Langsung ke konten utama

Mengambil Hikmah dari Konflik Politik Thailand

political conflict in Thailand


Berbulan sudah krisis politik di Thailand terjadi. Hari-hari ini adalah semacam puncak dari situasi panas antara massa kaus merah dengan pemerintah itu. Sudah puluhan orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka dalam konflik tersebut. Konflik terus terjadi karena kedua belah elit politik tak mau berunding secara sungguh-sungguh. Para elit di “negara gajah putih” itu seolah tak mau mengalah demi kepentingan bangsanya yang lebih besar. Ambisi para elit yang tak kunjung padam itu akhirnya mendorong massa untuk terus bentrok. Kondisi tersebut patut untuk kita ambil hikmahnya. Kondisi politik Indonesia yang terus-menerus diguncang oleh sederet permasalahan harus dijaga agar tak meledak menjadi bentrokan fisik seperti halnya di Thailand.
            Jika dicermati pasca pemilu 2009 silam, kondisi politik Indonesia mengalami banyak sekali goncangan. Bermula dari permasalah hukum seperti kasusu Bibit-Chandra yang hampir saja membangkitkan semangat perjuangan rakyat sipil atau people power. Kemudian sekandal Century yang menyulut berbagai aksi protes oleh berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa. Terakhir ini, kasus mafia pajak Gayus Tambunan juga menjadikan Direktorat Jendral Pajak dikeritik oleh sebagian besar masyarakat. Jika protes atau simpati tersebut adalah murni dari suara hati rakyat, itu adalah wujud kepedulian rakyat yang baik dalam proses demokrasi. Namun, bisa kita cermati, sederet kasus hukum tersebut akhirnya dimanfaatkan oleh para elit politik untuk menggoyah elit lain yang sedang berkuasa. Jika kasus hukum terlalu ditunggangi oleh kepentingan elit politik, kondisi itu perlu untuk diwaspadai.

            Perlu diwaspadai karena kepentingan elit politik seringkali mengaburkan semangat menuju perbaikan yang semestinya. Semua langkah dan tindakan dalam menyikapi beberapa kasus tersebut bisa jadi hanya cara saling rebut kekuasaan. Jika kepentingan kekuasaan dibalut lewat isu-isu yang memanfaatkan kekuatan massa dan menggunakan cara kekerasan, hal yang demikian itu akan memicu konflik politik yang distruktif. Apalagi jika elit yang berkuasa menggunakan kekuatan militer dalam menghadapi massa, tragedi politik yang memilukan di Thailand bisa saja terjadi di negeri ini.
            Di atas kewaspadaan akan konflik politik, pemahaman tentang cara memperbaiki kondisi bangsa dan negara seharusnya diluruskan. Pada konflik politik Thailand, cara pandangnya adalah dengan melakukan revolusi yaitu dengan berusaha menjatuhkan kekuasaan Perdana Menteri. Di Indonesia, semangat semacam itu nampak mulai digulirkan seiring dengan berbagai kasus hukum besar. Simpati dan empati masyarakat yang sebenarnya memiliki tujuan mulia untuk peduli pada kondisi bangsa ditunjukan seolah-olah sebagai perjuangan untuk menjatuhkan pemerintah. Padahal, jalan yang telah kita sepakati sejak 1998 adalah reformasi yang artinnya perbaikan, bukan perubahan radikal seperti revolusi.
Reformasi pada dasarnya adalah perbaikan dan penguatan lembaga-lembaga yang ada. Reformasi masing-masing lembaga yang ada harus dilakukan. Beberapa lembaga pemerintah, hukum, politik, dan lembaga formal lainnya masih sedang berusaha melakukan reformasi. Selain lembaga tersebut,  aspirasi masyarakat pula sebaiknya dilembagakan. Pelembagaan aspirasi masyarakat bukan berarti selalu formal lewat partai politik atau LSM. Facebook atau jejaring sosial lainnya juga termasuk lembaga yang menampung dan menghimpun aspirasi masyarakat.
Pelembagaan yang baik dari tiap bagian, secara internal akan menyolidkan masing-masing lembaga. Soliditas semacam itu, dalam pelembagaan aspirasi masyarakat semisal, menjadikan masyarakat lebih bisa cerdas dalam menilai tiap permasalahan sehingga tak mudah terprovokasi untuk menggunakan cara kekerasan. Dalam wilayah eksternal, hibungan antar lembaga bisa saling mengawasi ataupun mendukung. Untuk kasus hukum semisal, selain lembaga hukum berusaha menuntaskan persoalan tersebut, lembaga politik dan masyarakat bisa mengawasi sekaligus mendukung proses tersebut. Pelembagaan semacam itu menjadikan semua lembaga berjalan sesuai dengan kewenangannya. Jika semua itu berjalan dengan baik maka tak akan ada lagi tempat bagi konflik kekerasan.    
Apa yang terjadi di Thailand berbeda. Walapun di sana terdapat pelembagaan masyarakat, lembaga tersebut terlalu terkooptasi oleh elit politik yang ambisius terhadap kekuasaan. Dengan tanpa memperhatikan kepentingan bangsa yang lebih besar, ambisi para elit itu akhirnya menimbulkan bentrokan yang jelas merugikan seluruh masyarakat Thailand.
Setiap konflik akan menyisakan kerugian di sana-sini jika terlanjur menjadi konflik fisik. Masa kaus merah pendukung mantan PM Thailand, Takshin, sudah sewajarnya tak melakukan aksi yang provokatif. Pihak pemerintah Thailand juga seharusnya tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam meredam konflik yang ada, apa lagi hingga menembaki para demonstran. Dialog dari kedua belah pihak terutama para elit politiknya adalah kunci agar konflik negara tetangga kita itu bisa terselesaiakan.
Bagi Indonesia, konflik semacam di Thailand tentu sangat tak ingin kita alami. Kita sudah sepakat tentang jalan reformasi sebagai cara kita membangun bangsa dan negara ini. Membangun kelembagaan yang baik dari tiap bagian negara ini adalah kunci. Pelembagaan aspirasi masyarakat tentu pula penting agar tiap permasalahan bisa diselesaiakn sesuai dengan jalurnya dan tidak selalu menggunakan cara kekerasan atau anarkisme.   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram