Langsung ke konten utama

Sejarah Pers Mahasiswa: Akhir IPMI, Awal PPMI



logo PPMI
            Sejarah organisasi pers mahasiswa di Indonesia selama ini menjadi semacam narasi pinggiran dalam bingkai besar sejarah pergerakan mahasiswa. Tidak banyak orang yang mengulasnya. Padahal pers mahasiswa (persma) juga menjadi bagian dari gerakan mahasiswa. Berbagai tulisan kritis dan penerbitan alternatif sepanjang sejarah konsolidasi demokrasi dan wacana kebangsaan, diwarnai dan dipimpin organisasi pers mahasiswa. Bahkan di setiap daerah memiliki basis kampus dan tradisi intelektual, maka beragam bentuk sekaligus kisah perlawanan pers mahasiswa atas rezim represif dan sentralistik.
            Mungkin karena karakter gerakan pers mahasiswa yang cenderung tidak ingin populis sebagaimana organisasi yang lainnya: mengerahkan massa turun ke jalan sambil mengibarkan bendera dan atribut organisasi. Tapi sebagai bagian dari gerakan perubahan, pers mahasiswa tidak pernah absen dalam memberikan kontribusi atas setiap perubahan yang terjadi. Bahkan tidak sedikit cerita yang menuturkan bahwa kantong-kantong pers mahasiswa menjadi semacam markas bersama bagi beragam gerakan yang tengah bergeliat merespon arus besar perubahan sosial-politik.
            Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) sebagai salah satu organisasi pers mahasiswa yang lahir pada awal 1990an tidak ingin hanya menghimpun para pegiat pers mahasiswa. Tetapi lebih dari itu. Semisal menjadi ruang bertemunya bagi berbagai gerakan yang masih memiliki kegelisahan nurani ketika melihat polah rezim. Karena menjadi sebuah perhimpunan yang kehadirannya tidak dikehendaki penguasa kala itu membentuk PPMI tidak memiliki legalitas organisasi. Akhirnya, gerakan bawah tanah menjadi suatu pilihan.
Perlu dicatat pula, kelahiran PPMI bukan merupakan fase kelanjutan dari organisasi pers mahasiswa sebelumnya: Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Pun bukan berarti anti-tesa dari organisasi pendahulunya itu. PPMI lahir karena kehendak generasi zaman, dimana represifitas semakin menggila. Maka lahirlah keinginan bersama di kalangan pegiat pers mahasiswa untuk membuat wadah baru, yang kemudian diberi nama PPMI.


IPMI; Sebuah Kenangan
            Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) yang dibentuk pada 16-19 Juli 1958 memiliki dinamika yang cukup rumit dan kompleks terkait situasi nasional saat itu. [i]  Sikap memilih aktif dalam politik praktis dan menjadi organisasi independen mewarnai haluan organisasi sejak berdiri sampai akhir 1980an. Situasi politik nasional dan perubahan formasi sosial membuat IPMI cukup matang secara politis, sembari terus bersikap independen sebagai bagian gerakan mahasiswa.
            Pada masa Soekarno, Demokrasi Terpimpin, IPMI memilih bersikap independen. Bahkan, lantaran tidak mencantumkan Manipol Usdek dalam Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga, IPMI dicap anak Partai Sosialis Islam (PSI) dan Masyumi. Persis pada 10 September 1965 wadah pers mahasiswa itu menyatakan sikap independen dalam merespon tuduhan-tuduhan yang ada. [ii] Setahun kemudian, berdasarkan hasil keputusan musyawarah kerja nasional di Bandung pada 25-30 September 1966 IPMI berubah sikap dan melebur dalam aktivitas politik[iii] melawan otoritarianisme Demokrasi Terpimpin[iv] dengan menjadi Biro Penerangan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).[v]
Selanjutnya, perubahan haluan politik Orde Baru (Orba) tampaknya berhasil mengubah orientasi IPMI untuk kembali bersikap independen. Menurut Nono Anwar Makarim, Pimpinan Pusat IPMI dalam Kongres Luar Biasa IPMI tahun 1969,[vi] perubahan mesti dimulai dari luar birokrasi sebagai kekuatan pengontrol untuk mampu mengimbangi opini publik. Pers menjadi satu-satunya eksponen yang mampu memisahkan diri dari struktur birokrasi dan tetap melakukan fungsi kontrol. Sedangkan Pemerintah Orba merespon sikap itu dengan mendirikan Badan Kerjasama Pers Mahasiswa Indonesia (BKSPMI), sebagai lembaga tandingan sembari terus berupaya mengerdilkan peran IPMI.[vii]  Bahkan sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan back to campus,[viii] IPMI tak kuasa menolak, sebagaimana tertera dalam hasil kongres tahun 1971. Sejak saat itu IPMI menuai kemunduran. Pers mahasiswa dipaksa menjadi subsistem struktur birokrasi kampus. Diam-diam pers mahasiswa di dalam kampus atau penerbitan mahasiswa bentukan Dewan Mahasiwa bersaing dengan pers mahasiswa yang waktu itu tidak bernaung di dalam kampus. Tetapi karena kekurangsiapan dengan kebijakan back to campus IPMI menjadi melemah. Kebijakan ini seperti ketika euforia gerakan mahasiswa, termasuk pers mahasiswa pasca 1998, yang kembali mewacanakan konsep back to campus meski dengan praktik yang berbeda.
Pada dasarnya pemerintah berusaha memberangus gerakan pers mahasiswa. Semisal iring peristiwa Malari 1974, ruang gerak pers mahasiswa semakin dipersempit dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Penerangan RI No. 01/Per/Menpen/1975.  Melalui peraturan ini, penerbitan kampus diganti formatnya menjadi penerbitan khusus dan mengharuskan setiap penerbitan atau media kampus mengantongi ijin: Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan. Kemudian IPMI mencoba mencari jalan keluar melalui Kongres IV di Medan pada 1976.
Namun, permasalahan lain muncul: IPMI banyak ditinggalkan anggotanya.[ix] Sebagai organisasi wadah, IPMI justru tidak mampu menentukan sikap independen baik berupa AD/ART baru atau kebijakan tegas lainnya. Dampaknya, konsep restrukturasi pengurus belum matang sehingga upaya untuk memperkuat internal organisasi dengan penggantian pengurus yang dianggap lemah pun tidak menemui hasil yang berarti. Sebaliknya, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) cenderung lebih senang mengurusi persoalan di dalam kampus masing-masing. Kondisi itu lantas mengikis arus gerakan pers mahasiswa di level nasional.[x]
Pada April 1980 diputuskan lokasi Kongres V IPMI dari Ujung Pandang dipindahkan ke Jakarta karena alasan perijinan. Dalam kongres itu IPMI dihadapkan pada dua pilihan penting. Pertama, apapun yang terjadi IPMI akan tetap bersikap independen. Kedua, pilihan untuk menggabungkan diri sebagai lembaga binaan organisasi kepemudaan tingkat nasional (KNPI). Dengan segala konsekuensinya, maka nama IPMI diganti menjadi IPPMI (Ikatan Pers Pemuda dan Mahasiswa Indonesia). Akhirnya, dalam kongres itu diputuskan bahwa IPMI tetap bersikap independen dan tidak bergabung dengan KNPI.
Selain itu, dalam Kongres V tersebut menetapkan Wikrama Ilyans Abidin sebagai Ketua Umum dan Agusman Efendi sebagai Sekjend periode 1980-1982. Memasuki era 1980-an, IPMI justru kian meredup. Pengurus periode 1980-1982 tidak mampu menyelenggarakan Kongres IPMI berikutnya. Setiap sebuah pilihan berisi konsekuensi dan Kongres V itu merupakan Kongres IPMI yang terakhir. Demikian pula dengan gerakan pers mahasiswa meredup bertahap dan tenggelam dalam keadaan.
Setelah Gelora Mahasiswa dibredel pada tahun 1978, Kampus tahun 1980 dan Salemba tahun 1980, dan diberlakukannya NKK/BKK kegiatan kemahasiswaan di kampus dan gerakan pers mahasiswa melemah. Dua hari setelah Kongres V IPMI di Jakarta, Salemba dilarang terbit. Demikian pula dengan semua kegiatan pers mahasiswa harus melalui perijinan. Sedangkan sebagai organisasi wadah pers mahasiswa, IPMI belum menemukan solusi atas banyaknya pembredelan.Terangnya, nasib pers mahasiswa semakin suram berbanding lurus dengan riwayat IPMI. Keduanya lumpuh. Pada tahun 1980-an inilah disebut sebagai era pancaroba.[xi]
Kendati pancaroba, bagi Wikrama, di beberapa kampus LPM masih berusaha menyambung nyawa. Tercatat selama tahun 1980-1982 tidak kurang dari 20 kali pendidikan pers mahasiswa berhasil dilakukan di seluruh Indonesia. Menurutnya, meski berada dalam posisi sulit, pers mahasiswa punya peluang untuk berkembang. Masalahnya terkait sejauhmana para aktivis pers mahasiswa mampu meyakinkan keberadaannya yang bermakna. [xii]  
Di satu sisi, selama kebijakan NKK/BKK, kebijakan penerapan penerbitan khusus, dan tindakan represif pemerintah melalui state apparatus-nya bisa jadi melemahkan dan merepotkan gerakan mahasiswa. Tetapi di sisi lain, riak-riak kecil pers mahasiswa mulai tampak jelang paruh kedua dekade 1980-an. Semisal munculnya Lembaga Pers Mahasiswa baru di beberapa kampus. Setidaknya di beberapa kampus dan kelompok mahasiswa memiliki produk terbitan berupa buletin, surat kabar, atau majalah yang sepenuhnya dikelola oleh mahasiswa. Training, pelatihan, kursus, seminar, dan diskusi tentang jurnalistik mulai banyak digelar. Kecenderungan pada dunia jurnalistik meningkat meski berada pada tren profesionalisme, yakni peningkatan skill jurnalistik dan kualitas penerbitan. Tren semacam ini sangat mereduksi pers mahasiswa dari orientasi gerakan sosial menjadi orientasi praktis-pragmatis.
Secara kuantitas kegiatan pers mahasiswa memang masih ada, tetapi secara organisasi IPMI belum jelas sikap atau perannya. Melihat kondisi tersebut para aktivis pers mahasiswa mulai tampak bergairah meski tetap gelisah.

Episode Akhir IPMI
            Situasi politik sangat memengaruhi format gerakan pers mahsiswa. Kebekuan dan gagalnya Kongres ke-VI IPMI, membuat satu-satunya organisasi payung pers mahasiswa di tingkat nasional itu mengambil bentuk gerakan alternatif sebagai respon atas pembungkaman sistematis rezim Suharto. Menurut Didik Supriyanto dalam Perlawan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK (1998), pers mahasiswa mengambil model Jurnalisme Struktural sebagai bentuk perjuangan. Sebuah perjuangan yang bermula dari meja redaksi lalu beralih ke pelatihan, forum-forum diskusi sampai mimbar bebas demi meneriakkan perlawanan, serta menumbuhkan gerakan mahasiswa.
Akhirnya, kegelisahan para aktivis pers mahasiswa menggumpal dan melahirkan kesadaran bersama untuk mengadakan gerakan baru sebagai wadah pengembangan program pendidikan, latihan, seminar, dan diskusi-diskusi mengenai aktivitas pers mahasiswa. Kegelisahan itu terwujud dalam Pendidikan Pers Mahasiswa Tingkat Nasional pada 21 –28 Oktober 1985 di Cibubur yang diikuti oleh 125 mahasiswa dari 29 Perguruan Tinggi dari 17 Kota di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Kegiatan itu terselenggara atas prakarsa Forum Komunikasi dan Kajian Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta (Majalah Politika).[xiii]
Kesadaran tidak cukup hanya semangat dan hasrat yang kuat, tetapi diperlukan kebersamaan, kesamaan gerak langkah, dan program-program pengembangan yang padu. Wadah baru yang diharapkan tentu sebagai tempat bersama untuk saling bertukar pikiran, berdiskusi, dan penyatuan pola langkah yang pada waktu itu sangat sulit diwujudkan.
Pada tahun 1986 tercatat sekitar tiga kali pertemuan nasional yang membicarakan seputar wadah baru. Pertama, Pekan Orientasi Jurnalistik Mahasiswa se-Jakarta pada 11–26 Agustus 1986 oleh LPM Solidaritas Universitas Nasional (Unas). Dihadiri oleh peserta yang terbilang banyak, yakni 211 mahasiswa dari 31 kampus di Jakarta. Minat peserta saat itu sangat tinggi terkait pembentukan sebuah kelompok studi, yang kemudian bernama Kelompok Studi Jurnalistik RELATA. Meskipun kelompok studi tidak bergerak untuk menghimpun diri dalam pergerakan pers mahasiswa, tapi nyatanya cukup mendorong upaya penyatuan langkah aktivis pers mahasiswa.
Dua bulan setelah itu, 5–8 Oktober 1986, Direktorat Kemahasiswaan, Ditjen Dikti, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan[xiv] Jurusan Komunikasi Massa FISIP UI mengadakan Latihan Ketrampilan Pers Kampus Mahasiswa Tingkat Pembina. Acara itu diikuti oleh 57 mahasiswa di seluruh Indonesia.[xv] Pemerintah berupaya mengarahkan pers mahasiswa pada ranah ketrampilan dan skill jurnalistik. Tetapi kesempatan berkumpul tersebut justru dipergunakan oleh peserta untuk membuat kesepakatan soal pembentukan wadah nasional. Sebuah komitmen untuk menginisiasi wadah nasional paling lambat satu tahun kemudian.
Pada 8–15 Desember 1986, pers mahasiswa Unas mengadakan studi banding jurnalistik mahasiswa Jakarta-Yogyakarta-Surakarta. Diikuti oleh sekitar 80 peserta dari 8 kampus dari Jakarta dan Bandung dengan tujuan Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Tahun berikutnya, pada 26-27 Maret 1987, Sarasehan Pers Mahasiswa Nasional yang diselenggarakan oleh LPM Teknokra Universitas Lampung, dan memuncak pada Pendidikan Pers Mahasiswa se-Indonesia pada 27 - 29 Agustus 1987 oleh Balairung UGM. Pertemuan yang diikuti 247 aktivis pers mahasiswa dari 41 Perguruan Tinggi tersebut dihadiri oleh Koesnadi Hardjosoemantri (aktivis pendiri IPMI 1950an). Selanjutnya, diadakan diskusi yang diikuti 60 aktivis perwakilan peserta. Dari diskusi ini muncul pemikiran untuk menghidupkan satu wadah pers mahasiswa di tingkat nasional. Maka dibentuklah panitia ad hoc untuk menjajagi dan menyiapkan kemungkinan dilahirkannya wadah nasional bagi aktivitas pers mahasiswa.[xvi]
Panitia ad hoc  terdiri dari empat orang. Dua dari Yogyakarta dan dua dari Jakarta. Pembentukan ini kemudian disebut poros Yogyakarta-Jakarta. Dari Yogyakarta yakni Abdulhamid Dipopramono (Balairung UGM) dan M. Imam Aziz (Arena IAIN Sunan Kalijaga), sedangkan dari Jakarta: Rizal Pahlevi Nasution (Media Publica Fikom Universitas Moestopo Beragama) dan Imran Zein Rollas (Politika Fisip Unas).[xvii]
Poros Jakarta mendapat tugas melakukan konsolidasi di wilayah barat yang meliputi Jawa Barat, Jakarta, Sumatera, dan Kalimantan. Sementara Poros Yogyakarta melakukan konsolidasi di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian. Selain itu mereka mendapatkan amanat untuk melakukan konsultasi, konfirmasi, lobby dengan pihak-pihak yang dianggap kompeten dengan masalah tersebut, seperti alumni IPMI, pengurus IPMI terakhir, pejabat universitas, dan birokrat.
Panitia ad hoc menyepakati beberapa langkah strategis, mengadakan beberapa kegiatan dan pertemuan formal.[xviii] Kegiatan itu antara lain, sarasehan pers mahasiswa pada 18-20 September 1987 di Jakarta oleh Forum Kuningan Jakarta, dihadiri 40 aktivis dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Bogor, dan Malang.[xix] Pertemuan pengelola pers mahasiswa se-Indonesia pada 11-13 Oktober 1987 di Yogyakarta, diikuti 60 aktivis dari berbagai penerbitan dan kelompok studi jurnalistik. Kemudian sebuah kegiatan yang diadakan di UNAS, Pekan Orientasi Jurnalistik Mahasiswa (Nasional) pada 17-27 Oktober 1987, diikuti 205 aktivis dari 46 perguruan tinggi.
Dari rangkaian pertemuan itu akhirnya panitia ad hoc menarik beberapa kesimpulan sementara.[xx] Pertama, sudah saatnya hadir atau lahir sebuah wadah nasional untuk mengembangkan aktivitas pers mahasiswa Indonesia. Kedua, struktur organisasi dan kelembagaannya haruslah luwes atau fleksibel sehingga dapat berjalan efektif. Ketiga, perlu diselenggarakan suatu pertemuan nasional untuk melahirkan wadah yang dimaksud, selambat-lambatnya Mei 1988 atau setelah sidang umum MPR RI.
Namun, hingga sidang umum MPR RI kongres belum dapat diselenggarakan.[xxi] Hal ini karena panitia ad hoc merasa belum tuntas dalam melakukan konsolidasi. Di luar Jawa, kecuali Medan, Lampung, Denpasar, Mataram dan Ujung Pandang, belum siap mengirimkan delegasinya. Selain itu masalah teknis pelaksanaan panitia belum selesai, terutama soal pendanaan dan perijinan. Di sisi lain pemerintah mengeluarkan keputusan pelarangan kegiatan kemasyarakatan nasional terkait keamanan Sidang Umum MPR RI 1988.
Pada kenyataannya, internal pers mahasiswa memang belum menemukan kata sepakat soal pembentukan wadah yang benar-benar baru atau melanjutkan IPMI yang telah vakum. Pertentangan ini khususnya oleh generasi yang muncul setelah tahun 1985. Akibat terlalu lama vakum dan secara de jure IPMI masih diakui pasca 1982, tampaknya berhasil menggiring perbincangan mengarah pada pembentukan wadah baru. Beberapa pertemuan pun dilakukan dengan memanfaatkan forum-forum semacam sarasehan dan pelatihan.[xxii]
Perbincangan perihal nasib IPMI dan wadah baru semakin bergairah. Kemudian baru memuncak pada pertemuan pegiat pers mahasiswa di Purwokerto pada 6-7 Agustus 1988, atau yang disebut Purwokerto Informal Meeting. Pertemuan yang diselenggarakan oleh Sketsa Unsoed ini dihadiri oleh 40 aktivis pers mahasiswa, termasuk Wikrama dan beberapa panitia bentukannya.[xxiii]  Hasilnya membentuk tim khusus yang beranggotakan sepuluh orang (tim sepuluh), terdiri dari empat orang panitia ad hoc dan enam orang yang ditunjuk oleh forum.[xxiv] Kesepuluh orang ini ditugaskan untuk menjadi negosiator dengan pimpinan pusat IPMI.[xxv]
Upaya-upaya pun dilakukan oleh tim sepuluh mengerucut pada Diskusi Panel dan Sarasehan Pers Mahasiswa Indonesia (Pra-Kongres IPMI VI) pada 19-22 September 1988 di Unsoed Purwokerto. Pertemuan ini dihadiri oleh kurang lebih 45 Perguruan Tinggi se-Indonesia.[xxvi] Hasil penting dari sarasehan ini berupa Deklarasi Batu Raden dan pembahasan tentang AD/ART dan komponen organisasi ditanda tangani oleh 18 kota yang diwakili 18 aktivis pers mahasiswa. Dengan demikian semakin terlihat konsolidasinya ke arah terbentuknya wadah kelembagaan aktivitas mereka.

Deklarasi Batu Raden[xxvii]

“Sadar bahwa demokrasi, keadilan dan kebenaran yang hakiki merupakan cita-cita Bangsa Indonesia yang harus selalu diupayakan secara berkesinambungan oleh seluruh komponen bangsa. Peguruan tinggi khususnya pers mahasiswa sebagai salah satu komponennya, bertanggungjawab memperjuangkan cita-cita tersebut secara kritis, konstruktif dan independen.

Dengan semangat kebersamaan dan didorong oleh keinginan luhur untuk melestarikan dan mengemban peran pers mahasiswa di seluruh Indonesia, maka seluruh aktivis pers mahasiswa menyatakan perlu dihidupkan kembali wadah yang bernama Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).”

Baturaden, Purwokerto, 21 September 1988.


Pertemuan yang menghasilkan Deklarasi Batu Raden ini pun disebut dengan Pra-Kongres IPMI VI, karena pada kalimat terakhir pada deklarasi menyebutkan bahwa “perlu dihidupkan kembali wadah yang bernama Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).”
Namun waktu berkata lain. Kondisi politik dan keamanan tidak mendukung. Saat itu GPK Warsidi/ Way Jepara meletus.[xxviii] Kongres yang telah direncanakan pun gagal. Kegagalan Kongres VI IPMI di Lampung pada 15-18 Februari 1989 itu segera disikapi oleh pers mahasiswa. Setidaknya ada dua pertemuan pers mahasiswa setelah itu.[xxix]
Pertama, pertemuan pers mahasiswa se-Jawa dan Bali yang diprakarsai oleh Hayam Wuruk Fakultas Sastra Universitas Diponegoro (Undip) Semarang pada 29-30 Maret 1989 yang dihadiri kurang lebih 50 aktivis pers mahasiswa. Dalam pertemuan tersebut selain membahas masalah masa depan dan peranan pers mahasiswa Indonesia juga berupaya untuk menanggapi kegagalan penyelenggaraan Kongres VI IPMI di Lampung. Tetapi pembicaraan itu terakhir tidak tuntas karena sempitnya waktu.
Kedua, pertemuan pers mahasiswa se-Indonesia yang diselenggarakan oleh LPM Himmah UII pada 1-3 April 1989. Dalam pertemuan tersebut disepakati berdirinya Forum Komunikasi Pers Mahasiswa (FKPM) yang diwakili masing-masing provinsi memutuskan untuk menuntut panitia kongres agar mempertanggungjawabkan kepanitiaannya. Setelah pertemuan ini akhirnya hampir tidak ada pertemuan nasional yang membahas soal kebekuan organisasi wadah pers mahasiswa. Kecuali beberapa forum-forum regional, seperti pertemuan di UMS Surakarta, Unej, UNS Solo, UGM, Unair Malang dan IKIP Bandung (Juli 1991).[xxx] Meski kurang membawa hasil karena setiap kali pertemuan orangnya selalu berganti-ganti.
Di sisi lain, kualitas terbitan perlu adanya pembenahan. Peningkatan mutu menjadi jalan tengah menyikapi kondisi seperti ini. Bahkan Resyarto Efiawan, Pimpinan IPMI Cabang Purwokerto, menyatakan IPMI sudah tidak jelas lagi. Karena kepengurusan yang sudah terlalu lama, sejak Kongres V pada tahun 1980 sampai 1991 masih dipegang Wikrama I Abidin.[xxxi]
Upaya melakukan pertemuan aktivis pers mahasiswa sering terhambat karena perijinan, sehingga konsolidasi sulit terwujud. Sedangkan aktivis pers mahasiswa kembali disibukkan oleh aktivitas di medianya sendiri di kampus. Jaringan komunikasi setingkat nasional terputus. Aktivitas kemahasiswaan pun hanya bersifat temporal dan tidak ada koordinasi yang luas. Menurut Resyarto, permasalahan bisa diatasi bila aktivis berkonsolidasi dalam wadah alternatif baru yang lebih legal.[xxxii]
Gerakan pers mahasiswa tampaknya mengalami anti klimaks. Meski tidak lama, jelas terjadi stagnansi dan kejenuhan. Pemerintah terus mengeluarkan kebijakan-kebijakan pendidikan, baik langsung maupun tidak langsung, tetap berimbas terhadap gerakan mahasiswa. Dikeluarkannya UU No. 2//1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan SK Dirjen Dikti No. 849/D/T/1989 tentang penerbitan yang cenderung membatasi ruang gerak pers mahasiswa, tampaknya tidak terlalu banyak berpengaruh. Nyatanya, aktivitas pers mahasiswa tidak hanya melulu soal jurnalistik, tetapi juga aktif dalam aksi-aksi parlemen jalanan.[xxxiii]
Pergolakan terus memanas, kasus-kasus rakyat mulai terkuak. Diantaranya kasus Waduk Kedungombo, Boyolali Jateng (1989), Kasus KSOB/TSSB, dan peristiwa Brest. Gerakan mahasiswa mulai pandai memainkan isu, misalnya melalui peringatan hari HAM dengan aksi mimbar bebas. Mulai muncul aliansi-aliansi mahasiswa, semisal Forum Kerja dan Diskusi Mahasiswa Indonesia buntut dari Peristiwa Brest, Kelompok Solidaritas Korban Pembangunan Kedungombo (KSKPKO), embrio dari penyikapan kasus Kedungombo Februari 1989. Pada April 1989 Komite Mahasiswa Penurunan Tarif Listrik (KMPTL) dibentuk sebagai respon kebijakan penaikan tarif dasar listrik. Selain itu pula ada Gerakan Mahasiswa Sadar Wisata pada Februari 1989 yang menentang Peraturan Daerah (Perda) tentang Hiburan Umum dan Rekreasi di Yogyakarta.
Kegelisahan pers mahasiswa juga diisi dengan gerakan-gerakan solidaritas. Sayangnya hanya sebagian kecil gerakan pers mahasiswa yang tercatat dalam teks-teks sejarah gerakan. Aktivis pers mahasiswa mempunyai keinginan untuk berorganisasi dan terus bergerak. Ketika IPMI dianggap kurang efektif, maka keinginan membentuk wadah baru kian menguat. Kegelisahan ini menghinggapi aktivis pers mahasiswa kisaran tahun 1980-an.
Menyadari bahwa aktivis adalah mahasiswa yang dibatasi oleh masa studi, menyebabkan organisasi pers mahasiswa mesti cepat melakukan regenerasi. Mereka yang berkeinginan mengadakan Kongres IPMI telah menyelesaikan kuliah. Sedangkan generasi baru aktivis pers mahasiswa 1990-an berkehendak lain: membentuk wadah yang benar-benar baru, beserta konsep dan gerakan yang benar-benar baru.
Menjelang dasawarsa 1990-an, gerakan mahasiswa mengarah kepada radikalisme. Sedangkan pers mahasiswa memperlihatkan sikap kepada penguasa melalui jurnalisme oposisi. Maka pemerintah pun merasa terusik oleh gerakan dan perlawanan tersebut. Menurut Tri Suparyanto, mantan Koordinator SC nasional, dengan adanya UU 1978/NKK BKK, jelas mematikan ruang gerak dan keberadaan IPMI. Wajar jika pemerintah Orba selalu berupaya menggagalkan setiap kongres yang akan dilaksanakan.[xxxiv]

Menuju PPMI
Semarak gerakan mahasiswa di akhir dekade 80-an terus berlanjut. Sebelumnya pada 11-12 April 1988, pers mahasiswa membentuk Komite Pembelaan Pers Mahasiswa Indonesia (KPPMI) untuk menyikapi beberapa kasus pembredelan yang diderita pers mahasiswa. Seperti yang dialami oleh tujuh media terbitan mahasiswa di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Pembredelan diawali oleh pemberitaan Majalah Imbas tentang penyimpangan dana di kampus, lantas rektornya sendiri membredelnya.
Ketujuh pers mahasiswa itu adalah Imbas (Fakultas Teknik), Sketsa (FKIP), Dian Ekonomi (Fakultas Ekonomi), Rekayasa (Fakultas Hukum), Biota (Fakultas Biologi), dan Agronomi (Fakultas Pertanian). Seperti halnya Arena, Pers Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga ini pun berhadapan dengan Pembantu Rektor III (PR III), soal pemuatan tulisan dari wawancara dengan Arif Budiman. Pembredelan atau apapun istilahnya, masih terus dialami pers mahasiswa.
Pada 1992 Vokal, Pers Mahasiswa Institut Keguruan Ilmu Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (IKIP PGRI) Semarang, dibredel karena mengangkat Golput sebagai berita utama dalam majalahnya. Kasus-kasus yang sama dialami pers mahasiswa lain di berbagai daerah.
Memasuki tahun 1990-an, pers mahasiswa generasi berikutnya masih menyisakan pertanyaan soal wadah baru dan penyikapan atas keberadaan IPMI. Hal ini terlihat dari mulai digiatkannya lagi forum-forum nasional atau regional antar aktivis pers mahasiswa. Dengan memanfaatkan pelatihan-pelatihan dan kegiatan formal, konsolidasi aktivis pers mahasiswa. Selain itu, pertemuan non-formal para aktivis pers mahasiswa di beberapa daerah dengan format yang lebih cair. Model kegiatan itu dilakukan para aktivis pers mahasiswa di Yogyakarta, hingga berdirinya Perhimpunan Pers Mahasiswa Yogyakarta (PPMY) pada bulan Februari 1991, dan baru diresmikan 28 Juni 1991.[xxxv]
Dalam lingkup nasional, kegairahan itu pun memuncak ketika pada tanggal 6-9 Februari 1991 diselenggarakan Temu Aktivis Pers Mahasiswa di Wanagama, Wonosari, Yogyakarta. Sebelum pertemuan yang diadakan Balairung UGM ini beberapa forum telah digelar, seperti pertemuan di Universitas Negeri Surakarta (UNS) dan Universitas Negeri Jember (Unej).[xxxvi] Dari temu aktivis pers mahasiswa di Wanagama ini akhirnya dibentuk badan pekerja (Steering Commitee Nasional/SC) untuk memfasilitasi pertemuan lanjutan dan menghimpun penerbitan mahasiswa di daerah-daerah. 
Kemudian pertemuan lanjutan digelar di Isola Pos IKIP Bandung. Capaiannya dalam Bandung Informal Meeting pada 7–10 Juli 1991 atau disebut Pra-Kongres ini untuk menyiapkan perangkat lunak Pra-Kongres (rancangan AD/ART, rancangan GBHK, dan persiapan kongres). Hasil lainnya, disepakati penamaan organisasi, yakni PPMI (Pehimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia).
Setelah itu dua pertemuan berikutnya di Lampung (19 - 23 November 1991) mendesak SC untuk segera mengadakan kongres. Maka sebulan kemudian pada 20 Desember 1991 diadakan pertemuan di Universitas Gajayana Malang, untuk membahas Rancangan Program Kerja PPMI. 
Akhirnya, pertemuan dikemas dalam bentuk Lokakarya Penerbitan Mahasiswa Se-Indonesia (14-18 Oktober 1992) di Universitas Brawijaya Malang.[xxxvii] Pertemuan ini diikuti oleh 72 peserta dari 37 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Pengguruan Tinggi Swasta (PTS) se-Indonesia. Hasilnya terealisasi dalam sebuah pernyataan bergabungnya Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) yang ada di perguruan tinggi dalam satu organisasi baru. Pada 15 Oktober 1992 pukul 16:29 WIB diputuskan wadah baru bernama Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Pada detik itulah ditetapkan sebagai waktu kelahiran PPMI. Dengan demikian, penyataan kesepakatan bersama ini menandai berakhirnya kerinduan pers mahasiswa membentuk wadah baru. Tugas berat bagi wadah baru pers mahasiswa itu pun menanti.

Skenario Pelunakan Pers Mahasiswa
Selain BKSPMI, pemerintah Orba pada 23 Juli 1973 juga membentuk Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang sudah dirintis pasca pemilu 1971 oleh Ali Moertopo dan beberapa aktivis 1966 yang berada di lingkar kekuasaan seperti Abdul Gafur, David Napitupulu, dan Akbar Tanjung.[xxxviii] Secara teoretik, politik pembentukan organisasi-organisasi semacam ini merupakan format korporatisme representasi kepentingan pemerintah dalam gerakan-gerakan mahasiswa. Sebagai perwujudan upaya pemerintah menstabilkan kondisi politik atas potensi gerakan mahasiswa yang mengancam stabilitas. Upaya pemerintah ini akhirnya menciptakan depolitisasi kehidupan kampus.
Arbi Sanit mengidentifikasikan tiga bentuk kebijakan yang berhasil membungkam gerakan mahasiswa.[xxxix] Pertama, dibentuknya Komite Nasional Pemuda Indonesia pada tahun 1973. Intinya mengharuskan seluruh organisasi mahasiswa berdasarkan ideologi seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan lainnya, termasuk IPMI bernaung di bawah KNPI. Kedua, pembekuan Dewan Mahasiswa oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) sejak 21 Januari 1978, sehingga membekukan organisasi mahasiswa.
Ketiga, kebijakan NKK/BKK yang memaksa, mengendalikan, mengarahkan organisasi mahasiswa untuk berada di dalam kampus. Lebih jauh lagi, kebijakan ini menjadikan mahasiswa apolitik sebagai organisasi, kecuali partai politik yang sudah diringkas dalam tiga partai. BKK kemudian membentuk unit-unit kegiatan kemahasiswaan dalam bidang-bidang kesejahteraan, minat dan perhatian mahasiswa, serta pengembangan penalaran mahasiswa. Sedangkan pers mahasiswa dikategorikan ke dalam bidang minat dan perhatian mahasiswa, tetapi pada praktiknya dimasukkan ke dalam unit kegiatan khusus.
Abdulhamid Diporamono mengatakan bahwa pemerintah mengaggap pers mahasiswa yang menjadi penggerak protes-protes mahasiswa yang mulai muncul pada tahun 1987. Bahkan Fuad Hasan memperingatkan, “Jangan sampai pers mahasiswa menjadi sumber keresahan atau keonaran.”[xl]
Demikian organisasi mahasiswa dikebiri dan dikooptasi sehingga menjauhkan mahasiswa dari realitas sosial-politiknya. Kampus dijadikan seperti sebuah menara gading yang melahirkan mahasiswa apatis dan pragmatis. Maka tidak heran jika generasi 1980-an—imbas dari kebijakan pemerintah itu—lebih cenderung pada kelompok-kelompok studi.
Majalah Himmah, Pers Mahasiswa UII Yogyakarta, menggambarkan,

“Dikeluarkannya kebijakan NKK/BKK menjadi salah satu bukti. Kaum muda mulai mendapat tekanan. Berbagai saluran yang potensial yang dapat menggugah kesadaran kaum muda, dibungkam. Mulai dari pers, sampai ketatnya pendidikan-pendidikan formal. Perdebatan tentang state dan apparatus-nya hanya terjadi di bilik-bilik rumah.”[xli]

Di dunia pers, memasuki orde baru, telah diatur melalui Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 1966 yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 4 Tahun 1967 dan UU Nomor 21 Tahun 1982, maka ketentuan dunia pers berada di bawah Menteri Penerangan. Kemudian dikeluarkanlah Peraturan Menteri Nomor 01 /PERMENPEN/1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Penerbitan Khusus dan Keputusan Menteri RI Nomor 146/KEP/MENPEN/1975 tentang Ketentuan Persyaratan dan Prosedur Penerbitan Khusus, yang diatur melalui Surat Tanda Terbit (STT) dan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dari sini menjadikan pers nasional dibatasi melalui SIUPP, termasuk pers mahasiswa.
Maka, pers mahasiswa kemudian berada di bawah kontrol dan pembinaan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta rekomendasi perguruan tinggi melalui NKK/BKK 1978. Banyak aturan dan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah, diantaranya:

·        PP Menpen RI Nomor 01/PER/MENPEN/1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai Penerbitan Khusus.
·        SK Menpen No. 146/Kep/Menpen/1975 tentang ketentuan-ketentuan, persyaratan, dan prosedur penerbitan khusus.
·        SK Pangkopkamtib No. SK EP/02/KOPKAM/I/1978 tentang perubahan Dema.
·        SK Mendikbud No. 1256/U/1978 ditetapkannya tentang penetapan NKK
·        SK Mendikbud No. 28/1978 Tentang Wewenang & Batas Permainan Civitas Akademika Kampus
·        SK Mendikbud No. 037/U/1978 tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Mahasiswa di Lingkungan Kampus, yang selanjutnya disebut BKK. Dengan demikian maka pendanaan kegiatan kemahasiswaan dari kampus, sedangkan semua tanggungjawab kegiatan mahasiswa di tangan kampus. Sehingga organisasi kampus sulit berkembang.
·        Instruksi Dirjen Dikti No. 002/DJ/inst/1978 tentang Pokok-pokok Pelaksanaan Penataan Kembali Lembaga-lembaga Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi
·        SK Mendikbud No. 0156/U/1978 tertanggal 19 April 1978 tentang konsep NKK. SK ini membebani mahasiswa dengan SKS. Maka penerapan jadwal kuliah semakin padat dan minat mahasiswa mengikuti kegiatan danorganisasi mahasiswa berkurang.
·        SK Dirjen Dikti No. 849/D/T/1989 Tentang Penerbitan Khusus
·        UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
·        PP No. 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi
·        SK Mendikbud No. 0457 tahun 1990 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi atau yang dikenal dengan kebijakan SMPT
·        Dan lainnya, belum termasuk kebijakan wawasan alamater, kebijakan POLBINMAWA, dibentuknya KNPI dan SMPI

Secara berangsur-angsur, gerak pers mahasiswa dan gerakan mahasiswa lainnya dimatikan. Pada 31 Mei 1980 Depertemen Penerangan (Deppen) dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) membentuk tim Pembinaan Pers Kampus Mahasiswa Tingkat Nasional melalui SKB Mendikbud dan Menpen No. 0166/P/1980, yang anggotanya dari pejabat kedua departemen dan dosen-dosen.[xlii] Pembentukan tim pembina pers mahasiswa ini bertujuan agar pers kampus sebagai lembaga dan kegiatan kampus yang merupakan subsistem pendidikan tinggi, juga sebagai pengembangan penalaran mahasiswa.
Pada 16 Juli 1980 Harian Sinar Harapan menerbitkan tulisan “Setelah Muncul Team Pembina Pers Kampus: Bagaimana dengan Pers Kampus Sendiri?“ oleh M. Rusli Karim. Rusli menulis,

“Dengan dibentuknya team pembina yang akan menggariskan pola dasar pembinaan pers kampus-mahasiswa ini diharapkan pers kampus-mahasiswa sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah.“

“Timbul usaha membina pers kampus-mahasiswa didasarkan atas kenyataan bahwa dengan diberikannya kebebasan kepada mahasiswa dalam menentukan bentuk, isi, maupun cara pengelolaannya menurut pemerintah pers mahasiswa telah menyimpang dari tipe idealnya.“
Begitu pula tajuk harian ini pada 27 Mei 1980 yang cenderung sama sikapnya dengan tulisan Rusli,

“Apakah pemuatan masalah politik pers mahasiswa merupakan suatu kelemahan yang menyalahi kriteria koran kampus, memang bisa menimbulkan perdebatan yang tak selesai. Tapi bahwa kelemahan pers mahasiswa yang penyajiannya dilakukan secara mahasiswa menggebu-gebu kadang-kadang emosionil memang perlu direnungkan.“

Demikian upaya depolitisasi pers mahasiswa melalui kebijakan NKK/BKK. Tetapi orientasi pers mahasiswa tetap menjadikan dirinya sebagai pers alternatif dalam kondisi otoritarian-birokaratik Orde Baru, dimana pers umum tidak mampu berkutik dalam iklim represifitas. Selama pers mahasiswa masih berdiam diri, bahkan kompromistis dan kooperatif dengan ketidakadilan, atau mencari aman, maka pers mahasiswa tidak akan maju dan berhasil. Pers mahasiswa dalam metode gerakannya menggunakan model jurnalisme oposisi untuk menantang kekuasaan. Selain itu, pers mahasiswa tidak pernah absen dalam singgungan persoalan politik dan kerakyatan. Maka selama pers mahasiswa tidak dipandang membahayakan pemerintah, pers mahasiswa belum dikatakan berhasil, kira-kira demikian. Ini kekhasan pers mahasiswa. Menjadi oposan sekaligus kritis-evaluatif serta lebih dinamis terhadap perubahan, pun terkadang kaku menghadapi perubahan itu sendiri.
Pers mahasiswa sering disebut sebagai jurnalisme penantang (Adversary Jurnalism), sebab sikapnya yang anti otoritas baik di dalam mapun di luar kampus. Penerbitan atau pers mahasiswa yang tidak pernah kering dari daya kritis terlihat dari pencaran ideologi mereka. Lemahnya paradigma apolitis dan strukturalis pers mahasiswa mengikis kesadaran kritis, historis dan idealis.
Begitulah sehingga Shodiq, Mahasiswa Fisipol UGM, mempertanyakan, “Sejauh inikah idealisme mahasiswa masa NKK-BKK? Idealisme yang masih suram, idealisme yang masih gonjang-ganjing, yaitu adanya dualisme yang kabur, antara “paksaan” untuk cepat lulus dengan tuntutan untuk menguasai ilmu secara benar dan utuh. Akankah secara mentah-mentah menelan sistem yang mencerminkan idealisme dari “bapak” dari pada idealisme mahasiswa?”[xliii]
Terjadi pergeseran sikap pers mahasiswa di pertengahan dekade 1980-an. Sikap oposan yang secara telanjang menjadi agak dinamis, meski tanpa kehilangan sikap kritisnya. Kondisi politik di luar kampus dan pendidikan di dalam kampus mengubah bentuk-bentuk pers mahasiswa dalam mengambil sikap. Di luar kampus, pers mahasiswa dihadapkan dengan represi aparat. Di dalam kampus kebijakan birokrasi kampus memaksa mahasiswa mendekam di balik dinding kampus.
Upaya depolitisasi kemudian melalui pencitraan. Pers mahasiswa dicitrakan anarkis-oposisionil, pers mahasiswa dangkal analisa, pers mahasiswa tidak akademis dan harus ilmiah (keilmuan), masih anak-anak atau kurang dewasa, tidak profesional dan sebagainya.
Sebab itu setelah dicitrakan dalam kondisi ‘gawat’, maka pers mahasiswa digiring perlahan melalui cara-cara pembinaan. Majalah Politika FISIP Unas Edisi Nomor 8/9 Oktober- Desember 1985 memuat:
“Pers Mahasiswa tidak boleh kritis. Tidak boleh bicara politik, dia harus mendekam di balik dinding-dinding kampus saja. Siapa bilang begitu? Gejolak mudanya usia, latar belakang keilmuan yang dimiliki serta kepekaan sosialnya, justru menuntut pers mahasiswa “tampil lain” dari pers umum lainnya.”[xliv]

Pada tahun 1985 skenario pelunakan pers mahasiswa melalui baik cara-cara represi-anarkis dan pencitraan itu mulai memudar. Kebimbangan dan pencarian orientasi baru pers mahasiswa mulai muncul. [xlv]  Pers mahasiswa mulai berani berbeda. “Sudah Saatnya Pemerintah Lebih Terbuka kepada Pers,” terang Mochtar Lubis ketika memberikan ceramah jurnalistik pada 2 Juli 1986 di Unas Jakarta.[xlvi] []


[i]    Amir Effendi Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh Hilang Berganti, (Jakarta: PT. Karya Unipress, 1983), hlm. 44.
[ii]   Ibid., hlm. 45 dan 129. Lihat juga, Lukman Isa, (1977), Organisasi Pers Mahasiswa Indonesia, dalam  kertas kerja yang disampaikan pada Lokakarya Pola Pendidikan & Pengembangan Pers Kampus/Mahasiswa di Malang 10-13 Februari 1977. Sumber: Arsip Litbang PPMI.
[iii]   Amir Effendi Siregar, op. cit., hlm. 49.
[iv]   Ibid., hlm. 65.
[v]    Ibid., hlm. 47-49. IPMI waktu itu diakui oleh Departemen Penerangan RI sejajar dengan organisasi pers lainnya ini kemudian pada masa 1966-1968 menerbitkan media di daerah. Menjelang 30 September 1965 terbit Mingguan Mahasiswa Indonesia  dan Harian KAMI di Jakarta. Tahun 1966, Di Bandung terbit Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat. Mingguan Umum Mimbar Demokrasi di Bandung terbit pada 30 September 1966. Di Yogyakarta terbit Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Tengah, Muhibbah Universitas Islam Indonesia (UII), pada 11 Maret 1967. Di Banjarmasin terbit Mimbar Mahasiswa pada 1968, di Pontianak terbit Mingguan KAMI edisi Kalimantan Barat pada 1968, di Surabaya terbit Mingguan KAMI edisi Jawa Timur pada 1968, di Malang terbit Gelora Mahasiswa Indonesia pada 1967, di Makasar terbit Mingguan KAMI pada akhir 1966, dan sebagainya.
[vi]   Ibid., hlm. 51-52.
[vii]  Didik Supriyanto, Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), hlm. 76
[viii] Amir Effendi Siregar, op. cit., hlm. 53.
[ix]   IPMI dan PPMI memiliki kesamaan dalam hal keanggotaan, dimana anggota bukanlah perorangan tapi Lembaga: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Penggabungan IWMI yang anggotanya individu (wartawan Persma) dan SPMI anggotanya Lembaga Pers Mahasiswa (perusahaan) menjadi IPMI karena dlihat tidak banyak terdapat perbedaan dan kegiatannya sulit dipisahkan. Lihat Amir Effendi Siregar, op. cit., hlm. 43-44.
[x]    M. Kodim, (t.t.), Membaca Lembaran Sejarah Pers Mahasiswa Indonesia; Lika-liku Dinamika dalam Tiap Babakan Sejarah, dalam makalah yang tidak dipublikasikan. Sumber: Arsip Litbang PPMI.
[xi]   Lihat, Deklarasi Baturaden, dalam SKM Sketsa, edisi September Tahun 1988, hlm.8
[xii]    Wikrama I Abidin, (1987), Memahami Arti Kehadiran Pers Mahasiswa, Majalah Balairung, edisi tahun 1987, hlm. 12.
[xiii] Agung Suprihanto, (1988), Menuju Konsolidasi Pers Mahasiswa, Majalah Balairung, edisi nomor 7 tahun 1988, hlm. 26.
[xiv]  Didik Supriyanto, op. cit.,  hlm. 100.
[xv]                                                                 Ibid.
[xvi]  Ibid., hlm. 40.
[xvii] Lihat LPJ Presidium PPMI periode I 1993-1995 disampaikan dalam kongres II PPMI tahun 1995 di Jember.
[xviii] Lihat Laporan Panitia Ad hoc atas penjajagan wadah pers mahasiswa tertanggal 1 November 1987. Lihat juga Agung Suprihanto, Menuju Konsolidasi ... op. cit., hlm. 41.
[xix]  Hasil yang penting untuk dicatat pada pertemuan ini yakni kesepakatan mengenai bentuk wadah yang salama itu belum terpikirkan. Lihat, Agung Suprihanto, (1989), Kronologi Menuju Kongres: Sebuah Kesaksian, Majalah Balairung, edisi Nomor 10/TH. III/1989, hlm. 4
[xx]  PPMI, Laporan Panitia…, loc. cit. Lihat juga Agung Suprihanto, Menuju Konsolidasi…loc. cit.
[xxi]  Didik Supriyanto, op.cit., hlm. 104-105.
[xxii] Agung Suprihanto, Kronologi Menuju… hlm. 4
[xxiii]                                                                   Dari pertemuan ini disepakati empat opsi, yaitu 1) membuat kongres tandingan untuk membentuk organisasi baru dan tidak mengakui keberadaan IPMI; 2) ikut kongres dan berusaha bermain sebagik-baiknya dalam kongres; 3) ikut kongres dan berusaha membubarkannya; dan 4) mengambil alih kepanitiaan kongres sehingga segala aspirasi dan kemauan aktivis dapat tertampung; Lihat, Didik Supriyanto, Ibid., hlm. 109
[xxiv]                              Agung Suprihanto, Kronologi Menuju... hlm. 35.
[xxv] Kemunculan beberapa pengurus IPMI ini memunculkan perdebatan dan kecurigaan diantara peserta. Kecurigaan itu muncul ketika panitia ad hoc sering didatangi oleh Wikrama dan meminta mereka menjadi pengurus baru IPMI. Lihat Didik Supriyanto, op. cit., hlm. 245.
[xxvi]                                                                    Lihat Deklarasi Baturaden dalam SKM Sketsa, edisi September 1988, hlm. 8. Lihat juga Dua Pertemuan Pers Mahasiswa dalam Majalah Arena, edisi nomor  2 Tahun XIV/ 1989, hlm. 43
[xxvii]                                                               Ibid.
[xxviii]Peristiwa ini merupakan sikap politik Warsidi yang antipemerintah, karena berdasarkan latarbe lakang sosial yang dihadapi penduduk. Warsidi adalah petani penggarap dan guru agama di Kabupaten Lampung Tenah. Sikap frontal tersebut muncul ketika pada tahun 1982 pemerintah menghancurkan 10 desa di Kecamatan Gunung Balak. Dia mengalami cara-cara aparat keamanan mengusir penduduk desa dan cara mereka menyelesaikan persoalan tanah. Selain itu, pemerintah dinilai tidak adil, lebih merugikan peduduk dan menguntungkan orang-orang kota sebab membiarkan memiliki tanah lebih dari 20 hektar sesuai dengan UU Pokok Agraria. Sedangkan penulisan media nasional Warsidi dkk. digambarkan negatif. Hal ini berkaitan dengan kondisi politik masa itu; Lihat Jaringan Lokal Abdullah Sungkar dalam Peristiwa Lampung 1989, oleh Abdul Syukur dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, Ratna Hapsari (ed.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-KILTV, 2008), hlm. 224-229.
[xxix]        Ibid.
[xxx] Syakur NC,(1992), Kritisisme Sebagai Ruh Idealisme Pers Mahasiswa, Majalah Amanat, edisi XLVII/Th. IX Oktober 1992, hlm. V.
[xxxi]        Karena sejak 1982, masa berakhirnya periode pengurus IPMI 1980-1982, tidak diselenggarakan kongres, maka secara de jure ketua umum masih dipegang oleh Wikrama.
[xxxii]       Resyarto Efiawan, (1991), Dinamika Pers Mahasiswa Pasca 80-an Kurang Berkembang (IPMI Perlu Dihidupkan lagi), Majalah Balairung , edisi khusus tahun 1991, hlm. 28-29.
[xxxiii]      Turun jalan ini merupakan bentuk radikalisasi idealisme mahasiswa. Lihat Didik Supriyanto, op. cit., hlm. 124-128.
[xxxiv]Hasil wawancara dengan Tri Suparyanto, Koordinator SC Nasional, pada 19 Januari 2010 di Yogyakarta.
[xxxv]       Miftahuddin, (1993), Pers Mahasiswa Mencari Wadah, Majalah Arena, edisi nomor 1/Tahun XVIII/1993, hlm. 55.
[xxxvi]      Sholeh & Edwan S, (1991), Jalan Panjang Menuju Wadah Tunggal Pers Mahasiswa Indonesia, Majalah Himmah, edisi Juli-Agustus 1991, hlm. 15. Lihat juga Miftahuddin, op. cit., hlm. 54
[xxxvii]Lihat PPMI Lahir di Malang dalam SKM Sketsa, edisi VII Th. 1992. hlm. 1
[xxxviii]Didik Supriyanto, op. cit., hlm.35. Lihat juga, Saidi, Analisis Keberadaan dan Aktivitas KNPI 1973-1992, (Jakarta: Yayasan Piranti Ilmu, 1992), hlm. 2.
[xxxix]      Arbi Sanit, Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, (Jakarta: Lingkaran Studi Mahasiswa, 1989), hlm. 91.
[xl]   Dijelaskan oleh Didik Sipriyanto dalam footnote-nya bahwa jauh sebelum terjadi protes-protes itu Mendikbud pernah memperingatkan pers mahasiswa dalam Kompas, edisi 5 Mei 1987. Lihat, Didik Supriyanto, loc. cit.
[xli]  Tedy Novan, (1996), Nasionalisme Kaum Muda: Dari “Penjara” ke “Penjara”, Majalah Himmah, edisi I/Thn. XXIX/September 1996, hlm. 61.
[xlii] Surat Keputusan Bersama tersebut diketuai oleh Direktur Kemahasiswaan, Ditjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalamnya terdiri dari Nugroho Notosusanto (mantan aktivis IPMI), dari kalangan akademisi ada Drs. Djajusman T (UI), Drs. Hasyim Nangtjik (UGM), dan Drs. Bud Mochtar (ITB), ditambah A. Dani GM, staf ahli Menteri Muda Urusan Pemuda. Lihat Harian Sinar Harapan, edisi Rabu 16 Juli 1980. Lihat juga, Harian Kompas, edisi Juni 1980.
[xliii] Lihat Melacak Idealisme Mahasiswa Masa NKK/BKK, dalam Majalah Balairung, edisi nomor 10/ Th 1989, hlm. 47.
[xliv] Lihat Pers Mahasiswa, Anarkhis-Oposisionil? dalam Majalah Politika, edisi nomor 8/9 Oktober- Desember 1985, Lihat juga Pers Mahasiswa, Menulis Saja dalam Pagar dalam Majalah Politika, edisi nomor 8/9 Oktober- Desember 1985.
[xlv]  Lukman Hakiem, (1980), Pers Mahasiswa di Tengah Dilema: Antara Idealisme dan Jalan Selamat, Harian Pelita, edisi Senin 26 Mei 1980.
[xlvi] Lead  berita dalam Harian  Kompas menuliskan “Sudah waktunya pemerintah bersikap lebih terbuka terhadap pemberitaan pers dan tidak lagi meragukan sikap kritis serta kemampuan masyarakat untuk menilai kebenaran berita yang dimuat dalam  media massa.” Angin kebebasan media terus dihembuskan. Di hari yang sama Harian Bisnis Indonesia dengan peristiwa yang sama memuat judul berita Biarkan Pers Bebas, Berikan Kepercayaan. Lihat Harian Kompas, edisi Kamis 3 Juli 1986.

Disusun oleh Litbang Nasional PPMI
Ditulis oleh Koor Litbangnas, Moch. Fathoni
Alumni Persma LPM UAD, Mahsiswa Pascasarjana Fak. Sastra UGM

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.