stop depolitisasi mahasiswa |
Pemerintah tidak tinggal diam dengan
perkembangan jaringan pers mahasiswa ini. Beberapa depolitisasi pers mahasiswa
dilakukan. Ambil contoh, ketika Bandung Informal Meeting 1991,
yang ketika itu dibatalkan perijinannya karena melihat pertemuan sebelumnya di
Wanagama 1991. Pemerintah mulai sensitif dengan kegiatan-kegiatan pers
mahasiswa. Maka dibuatlah kegiatan serupa. Semisal Latihan Ketrampilan Pers
Kampus Tingkat Pembina atau Pekan Jurnalistik Mahasiswa Indonesia, baik tingkat
regional maupun nasional. Dilihat dari istilah dan pematerinya pun mengarahkan
pers mahasiswa sebagai pers kampus, keterampilan jurnalistik, skill
penulisan, dan sejenisnya, dengan pemateri yang nge-pop. Fasilitas
tersedia lengkap dan uang saku yang cukup, bahkan lebih.
Anehnya pemerintah waktu itu tidak
membuat semacam organisasi tandingan. Semisal BKSPMI pada tahun 1969 semasa IPMI. Barangkali ada perubahan pola
yang dilakukan pemerintah. Pengadaan kegiatan waktu itu dipersulit oleh Dikti.
Karenanya kagiatan-kegiatan kemudian banyak dilakukan di daerah-daerah,
sehingga perijinan pun hanya di tingkat daerah. Tidak ke Dikti tapi ke
Bakornasda, Pangdam, dan Muspika.
Upaya-upaya
lain terlihat dari struktur kemahasiswaan di kampus warisan kebijakan NKK/BKK.
Dalam soal aktivitas kemahasiswaan, otoritas Pembantu Rektor III Bidang
Kemahasiswaan tampak begitu besar. Jika PR III tidak memberikan persetujuan
maka dapat dipastikan kegiatan akan gagal.
Jadi
upaya depolitisasi masa menjelang 1998 tampil dengan model yang berbeda
dibanding pada dekade 1980-an. Jika dulu
ditempuh melalui regulasi dan tindakan represi, namun kali ini pers mahasiswa
lebih digiring pada orientasi-orientasi praktis. Hal tersebut menjadi tantangan
bagi PPMI ke depan sebagai organisasi tanpa sumber daya yang pasti; sehingga
orientasi praktis melalui target dan pencapaian—bukan tidak mungkin—akan
menjadi pilihan. Idealnya lembaga memiliki target dan pencapaian dalam setiap
usaha untuk mencapai tujuan tertentu. Seperti yang diungkapkan Dwidjo, Sekjen
II PPMI periode 1995-1997,41
“Ketika itu salah satu yang kita sadari bersama adalah
tidak ada yang boleh menanyakan target. Sebab jika kebutuhannya adalah
pencapaian target-target, capaian-pencapaian tertentu, maka akan menjadi sangat
pragmatis.
Kita tidak bisa berpikir praktis-pragmatis, tapi itu akan
mengingkari amanat, mau nggak
teman-teman ini dikhianati? Pertanyaannya itu kan? Ya, mudah saja sebetulnya.
Ini kan luar biasa teman-teman masih memulangkan kembali amanat ini kepada
kawan-kawan.
Kawan-kawan PPMI ini orang-orang yang berkorban,
mengorbankan diri tanpa mendapat apapun, membuang-buang waktu untuk mengganggu
studi mereka, belajar berpikir kritis tanpa ada harapan bahwa ia akan
mendapatkan rewards atas apa
yang dia lakukan.
Saat itu ada tawaran, yang mau menjembatani kebutuhan
komunikasi jaringan PPMI di seluruh Indonesia. memberikan fasilitas berupa
internet, sekretariat di Jakarta, dan sebagaianya. Maka kita pulangkan kepada
kawan-kawan mau nggak? Karena
bisa saja pada masa itu sangat mudah untuk menjadi pragmatis.”
Semangat
idealisme pers mahasiswa mengalahkan orientasi praktis dan tawaran-tawaran
seksis yang waktu itu disuguhkan. Selain itu, tawaran kerjasama dengan gerakan
yang lain pun bermunculan. Pernah pula PPMI ditawari untuk dijembatani
dengan aktivis pro-demokrasi dan gerakan-gerakan tradisional underbouw
kepentingan politik. Namun sikap kehati-hatian demi menjaga independensi
menjadi tumpuan utama dalam mengambil keputusan. Karena dengan model struktur
dan bentuk organisasi yang demikian PPMI memang potensial untuk dipengaruhi
kepentingan.
Namun diakui bahwa pada masa itu
aplikasi aktivis pers mahasiswa di setiap daerah sendiri luar biasa, mereka
menjadi motor entitas-entitas gerakan mahasiswa saat itu. Pers mahasiswa
menjadi markas berbagai macam gerakan meski dengan kondisi organisasi yang
belum mapan dan mampu bersikap tegas terhadap keadaan. “Teman-teman itu nggak
boleh satire melihat jaman. Maka jika yang menjadi dia adalah kamu,
maukah kamu berkorban kayak mereka?” tanya Dwidjo42
Maka tidak
heran ketika aktivis pers mahasiswa berorientasi praktis dan menguntungkan maka
organisasi akan ditinggalkan, termasuk PPMI. Apalagi kondisi telah berubah,
represifitas dan otoritarian berganti, hegemoni dan kapitalisme telah berubah
menjadi darah dan daging, serta pola berpikir yang cenderung sangat pragmatis.
Komentar
Posting Komentar