Langsung ke konten utama

Sekitar Kongres I PPMI (1992-1995)


      Selama rentang waktu dari Deklarasi PPMI (Oktober 1992) di Malang2 sampai Kongres I PPMI (1–3 September 1993) di Kaliurang lebih difokuskan pada upaya untuk memfasilitasi pembentukan wadah perhimpunan di daerah-daerah yang selama ini belum ada perkumpulan pers mahasiswa (persma). Mengingat kian vulgarnya tekanan terhadap pers mahasiswa, maka konsolidasi pembentukan kantong-kantong daerah perlu disegerakan.
     Dalam rentang kurang dari tiga tahun, empat pers mahasiswa dibredel dengan motif atau modus yang tidak jauh berbeda. Keempat pers mahasiswa yang bernasib sial itu adalah: Vokal IKIP PGRI Semarang pada 1992, Dialoque Fakultas Ilmu Sosial Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya pada 1993, Arena Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 1993, dan Focus Equilibrium Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Udayana Bali pada 1993. Setidaknya empat kasus pers mahasiswa itulah yang terekspos ke publik, dan tidak menutup kemungkinan masih banyak lagi yang mengalami kasus serupa tapi tidak terendus luas pada masa itu.
     “Vokal Kena Cekal,” tulis Majalah Arena. Ditarik dari peredaran dan dilarang terbit oleh Rektor dan Yayasan IKIP PGRI Semarang. Hanya gara-gara beritanya dianggap berbau politik karena memuat soal Golput.3 Sedangkan Tabloid Dialoque terbitan Senat Mahasiswa FISIP Unair Surabaya dibredel dan penanggungjawabnya diskorsing. Pihak Dekanat mempersoalkan izin terbitnya tabloid tersebut. Meski akhirnya Emil Syarif Lahdji, penanggungjawab Dialoque, pun dilepaskan.4

     Pembredelan berikutnya menimpa Arena IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Gara-gara berita utama dalam majalah tersebut menyoal tentang Bisnis di Kekuasaan. Dari sini gelombang solidaritas mahasiswa berdatangan. Ditambah pula kasus yang menimpa Focus Equilibrium FE Udayana Bali. Pembredelan pers mahasiswa tersebut belum termasuk yang menimpa ketiga pers umum: Tempo, Detik, dan Editor.
     Tidak ada perubahan yang radikal pada konsep PPMI selama menuju kongres ini, hanya penguatan basis sebagai upaya konsolidasi pers mahasiswa di daerah. Awalnya, kongres ingin langsung dilaksanakan ketika Lokakarya di Malang, namun akhirnya urung karena beberapa daerah tak datang, seperti Sumatera bagian Selatan dan Sumatera bagian Utara. Selain alasan tersebut juga karena pertimbangan teknis persiapan: dimatangkan dulu agar kongres nantinya bisa berjalan maksimal.
     Forum yang kemudian disepakti sebagai Pra-Kongres tersebut akhirnya menetapkan Himmah UII Yogyakarta sebagai tuan rumah kongres. Kenapa Himmah? Karena pada waktu itu ada sentimen unik antar kampus-kampus yang “merasa” memiliki nama besar, atau lebih tepatnya adalah sentimen almamater. Mereka tidak mau datang ketika yang menyelenggarakan adalah kampus “rivalnya”. Sebut saja misalnya IPB dan UI, mereka tidak akan datang jika yang mengadakan UGM. Untuk menghindari hal tersebut maka diputuskanlah UII sebagai penyelenggaranya.5
     Pada prinsipnya, kongres ini memastikan bahwa yang hadir di Malang adalah yang sudah terkonsolidasi di tingkat wilayah.6  Maka dipilihlah Kaliurang, tepatnya di Wisma Puas, sebagai tempat berlangsungnya Kongres I PPMI. Secara teknis penyelenggaraannya, kongres ini nebeng pada acara “Diklat Jurnalistik Mahasiswa Se-Indonesia Lembaga Pers Mahasiswa Himmah UII”, sebagaimana kesepakatan sebelumnya. Kongres dihadiri oleh 56 pers mahasiswa dari 33 Perguruan Tinggi.
     Kongres pertama ini berjalan dengan lancar karena hampir semua perangkat lunak organisasi telah disiapkan dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya, jadi forum tinggal mengesahkan saja. Beruntung panitia ad hoc memilih nebeng pada pelatihan sehingga kongres sukses sampai akhir meski harus akal-akalan.
     “Bermula dari kucing-kucingan terhadap aparat (baca: intel), kongres berlangsung di sebuah halaman kecil dekat kamar penginapan, yang notabene jauh dari hiruk-pikuk keramaian Diklat di ruang pertemuan utama. Kami tak bisa menghitung secara pasti berapa jumlah intel dan/atau informan yang tersebar luas di sekitar wilayah kongres. Pada saat itu, para aktivis yang sedang berkongres bagaikan menghemat kepuasan, dikarenakan sesaat-sesekali sidang harus diinterupsi karena ada aparat yang tahu kalau ada pertemuan di ruangan lain selain ruang diklat.”7
      Secara garis besar kongres ini hanya membahas tentang beberapa rekomendasi PPMI (keorganisasian, keuangan, dan kebijakan umum), deklarasi8, press release, dan pemilihan presidium PPMI.
     Berdasarkan ketetapan Kongres I PPMI No.7/TAP/Kongres I/PPMI/IX/1993 disusun Presidium PPMI Periode 1993-1995,9 antara lain sebagai berikut, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Presidium: Rommy Fibri, Anggota: Asep Wahyu SP (Presidium Jawa Timur), I Gede Budana (Presidium Bali dan Nusa Tenggara), M. Hasyim (Presidium Sulawesi dan Indonesia Bagian Timur), Hasan Aoni Azis (Presidium Jawa Tengah), Andreas Ambar Purwanto (Mediator Jawa Barat), Nur Iskandar (Mimbar Universitas Tanjung Pura, Mediator Kalimantan), E.S. Tyas A. Zain (Mediator DKI Jakarta).
     Pemilihan Sekjen pun lacar. Awalnya ada dua calon: Rommy Fibri wakil dari Dentisia, pers mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi UGM Yogyakarta dan Bambang Maryono wakil dari Himmah, pers mahasiswa UII. Setelah pemungutan suara dilakukan, Rommy lah yang akhirnya terpilih. Soal koordinasi juga dibahas di forum ini. Mengingat tipologi daerah yang plural dan berbeda-beda, maka direkomendasikan untuk dibentuknya kantong-kantong penerbitan mahasiswa di masing-masing wilayah dengan tetap memperhatikan karakteristiknya masing-masing.
      PPMI percaya, kemajemukan ini jika bisa dirawat dan dikelola dengan baik akan menjadi modal besar bagi organisasi untuk turut serta mewarnai dinamika ke-Indonesia-an. Berlandaskan itu pula hubungan antarpersonal maupun antarorganisasi (pers mahasiswa) di dalam tubuh PPMI dirajut. Bagi PPMI, melakukan menyeragaman justru akan mematikan potensi yang sebenarnya sudah berkembang. Sehingga disepakati dalam menjalankan AD/ART harus seluwes mungkin, tidak kaku. Seperti konsep desentralisasi dan otonomi, dengan memberikan peran kepada wilayah masing-masing yang diwujudkan dalam model organisasi yang berbentuk presidium. Konsep ini menolak sistem kepemimpinan sentralistik yang bertumpu pada figur tunggal, melainkan kepemimpinan secara kolektif sehingga dapat merepresentasikan masing-masing wilayah, baik secara geografi, kultur, maupun politik. Dengan mekanisme pengambilan kebijakan apabila disepakati tiga presidium atau mediator dari dua wilayah yang berbeda.
     Kongres kemudian membahas isu nasional mengenai pembredelan pers umum maupun pers mahasiswa. Salah satu yang dibahas adalah kasus pembredelan yang menimpa Focus Equilibrium FE Universitas Udayana, Bali. Hingga kemudian kongres memberikan mandat kepada presidium melalui SK Kongres PPMI Nomor 10/TAP/Kongres I/PPMI/IX/1993 tentang Rekomendasi Kebijakan Umum untuk segera membantu menyelesaikan kasus ini.10
Pembahasan kongres pun tidak merancang program yang muluk-muluk, melainkan sederhana saja, yakni konsolidasi dan sosialisasi PPMI. Sehingga disepakati untuk membentuk tiga rayon. Rayon barat meliputi wilayah Sumatera, Jakarta dan Jawa Barat. Rayon Tengah terdiri dari Jawa Tengah, DIY dan Kalimantan. Sedangkan Sulawesi, Bali dan Indonesia Bagian Timur termasuk dalam Rayon Timur.11 Belajar dari IPMI, PPMI tidak akan berpretensi sebagai wadah tunggal, sebagaimana lembaga kooptasi. Tetapi sebagai wadah alternatif yang independen, menampung segala potensi dan aspirasi anggotanya: pers mahasiswa.
     Hasil lain yang direkomendasikan kongres ini adalah mengenai legalitas PPMI yang belum diakui oleh pemerintah. Sedangkan pemerintah Orde Baru masih menekankan aturan bahwa setiap organisasi harus berada di bawah naungan lembaga pemerintahan. Jika tidak ada lembaga pemerintahan yang menaungi, maka organisasi tersebut tidak akan pernah diakui keberadaanya oleh pemerintah.
      Hal ini kemudian terlihat dari sulitnya beberapa usaha yang dilakukan untuk melegalkan PPMI. Mulai pemakaian kata “penerbitan” hingga pengajuan legalitas ke pemerintah. Niatan PPMI untuk mengurus legalitas keorganisasian ini justru terganjal oleh rumitnya birokrasi pemerintahan saat itu.
     Sikap pemerintah yang berbelit dan mempersulit gerak PPMI tampak ketika Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) menghalang-halangi Direktorat Jenderal Pengembangan Pers dan Grafika (Dirjen PPG) menaungi PPMI. Padahal dalam acara dengar pendapat tentang PPMI, Januari 1993, Drs. Subrata, selaku Dirjen PPG bersedia untuk menjadi pembina PPMI.12 Dalam aturan Dikti, para pelaku PPMI berada di bawah naungan Dikti, bukan PPG. Oleh karena itu seharusnya PPMI berada di bawah wewenang Dikti. Namun tampaknya Dikti sendiri enggan untuk mengakui PPMI dalam bentuk perhimpunan. Karena dalam skala nasional, Dikti hanya mengakui format forum komunikasi, seperti yang diatur dalam SK Mendikbud No. 0457/0/1989 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan. Maka PPMI disarankan untuk merubah dirinya menjadi semacam forum komunikasi. Tetapi saran tersebut tampaknya tidak disetujui, terbukti dengan tetap bertahannya bentuk organ PPMI.
      Usaha legalisasi sebagai rekomendasi kebijakan umum PPMI dalam kongres ini masih terus diupayakan. PPMI menganggap masih ada harapan. Ditambah lagi dengan tuntutan sebagian aktivis pers mahasiswa waktu itu agar PPMI bisa menjadi sebuah lembaga legal di mata pemerintah.
     Hal ini tertuang dalam pasal 1 Rancangan Kebijakan Umum PPMI yang berbunyi: “Mengusahakan legalitas PPMI kepada Dirjen Dikti dengan memanfaatkan celah yang ada”, dan pasal 2: “Membentuk komisi khusus untuk mengkaji kurikulum Diklat Jurnalistik Mahasiswa hasil Kongres PPMI I, lalu membawanya ke Dikti untuk melakukan singkronisasi kurikulum diklat”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.