Deklarasi sudah dilakukan.
Perjalanan panjang nan melelahkan mengkonsolidasi pers mahasiswa berujung pada
terbentuknya wadah baru: PPMI. Sebagai organisasi baru, PPMI diharapkan segera
memberesi legalitas keorganisasian, sebagaimana dulu IPMI legal dan diakui oleh
pemerintah. Namun dalam soal ini PPMI tidak mau kompromi lagi. Menempuh jalur
birokrasi akan hanya akan melelahkan, sebab dalam SK Mendikbud No. 0457/0/1990
tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan hanya mengakui format forum
komunikasi dalam skala nasional
bukan yang lainnya.13
Mochtar Lubis dengan lantang menanggapi itu.
“Tidak usah legal-legalan, tidak perlu pengakuan, jalan terus, kalau
berani! Kalau minta legal kepada penguasa sampai kiamat tak akan dikasih!
Karena memang jelas sudah diatur dalam UUD 1945 pasal 28 soal kebebasan
berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat dan pikiran. Justru jika ada
peraturan di bawah UUD yang mebatasi itu menunjukkan pemerintah tidak
konsisten. Bukan kita yang salah.” 14
Ada dua semangat yang muncul kala itu. Pertama,
semangat sosialisasi nilai sebagai pers mahasiswa dan semangat sebagai wadah
untuk meningkatkan kulitas penerbitan. Semangat ini menghimpun dalam
solidaritas dan format kultural, tanpa legalitas. Anggapan yang muncul bahwa
membiarkan pers mahasiswa bersatu sama halnya memelihara anak macan yang suatu
saat akan menerkamnya.15
Kedua, upaya bersama dalam rangka meningkatkan
mutu penerbitan sesuai dengan kebutuhan pers mahasiswa. Sehingga banyaknya
pelatihan yang dilakukan pers mahasiswa akan lebih menunjang dengan adanya
wadah bersama. PPMI menjadi alternatif karena memang masa itu kondisi sangat
represif sehingga kebebasan berekspresi sulit didapatkan. Selain itu juga
sebagai wadah aspirasi dan akomodasi kebutuhan-kebutuhan pers mahasiswa.
Semangat PPMI ditegaskan sebagai bentuk
solidaritas yang didasari oleh komitmen moral dan intelektual untuk menghimpun
potensi pers mahasiswa dalam keberagaman kultur, sosial, ekonomi, dan
geografis.
Upaya legalitas yang direkomendasi pada Kongres
I dengan memanfaatkan celah yang ada akhirnya pupus sudah setelah perwakilan
PPMI menemui Dirmawa, waktu itu diterima oleh Isprayin. Mereka yang menjadi
perwakilan PPMI diantaranya adalah Rommy Fibri, Andreas Ambar, Tyas Zain, Hasan
Aoni Aziz, Asep Wahyu, dan beberapa yang lain.
Menurut Isprayin, PPMI tidak perlu meminta
legalitas karena Dirjen Dikti pun tidak
akan bersedia memberikan legalitas.16
“Semoga hasil pertemuan dan audiensi dengan Isprayin tersebut dapat
menjadikan refleksi dan perenungan bagi kita bilamana masih terbersit keinginan
untuk mencari legalitas dari Dirmawa/Dikti.”17
Hingga akhir periode I ini PPMI belum juga mendapatkan legalitas.
Dengan itu, berakhir pula perdebatan soal legalitas PPMI dan sikronisasi
kurikulum Diklat Jurnalistik PPMI dengan Dikti. Karena legalitas dipandang
bukan hal yang utama melainkan sesuatu yang memang penting dan harus diusahakan—penting karena
sebagai pertimbangan untuk melihat posisi PPMI dalam konstelasi politik
nasional untuk melakukan aktivitas organisasi. Maka kemudian pada Kongres II tahun 1995, PPMI
menegaskan diri tanpa legalitas dan menolak izin apapun yang dikenakan terhadap
pers mahasiswa. Hasil kesepakatan ini disebut sebagai Deklarasi Tegalboto.
Konsolidasi Baru Dimulai
Sebagaimana rekomendasi Kongres I PPMI yang
menyatakan agar Presidium terpilih menghimbau kepada seluruh anggota PPMI
melakukan solidaritas penerbit mahasiswa, maka kerja-kerja konsolidasi pun
dilakukan. PPMI mulai memfokuskan diri pada sosialisasi dan kerja-kerja riil di
wilayah untuk pembentukan forum-forum daerah serta penguatan basis.
Tak mudah memang memutar roda organisasi yang baru berdiri di tanah
rezim represif. Kontak melalui surat pos pun disensor sehingga pesan sering tidak sampai.
Pernah terjadi ketika undangan Kongres I yang dialamatkan ke Ujung Pandang
(Makassar) tidak sampai menyebabkan aktivis pers mahasiswa Ujung Pandang tak
datang di kongres itu. Hal ini mengakibatkan terjadinya konflik internal di
tubuh PPMI. Mereka menganggap tidak diberi surat undangan, padahal panitia
sudah mengirimkannya. Atas
pertimbangan itulah maka kontak langsung adalah jalan satu-satunya.
Setelah kongres, Rommy
Fibri dan Asep Wahyu berangkat ke Ujung Pandang untuk menyelesaikan masalah tersebut sekaligus memenuhi undangan Diklat
dan Temu Aktivis Pers Mahasiswa se-Ujung Pandang yang diselenggarakan oleh
majalah Identitas Universitas Hasanudin.
Selama di sana (23-28 September 1993)
menghasilkan beberapa hal yang dipandang perlu untuk disikapi. Pertama,
rata-rata aktivis pers mahasiswa se-Ujung Pandang yang tergabung dalam
Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Ujung Pandang (PPMU) mendukung dan menyatakan
diri berada di bawah naungan PPMI.
Kedua, berhasil mengklarifikasi soal
keterputusan dan kendala surat-menyurat antar SC Nasional sebelumnya, yang
berakibat pada munculnya berbagai persepsi di kalangan pers mahasiswa Ujung
Pandang dengan daerah lain. Kemudian PPMI akan mencoba memperbaiki keterputusan
komunikasi tersebut dengan langsung dikoordinatori oleh Presidium.
Ketiga, PPMU menggugat posisi Presidium Wilayah
Sulawesi dan Indonesia Bagian Timur (IBT) sebelumnya dan memberi batasan waktu
kurang lebih 3 bulan untuk menyele-saikan atau menyelenggarakan pertemuan
aktivis pers mahasiswa se-Sulawesi dan IBT.
Keempat, PPMU dan Presidium Wilayah Sulawesi dan
IBT sebelumnya mengadakan pertemuan untuk memilih koordinator wilayah Ujung
Pandang pada tanggal 9 Oktober 1993 di
Channel 09, Fakultas Teknik Unhas.
Kelima, Sekjen Presidium dan Presidium Wilayah
Jawa Timur membantu menyalurkan informasi kondisi tersebut ke daerah Palu dan
Manado.
Kemudian
sekitar dua setengah bulan
berikutnya, PPMI menerima pengunduran diri Sekjen Wilayah Sulawesi dan IBT
sebelumnya. Dari sini kemudian dilakukan konsolidasi ke Palu.
“...atas solidaritas dari teman-teman Ujung Pandang, khususnya Mulawarman,
Tomi Lembang, dan Tenry Palallo, kami berdua (Rommy Fibri dan Asep Wahyu)
melanjutkan perjalanan ke Palu lewat jalan darat yang baru beberapa waktu
selesai dibuka.
Di Palu, karena mantan SC Nasional dari Palu, Ridha Saleh, ‘sekolah’ ke
Mesir akhirnya teman Effendi Kindangen berbaik hati memberi inapan dan
tumpangan sekedar menyambung hidup di Palu. Beberapa pembicaraan yang mengarah
ke sosialisasi dan konsolidasi kekuatan telah dicoba, namun agaknya Palu belum
memiliki dan belum tersistematisir untuk mengembangkan forum kota. Atau bahkan,
mungkin para aktivis pers mahasiswa Palu belum melihat urgensi dan kejelasan
visi dari PPMI. Sehingga selama di Palu seolah kami melakukan sosialisasi dari
awal dan merekatkan lagi sillaturahmi yang hampir selama setahun vakum
komunikasi.
Meskipun begitu, selama sekitar 29 September – 5 Oktober 1993, kami diberi
kesempatan oleh para aktivis di Palu untuk bersosialisasi lewat pengisian
materi dalam acara Sarasehan Penerbitan Kampus Mahasiswa oleh Majalah Mahaswara Fakultas Pertanian
Universitas Tadulako.”18
Kendala teknis terlihat di sini, seperti
terputusnya transformasi di daerah karena aktivis sebelumnya tidak melakukan
konsolidasi, ditambah dengan cepatnya pergantian pengurus pers mahasiswa yang
rata-rata hanya satu tahun.
Konsolidasi kemudian dilanjutkan ke Manado. Atas
fasilitasi Majalah Inovasi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), pada
tanggal 8 Oktober 1993 diadakan pertemuan pers mahasiswa se-Sulawesi Utara.
Dari pertemuan tersebut menyepakati terbentuknya PPMI daerah Sulawesi Utara dan
Willem Wetik (Inovasi) sebagai ketuanya.
Masa kepengurusan periode I adalah dua tahun,
dengan catatan bahwa mereka tidak boleh lulus kuliah sebelum masa jabatan
berakhir. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin komitmen moral kepengurusan.
Dari Manado, konsolidasi berlanjut ke Malang
dengan memanfaatkan forum diklat yang diselenggarakan oleh Unitas Universitas
Brawijaya Malang. Kemudian ke Ciputat,19 yang sekaligus berhasil menetapkan Kurikulum
Diklat PPMI. Kurikulum sebelumnya telah
dirumuskan oleh Tim Khusus Kurikulum Diklat.20
Jalinan emosional-kultural terus dibangun.
Berikutnya konsolidasi dilakukan dalam momen Jambore Jurnalistik yang
diselenggarakan oleh Forum Pers Mahasiswa Bandung (FPMB). Pertemuan ini salah
satunya bertujuan untuk menjalin keakraban antaraktivis pers mahasiswa
se-Bandung. Setidaknya dari sini poros Yogya-Bandung semakin erat.
Selanjutnya, konsolidasi mengarah ke Kalimantan.21 Di Pontianak, PPMI bertemu dengan para aktivis
pers mahasiswa. Pertemuan ini akhirnya melahirkan Forum Pers Mahasiswa se-Kalimantan Barat dan M.
Amsyar (Info Oikosnomos FE Untan) sebagai ketuanya. Sedangkan wilayah
Banjarmasin, Kalimantan Selatan, belum dapat langsung berkoordinasi karena
kendala transportasi.22
Karena dirasa sulit dan kurang memungkinkan,
maka konsolidasi kembali dilakukan di Jawa Tengah dan sekitarnya. Di Solo, pada
Desember 1993, dirintis pembentukan secara formal forum kota se-Surakarta, yang
kemudian disahkan pada 21 April 1995 dengan nama Perhimpunan Penerbit Mahasiswa
Surakarta (PPMS) dengan Cecep (Majalah Bara Universitas Islam Batik Solo) sebagai
ketuanya.
Beralih ke Jombang, Sarasehan Pers Mahasiswa se-Indonesia
diselenggarakan oleh Tabloid Merdeka Universitas Darul Ulum pada 13
Desember 1994. Sarasehan tersebut lantas merumuskan lanjutan konsolidasi dengan
pendelegasi dan mandat kepada aktivis pers mahasiswa perwakilan kota untuk
segera membentuk Dewan Kota bagi yang belum terbentuk atau tidak aktif forum
kotanya. Beberapa diantara yang diberi mandat hasil kesepakatan tersebut yakni,
Affan Zaldi (SKM Teknokra Unila) di Lampung, A’an Rusdianto (Hayamwuruk
FS Undip) Semarang, Ahmad Hussein (Pabelan Pos UMS) Surakarta, I Gede
Budane (Akademika Unud) Denpasar, M. Amsyar (Info Oikosnomos
Untan) Pontianak, Subchan (Majalah Reaksi FT Unhas) Ujung Pandang, Isa
Ansori (SKM Kinday Univeristas Lambung Mangkurat), Alfie Syahdiar (Memi
Unsoed) Purwokerto, M. Ismail (UKPKM Unej) Jember, dan Helmy Supriyanto
(SKM Klik UWK) di Surabaya.23
Kabar dari Sumatera, para aktivis pers mahasiswa membagi tiga wilayah
koordinasi. Wilayah Aceh dan Sumatera Utara dengan mediator Iskandar Muda
Hasibuan (Majalah Wacana FS USU); wilayah Sumatera Barat, Riau, dan
Jambi dengan mediator Rudi Rusli (SKM Genta Universitas Andalas); dan
wilayah bagian selatan berpusat di SKM Teknokra Unila Lampung.24
Namun, hasil sosialisasi dan
konsolidasi di Sumatera belum maksimal sehingga hanya Sumatera bagian Selatan
yang berjalan baik. Hal ini karena generasi bawahnya atau lapis bawah mediator
kurang memahami fungsi mediator dan keberadaan PPMI. Disamping itu juga karena
faktor terlalu cepatnya pergantian pengurus pers mahasiswa yang rata-rata
setahun sudah berganti. Sehingga hubungan secara organisasional yang berjalan
hanya dengan Sumatera bagian Selatan, sedangkan selain itu hanya hubungan
pertemanan.
Begitu pula di Jakarta, hasil konsolidasi belum
maksimal. Peta politik yang santer membuat mediator wilayah Jakarta lebih
defensif.25 Demikian langkah-langkah sosialisasi dan
konsolidasi yang dilakukan oleh Presidium periode I. Belum usai memang. Namun
paling tidak telah membuat PPMI lebih mengakar. Di sisi lain sikap PPMI kurang
maksimal dalam hal advokasi. Hal itu yang menjadi catatan memasuki periode II
1995-1997.
“Kami mengakui, dalam mengayuh arus politik, PPMI masih dirasa mandul.
Akselerasi dan respon politik nasional PPMI masih jauh dari cukup untuk
dikatakan responsif atau bahkan radikal. Yang bisa dicapai oleh Presidium PPMI
periode 1993-1995 ini hanyalah dalam manifest advokasi, tak lebih dari sekedar
itu.”26
Konsolidasi perlu terus-menerus dilakukan, baik
di kota, wilayah maupun nasional. Hal ini disadari menjadi bagian penting dalam
upaya soliditas basis dan penggalangan kekuatan riil PPMI.
Komentar
Posting Komentar