Langsung ke konten utama

Jenis dan bentuk Berita


writing news
Ivent – Centered  News
Selain memiliki pengertian yang bermacam-macam, berita juga terdiri dari beberapa jenis. Jenis pertama adalah berita yang terpusat pada peristiwa (ivent – centerednews) yang khas menyajikan persitiwa hangat dan baru terjadi. Berita jenis ini umumnya tidak diinterpretasikan dengan konteks yang minimal dan tidak dihubungkan dengan situasi dan persitiwa yang lain. Di sini, gagasan utamanya adalah bahwa sebuah topik belum layak untuk menjadi sebuah berita sampai “terjadi” sesuatu.
Berita itu adalah sesuatu yang nyata – news is real. Waratwan adalah pencari fakta. Fakta yang dilegkapi dengan benar akan sama dengan kebenaran itu sendiri. Riem Rieder, editor American Journalism Review berkata: Fakta adalah fakta, fiksi adalah fiksi. Jika ingin mengarang (fiksi) tulisalah novel. Berita adalah juga persitiwa yang segar, yang baru saja terjadi, plus dan minus. Dari peristiwa itu, berita merentang ke masa lampau dan masa datang. Tekanan pada unsur waktu ini perlu sebab masyarakat sadar akan sifat sementara dari suatu keadaan. Keadaan selalu berubah dan konsumen berita ingin informasi yang lebih kini.
Berita Lugas
Jenis berita yang terpusat pada peristiwa normalnya berbentuk berita lugas (hard news/stright news). Dalam jurnalisme laporan berita lugas mencoba untuk menyampaikan informasi berupa peristiwa sebagaimana nampaknya. Seperti juga seorang yang menyampaikan pesan kepada orang lain dengan bercerita, wartawan pun menyampaikan pesan dan gagasannya kepada audience-nya dalam bentuk sebuah cerita yang mereka sebut “news story”. Praktik jurnalisme yang menginformasikan (sesuatu yang penting) dan jurnalisme yang menceritakan (sesuatu kisah yang menarik).
Jack Hart, dalam A Writer’s Coach, mengatakan bahwa tujuan utama Anda adalah menyampaikan informasi, anda mungkin akan menulis sebuah laporan. Sebuah laporan hanya mencatat penemuan-penemuan penelitian seseorang. Laporan biasanya disusun menurut topik. Mereka memulai dengan semacam pandangan umum (overview) yang kemudian dilanjutkan, secara metodik, dengan topik A, topik B, dan seterusnya.
Jadi, pada awal laporan wartawan mulai dengan pernyataan yang meringkas penemuan-penemuan meraka, yang dikenal sebagai lead ringaksan – summary lead. Dari sini mereka langsung masuk dalam paragaraf topik di bawahnya. Mereka kemudian menyusunnya dalam urutan kepentingan yang makin menurun. Gaya ini disebut bottom line. Struktur ini memudahkan bagi editor untuk memangkas dari dasar, sehingga bisa membuang informasi yang tidak penting dahulu. Karena informasi yang paling penting berada di atas dan menyempit ke bawah dimana terdapat informasi yang paling tidak penting, maka wartawan menyebut bentuk laporan ini “piramida terbalik.”
Bentuk laporan ini sangat cocok untuk diterapkan pada suatu peristiwa besar yang pecah, seperti pecah perang antara dua negara, bom bunuh diri, gunung meletus, tsunami, pembunuhan, dan sebagainya. Wartawan ingin secepatnya melaporkan ini kepada pembaca. Pada awal laporan sudah terdapat sari atau inti (ringkasan) dari kejadian yang segera dapat ditangkap oleh pembaca. Tinggal terserah kepada pembaca sejauh mana ia ingin membaca elaborasi detail ke bawah. Dalam berita lugas ini tidak diterapkan naratif, tidak ada gaya bercerita. Tujuan utamanya adalah untuk menarik perhatian pembaca secepatnya pada berita tersebut.
Ada kalanya, berita lugas ini berisi kejadian-kejadian rutin seperti kegiatan pemerintah, politik, ekonomi, pangadilan, dan lainnya, yang isinya tidak begitu menarik bagi pembaca. Berita rutin yang disajikan setiap hari ini oleh pembaca sering disebut sebagai berita yang membosankan – dull news.
Process – Centered News
Kedua adalah jenis berita yang berdasarakan pada proses (process – centered news) yang disajikan dengan interpretasi tentang kondisi dan situasi dalam masyarakat yang dihubungkan dalam konteks yang luas dan melampaui waktu. Berita semacam ini muncul di halaman opini berupa editorial, artikel, dan surat pembaca. Sedang di halaman lain berupa komentar, laporan khusus, atau tulisan feature lainnya seperti banyak dimuat di koran minggu. Meski, kali ini kita fokuskan terlebih dahulu pada pembahasan laporan khusus yang berbentuk interpretatif.
Editor kerap menugaskan wartawan untuk membedah suatu masalah dan menyajikannya dengan penjelasan-penjelasan yang berada di bawah permukaan – beneath-the surface – peristiwa itu sendiri. Dalam liputan yang berdasarkan proses ini, diharapkan wartawan tidak jatuh ke dalam jebakan peristiwa – event trap. Ia tidak menunggu sampai peristiwa itu “pecah”. Konsep tersebutlah yang mendasari process – centered news. 
Berita Halus
Berbeda dengan berita yang terpusat pada peristiwa, jenis berita yang berdasarakan pada proses lazimnya berbentuk berita halus atau soft news. Soft news sendiri adalah pengembangan dari hard news. Berita-berita rutin yang bila dilihat sepintas tidak menarik terkadang ada yang penting, atau setidaknya bisa dikembangkan menjadi cerita yang menarik. Hal ini tergantung dari ketajaman atau penciuman berita seorang wartawan atau editor. Misalnya penandatangan perjanjian perdagangan antara dua negara. Kejadian formal yang berlangsung beberapa menit ini mungkin tidak menarik. Tetapi bagi wartawan yang kreatif dan skeptis ia bisa melihat hal menarik, misalnya dibelakang upacara formal tersebut ada berbagai permasalahan yang terkait dengan hubungan perdagangan antara kedua negara tersebut. Dia akan menggali hal-hal yang menarik yang bisa disajikan lugas tetapi sudah diperhalus (soft news) dalam bentuk cerita.
Bila sebuah laporan (report) disusun terutama untuk menyampaikan informasi, maka sebuah cerita (story) disusun terutama untuk memproduksi pengalaman. Untuk alasan ini maka elemen struktur dasarnya bukanlah topik, tetapi adegan (the scene). Anda akan menemukan konstruksi paling murni pada naskah film yang secara eksplisit menyusun tulisan dalam penggambaran action atau description of action. Tujuan dari konstruksi berdasar adegan adalah untuk menarik pembaca ke dalam cerita sehingga mereka bisa mengalami sendiri. Audience membaca jalan cerita melalui serangkaian adegan untuk nilai hiburannya. Karena prosesnya adalah melalui pengalaman (experience), maka bisa memiliki dampak emosional yang sangat kuat pada pembacanya. Wartawan mengenal tulisan semacam ini sebagai bentuk berita halus (soft news), yang menggunakan teknik naratif untuk menghasilkan cerita yang dramatis.
Selain kedua bentuk dasar penulisan di atas, banyak lahir bentuk hybrid dari para penulis yang imajinatif yang mengeksplorasi pemutasian tanpa ada habisnya. Poin terpenting yaitu penulis yang efektif akan berfikir dahulu tentang apa yang akan mereka tulis, dan kemudian baru memilih bentuk yang paling cocok untuk tulisannya itu.         
Charnley memperjelas perbedaan antara berita yang ditulis dengan cara matter – of – fact, secara faktual saja dengan  berita interpretatif. Ia menjelaskan jika berita interpretatif ditulis dengan dibubuhi interpertasi di dalamnya seperti seorang analisis, maka dalam reportase interpretatif seorang reporter tidak hanya menghitung tetapi mencoba menjelaskan mengapa sesuatu itu terjadi.
Berita Interpretatif
Istilah interpretative mulai dikenal didunia jurnalistik ketika Curtis D. MacDougall dari Northwestern University, Amerika, menulis buku berjudul Interpretative Reporting (1938). Sejak itulah istilah interpretative diterapkan untuk jenis reportase yang menempatkan berita “dalam konteks.”
Reportase interpretative semakin dikenal setelah Perang Dunia II ketika pada tahun 1949 laporan “The Commission of the Freedom of the Press” di Amerika mengumumkan bahwa media massa mempunyai kewajiban untuk menyajikan “penuturan yang benar, komperhensif, dan cerdas tentang peristiwa sehari-hari dalam konteks yang memberikan makna.” Komisi ini didirikan setelah perang dengan bantuan keuangan dari Henry Luce, penerbit majalah Time dan Live, serta Encylopedia Britannica, untuk mempelajari performa media berita.
Laporan tersebut tentu saja dikritik dengan pedas oleh para penerbit media cetak. Menyajikan berita peristiwa dalam “suatu konteks yang memberikan makna” bertentangan dengan kaidah pemberitaan yang sudah diterima dan dipertahankan pada masa itu dengan sangat kukuh, yaitu untuk selalu memelihara objektivitas dalam pemberitaan. Dengan perkataan lain, berita harus selalu faktual, bukan isapan jempol atau merupakan opini si wartawan. Dalam paruh pertama abad ke-20, pendirian seorang pemimpin redaksi adalah: “Just give the facts” (berikan saja aku fakta-faktanya). Dasar pikirannya adalah bahwa pembaca akan melakukan interpretasinya sendiri tentang fakta-fakta. Tujuannya tak lain untuk bersikap objektif, menghindari pengambilan kesimpulan dari fakta-fakta. Satu-satunya tempat dalam suratkabar untuk interpretasi adalah tajuk rencana yang memuat opini resmi suratkabar bersangkutan tentang peristiwa-peristiwa yang sedang hangat.
Desakan akan kebutuhan suatu reportase interpretatif muncul ketika banyak reporter yang meliput gagasan New Deal-nya Presiden Franklin D. Roosevelt pada masa depresi besar tahun 1930-an dihadapkan pada program-program baru yang didasarkan pada teori-teori ekonomi baru. Upaya untuk mengatasi  akibat-akibat depresi yang menghancurkan kehidupan ekonomi itu merupakan berita dalam negeri terbesar pada tahun 1930-an. Merangsang kegiatan ekonomi dengan pengeluaran-pengeluaran pemerintah adalah bertentangan dengan pemikiran ekonomi tradisional. Teknik lama dengan mengutip pendapat-pendapat para pakar ekonomi dari kedua kubu teori yang berlawanan gagal untuk menyajikan gambaran yang lengkap tentang apa yang sedang terjadi. Itulah sebabnya buku Reporting for Beginners karya Curtis D. MacDougall yang diterbitkan pada tahun 1932 diubah judulnya menjadi Interpretative Reporting pada tahun 1938 dengan beberapa perubahan dan penambahan isi yang disesuaikan dengan tuntutan keadaan. Buku MacDougall inilah yang memulai timbulnya perdebatan sengit selama seperempat abad lebih antara yang mempertahankan objektivitas dan menghendaki interpretasi dalam pemberitaan.
Pada masa itu juga muncul para kolumnis, yaitu penulis berpengetahuan yang tulisan-tulisannya menjelaskan arti berita yang sangat hangat, terutama berita-berita politik, dengan menggunakan byline (nama penulis) pada tulisannya. Tulisan-tulisan kolom tersebut ditempatkan pada halaman opini bersama-sama dengan tajuk rencana, surat pembaca, dan kadang-kadang kartun politik.
Dalam perkembangannya, sebuah permasalahan atau isu menjadi tidak adil jika hanya diungkapkan dan dibahas oleh opini seorang kolumnis semata. Pendapat yang diungkapkan oleh seorang kolumnis juga mesti diverifikasi dengan pendapat orang lain dan juga fakta-fakta yang ada. Tulisan tersebut lantas disebut sebagai berita interpretatif. Dalam tulisan ini wartawanlah yang melakukan interpretasi akan suatu peristiwa atau permasalahan.
Terkait dengan unsur objektivitas dan netralitas wartawan, maka bukan pandangan wartawanlah yang muncul dalam sebuah tulisan. Wartawan menterjemahkan interpretasinya melalui pendapat narasumber dan fakta maupun data yang terkait dengan isu yang diangkat. Dengan kata lain, tugas wartawan dalam penulisan berita interpretatif adalah menghimpun informasi atau fakta yang mendukung interpretasinya tentang sebuah peristiwa atau isu. Sebagai catatan, terkadang interpretasi wartawan tidak sesuai dengan fakta yang terkumpul dari lapangan. Dalam hal ini wartawan mesti menyampaikan beritanya sebagaimana yang sebenarnya. Wartawan tidak boleh memaksakan pandanganya muncul dalam berita atau dengan sengaja menyimpulakan berita secara sepihak.
Penjelasan yang lebih mudah adalah dengan mengandaikan berita sebagai bentuk penelitian ilmiah. Dalam penelitian ilmiah kita mengenal istilah hipotesis yaitu kesimpulan awal tentang sebuah permasalahan. Hipotesis awal tersebut mesti dibuktikan untuk mengetahui kebenarannya. Cara membuktikannya adalah dengan menguji hipotesis dengan hasil penelitian baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Jika hasil penelitian menguatkan hipotesis awal maka penelitian hipotesis tersebut positif namun, jika tidak maka dapat dikatakan negatif. Mesti diingat, tidak ada istilah benar atau salah untuk sebuah penelitian.
Dalam berita interpretatif seorang wartawan harus berfikir layakanya ilmuan yang akan meneliti sebuah permasalahan. Wartawan harus memiliki kesimpulan atau kecurigaan awal tentang sebuah peristiwa. Kita mesti skeptis terhadap sebuah peristiwa. Peristiwa pasti terkait dengan sesuatu yang lebih besar dan penting. Dari kecurigaan tersebut wartawan mengumpulkan informasi sebagai bahan pembuktian. Informasi tersebut adalah hasil wawancara dengan narasumber, data-data, maupun pengamatan indrawi si wartawan. Setelah itu, informasi yang terhimpun disusun dalam sebuah berita.
Jika informasi yang tersusun sejalan dengan kecurigaan wartawan makan berarti interpretasinya terbukti. Jika tidak terbukti maka pembuktian wartawan tersebut bisa menerangkan dan memperjelas sebuah permasalahan. Layaknya penelitian ilmiah, dalam berita interpretasi juga tidak dikenal salah atau benar. Tugas wartawan hanya menyajikan infomasi, setelah itu pembacalah yang berhak untuk menyimpulkan. Untuk lebih jelasnya anda perhatikan contoh berukut.
Berita interpretatif menjelaskan fakta yang saling bertentangan. Sebagai contoh semisal pemerintah berencana mengurangi subsidi bahan bakar dengan menaikan harganya sebesar 20% bulan depan. Menurut nalar wajar tarif semua angkutan yang menggunakan bahan bakar juga akan naik. Orang akan membatasi kegiatannya bepergian yang tidak perlu. Apa pengaruhnya terhadap harga-harga produk yang mesin produksinya menggunakan bahan bakar solar? Sudah tentu harga barang-barang produksi pabrik juga akan mengalami kenaikan.
Tetapi bukti kenyataanya tidak demikian. Perusahaan angkutan kota ditetapkan oleh para pemerintah daerah untuk tidak menaikkan tarif. Alasannya, kenaikan harga bahan bakar ini tidak menyebabkan perusahaan-perusahaan angkutan menderita kerugian dan karenanya tidak ada alasan untuk menaikan jumlah setoran dari para pengemudi kendaraannya. Demikian pula harga-harga produk buatan pabrik ternyata juga tidak mengalami kenaikan. Bahkan, ada beberapa produk yang harganya turun.
Dihadapkan pada fakta-fakata yang saling bertentangan ini, maka wartawan pun berada dalam posisi menulis sebuah berita interpretatif yang memaparkan keadaan ini terhadap khalayak. Kenaikan harga bahan bakar ternyata tidak berpengaruh terhadap barang-barang maupun tarif angkutan. Mengapa kejadian itu seperti tidak diperkirakan?
Berdasarkan fakta-fakta yang berhasil dihimpun, seorang wartawan harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul di kepala setiap orang: Apa itu artinya reportase interpretatif juga seringakali menjawab pertanyaan: Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Mungkin sang wartawan terus juga menulis untuk menunjukan betapa perbaikan ekonomi dalam masyarakat tidak terpengaruh oleh kenaikan bahan bakar minyak tersebut.
Berita interpretatif bersifat in-depth. Pada suatu hari pada tahun 2003 terjadi peledakan bom di Bali yang menewaskan 198 jiwa. Persitiwa Bom Bali tersebut tentu merupakan sebuah peristiwa besar. Bagi seorang wartawan in-depth, ia pasti ingin mengungkap bagaiman hal itu bisa terajadi. Pemberitaan wartawan tersebut mungkin dapat membantu banyak pihak, termasuk pihak kepolisian agar dimasa mendatang peristiwa teror semacam itu bisa dicegah sejak dini. Menginterpretasikan sebab-sebab terjadinya pemboman tersebut juga menjadi bagian terpenting dalam berita pemboman tempat hiburan di bali tersebut.
Salah satu berita pertama yang dimuat di media adalah kutipan tentang pernyataan Kapolri bahwa pihak kepolisian akan segara melakukan penyelidikan secara tuntas terhadap tragedi tersebut untuk mengetahui siapa pelakunya dan mengapa ia mau melakukannya. Selain pernyataan Kapolri, para reporter juga mewawancarai saksi mata dan menghubungi ahli bahan peledak untuk mengetahui bom jenis apa yang digunakan sehingga ledakan bom tersebut begitu dahsyat.
Untuk melakukan interpertasi secara memadai dan untuk mengetahu sebab-sebab terjadinya pemboman tersebut, para redaktur harian juga memutuskan untuk melakukan pertimbangan terhadap semua bukti yang mereka peroleh kemudian memuat interpretasi mereka serta membiarkan semua itu diuji sebagai hasil penyelidikan resmi yang kemudian dilaporkan kepada pihak kepolisian
Sebagain besar berita interpretatif tampaknya memang seperti penjelasan saja. Berita-berita interpretatif seakan-akan sederhana. Padahal, reporternya sudah menghabiskan waktu berjam-jam untuk mempelajari dan menganalisis sebelum ia menuliskannya dalam bentuk akhir. Sang reporter membuat dua rancangan berita, konsep awal, dan revisi-revisinya ditulis kembali untuk membuat interpretasinya itu mudah dimengerti.               

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram