Oleh karena itu sebelum lebih jauh mebahas Majalah Tempo dari aspek Falsafahnya kita akan sama-sama belajar tentang Falsafah Pers.
Falsafah pers disusun berdasarkan sisitem politik yang dianut oleh masyarakat di mana pers bersangkutan hidup, (Hikmat & Purnama,2005)*. Falsafah pers juga dibedakan sesuai dengan sisitem-sistem politik yang ada di dunia. Falsafah pers tersebut dibedakan menjadi: 1) Authoritarian Theory, 2) Libertarian Theory, 3) Social Responsibility Theory, dan 4) The Soviet Communist Theory.

Authoritarian Theory (Teori Pers Otoriter) diyakini sebagai teori pers yang paling tua yaitu berasala pada abada ke-16. Teori tersebut bersala dari falsafah kenegaraan yang membela kekuasaan absolute. Penetapan tentang kebenaran hanya dipercayakan pada segelintir orang sajayaitu para penguasa. Pada teori ini pers haruslah mendukung kebijakan pemerintah dan mengabdi pada Negara. Menurut Siebert teori masih ada samapai sekarang.
Libertarian Theory (Teori Pers Bebas) mencapai puncaknya pada abad ke-19. dalam teori ini, manusia dianggap sebagai makhluk yang dapat membedakan antara yang benar dan tidak benar. Fungsi pers hanya menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenaran. Dalam arti lain pers hanya menggulirkan isu dan beritu kemudia masalah interprestasi “benar” atau “salah” kemudian diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat.
Dalam teori inilah kemudian muncul istilah The Forth Estate atau Pilar Kekuasaan kempat. Sebagiamana dalam Trias Politica Baron de Montesquieu (1689-1755) dimana kekuasaan dibagi menjadi eksekutif, legislative, dan yudikatif maka pers menjadi pilar berikutnya yaitu fungsi kontrol sosial. Menjadi pilar dimana pers menjadi pengawas kebijakan-kebijakan pemerintah.
Sebagaimana gagasan Jhon Milton tentang “self-righting process” (proses menemukan sendiri kebenaran) dan tentang “free market of ideas” (kebebasan menjual gagasan) maka dia berkeyakinan bahwa hanya individulah yang berhak untuk menilai tentang “kebenaran”. Aspek lebih jauhnya adalah bahwa semua gagasan harus memilki kesempatan yang sama ke semua saluran komunikasi dan semua individu punya kesempatan yang sama pula.Dampak dari gagsan yag berkembang tersebut menjadikan pers terlalu berorientasi kepada pasar. Fungsi control sosial akhirnya terpinggirkan oleh kenginan pasar yang lebih menyukai materi pers yang pragmatis.
Teori berikutnya adalah Social Responsibility Theory (Teori Pers Bertanggung Jawab sosial). Teori ini dipandang sebagai turunan dari kedua teori sebelumnya. Munculnya teori ini disebabkan teori pers bebas terlalu menyederhanakan persoalan. Robert Hutchins dkk, (1949) dalam laporan “Commission on the Freedom of the Pers” berpendapat bahwa kemunculan teori pers bertanggungjawab social adlah untuk mengatasi kontradiksi antara kebebasan media massa denagn tanggung jawab sosialnya.  Hutchins kemudian kemudian mengajukan 5 persyaratan sebagai pers yang bertanggung jawab kepada masyarakat yang disebut Hutchins Commission.
Yang terakhir adalah The Soviet Communist Theory (Teori Pers Komunis Soviet). Sesuai dengan namanya pers jenis ini lahir di Negara komunis yaitu Uni Soviet, dua tahun setelah revolusi oktober 1917. Sifat dan pola kerjanya juga sama dengan sisitem pemerintahan komunis. Pada teori ini tidak ada istilah kebebasan pers. Pers hanyalah menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan saat itu.
Selain teori-teori di atas terdapat dua teori berikutnya dari Denis McQuail. Dirinya menambahkan dua teori yaitu Teori Pers Pembangunan dan Teori Pers Partisipan demokratik. Teori Pers Pembangunan adalah teori pers pada Negara dunia ketiga atau Negara berkembang. Dalam teori ini pers harus menjadi pendorong positif bagi  pembangunan sebuah Negara. Kebabasan pers diartikan dibatasi sesuai dengan prioritas ekonomi dan kebutuhan pembangunan masyarakat.
Teori Pers Partisipan Demokratik lahir di Negara liberal yang maju. Toeri ini muncul sebagai reaksi atas komersialisasi dan monopolisasi media yang dimiliki swasta dan sebagai reaksi atas sentralisme dan dan birokratisasi institusi-institusi siaran public, yang timbul dari norma tuntutan norma tanggungjawab social. Ia melihat bahawa oganisasi siaran public telah terlalu dekat kepada kekuasaan.Teori ini juga mencerminkan kekecewaan terhadap partai-partai politik dan pada sisitem perwakilan yang sudah jauh dari titik idealnya.



* Penulis buku Jurnalistik, Teori dan Praktik. 
   Tugas mata kuliah Journalism Class of PBI UAD semester 4 2009  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram