logo PPMI |
Sejarah organisasi pers mahasiswa di Indonesia selama ini menjadi
semacam narasi pinggiran dalam bingkai besar sejarah pergerakan mahasiswa. Tidak banyak orang
yang mengulasnya. Padahal pers mahasiswa (persma) juga menjadi bagian dari
gerakan mahasiswa. Berbagai tulisan kritis dan penerbitan alternatif sepanjang
sejarah konsolidasi demokrasi dan wacana kebangsaan, diwarnai dan dipimpin
organisasi pers mahasiswa. Bahkan di setiap daerah memiliki basis kampus
dan tradisi intelektual, maka beragam bentuk sekaligus kisah
perlawanan pers mahasiswa atas rezim represif dan sentralistik.
Mungkin karena karakter gerakan pers
mahasiswa yang cenderung tidak ingin populis sebagaimana organisasi yang lainnya:
mengerahkan massa turun ke jalan sambil mengibarkan bendera dan atribut
organisasi. Tapi sebagai bagian dari gerakan perubahan, pers mahasiswa tidak pernah absen
dalam memberikan kontribusi atas setiap perubahan yang terjadi. Bahkan tidak sedikit cerita
yang menuturkan bahwa kantong-kantong pers mahasiswa menjadi semacam markas
bersama bagi beragam gerakan yang tengah bergeliat merespon arus besar
perubahan sosial-politik.
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia
(PPMI) sebagai salah satu organisasi pers mahasiswa yang lahir pada awal 1990an tidak ingin hanya menghimpun para pegiat pers mahasiswa. Tetapi lebih dari itu. Semisal menjadi ruang bertemunya bagi berbagai gerakan yang masih memiliki
kegelisahan nurani ketika melihat polah rezim. Karena menjadi sebuah perhimpunan yang
kehadirannya tidak dikehendaki penguasa kala itu membentuk PPMI tidak memiliki
legalitas organisasi. Akhirnya, gerakan bawah tanah menjadi suatu pilihan.
Perlu dicatat pula, kelahiran PPMI bukan merupakan fase kelanjutan dari
organisasi pers mahasiswa sebelumnya: Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Pun bukan berarti anti-tesa dari organisasi pendahulunya itu. PPMI
lahir karena kehendak generasi zaman, dimana represifitas semakin menggila.
Maka lahirlah keinginan bersama di kalangan pegiat pers mahasiswa untuk membuat
wadah baru, yang kemudian diberi nama PPMI.
IPMI; Sebuah
Kenangan
Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) yang
dibentuk pada 16-19 Juli 1958 memiliki dinamika yang cukup rumit dan kompleks
terkait situasi nasional saat itu. [i] Sikap memilih aktif dalam politik praktis dan menjadi
organisasi independen mewarnai haluan organisasi sejak berdiri sampai akhir 1980an. Situasi politik nasional dan perubahan formasi sosial membuat IPMI
cukup matang secara politis, sembari terus bersikap
independen sebagai bagian gerakan mahasiswa.
Pada masa Soekarno, Demokrasi Terpimpin, IPMI memilih bersikap independen.
Bahkan, lantaran tidak mencantumkan Manipol Usdek dalam Anggaran
Dasar/ Anggaran Rumah Tangga, IPMI dicap anak Partai Sosialis Islam (PSI) dan
Masyumi. Persis pada 10 September 1965 wadah pers mahasiswa itu menyatakan
sikap independen dalam merespon tuduhan-tuduhan yang ada. [ii] Setahun kemudian, berdasarkan hasil keputusan
musyawarah kerja nasional di Bandung pada 25-30 September
1966 IPMI berubah sikap dan
melebur dalam aktivitas politik[iii] melawan otoritarianisme Demokrasi Terpimpin[iv] dengan menjadi Biro Penerangan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI).[v]
Selanjutnya, perubahan haluan politik Orde Baru
(Orba) tampaknya berhasil mengubah orientasi IPMI untuk
kembali bersikap independen. Menurut Nono Anwar Makarim, Pimpinan Pusat IPMI dalam Kongres Luar Biasa IPMI tahun 1969,[vi] perubahan mesti dimulai dari luar birokrasi
sebagai kekuatan pengontrol untuk mampu
mengimbangi opini publik. Pers menjadi satu-satunya eksponen yang mampu
memisahkan diri dari struktur birokrasi dan tetap melakukan fungsi kontrol. Sedangkan Pemerintah Orba merespon sikap itu dengan mendirikan
Badan Kerjasama Pers Mahasiswa Indonesia (BKSPMI), sebagai lembaga tandingan sembari
terus berupaya mengerdilkan peran IPMI.[vii] Bahkan sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan back
to campus,[viii] IPMI tak kuasa menolak, sebagaimana tertera
dalam hasil kongres tahun 1971. Sejak saat itu IPMI menuai kemunduran. Pers mahasiswa dipaksa menjadi subsistem struktur
birokrasi kampus. Diam-diam pers mahasiswa di dalam kampus atau penerbitan mahasiswa bentukan Dewan Mahasiwa bersaing dengan pers mahasiswa yang waktu itu tidak bernaung di dalam kampus. Tetapi karena kekurangsiapan dengan kebijakan back to campus IPMI menjadi melemah. Kebijakan ini seperti ketika euforia gerakan mahasiswa, termasuk pers
mahasiswa pasca 1998, yang kembali mewacanakan konsep back to campus
meski dengan praktik yang berbeda.
Pada dasarnya pemerintah berusaha memberangus gerakan pers mahasiswa.
Semisal iring peristiwa
Malari 1974, ruang gerak pers mahasiswa semakin dipersempit dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri Penerangan RI No. 01/Per/Menpen/1975. Melalui peraturan ini, penerbitan kampus diganti formatnya menjadi penerbitan khusus dan mengharuskan setiap penerbitan
atau media kampus
mengantongi ijin: Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan. Kemudian IPMI mencoba mencari jalan keluar melalui Kongres IV di
Medan pada 1976.
Namun, permasalahan lain muncul: IPMI banyak ditinggalkan anggotanya.[ix] Sebagai organisasi wadah, IPMI justru tidak mampu menentukan sikap independen baik berupa AD/ART baru atau kebijakan
tegas lainnya. Dampaknya, konsep restrukturasi pengurus belum matang sehingga upaya untuk memperkuat internal organisasi dengan penggantian pengurus yang dianggap lemah pun tidak menemui hasil yang berarti. Sebaliknya,
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) cenderung lebih senang
mengurusi persoalan di dalam kampus masing-masing. Kondisi itu lantas mengikis arus gerakan pers mahasiswa di level nasional.[x]
Pada April 1980 diputuskan lokasi Kongres V IPMI dari Ujung Pandang dipindahkan ke Jakarta karena alasan perijinan. Dalam kongres itu IPMI dihadapkan pada dua pilihan penting. Pertama,
apapun yang terjadi IPMI akan tetap bersikap independen. Kedua, pilihan
untuk menggabungkan diri sebagai lembaga binaan organisasi kepemudaan tingkat
nasional (KNPI). Dengan segala konsekuensinya, maka nama IPMI diganti menjadi IPPMI
(Ikatan Pers Pemuda dan Mahasiswa Indonesia). Akhirnya, dalam kongres itu diputuskan bahwa IPMI tetap bersikap independen dan tidak bergabung dengan KNPI.
Selain itu, dalam Kongres
V tersebut menetapkan Wikrama Ilyans Abidin sebagai Ketua Umum dan Agusman
Efendi sebagai Sekjend periode 1980-1982. Memasuki era 1980-an, IPMI justru kian meredup.
Pengurus periode 1980-1982 tidak mampu menyelenggarakan Kongres IPMI berikutnya. Setiap sebuah pilihan berisi konsekuensi dan Kongres V itu merupakan Kongres IPMI yang
terakhir. Demikian pula
dengan gerakan pers mahasiswa meredup bertahap dan tenggelam dalam keadaan.
Setelah Gelora Mahasiswa dibredel pada tahun
1978, Kampus tahun 1980 dan Salemba tahun 1980, dan diberlakukannya NKK/BKK kegiatan kemahasiswaan di kampus dan gerakan pers mahasiswa melemah. Dua hari setelah Kongres V IPMI di Jakarta, Salemba
dilarang terbit. Demikian pula
dengan semua kegiatan pers mahasiswa harus melalui perijinan. Sedangkan sebagai organisasi wadah pers
mahasiswa, IPMI belum menemukan solusi atas banyaknya
pembredelan.Terangnya, nasib pers mahasiswa semakin suram berbanding lurus dengan riwayat IPMI. Keduanya lumpuh. Pada tahun
1980-an inilah disebut sebagai era pancaroba.[xi]
Kendati pancaroba, bagi Wikrama, di beberapa kampus LPM masih berusaha menyambung
nyawa. Tercatat selama tahun 1980-1982 tidak kurang dari 20 kali pendidikan pers mahasiswa berhasil dilakukan di
seluruh Indonesia. Menurutnya, meski berada dalam posisi sulit,
pers mahasiswa punya peluang untuk berkembang. Masalahnya terkait sejauhmana
para aktivis pers mahasiswa mampu meyakinkan keberadaannya yang bermakna. [xii]
Di satu sisi, selama kebijakan NKK/BKK, kebijakan penerapan penerbitan khusus, dan tindakan represif pemerintah melalui state apparatus-nya bisa
jadi melemahkan dan merepotkan gerakan mahasiswa. Tetapi di sisi lain, riak-riak kecil pers mahasiswa mulai tampak jelang
paruh kedua dekade 1980-an. Semisal munculnya Lembaga Pers
Mahasiswa baru di beberapa kampus. Setidaknya di beberapa kampus dan kelompok
mahasiswa memiliki produk terbitan berupa buletin, surat kabar, atau majalah
yang sepenuhnya dikelola oleh mahasiswa. Training,
pelatihan, kursus, seminar, dan diskusi tentang jurnalistik mulai banyak
digelar. Kecenderungan
pada dunia jurnalistik meningkat meski berada pada tren profesionalisme, yakni
peningkatan skill jurnalistik dan kualitas penerbitan. Tren semacam ini sangat mereduksi pers mahasiswa dari orientasi
gerakan sosial menjadi orientasi praktis-pragmatis.
Secara kuantitas kegiatan pers mahasiswa memang
masih ada, tetapi secara organisasi IPMI belum jelas sikap
atau perannya. Melihat kondisi tersebut para aktivis pers mahasiswa mulai tampak bergairah meski
tetap gelisah.
Episode Akhir IPMI
Situasi
politik sangat memengaruhi format gerakan pers mahsiswa. Kebekuan dan gagalnya
Kongres ke-VI IPMI, membuat satu-satunya organisasi payung pers
mahasiswa di tingkat nasional itu mengambil bentuk gerakan alternatif sebagai
respon atas pembungkaman sistematis rezim Suharto.
Menurut Didik Supriyanto dalam Perlawan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang
NKK/BKK (1998), pers mahasiswa mengambil model Jurnalisme Struktural sebagai bentuk
perjuangan. Sebuah perjuangan yang bermula dari meja redaksi lalu beralih ke pelatihan, forum-forum diskusi
sampai mimbar bebas demi meneriakkan perlawanan, serta menumbuhkan gerakan mahasiswa.
Akhirnya, kegelisahan
para aktivis pers mahasiswa menggumpal dan melahirkan kesadaran bersama untuk mengadakan gerakan baru sebagai wadah pengembangan program pendidikan, latihan, seminar, dan diskusi-diskusi
mengenai aktivitas pers mahasiswa. Kegelisahan itu terwujud dalam Pendidikan Pers Mahasiswa Tingkat Nasional
pada 21 –28 Oktober 1985 di Cibubur yang diikuti oleh 125 mahasiswa dari 29
Perguruan Tinggi dari 17 Kota di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Kegiatan itu terselenggara atas prakarsa Forum Komunikasi dan
Kajian Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta (Majalah Politika).[xiii]
Kesadaran tidak cukup hanya semangat dan hasrat yang kuat, tetapi diperlukan
kebersamaan, kesamaan gerak langkah, dan program-program pengembangan yang padu. Wadah baru yang diharapkan tentu
sebagai tempat bersama untuk saling bertukar pikiran, berdiskusi, dan penyatuan
pola langkah yang pada waktu itu sangat sulit diwujudkan.
Pada tahun 1986 tercatat sekitar tiga kali pertemuan nasional yang
membicarakan seputar wadah baru. Pertama, Pekan Orientasi
Jurnalistik Mahasiswa se-Jakarta pada 11–26 Agustus 1986 oleh LPM Solidaritas
Universitas Nasional (Unas). Dihadiri oleh peserta yang terbilang banyak, yakni 211 mahasiswa dari 31 kampus di Jakarta.
Minat peserta saat itu sangat tinggi terkait
pembentukan sebuah kelompok studi, yang kemudian bernama Kelompok
Studi Jurnalistik RELATA. Meskipun kelompok studi tidak bergerak untuk menghimpun diri dalam pergerakan pers mahasiswa, tapi
nyatanya cukup mendorong upaya penyatuan langkah aktivis pers mahasiswa.
Dua bulan setelah itu, 5–8 Oktober 1986,
Direktorat Kemahasiswaan, Ditjen Dikti, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
bekerjasama dengan[xiv] Jurusan Komunikasi Massa FISIP UI mengadakan
Latihan Ketrampilan Pers Kampus Mahasiswa Tingkat Pembina. Acara itu diikuti
oleh 57 mahasiswa di seluruh Indonesia.[xv] Pemerintah berupaya mengarahkan pers mahasiswa
pada ranah ketrampilan dan skill jurnalistik. Tetapi kesempatan berkumpul tersebut justru dipergunakan oleh
peserta untuk membuat kesepakatan soal pembentukan wadah nasional. Sebuah
komitmen untuk menginisiasi wadah nasional paling lambat satu tahun kemudian.
Pada 8–15 Desember 1986, pers mahasiswa Unas
mengadakan studi banding jurnalistik mahasiswa Jakarta-Yogyakarta-Surakarta.
Diikuti oleh sekitar 80 peserta dari 8 kampus dari Jakarta dan Bandung dengan
tujuan Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Gadjah Mada (UGM),
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga dan Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS).
Tahun berikutnya, pada 26-27 Maret 1987,
Sarasehan Pers Mahasiswa Nasional yang diselenggarakan oleh LPM Teknokra
Universitas Lampung, dan memuncak pada Pendidikan Pers Mahasiswa se-Indonesia
pada 27 - 29 Agustus 1987 oleh Balairung UGM. Pertemuan yang diikuti 247
aktivis pers mahasiswa dari 41 Perguruan Tinggi tersebut dihadiri oleh Koesnadi
Hardjosoemantri (aktivis pendiri IPMI 1950an). Selanjutnya, diadakan diskusi yang diikuti 60 aktivis perwakilan peserta. Dari diskusi
ini muncul pemikiran untuk menghidupkan satu wadah pers mahasiswa di tingkat nasional. Maka dibentuklah panitia ad
hoc untuk menjajagi dan menyiapkan kemungkinan dilahirkannya wadah nasional
bagi aktivitas pers mahasiswa.[xvi]
Panitia ad hoc terdiri dari empat orang. Dua dari Yogyakarta dan dua dari Jakarta.
Pembentukan ini kemudian disebut poros Yogyakarta-Jakarta. Dari Yogyakarta
yakni Abdulhamid Dipopramono (Balairung UGM) dan M. Imam Aziz (Arena IAIN
Sunan Kalijaga), sedangkan dari Jakarta: Rizal Pahlevi Nasution (Media
Publica Fikom Universitas Moestopo Beragama) dan Imran Zein Rollas (Politika
Fisip Unas).[xvii]
Poros Jakarta mendapat tugas melakukan
konsolidasi di wilayah barat yang meliputi Jawa Barat, Jakarta, Sumatera, dan
Kalimantan. Sementara Poros Yogyakarta melakukan konsolidasi di wilayah Jawa
Timur, Jawa Tengah, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian. Selain itu
mereka mendapatkan amanat untuk melakukan konsultasi, konfirmasi, lobby
dengan pihak-pihak yang dianggap kompeten dengan masalah tersebut, seperti alumni IPMI, pengurus IPMI terakhir, pejabat
universitas, dan birokrat.
Panitia ad hoc menyepakati beberapa langkah strategis,
mengadakan beberapa kegiatan dan pertemuan formal.[xviii]
Kegiatan itu antara lain, sarasehan pers mahasiswa pada 18-20 September 1987 di Jakarta oleh Forum
Kuningan Jakarta, dihadiri 40 aktivis dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo,
Bogor, dan Malang.[xix] Pertemuan pengelola pers mahasiswa se-Indonesia pada 11-13 Oktober 1987 di
Yogyakarta, diikuti 60 aktivis dari berbagai penerbitan dan kelompok studi
jurnalistik. Kemudian sebuah kegiatan yang diadakan di UNAS, Pekan Orientasi
Jurnalistik Mahasiswa (Nasional) pada 17-27 Oktober 1987, diikuti 205 aktivis
dari 46 perguruan tinggi.
Dari rangkaian pertemuan itu akhirnya panitia ad
hoc menarik beberapa kesimpulan sementara.[xx] Pertama, sudah saatnya hadir atau lahir sebuah wadah nasional untuk mengembangkan aktivitas
pers mahasiswa Indonesia. Kedua, struktur organisasi dan kelembagaannya
haruslah luwes atau fleksibel sehingga dapat berjalan efektif. Ketiga,
perlu diselenggarakan suatu pertemuan nasional untuk melahirkan wadah yang
dimaksud, selambat-lambatnya Mei 1988 atau setelah sidang umum MPR RI.
Namun, hingga sidang umum MPR RI kongres belum
dapat diselenggarakan.[xxi]
Hal ini karena panitia ad hoc merasa
belum tuntas dalam melakukan konsolidasi. Di luar Jawa,
kecuali Medan, Lampung, Denpasar, Mataram dan Ujung Pandang, belum siap
mengirimkan delegasinya. Selain itu masalah teknis pelaksanaan panitia belum selesai, terutama soal
pendanaan dan perijinan. Di sisi lain pemerintah mengeluarkan keputusan
pelarangan kegiatan kemasyarakatan nasional terkait keamanan Sidang Umum MPR RI
1988.
Pada kenyataannya, internal pers mahasiswa
memang belum menemukan kata sepakat soal pembentukan wadah yang benar-benar
baru atau melanjutkan IPMI yang telah vakum. Pertentangan ini khususnya oleh
generasi yang muncul setelah tahun 1985. Akibat terlalu lama vakum dan secara de
jure IPMI masih diakui pasca 1982, tampaknya
berhasil menggiring perbincangan mengarah pada pembentukan wadah baru. Beberapa
pertemuan pun dilakukan dengan memanfaatkan forum-forum semacam sarasehan dan
pelatihan.[xxii]
Perbincangan perihal nasib IPMI dan wadah baru semakin bergairah. Kemudian baru memuncak pada pertemuan pegiat pers mahasiswa di Purwokerto pada 6-7 Agustus 1988, atau yang disebut Purwokerto Informal
Meeting. Pertemuan yang diselenggarakan oleh Sketsa Unsoed ini
dihadiri oleh 40 aktivis pers mahasiswa, termasuk Wikrama dan beberapa panitia bentukannya.[xxiii] Hasilnya membentuk tim khusus yang beranggotakan
sepuluh orang (tim sepuluh), terdiri dari empat orang panitia ad hoc dan
enam orang yang ditunjuk oleh forum.[xxiv] Kesepuluh orang ini ditugaskan untuk menjadi
negosiator dengan pimpinan pusat IPMI.[xxv]
Upaya-upaya pun dilakukan oleh tim sepuluh
mengerucut pada Diskusi Panel dan Sarasehan Pers Mahasiswa Indonesia
(Pra-Kongres IPMI VI) pada 19-22 September 1988 di Unsoed Purwokerto. Pertemuan
ini dihadiri oleh kurang lebih 45 Perguruan Tinggi se-Indonesia.[xxvi] Hasil penting dari sarasehan ini berupa
Deklarasi Batu Raden dan pembahasan tentang AD/ART dan komponen organisasi
ditanda tangani oleh 18 kota yang diwakili 18 aktivis pers mahasiswa. Dengan
demikian semakin terlihat konsolidasinya ke arah terbentuknya wadah kelembagaan
aktivitas mereka.
“Sadar bahwa demokrasi, keadilan dan kebenaran yang hakiki merupakan
cita-cita Bangsa Indonesia yang harus selalu diupayakan secara berkesinambungan
oleh seluruh komponen bangsa. Peguruan tinggi khususnya pers mahasiswa sebagai
salah satu komponennya, bertanggungjawab memperjuangkan cita-cita tersebut
secara kritis, konstruktif dan independen.
Dengan semangat kebersamaan dan didorong oleh keinginan luhur untuk
melestarikan dan mengemban peran pers mahasiswa di seluruh Indonesia, maka
seluruh aktivis pers mahasiswa menyatakan perlu dihidupkan kembali wadah yang
bernama Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).”
Baturaden, Purwokerto, 21 September 1988.
Pertemuan yang menghasilkan Deklarasi Batu Raden
ini pun disebut dengan Pra-Kongres IPMI VI, karena pada kalimat terakhir pada deklarasi menyebutkan bahwa “perlu
dihidupkan kembali wadah yang bernama Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).”
Namun waktu berkata lain. Kondisi politik dan
keamanan tidak mendukung. Saat itu GPK Warsidi/ Way
Jepara meletus.[xxviii] Kongres yang telah direncanakan pun gagal.
Kegagalan Kongres VI IPMI di Lampung pada 15-18 Februari 1989 itu segera disikapi oleh pers mahasiswa. Setidaknya ada dua pertemuan pers
mahasiswa setelah itu.[xxix]
Pertama, pertemuan pers mahasiswa se-Jawa dan Bali yang
diprakarsai oleh Hayam Wuruk Fakultas Sastra Universitas Diponegoro
(Undip) Semarang pada 29-30 Maret 1989 yang dihadiri kurang lebih 50 aktivis
pers mahasiswa. Dalam pertemuan tersebut selain membahas masalah masa depan dan
peranan pers mahasiswa Indonesia juga berupaya untuk menanggapi kegagalan penyelenggaraan Kongres VI IPMI di Lampung. Tetapi pembicaraan itu terakhir tidak tuntas karena sempitnya waktu.
Kedua, pertemuan pers mahasiswa se-Indonesia yang
diselenggarakan oleh LPM Himmah UII pada 1-3 April 1989. Dalam pertemuan
tersebut disepakati berdirinya Forum Komunikasi Pers Mahasiswa (FKPM) yang
diwakili masing-masing provinsi memutuskan untuk menuntut panitia kongres agar mempertanggungjawabkan kepanitiaannya. Setelah pertemuan ini
akhirnya hampir tidak ada pertemuan nasional yang membahas soal
kebekuan organisasi wadah pers mahasiswa. Kecuali beberapa forum-forum
regional, seperti pertemuan di UMS Surakarta, Unej, UNS Solo, UGM, Unair Malang
dan IKIP Bandung (Juli 1991).[xxx] Meski kurang membawa hasil karena setiap kali
pertemuan orangnya selalu berganti-ganti.
Di sisi lain, kualitas terbitan perlu adanya
pembenahan. Peningkatan mutu menjadi jalan tengah menyikapi kondisi seperti
ini. Bahkan Resyarto Efiawan, Pimpinan IPMI Cabang Purwokerto, menyatakan IPMI
sudah tidak jelas lagi. Karena kepengurusan yang sudah terlalu lama, sejak Kongres V pada tahun
1980 sampai 1991 masih
dipegang Wikrama I Abidin.[xxxi]
Upaya melakukan pertemuan aktivis pers mahasiswa
sering terhambat karena perijinan, sehingga konsolidasi sulit terwujud. Sedangkan aktivis pers mahasiswa kembali disibukkan oleh aktivitas di medianya sendiri di kampus. Jaringan komunikasi setingkat
nasional terputus. Aktivitas kemahasiswaan pun hanya bersifat temporal dan
tidak ada koordinasi yang luas. Menurut Resyarto, permasalahan bisa diatasi
bila aktivis berkonsolidasi dalam wadah alternatif baru yang
lebih legal.[xxxii]
Gerakan pers mahasiswa tampaknya mengalami anti klimaks. Meski tidak lama, jelas terjadi stagnansi dan kejenuhan.
Pemerintah terus mengeluarkan kebijakan-kebijakan pendidikan, baik langsung
maupun tidak langsung, tetap berimbas terhadap gerakan mahasiswa. Dikeluarkannya UU No. 2//1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan SK Dirjen Dikti No. 849/D/T/1989 tentang
penerbitan yang cenderung membatasi ruang gerak pers mahasiswa, tampaknya tidak terlalu banyak berpengaruh. Nyatanya, aktivitas pers mahasiswa tidak hanya melulu soal jurnalistik, tetapi juga aktif dalam aksi-aksi parlemen jalanan.[xxxiii]
Pergolakan terus memanas, kasus-kasus rakyat
mulai terkuak. Diantaranya kasus Waduk Kedungombo, Boyolali Jateng (1989),
Kasus KSOB/TSSB, dan peristiwa Brest. Gerakan mahasiswa mulai pandai memainkan
isu, misalnya melalui peringatan hari HAM dengan aksi mimbar bebas. Mulai
muncul aliansi-aliansi mahasiswa, semisal Forum Kerja dan Diskusi Mahasiswa
Indonesia buntut dari Peristiwa Brest, Kelompok Solidaritas Korban Pembangunan
Kedungombo (KSKPKO), embrio dari penyikapan kasus Kedungombo Februari 1989.
Pada April 1989 Komite Mahasiswa Penurunan Tarif Listrik (KMPTL) dibentuk
sebagai respon kebijakan penaikan tarif dasar listrik. Selain itu pula ada
Gerakan Mahasiswa Sadar Wisata pada Februari 1989 yang menentang Peraturan Daerah (Perda) tentang Hiburan Umum dan Rekreasi di
Yogyakarta.
Kegelisahan pers mahasiswa juga diisi dengan
gerakan-gerakan solidaritas. Sayangnya hanya sebagian kecil gerakan pers mahasiswa yang tercatat dalam teks-teks sejarah gerakan. Aktivis pers
mahasiswa mempunyai keinginan untuk berorganisasi dan terus
bergerak. Ketika IPMI dianggap kurang efektif, maka keinginan membentuk wadah
baru kian menguat. Kegelisahan ini menghinggapi aktivis pers mahasiswa kisaran tahun 1980-an.
Menyadari bahwa aktivis adalah mahasiswa yang dibatasi oleh masa studi, menyebabkan organisasi pers mahasiswa mesti cepat melakukan regenerasi. Mereka yang berkeinginan mengadakan Kongres
IPMI telah menyelesaikan kuliah. Sedangkan generasi baru
aktivis pers mahasiswa 1990-an berkehendak lain: membentuk wadah yang
benar-benar baru, beserta konsep dan gerakan yang benar-benar baru.
Menjelang dasawarsa 1990-an, gerakan mahasiswa
mengarah kepada radikalisme. Sedangkan pers mahasiswa memperlihatkan sikap kepada
penguasa melalui jurnalisme oposisi. Maka pemerintah pun merasa terusik oleh gerakan dan perlawanan tersebut. Menurut Tri Suparyanto, mantan Koordinator SC
nasional, dengan adanya UU 1978/NKK BKK, jelas mematikan ruang gerak dan
keberadaan IPMI. Wajar jika pemerintah Orba selalu berupaya menggagalkan setiap kongres yang akan dilaksanakan.[xxxiv]
Menuju PPMI
Semarak gerakan mahasiswa di akhir dekade 80-an
terus berlanjut. Sebelumnya pada 11-12 April 1988, pers mahasiswa membentuk
Komite Pembelaan Pers Mahasiswa Indonesia (KPPMI) untuk menyikapi beberapa
kasus pembredelan yang diderita pers mahasiswa. Seperti yang dialami oleh tujuh
media terbitan mahasiswa di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Pembredelan
diawali oleh pemberitaan Majalah Imbas tentang
penyimpangan dana di kampus, lantas rektornya sendiri membredelnya.
Ketujuh pers mahasiswa itu adalah Imbas
(Fakultas Teknik), Sketsa (FKIP), Dian Ekonomi (Fakultas
Ekonomi), Rekayasa (Fakultas Hukum), Biota (Fakultas Biologi),
dan Agronomi (Fakultas Pertanian). Seperti halnya Arena, Pers
Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga ini pun berhadapan dengan Pembantu Rektor III (PR
III), soal pemuatan tulisan dari wawancara dengan Arif Budiman. Pembredelan
atau apapun istilahnya, masih terus dialami pers mahasiswa.
Pada 1992 Vokal, Pers Mahasiswa Institut
Keguruan Ilmu Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (IKIP PGRI)
Semarang, dibredel karena mengangkat Golput sebagai berita utama dalam
majalahnya. Kasus-kasus
yang sama dialami pers mahasiswa lain di berbagai daerah.
Memasuki tahun 1990-an, pers mahasiswa generasi
berikutnya masih menyisakan pertanyaan soal wadah baru dan penyikapan atas
keberadaan IPMI. Hal ini terlihat dari mulai
digiatkannya lagi forum-forum nasional atau regional antar aktivis pers
mahasiswa. Dengan memanfaatkan pelatihan-pelatihan dan kegiatan formal,
konsolidasi aktivis pers mahasiswa. Selain itu, pertemuan non-formal para
aktivis pers mahasiswa di beberapa daerah dengan format yang lebih cair. Model
kegiatan itu dilakukan para aktivis pers mahasiswa di Yogyakarta, hingga
berdirinya Perhimpunan Pers Mahasiswa Yogyakarta (PPMY) pada bulan Februari
1991, dan baru diresmikan 28 Juni 1991.[xxxv]
Dalam lingkup nasional, kegairahan itu pun memuncak ketika pada
tanggal 6-9 Februari 1991 diselenggarakan Temu Aktivis Pers Mahasiswa di
Wanagama, Wonosari, Yogyakarta. Sebelum pertemuan yang diadakan Balairung
UGM ini beberapa forum telah digelar, seperti pertemuan di Universitas Negeri
Surakarta (UNS) dan Universitas Negeri Jember (Unej).[xxxvi]
Dari temu aktivis pers mahasiswa di Wanagama ini akhirnya dibentuk badan
pekerja (Steering Commitee Nasional/SC) untuk memfasilitasi
pertemuan lanjutan dan menghimpun penerbitan mahasiswa di daerah-daerah.
Kemudian pertemuan lanjutan digelar di Isola Pos IKIP Bandung. Capaiannya dalam Bandung
Informal Meeting pada 7–10 Juli 1991 atau disebut Pra-Kongres ini untuk menyiapkan
perangkat lunak Pra-Kongres (rancangan AD/ART, rancangan GBHK, dan persiapan kongres). Hasil lainnya, disepakati penamaan organisasi,
yakni PPMI (Pehimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia).
Setelah itu dua pertemuan berikutnya di Lampung
(19 - 23 November 1991) mendesak SC untuk segera mengadakan kongres. Maka sebulan kemudian pada 20 Desember 1991 diadakan pertemuan di
Universitas Gajayana Malang, untuk membahas Rancangan Program Kerja PPMI.
Akhirnya, pertemuan dikemas dalam bentuk
Lokakarya Penerbitan Mahasiswa Se-Indonesia (14-18 Oktober 1992) di
Universitas Brawijaya Malang.[xxxvii] Pertemuan ini diikuti oleh 72 peserta dari 37
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Pengguruan Tinggi Swasta (PTS) se-Indonesia.
Hasilnya terealisasi dalam sebuah pernyataan bergabungnya Lembaga Penerbitan
Mahasiswa (LPM) yang ada di perguruan tinggi dalam satu organisasi baru. Pada
15 Oktober 1992 pukul 16:29 WIB diputuskan wadah baru bernama Perhimpunan
Penerbitan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Pada detik itulah ditetapkan sebagai waktu kelahiran PPMI. Dengan
demikian, penyataan kesepakatan bersama ini menandai berakhirnya kerinduan pers
mahasiswa membentuk wadah baru. Tugas berat bagi wadah baru pers mahasiswa itu
pun menanti.
Skenario Pelunakan Pers Mahasiswa
Selain BKSPMI, pemerintah Orba pada 23 Juli 1973
juga membentuk Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang sudah dirintis
pasca pemilu 1971 oleh Ali Moertopo dan beberapa aktivis 1966 yang berada di
lingkar kekuasaan seperti Abdul Gafur, David Napitupulu, dan Akbar Tanjung.[xxxviii] Secara teoretik, politik pembentukan
organisasi-organisasi semacam ini merupakan format korporatisme representasi
kepentingan pemerintah dalam gerakan-gerakan mahasiswa. Sebagai perwujudan
upaya pemerintah menstabilkan kondisi politik atas potensi gerakan mahasiswa yang mengancam stabilitas. Upaya pemerintah
ini akhirnya menciptakan depolitisasi kehidupan kampus.
Arbi Sanit
mengidentifikasikan tiga bentuk kebijakan yang berhasil membungkam gerakan
mahasiswa.[xxxix] Pertama, dibentuknya Komite Nasional Pemuda Indonesia pada tahun 1973. Intinya
mengharuskan seluruh organisasi mahasiswa berdasarkan ideologi seperti Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan lainnya, termasuk IPMI bernaung di bawah KNPI. Kedua, pembekuan Dewan
Mahasiswa oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)
sejak 21 Januari 1978, sehingga membekukan organisasi mahasiswa.
Ketiga, kebijakan NKK/BKK yang memaksa, mengendalikan,
mengarahkan organisasi mahasiswa untuk berada di dalam kampus. Lebih jauh lagi, kebijakan ini menjadikan mahasiswa apolitik sebagai organisasi, kecuali
partai politik yang sudah diringkas dalam tiga partai. BKK kemudian membentuk unit-unit
kegiatan kemahasiswaan dalam bidang-bidang kesejahteraan, minat dan perhatian
mahasiswa, serta pengembangan penalaran mahasiswa. Sedangkan pers mahasiswa dikategorikan ke dalam bidang minat dan perhatian mahasiswa, tetapi pada praktiknya dimasukkan ke dalam unit kegiatan khusus.
Abdulhamid
Diporamono mengatakan bahwa pemerintah mengaggap pers mahasiswa yang menjadi
penggerak protes-protes mahasiswa yang mulai muncul pada tahun 1987. Bahkan
Fuad Hasan memperingatkan, “Jangan sampai pers mahasiswa menjadi sumber
keresahan atau keonaran.”[xl]
Demikian
organisasi mahasiswa dikebiri dan dikooptasi sehingga menjauhkan mahasiswa dari
realitas sosial-politiknya. Kampus dijadikan seperti sebuah menara gading yang
melahirkan mahasiswa apatis dan pragmatis. Maka tidak heran jika generasi 1980-an—imbas dari kebijakan
pemerintah itu—lebih cenderung pada kelompok-kelompok studi.
Majalah Himmah, Pers Mahasiswa UII Yogyakarta, menggambarkan,
“Dikeluarkannya kebijakan NKK/BKK menjadi salah
satu bukti. Kaum muda mulai mendapat tekanan. Berbagai saluran yang potensial
yang dapat menggugah kesadaran kaum muda, dibungkam. Mulai dari pers, sampai ketatnya
pendidikan-pendidikan formal. Perdebatan tentang state dan apparatus-nya hanya
terjadi di bilik-bilik rumah.”[xli]
Di dunia pers, memasuki orde baru, telah diatur melalui Undang-undang
(UU) Nomor 11 Tahun 1966 yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 4 Tahun 1967 dan
UU Nomor 21 Tahun 1982, maka ketentuan dunia pers berada di bawah Menteri
Penerangan. Kemudian dikeluarkanlah Peraturan Menteri Nomor 01 /PERMENPEN/1975
tentang Ketentuan-Ketentuan Penerbitan Khusus dan Keputusan Menteri RI Nomor
146/KEP/MENPEN/1975 tentang Ketentuan Persyaratan dan Prosedur Penerbitan
Khusus, yang diatur melalui Surat Tanda Terbit (STT) dan Surat Ijin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP). Dari sini menjadikan pers nasional dibatasi melalui SIUPP, termasuk pers
mahasiswa.
Maka, pers mahasiswa kemudian
berada di bawah kontrol dan pembinaan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
serta rekomendasi perguruan tinggi melalui NKK/BKK 1978. Banyak aturan dan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah,
diantaranya:
·
PP Menpen RI Nomor 01/PER/MENPEN/1975
tentang ketentuan-ketentuan mengenai Penerbitan Khusus.
·
SK Menpen No. 146/Kep/Menpen/1975
tentang ketentuan-ketentuan, persyaratan, dan prosedur penerbitan khusus.
·
SK Pangkopkamtib No. SK
EP/02/KOPKAM/I/1978 tentang perubahan Dema.
·
SK Mendikbud No. 1256/U/1978
ditetapkannya tentang penetapan NKK
·
SK Mendikbud No. 28/1978 Tentang
Wewenang & Batas Permainan Civitas Akademika Kampus
·
SK Mendikbud No. 037/U/1978 tentang
Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Mahasiswa di Lingkungan Kampus, yang selanjutnya
disebut BKK. Dengan demikian maka pendanaan kegiatan kemahasiswaan dari kampus,
sedangkan semua tanggungjawab kegiatan mahasiswa di tangan kampus. Sehingga
organisasi kampus sulit berkembang.
·
Instruksi Dirjen Dikti No.
002/DJ/inst/1978 tentang Pokok-pokok Pelaksanaan Penataan Kembali
Lembaga-lembaga Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi
·
SK Mendikbud No. 0156/U/1978
tertanggal 19 April 1978 tentang konsep NKK. SK ini membebani mahasiswa dengan
SKS. Maka penerapan jadwal kuliah semakin padat dan minat mahasiswa mengikuti
kegiatan danorganisasi mahasiswa berkurang.
·
SK Dirjen Dikti No. 849/D/T/1989
Tentang Penerbitan Khusus
·
UU No. 2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
·
PP No. 30/1990 tentang Pendidikan
Tinggi
·
SK Mendikbud No. 0457 tahun 1990
tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi atau yang
dikenal dengan kebijakan SMPT
·
Dan lainnya, belum termasuk
kebijakan wawasan alamater, kebijakan POLBINMAWA, dibentuknya KNPI dan SMPI
Secara berangsur-angsur, gerak pers mahasiswa dan gerakan mahasiswa
lainnya dimatikan. Pada 31 Mei 1980 Depertemen Penerangan (Deppen) dan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) membentuk tim Pembinaan Pers
Kampus Mahasiswa Tingkat Nasional melalui SKB Mendikbud dan Menpen No. 0166/P/1980,
yang anggotanya dari pejabat kedua departemen dan dosen-dosen.[xlii]
Pembentukan tim pembina pers mahasiswa ini bertujuan agar pers kampus sebagai
lembaga dan kegiatan kampus yang merupakan subsistem pendidikan tinggi, juga
sebagai pengembangan penalaran mahasiswa.
Pada 16 Juli 1980 Harian Sinar Harapan
menerbitkan tulisan “Setelah Muncul Team Pembina Pers Kampus: Bagaimana dengan
Pers Kampus Sendiri?“ oleh M. Rusli Karim. Rusli menulis,
“Dengan dibentuknya team pembina yang akan menggariskan pola dasar
pembinaan pers kampus-mahasiswa ini diharapkan pers kampus-mahasiswa sejalan
dengan kebijaksanaan pemerintah.“
“Timbul usaha membina pers kampus-mahasiswa didasarkan atas kenyataan bahwa
dengan diberikannya kebebasan kepada mahasiswa dalam menentukan bentuk, isi,
maupun cara pengelolaannya menurut pemerintah pers mahasiswa telah menyimpang
dari tipe idealnya.“
Begitu pula tajuk harian ini pada 27 Mei 1980 yang cenderung sama sikapnya
dengan tulisan Rusli,
“Apakah pemuatan masalah politik pers mahasiswa merupakan suatu kelemahan
yang menyalahi kriteria koran kampus, memang bisa menimbulkan perdebatan yang
tak selesai. Tapi bahwa kelemahan pers mahasiswa yang penyajiannya dilakukan
secara mahasiswa menggebu-gebu kadang-kadang emosionil memang perlu
direnungkan.“
Demikian upaya depolitisasi pers mahasiswa melalui kebijakan NKK/BKK. Tetapi orientasi pers mahasiswa tetap menjadikan dirinya sebagai pers alternatif
dalam kondisi otoritarian-birokaratik Orde Baru, dimana pers umum tidak mampu berkutik dalam iklim represifitas. Selama pers mahasiswa masih
berdiam diri, bahkan kompromistis dan kooperatif dengan ketidakadilan, atau
mencari aman, maka pers mahasiswa tidak akan maju dan berhasil. Pers mahasiswa
dalam metode gerakannya menggunakan model jurnalisme oposisi untuk menantang
kekuasaan. Selain itu, pers mahasiswa tidak pernah absen dalam singgungan persoalan politik dan kerakyatan. Maka
selama pers mahasiswa tidak dipandang membahayakan pemerintah, pers
mahasiswa belum dikatakan berhasil, kira-kira demikian. Ini kekhasan pers
mahasiswa. Menjadi oposan sekaligus kritis-evaluatif serta lebih dinamis
terhadap perubahan, pun terkadang kaku menghadapi perubahan itu sendiri.
Pers mahasiswa sering disebut sebagai jurnalisme penantang (Adversary
Jurnalism), sebab sikapnya yang anti otoritas baik di dalam mapun di luar kampus. Penerbitan atau
pers mahasiswa yang tidak pernah kering dari daya kritis terlihat dari pencaran
ideologi mereka. Lemahnya paradigma apolitis dan strukturalis pers mahasiswa
mengikis kesadaran kritis, historis dan idealis.
Begitulah sehingga Shodiq, Mahasiswa Fisipol UGM, mempertanyakan,
“Sejauh inikah idealisme mahasiswa masa NKK-BKK? Idealisme yang masih suram,
idealisme yang masih gonjang-ganjing, yaitu adanya dualisme yang kabur, antara
“paksaan” untuk cepat lulus dengan tuntutan untuk menguasai ilmu secara benar
dan utuh. Akankah secara
mentah-mentah menelan sistem yang mencerminkan idealisme dari “bapak” dari pada
idealisme mahasiswa?”[xliii]
Terjadi pergeseran sikap pers mahasiswa di
pertengahan dekade 1980-an. Sikap oposan yang secara telanjang menjadi agak
dinamis, meski tanpa kehilangan sikap kritisnya. Kondisi politik di luar kampus
dan pendidikan di dalam kampus mengubah bentuk-bentuk pers mahasiswa dalam
mengambil sikap. Di luar kampus, pers mahasiswa dihadapkan dengan represi aparat. Di dalam kampus kebijakan birokrasi kampus memaksa mahasiswa mendekam di balik dinding kampus.
Upaya depolitisasi kemudian melalui pencitraan. Pers mahasiswa
dicitrakan anarkis-oposisionil, pers mahasiswa dangkal analisa, pers mahasiswa
tidak akademis dan harus ilmiah (keilmuan), masih anak-anak atau kurang dewasa, tidak
profesional dan sebagainya.
Sebab itu setelah dicitrakan dalam kondisi ‘gawat’, maka pers mahasiswa digiring perlahan melalui cara-cara pembinaan. Majalah Politika FISIP Unas Edisi Nomor 8/9 Oktober- Desember 1985 memuat:
“Pers Mahasiswa tidak boleh kritis.
Tidak boleh bicara politik, dia harus mendekam di balik dinding-dinding kampus
saja. Siapa bilang begitu? Gejolak mudanya usia, latar belakang keilmuan yang
dimiliki serta kepekaan sosialnya, justru menuntut pers mahasiswa “tampil lain”
dari pers umum lainnya.”[xliv]
Pada tahun 1985 skenario
pelunakan pers mahasiswa
melalui baik cara-cara represi-anarkis dan pencitraan itu mulai memudar. Kebimbangan dan pencarian
orientasi baru pers mahasiswa mulai muncul. [xlv]
Pers mahasiswa mulai berani
berbeda. “Sudah Saatnya Pemerintah Lebih Terbuka kepada Pers,” terang Mochtar
Lubis ketika memberikan ceramah jurnalistik pada 2 Juli 1986 di Unas Jakarta.[xlvi]
[]
[xxviii]Peristiwa ini merupakan sikap politik
Warsidi yang antipemerintah, karena berdasarkan latarbe lakang sosial yang
dihadapi penduduk. Warsidi adalah petani penggarap dan guru agama di Kabupaten
Lampung Tenah. Sikap frontal tersebut muncul ketika pada tahun 1982 pemerintah
menghancurkan 10 desa di Kecamatan Gunung Balak. Dia mengalami cara-cara aparat
keamanan mengusir penduduk desa dan cara mereka menyelesaikan persoalan tanah.
Selain itu, pemerintah dinilai tidak adil, lebih merugikan peduduk dan
menguntungkan orang-orang kota sebab membiarkan memiliki tanah lebih dari 20
hektar sesuai dengan UU Pokok Agraria. Sedangkan penulisan media nasional
Warsidi dkk. digambarkan negatif. Hal ini berkaitan dengan kondisi politik masa
itu; Lihat Jaringan Lokal Abdullah Sungkar dalam Peristiwa Lampung 1989,
oleh Abdul Syukur dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, Ratna Hapsari
(ed.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia-KILTV, 2008), hlm. 224-229.
[xxxix] Arbi Sanit, Mahasiswa, Kekuasaan dan
Bangsa, (Jakarta: Lingkaran Studi Mahasiswa, 1989), hlm. 91.
Komentar
Posting Komentar