Langsung ke konten utama

Lika-Liku Menuju Wadah Baru (Sejarah Pers Mahsiswa Indonesia)


      Setelah lelap dalam kevakuman cukup panjang, dari awal hingga medio dekade 1980, pers mahasiswa (persma) mulai melakukan konsolidasi di beberapa daerah pada akhir dekade itu. Berbagai kegiatan dilakukan, mulai dari pelatihan hingga konsolidasi gerakan. Seperti di Jakarta-Yogyakarta, lalu meluas ke kota-kota lainnya. Di Universitas Negeri Surakarta (UNS) pada November 1990, Januari 1991 di Universitas Negeri Jember (Unej). Dari rangkaian pertemuan tersebut akhirnya merekomendasikan terbentuknya Forum Komunikasi Pers Mahasiswa se-Jawa.1 Niatan itu kemudian ditindaklanjuti pada Februari di Gedung Wanagama Yogyakarta.2
     Pertemuan di Wanagama yang dihelat pada 6-7 Februari 1991 ini berhasil mengikat kesepakatan untuk membentuk wadah tunggal bagi pers mahasiswa. Pertemuan ini sebenarnya temu alumni yang awalnya ingin menggagas adanya Kongres IPMI. Tetapi peserta bereaksi, dan terjadilah perdebatan. Ada yang tetap menginginkan Kongres IPMI dan ada yang menghendaki kongres dengan wadah baru. Akhirnya ditetapkan bahwa pers mahasiswa butuh wadah. Entah itu IPMI, entah itu apa namanya. Maka dibentuklah Badan Pekerja (BP) yang bertugas untuk menyelenggarakan forum yang terserah itu.3
     Wahyudi merekam bahwa ada tiga keputusan penting pada forum ini.4 Pertama, kesepakatan tentang orientasi pers mahasiswa ke arah profesionalisme dan fungsionalisme. Profesionalisme dalam artian bukan profit oriented namun dalam pemahaman pengelolaan organisasi yang diharapkan mampu meningkatkan efisiensi kerja dan mendorong kemandirian. Sementara fungsionalisme dimaksudkan dalam upaya pewujudan keterpaduan antara fungsi mahasiswa sebagai intelektual muda dan fungsi pers sebagai media.
     Kedua, peserta sepakat tentang diperlukannya wadah bagi pers mahasiswa se-Indonesia. Segala permasalahan terkait pembentukan wadah tersebut akan dibicarakan pada pertemuan pers mahasiswa selanjutnya, yang dianggap sebagai Pra-Kongres. Maka, forum menyepakati IKIP Bandung sebagai penyelenggara pertemuan berikutnya dan Universitas Udayana Bali sebagai alternatif kedua.5 
     Optimisme gerakan pers mahasiswa mulai tampak jelas. Di Wanagama ini, Badan Pekerja yang kemudian dikenal dengan Steering Commitee (SC) Nasional dibentuk untuk memfasilitasi pertemuan-pertemuan lanjutan. Badan Pekerja ini pula disebut panitia ad hoc karena tugasnya untuk mempersiapkan forum pertemuan berikutnya sebagai tindak lanjut butir I panitia ad hoc.

     Panitia ad hoc (SC) Pra-Kongres berjumlah 11 orang, terdiri dari Tri Suparyanto (Pendapa UST) delegasi DIY sebagai koordinator, dengan wakil Okky Satrio (Komentar Universitas Moestopo) delegasi DKI Jakarta, dan beranggotakan: Zainul Aryadi (Kreatif IKIP Medan) delegasi DI Aceh, Sumut, Riau, Sumbar; Ariansyah (Teknokra Unila Lampung) delegasi Lampung, Jambi, Sumsel, dan Bengkulu; Tugas Suprianto (Isola Pos IKIP Bandung) delegasi Jawa Barat; Adi Nugroho (Manunggal Undip Semarang) delegasi Jawa Tengah; Heyder Affan Akkaf (Mimbar Unibra) delegasi Jawa Timur; I Gusti Putu Artha (Akademika Univ. Udayana Bali) delegasi Bali, NTB, NTT, dan Timor-timur; Mulawarman (Identitas Unhas) delegasi Sulsel, Sulteng, Sultra, Sulut; Alimun Hakim (Kinday Univ. Lambung Mangkurat) delegasi Kalteng, Kalsel, Kalbar, dan Kaltim; RH. Siahainenia (Univ. Patimura) delegasi Maluku dan Irian Jaya.6 
     Panitia ad hoc punya tugas-tugas yang intinya mengkoordinir kegiatan sampai terselenggaranya kongres wadah baru pers mahasiswa. Seiring dengan rencana akan diselenggarakannya kongres untuk wadah baru tersebut, perdebatan tentang IPMI pun berakhir. “Jadi jelas, kongresnya bukan Kongres IPMI,” terang Tri Suparyanto. Karena realitanya pers mahasiswa butuh wadah, sedangkan kondisinya waktu itu cerai berai, tidak bisa dikonsolidasi.
     Steering Commitee Nasional yang bertujuan untuk terus mengupayakan pertemuan-pertemuan lanjutan ini juga menghimpun pers mahasiswa di tingkat daerah. Maka kemudian bermunculan kantong-kantong pers mahasiswa di daerah yang kelak bakal menjadi cabang bagi organisasi nasional yang akan dibentuk itu.8 Sejak Juni sampai Oktober 1991, sudah terbentuk perhimpunan-perhimpunan di tingkat wilayah/kota. Seperti Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Yogyakarta (PPMY)9 di Yogyakarta dan Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Malang (PPMM) di Malang. “Pokoknya kalau belum bisa di tingkat nasional, perlu masing-masing di tingkat wilayah melakukan konsolidasi dulu,” jelas Abdul Rahman Ma’mun.10 
Maka, sangat tidak tepat jika kemudian setelah tahun 2000-an terjadi benturan antara PPMI dengan organisasi pers mahasiswa di tingkat wilayah/kota itu, seperti di Malang (PPMM) dan di Jember (Forum Pers Mahasiswa Jember atau FPMJ). Salah satu sebabnya adalah ketidakindependensian pandangan aktivis pers mahasiswa yang terlibat di PPMI dalam menyikapi keanggotaan PPMI dan klaim tentang ketunggalan wadah pers mahasiswa, selain memang mereka aktif di organisasi lain di tingkat kota/wilayah tersebut.

Tak Semudah Membayangkan
      Setelah melalui beberapa pertimbangan, akhirnya IKIP Bandung dipilih sebagai tempat Pra-Kongres. “Jalan Panjang Menuju Wadah Tunggal Pers Mahasiswa Indonesia,” tulis Majalah Himmah.11
     Namun ternyata tidak semudah seperti yang direncanakan. Pertemuan yang sedianya dilaksanakan tanggal 8-10 Juli 1991 ini dihadang dengan Surat Edaran dari Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 05/SE/Ditjen PPG/1991 tertanggal 1 April tentang Pengaturan Penggunaan Pengurus Pers Pahasiswa, Pemimpin Umum diganti dengan Ketua Pengarah, dan Pemimpin Redaksi diganti dengan Ketua Penyunting. Selain itu juga memuat aturan isi pemberitaan yang harus mencerminkan ciri-ciri akademis dan tidak menyajikan berita politik praktis.
     Selang dua bulan kemudian, tepatnya pada 1 Juli 1991, Direktur Kemahasiswaan Depdikbud mengeluarkan surat No. 547/D5.5/U/1991 tentang tidak diberikannya rekomendasi penyelenggaraan “Sarasehan Penerbitan Mahasiswa se-Indonesia”. Dengan pertimbangan: (1) Berdasarkan pengalaman selama ini tentang berbagai kegiatan penerbitan kampus mahasiswa ternyata: (a) Kegiatan tersebut tidak menunjukkan kejelasan sasaran yang ingin dicapai, dan (b) Panitia tidak pernah memberikan laporan penyelenggaraan kepada Direktorat Kemahasiswaan; (2) Berdasarkan hasil pemantauan Direktorat Kemahasiswaan terhadap “Temu Aktivis Penerbitan Kampus Se-Indonesia” yang diselenggarakan di Wonosari Yogyakarta (6-9 Februari 1991) ternyata kegiatan tersebut tidak menunjukkan citra forum akademik sebagaimana layaknya perguruan tinggi; (3) Direktorat Kemahasiswaan telah memprogramkan Latihan Keterampilan Penerbitan Kampus Tingkat Pembina 1991/1992 yang akan diselenggarakan pada Januari 1992 di Universitas Lampung yang merupakan keputusan Rakernas Pembantu Rektor III-1991.12
     Keluarnya surat ini cukup membuat panitia kerepotan karena diterima menjelang hari berlangsungnya acara. Bahkan beberapa peserta dari berbagai daerah sudah mulai berdatangan, termasuk di antaranya adalah dari Kalimantan, Bali, Sumatera, dan Jawa Tengah. Dampak dari surat tersebut hampir membuat acara batal. Tapi akhirnya pihak kampus tidak keberatan melalui PR III-nya memberi kesempatan bagi berlangsungnya acara meski dengan catatan batasan waktu.
     Acara pun dimulai dengan sederhana dan dipersingkat, mengingat waktu yang mendesak. Hingga tanggal 9 Juli 1991, menyepakati bahwa wadah tunggal pers mahasiswa perlu dan mendesak dibentuk. Sarasehan di Isola Pos IKIP Bandung atau yang disebut Pra-Kongres ini kemudian mengubah format acara menjadi Bandung Informal Meeting, karena pertemuan yang direncanakan tersebut akan menghasilkan beberapa keputusan tentang perangkat-perangkat organisasi, seperti komisi I membahas AD/ART, komisi II membahas rancangan GBHK, dan ditambah komisi khusus untuk membahas surat dari Dikti tersebut.
     Sidang berlangsung di Gedung Garnadi IKIP Bandung dan dimulai sekitar pukul 12.00 WIB. Tiba-tiba pihak kampus menginginkan forum selesai pukul 13.00 WIB hari itu juga, tanggal 9 Juli 1991. Kondisi peserta memanas disusul seorang dosen yang mengaku mewakili PR III meminta pengertian kepada peserta. Pihak kampus intinya tidak ingin nama baik kampus tercemar. Peserta pun ricuh, suasana benar-benar chaos. Masing-masing peserta memaksakan kehendaknya. Waktu terus menyempit padahal forum dituntut harus menghasilkan suatu keputusan.
     Forum yang memanas ini kemudian diambil alih oleh panitia untuk segera ditutup. Sebelumnya, sidang sempat menetapkan hasil pembahasan komisi C, namun belum sampai pada komisi A dan komisi B, apalagi pembahasannya. Akhirnya sidang di-skorsing sampai pada waktu yang tidak ditentukan (sampai pertemuan berikutnya). Banyak peserta yang tidak puas.  Dalam suasana yang kacau itu, salah satu peserta naik ke panggung dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Semua peserta ikut bernyanyi, khidmat dan mengharukan. Jauh berbeda dengan beberapa saat sebelumnya ketika mereka bertengkar dalam persidangan. Terlihat adanya persatuan dan kebersamaan, bahkan banyak yang sempat meneteskan air mata.13
     Akhirnya, forum diputuskan untuk dilanjutkan di luar IKIP Bandung, yakni di Kebun Binatang Bandung pada pukul 16.00 WIB. Setelah sebelumnya Tim SC bersidang memutuskan akan diadakan Pra-Kongres lagi di Lampung dan Kongresnya di Palu.14
     Ketika forum dilanjutkan itu, sepenuturan Tri Suparyanto, forum pindah ke kebun binatang namun tidak lagi kuorum setelah dibubarkan oleh PR III atas nama pihak keamanan dan Dirjen tidak mengizinkan lagi malam itu.
     “Pokoknya tidak boleh, kita kocar-kacir. Ada aparat, banyak intel itu. Ada yang nyasar, ada yang tidak sampai dan ada yang tidak berani. Artinya wong sudah tahu banyak aparat akhirnya tidak berani. Akhirnya tidak kuorum. Karena tidak kuorum akhirnya perlu ditindaklanjuti dengan pertemuan berikutnya,” papar Tri15
     Sekitar 35 dari 112 peserta meneruskan pembahasan di kebun binatang tanpa sepengetahuan aparat manapun. Pertemuan lanjutan itu kemudian disebut Bandung Informal Meeting. Dari sini nama dan AD/ART Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan program kerja itu sudah disepakati meski belum disahkan karena belum memenuhi kuorum.
     Selain itu, forum juga menyepakati mengirimkan delegasi untuk berdialog dengan Direktur Kemahasiswaan, Enoch Markum di Jakarta. Maka diputuskan tiga juru bicara,16 yaitu Didik Supriyanto (UGM), M. Ridha Saleh (Universitas Tadulako), dan Usman Hassan (IKIP Jakarta). Sementara anggota delegasi dilarang membawa poster. Hal ini untuk menjaga ketertiban dialog.
     Delegasi sampai di Jakarta pada 10 Juli 1991, tapi Enoch sibuk dan tidak mau ditemui. “Saya tidak punya jadwal bertemu dengan kalian,” katanya. Niat baik mahasiswa ini tidak ditanggapi semestinya. Maka mereka yang terdiri dari 30 orang itu menemui DPR RI, diterima oleh Wakil Ketua FPP (Fraksi Persatuan Pembangunan). Namun pengaduan atas SK Direktur Kemahasiswaan Depdikbud itu hanya ditampung dan tidak lagi terdengar kabarnya.17 
     Dari Jakarta, tiga delegasi diutus —mereka adalah Didik Supriyanto, M. Ridha Saleh, dan Zainul Aryadi (IKIP Medan)—berangkat ke Lampung bersama dengan panitia ad hoc. Tujuannya adalah melakukan konsolidasi dan meminta kesediaan pihak Universitas Lampung (UNILA) menjadi tuan rumah pertemuan pers mahasiswa berikutnya. Untuk meminimalisir kecurigaan, maka pertemuan tersebut dikonsep dalam bentuk “Latihan Ketrampilan Penerbitan Mahasiswa”. Beruntung pihak Pembantu Rektor III Unila bersedia.
     Sepulang dari Lampung, Didik Supriyanto dan Tri Suparyanto berusaha menemui Pembantu Rektor III IKIP Bandung guna mendapatkan pengesahan dari pertemuan sebelumnya di Bandung. Namun nasib baik agaknya tidak berpihak, Pembantu Rektor III ternyata sudah bertolak ke Spanyol. Karena tidak berhasil berjumpa dengan PR III IKIP Bandung, mereka kemudian berusaha menemui lagi PR III Universitas Lampung. Tapi sayangnya yang bersangkutan tidak bisa ditemui juga. Menurut sumber Balairung UGM menyebutkan, Pembantu Rektor III Unila berusaha menghindar.18 Kemudian Didik Supriyanto dan Tri Suparyanto berusaha menemui sekali lagi Direktur Kemahasiswaan Depdikbud di Jakarta. Hasilnya sama dengan sebelumnya, Enoch menolak untuk ditemui.
     Kegagalan beruntun itu rupanya tidak membuat mereka down tetapi justru kian bersemangat. Sebuah pelajaran bagaimana sulitnya menerobos keangkuhan birokrasi. Setelah itu konsolidasi semakin masif dilakukan di daerah-daerah dengan membentuk forum-forum komunikasi pers mahasiswa. Hasilnya, di Malang terbentuk Forum Komunikasi Penerbitan Mahasiswa Malang. Di Yogyakarta, lahir Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Yogyakarta. Pun demikian juga di Jakarta, Bali dan Nusa Tenggara, Ujung Pandang, dan daerah-daerah lainnya.
     Pada tanggal 19–23 November 1991, sesuai dengan kesepakatan dengan Pembantu Rektor III Unila, maka digelar Latihan Ketrampilan Penerbitan Kampus Mahasiswa Tingkat Pembina Se-Indonesia di Teknokra Universitas Lampung. SC atau panitia ad hoc berusaha memanfaatkan momen ini untuk mematangkan persiapan pembentukan wadah baru. Sebab di satu sisi, pers mahasiswa mendesak agar sesegera mungkin melaksanakan pertemuan bagi terbentuknya wadah penerbitan kampus mahasiswa. Jika tuntutan tidak dipenuhi maka, pertama, SC harus mempertanggungjawabkan tugas yang telah dimandatkan itu kepada seluruh aktivis penerbitan kampus se-Indonesia; kedua, SC harus menyerahkan mandat yang ada kepada aktivis penerbitan kampus se-Indonesia. Hal ini merupakan bentuk akselerasi SC Nasional demi terbentuknya wadah baru tersebut.
     Forum di Unila ini ternyata tidak banyak dihadiri oleh pengurus pers mahasiswa melainkan anggota pers mahasiswa yang baru, yang belum tahu banyak tentang rencana pembentukan wadah baru itu. Melihat kondisi yang tidak memungkinkan diadakannya pembahasan mengenai perencanaan wadah baru, maka momen tersebut hanya dipakai untuk melangsungkan pelatihan jurnalistik dan rangkaian acara lainnya. Mengenai rencana wadah baru, forum hanya menentukan tempat konsolidasi berikutnya. “Yang datang anak-anak baru, yang tua-tua nggak datang, karena PR mengutus yang muda-muda. Ngapain yang tua? Jadinya, ya, cuma diklat aja,” jelas Tri Suparyanto, Koordinator SC Nasional.19 
     Pertemuan berikutnya di Universitas Gajayana Malang pada 20 Desember 1991. Karena yang hadir ternyata hanya se-Jawa, maka kesempatan ini hanya membahas seputar program-program kerja berikutnya. Rancangan program kerja PPMI pun dirumuskan. Keinginan turut menyuarakan aspirasi mahasiswa dan masyarakat dengan meningkatkan kesadaran kritis sepertinya menjadi semangat  pembentukan lembaga ini. Seperti termaktub dalam poin ketiga rumusan umum, yaitu menciptakan penerbitan mahasiswa sebagai sarana pembentuk pendapat umum di kalangan mahasiswa ke arah kreatifitas kritis dan dinamis.20 
     Setelah itu pertemuan-pertemuan terlihat vakum selama sepuluh bulan karena tidak ada forum selevel regional atau nasional. Namun konsolidasi di daerah-daerah tetap berjalan. Bahkan secara resmi, beberapa kota membentuk forum-forum kekuatan di tingkatan basis. Perintisan pembentukan forum tersebut diniatkan untuk memperlancar konsolidasi dan mempererat hubungan antar kota, sehingga kendala personal dapat diatasi.21 Melalui jalan komunikasi secara personal, negosiasi, dan sebagainya, penjajagan terus berlangsung hingga mendapatkan izin untuk mengadakan Lokakarya Penerbitan Mahasiswa Se-Indonesia dan Diklat Dasar X se-Jawa Timur pada 14-18 Oktober 1992 di UAKPM Universitas Brawijaya Malang.

Dilema Soal Nama; Penerbitan atau Pers?
     Pilihan soal nama antara ‘pers’ dan ‘penerbitan’ pada waktu itu melahirkan debat sengit yang hampir tidak berujung. Sebagian memilih kata ‘penerbitan’ sebagai jalan kompromi atas situasi politik yang tidak berpihak saat itu. Sementara yang lain tetap ngotot dengan pilihan kata ‘pers’ agar fungsi kontrolnya tidak disempitkan.
     Penggunaan nama ‘penerbitan’, bukan ‘pers’, adalah pilihan kompromis. Mengingat dikeluarkannya Surat Edaran Dikti No. 849/D/T/1989. Pun Peraturan Penerangan No. 01/1975 yang menggolongkan pers mahasiswa ke dalam kategori penerbitan khusus.22 Karena Menpen menilai hanya ada satu pers nasional yang diatur melalui SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Sedangkan penerbitan khusus diatur dengan STT (Surat Tanda Terbit).
     Penggunaan penerbitan khusus dimaksudkan untuk tidak bersifat politis, tetapi lebih diarahkan pada teknis keilmuan dan kejuruan. Depolitisasi kemudian diperketat dengan Surat Edaran Direktorat Jenderal PPG Nomor 05/SE/Ditjen/PPG/1991 tentang Operasional Penerbitan Khusus. Tidak hanya itu, isi Surat Edaran Dikti No. 849/D/T/1989 ternyata juga mengklasifikasi ragam pers mahasiswa melalui ragam istilah.23 Seperti Pemimpin Umum diganti Pengarah, Pemimpin Redaksi diganti Penyunting. Hal ini sebagai salah satu upaya untuk mereduksi arti pers itu sendiri.
     T. Jacob, Mantan ketua IWMI (Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia) berkomentar, “Biar pakai nama setan tidak jadi soal, asal dia jalan!”24 Baginya, yang penting adalah produknya. Mengenai nama tidak jadi permasalahan karena dalam realitanya pun tetap memerankan diri sebagai pers. Heydar Affan Alkaff menyebut penggunaan ini hanya sebuah bentuk kompromi saja. Meski begitu, diakui, penggunaan istilah itu telah berpengaruh pada orientasi pemberitaan dan format terbitan yang membatasi dan menyiutkan nyali untuk menjalankan fungsi kontrol.25 
     Istilah penerbitan lebih lunak karena memang Orde Baru tidak menginginkan pers mahasiswa hidup di dalam kampus. Agaknya Orba masih trauma dengan pers mahasiswa. Karena sensitif dengan kata  ‘pers’ oleh mahasiswa, maka penggunaan istilah itu pun dipersoalkan. Bagi Rektor di beberapa kampus, pers itu seperti menjadi momok yang menakutkan.26
     Gara-gara menggunakan kata ‘pers’, kunjungan aktivis pers mahasiswa Yogyakarta ke Universitas Brawijaya Malang ditolak.27 Hanya karena ada kata ‘pers’-nya. Pihak kampus menganggap itu bukan wilayah kemahasiswaan di dalam kampus.
     Gagasan-gagasan yang muncul dari yang lunak sampai yang radikal pun menyeruak. “Kenapa tidak dilawan sekalian, meski tidak ada rujukan soal aturan. Tidak ada urusan,” kata sebagian peserta Kongres I PPMI tahun 1993. Debat soal nama ini begitu sengit hingga tak didapat kata sepakat. Kemudian, Tri Suparyanto sebagai Koordinator SC, mengusulkan agar Sekjen dan Presidium yang lain mencoba ke Ditjen Dikti. Kalau mereka tidak memberikan respon, baik positif maupun negatif, maka sekalian melawan, kita ubah menjadi pers mahasiswa.28 
     Benar adanya. Setelah ke Dikti, ternyata tidak ada respon soal itu. Dikti justru tidak mempersoalkan soal istilah (pers atau penerbitan) dan organisasi (PPMI). Mereka tidak mau tahu karena sebenarnya itu tidak ada aturan dan kategorinya apa PPMI itu. Yang ada waktu itu hanya organisasi di tingkat kampus, seperti Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi Indonesia (SMPTI) dan kepemudaan, yakni KNPI. Sedangkan PPMI tidak masuk ke dalam kedua kategori tersebut. Jika masuk dalam KNPI, tentu timbul dua masalah. Pertama, berbeda orientasinya. Kedua, waktu itu tahun 1990-an KNPI dinilai sebagai kepanjangan tangan pemerintah.29 Lantas untuk apa membentuk PPMI kalau kemudian hanya berada di bawah KNPI.
     Karena banyak yang ingin mengfungsikan sebagai pers mahasiswa, tidak hanya menjadi penerbitan, maka perlu dimatangkan di tingkatan nasional. Hal ini baru dapat terealisasi ketika Kongres II PPMI di Jember dengan keputusan Deklarasi Tegalboto yang menolak berbagai jenis perijinan yang diberlakukan terhadap pers mahasiswa. Rommy Fibri memaparkan perdebatan penggunaan istilah itu semasa periodenya, 1993-1995:
     “Kita tak ingin juga, terjadi perpecahan hanya karena penggunaan nama. Maka kompromi itu dilakukan. Bukan karena faktor eksternal tapi karena menghindari terjadinya perpecahan internal di tubuh PPMI. Karena menyadari banyak aktivis pers mahasiswa yang akrab di kampus, soft dengan politik, dan ada juga yang radikal yang jiwa pers memandang penggunaan istilah penerbitan terlalu lunak. Meski kenyataannya waktu itu sudah kecenderungannya mengarah pada fungsi pers mahasiswa.”30 
     Demikian jalan tengah yang ditempuh. Dengan adanya wadah ini, harapannya mampu membangkitkan kembali kehidupan pers mahasiswa yang waktu itu redup. Dengan upaya pelembagaan atau pengorganisasian, solidaritas pers mahasiswa di dalam lembaga tersebut akan muncul. Tidak perlu legalitas dan pengakuan dari siapa pun. Ada kesamaan yang tumbuh melalui kesadaran yang sama-sama lahir dari satu rahim. Setidaknya itu menjadi bargaining position untuk memperkuat pers mahasiswa. Tri Suparyanto menuturkan soal wadah baru ini:
     “Secara internal lembaga berfungsi untuk meningkatkan mutu penerbitan dan sosialisasi nilai. Sedangkan fungsi eksternalnya, memperkuat posisi tawar pers mahasiswa dengan penguasa, baik dengan birokrasi kampus maupun pemerintah. Salah satunya adalah dengan membentuk opini publik. Sekitar 200 penerbitan mahasiswa yang bertebaran di negeri ini tentu sangat potensial. Itu secara vertikal. Lalu secara horizontal adalah posisi tawar di hadapan masyarakat pembacanya. Posisi ini menjadi semacam gerakan penyadaran.”31
     Nama sudah tercetus ketika pertemuan di Bandung itu. Namun karena belum kuorum maka perlu ada pertemuan berikutnya untuk dideklarasikan. Sehingga sarasehan dan Lokakarya di Malang itu sudah tinggal mengesahkan saja. Selain itu beberapa rancangan sudah tersusun seperti AD/ART dan GBHK.
     Upaya-upaya itu terus dilakukan, di antaranya di UI Depok, Unila Lampung, Bali, Sulawesi Selatan, lalu di Gajayana Malang,32 dan memuncak di Unibraw Malang.33 Perlu dicatat bahwa pertemuan formal ini terasa besar karena nebeng forum pers mahasiswa baik berupa temu aktivis, sarasehan, maupun pelatihan. Di luar pertemuan semacam ini sering dan banyak dilakukan, tapi tidak pernah didokumentasikan ataupun bila ada penulis belum ditemukan data tersebut.

Baru Dimulai dari Sini
     “PPMI Lahir di Malang,” tulis SKM Sketsa halaman depan.34 Pada pukul 16.29 WIB tanggal 15 Oktober 199235 sidang menetapkan berdirinya Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesa (PPMI)36 yang ditandatangani oleh Tri Suparyanto sebagai Ketua Sidang dan Ines Wuri Handayani, Sekretaris Sidang. Suatu hasil perjalanan panjang dari kerinduan mewujudkan wadah baru bagi pers mahasiswa.
     Sebelum deklarasi di Malang digelar, beberapa orang mematangkan konsep deklarasi. Menurut Tri Suparyanto37 di antaranya adalah Sholeh U. G., Wigyo, Heyder Affan Akkaf, Rohman Budiyanto, Tugas Suprianto, Rahman Ma’mun, dan Rommy Fibri, ditambah I Gusti Putu Artha, Mulawarman, dan anggota panitia ad hoc lainnya.
     Pertemuan Lokakarya Penerbitan Mahasiswa Indonesia (LPMI) pada 15-17 Oktober 1992 oleh Unit Aktivitas Penerbitan Kampus Mahasiswa Unibraw Malang ini diikuti oleh 72 peserta dari 37 PTN dan PTS se-Indonesia. Inilah pernyataan bergabungnya Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) yang ada diperguruan tinggi dalam organisasi yang diberi nama PPMI. Selain menghasilkan terbentuknya wadah tingkat nasional, juga menetapkan AD/ART dan program kerja PPMI, serta Kurikulum Pendidikan dan Latihan (Diklat) jurnalistik mahasiswa.
     Seluruh hasil tersebut sebelumnya dibahas dalam empat Komisi: Komisi I LPMI membahas rumusan tentang AD/ART; Komisi II tentang rumusan program kerja PPMI; Komisi III tentang Kurikulum Diklat Jurnalistik Mahasiswa; dan Komisi IV tentang rekomendasi khusus membahas tempat alternatif pertemuan berikutnya dan sekaligus pelaksana Kongres I PPMI.38 Beberapa usulan39 dalam pertemuan itu yang menuntut untuk segera direspon oleh PPMI saat itu juga adalah sebagai berikut:
1) Membahas struktur organisasi penerbitan mahasiswa di fakultas yang ada di bawah Senat Mahasiswa Fakultas (SMF). Karena berkenaan dengan SK Mendikbud 0457/U/1990 tentang pedoman organiasi kemahasiswaan di PT, yang menyebutkan bahwa lembaga kemahasiswaan di fakultas adalah HMJ, SMF, dan BPM. Adapun penerbitan kampus mahasiswa berada di bawah SMF.
2) Meminta PPMI untuk menjernihkan prosedur dan mekanisme pembredelan, penghentian, pembekuan setiap penerbitan mahasiswa, juga status anggota/pengurus mahasiswa dari nonmahasiswa
3) Meminta PPMI untuk mengeluarkan sikap sehubungan dengan penarikan majalah Vokal IKIP PGRI Semarang yang dicekal terbit.
4) Mengharuskan PPMI membantu bagi penerbitan maha-siswa untuk memperoleh Surat Izin Terbit (SIT).
     Lalu, disepakati adanya pertemuan lanjutan PPMI guna kesiapan sekiranya akan diselenggarakan April–Mei/Juni 1993 di Bali. Untuk itu maka dibentuk panitia ad hoc yang bertugas sebagai SC Panitia Kongres I PPMI. Jadi panitia ad hoc bentukan Wanagama belum selesai hingga terselenggaranya Kongres wadah baru (PPMI). Sedangkan beberapa anggota panitia ad hoc sudah lulus kuliah dan non aktif. Maka pada pertemuan ini merestrukturisasi anggota panitia ad hoc tersebut. Terbentuk panitia ad hoc jilid II yang masih dikoordinatori oleh Tri Suparyanto.40 Berikut anggota-anggotanya:
-    Koordinator: Tri Suparyanto/Pendapa UST(Delegasi DIY), dengan Anggota:
-    Tugas Suprianto/Isola Pos IKIP Bandung (Delegasi Jawa Barat),
-    Arief Adi Kuswardono/Manunggal Undip (Delegasi Jateng) 
-    Wignyo Adiyoso/Ketawang Gede Unibraw (Delegasi Jatim) 
-    Okky satrio/Komentar Universitas Mustopo (Delegasi DKI Jakarta),
-    Aldrin Jaya Hirpathano/Teknokra Unila (Delegasi Sumbagsel),
-    I Wayan Ananta Widjaya/Akademika Unud (Delegasi Bali, NTT, NTB, Timor-timor),
-    M. Ridha Saleh/Format Universitas Tadulako (Delegasi Sulawesi),
-    Alimun Hakim/Kinday Universitas Lambung Mangkurat (Delegasi Kalimantan),
-    Yon Soukotta/ Universitas Patimura (Delegasi Maluku dan Irian Jaya).
     Usaha ini sebenarnya telah dirintis sejak 1987 namun kemudian wadah baru tidak kunjung terbentuk. Salah satunya karena memang pers mahasiswa dan panitia persiapan yang dibentuk memilih menghidupkan kembali IPMI, satu-satunya wadah yang sudah ada dan diakui waktu itu. Karena kondisi politik yang tidak memungkinkan, IPMI yang terakhir kalinya menyelenggarakan Kongres tahun 1980 ini pun padam, bahkan disebut-sebut beku sejak 1975,41 menyusul dibentuknya panitia ad hoc pada tahun 1991 di Wanagama yang menegaskan membuat wadah baru, bukan IPMI. Sejak itu, tepatnya 20 bulan (Februari 1991–Oktober 1992), dimulai dengan upaya-upaya mengkonsolidasi pers mahasiswa dengan memanfaatkan kegiatan-kegiatan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Tidak semua bentuk konsolidasi dan pertemuan didokumentasikan oleh panitia ad hoc maupun pers mahasiswa. Salah satunya dikarenakan tidak semua konsolidasi berformat rapat atau sidang, tapi lebih cair dan dinamis.
     Dengan terbentuknya perhimpunan ini, tugas pers mahasiswa berikutnya akan lebih terbantu. Sebagaimana usulan pertemuan di Malang, salah satunya menyikapi pembredelan Majalah Vokal IKIP PGRI Semarang yang dicekal terbit dan Tabloid Dialoque terbitan Senat FISIP Unair Surabaya dibredel dan penanggungjawabnya di-skorsing.
     Ketika pers mahasiswa dinilai telah mengusik pemerintah melalui pemberitaannya, maka pemerintah dengan kekuasaannya bisa melakukan apa saja, seperti pembredelan dan lainnya. Sementara pers mahasiswa tetap saja tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan adanya wadah baru ini (PPMI), muncul semangat solidaritas untuk melakukan advokasi. Dalam kasus Dialoque, pertama-tama PPMI melakukan pengecekan kebenaran atas pembredelan tersebut, kemudian rechek, baru mengeluarkan statement. Banyak fungsi dan harapan yang tersandar pada PPMI, mulai dari sebagai pembela kemerdekaan dan kebebasan pers mahasiswa yang terkoyak, sebagai tameng pelindung independensi pers mahasiswa yang selalu coba dikebiri, hingga sebagai tempat berteduh dan menambatkan tali persekawanan di antara para pegiat pers mahasiswa .
     Jika awal tahun 1993 kasus prembedelan mendera Dialoque, berikutnya giliran Arena IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Mei 1993. Demikian kondisi pers mahasiswa yang terus mengalami benturan-benturan dengan birokrasi kampus mereka sendiri. Di satu sisi, perhimpunan yang baru saja berdiri ini belum mampu bergerak leluasa karena belum menyelenggarakan Kongres dan pengurusnya pun belum terbentuk. Tapi keterbatasan itu tidak membuat PPMI lantas berdiam diri tanpa melakukan apa-apa.
“Sambil menggayungsambuti kelahiran PPMI, kita mencoba untuk membuat langkah inisiasi sejauh yang kita mungkinkan, sambil melirik konteks dan situasi,” semangat Hasan Aoni Aziz, yang waktu itu menjabat Presidium PPMI Jawa Tengah.42

Lalu Memainkan Isu
     Tahun 1990-an, Depdikbud memunyai prinsip bahwa para mahasiswa tidak boleh membangun organisasi di tingkat universitas, karena jika itu dibangun maka konsolidasi akan terjadi dan itu tentu membahayakan. Depdikbud hanya memperbolehkan organisasi di tingkat fakultas dalam bentuk Senat Mahasiswa. Ini adalah bagian dari strategi untuk membonsai gerakan mahasiswa. Dan benar adanya, kebijakan tersebut menjadikan mereka akhirnya hanya sibuk mengurusi kegiatan-kegiatan di fakultasnya saja tanpa memunyai wawasan politik lebih luas.
     Seiring berjalannya waktu, mahasiswa yang hidup dalam belenggu rutinitas fakultas masing-masing itu akhirnya tak betah juga. Hingga akhirnya  mereka berkumpul lagi dan mengupayakan untuk membentuk wadah43.
     Selain Senat Mahasiswa, ada organisasi ekstra. Dikatakan ekstra karena kelompok aktivis mahasiswa ini menolak dilokalisasi di dalam kampus. Tapi sayangnya, mereka (mahasiswa) yang bergulat di organisasi ekstra tidak bisa memanfaatkan fasilitas dan dana dari kampus. Padahal sejatinya mereka punya hak untuk itu. Dana kampus waktu itu hanya digunakan untuk kegiatan-kegiatan fakultas, namun tidak menyasar sama sekali pada pengembangan potensi mahasiswa. Dari sini kemudian muncul alternatif: pers mahasiswa yang berkedudukan di kampus namun dengan pola pikir yang tidak terkungkung di dalam kampus menjadi tempat untuk bertemunya para aktivis mahasiswa.
     Pers mahasiswa mampu memanfaatkan dana dari kampus dan memfasilitasi organisasi ekstra kampus. Awalnya ada dua jenis gerakan, yaitu gerakan pers dan gerakan kelompok studi. Masa-masa itu, gerakan kelompok studi lebih disukai karena jenis ini lebih aman tanpa dicurigai oleh pemerintah. Ketika gejolak aktivisme mahasiswa tidak terbendung lagi, gerakan kelompok studi yang biasanya bergelut dengan buku itu ternyata kurang berhasil dalam hal kaderisasi.
     Persis pada titik inilah pers mahasiswa menjadi alternatif gerakan mahasiswa. Buku-buku mulai ditinggalkan. Diskusi-diskusi kritis bergairah, darah yang semula mendidih kini mulai mencair. Aktivis pers mahasiswa akhirnya tidak kuat menahan diri. Mereka pun aksi turun ke bawah, mengadvokasi dengan pena dan apa saja yang dapat dilakukan. Membaur dan menjadi motor gerakan mahasiswa. Dari kata-kata membalik halaman demontrasi. Kelompok diskusi, gerakan mahasiswa, dan pers mahasiswa berpadu dengan wacana pengembang isu, penggagas kritis, lalu aksi. Dari mimbar bebas sampai gerakan jalanan tidak sungkan-sungkan lantang berteriak. Tidak ada yang paling berperan besar, dan tidak ada yang boleh mengklaim paling berperan.44 
     Paduan gerakan mahasiswa membuat pemerintah kalang kabut. Lalu, kampus-kampus mulai ditekan kuat-kuat. Konsep pendidikan dilokalisir sebagai pemenuhan kebutuhan negara, dan bukan pemenuhan bangsa. Kaum muda dijadikan kebutuhan komoditi pasar, dan bukan membentuk manusia yang peduli terhadap nasib bangsanya.45 Kampus menjadi penjara. Kontrol terhadap kampus kian ketat.
     Namun bukan pers mahasiswa namanya, jika tidak pandai mencari celah. Mereka mengadakan pelatihan-pelatihan jurnalistik yang cenderung pada bidang keilmuan dan penulisan, sehingga pihak birokrasi kampus dan pemerintah tidak curiga. Forum-forum regional dan nasional mulai banyak diselenggarakan, bahkan Dirjen Dikti pun mengadakannya, dan pers mahasiswa memanfaatkannya.
     “Kita bisa bergerak seperti itu karena adanya alasan pelatihan pers mahasiswa, kalau tidak kita bisa habis. Lebih menguntungkan. Jadi waktu itu, selain kita bergerak ke luar kampus, kita juga bergerak ke sistem supaya match dan terlindungi oleh sistem,” ungkap Rahman Ma’mun.46 
     Dengan adanya acara-acara seperti pelatihan maka kampus akan mengirimkan delegasi dan membiayainya. Itulah keuntungan. Di sisi lain, konsolidasi terus dilakukan. Hingga akhirnya terbentuk wadah pers mahasiswa secara nasional.
     Pers mahasiswa memang lebih diuntungkan. Diuntungkan karena masih di bawah atap kampus dan tradisi intelektual yang cukup terjaga, meski dengan berbagai cara berusaha untuk dilemahkan. Tetapi semakin ditekan justru semakin kuat. Semakin ditiup, semakin membara. Basis idealisme pers mahasiswa sebagai bagian dari gerakan mahasiswa tidak pernah padam. Itulah semangat pers mahasiswa yang terus digelorakan.
     Upaya pelemahan melalui kebijakan NKK/BKK yang secara de jure selesai tahun 1990 itu tidak berpengaruh ketika pada praktiknya birokrasi kampus pun menjadi sasaran pers mahasiswa. Dualisme bidikan pers mahasiswa: kekuasaan birokrasi kampus dan kekuasaan pemerintah. Maka demikian pula potensi membangun jaringan, semakin luas, baik di tingkatan kampus maupun di luar kampus. Pers mahasiswa punya potensi itu: merangkul gerakan yang lain. Kesadaran kritis yang dipraktikkan tidak hanya pada arena wacana di dalam kampus semata melainkan juga di ranah riil masyarakat. Di sini mahasiswa berpeluang memengaruhi masyarakat, terutama yang menghadapi kasus-kasus represifitas penguasa.
     Pendiri IPMI, Koesnadi Hardjosoemantri, menyatakan bahwa mahasiswa hendaknya tidak menutup mata terhadap yang selain pandangannya sendiri.47 Ngomong politik tapi bukan jadi antek politik. Sekata dengan Dwidjo bahwa pers mahasiswa pun berpolitik. Penggunaan istilah ‘politik praktis’ sebenarnya mereduksi agar mahasiswa melulu menggeluti buku-buku diktat kuliah. Mahasiswa dilarang kritis dan dilarang berani bertanya. Istilah ‘politik praktis’ hanya upaya stigmatisasi organisasi mahasiswa agar gerakannya tidak mengalamat ke kekuasaan, agar status quo terjaga dari goyangan dan kritikan. Meski sisi lain ada benarnya juga, untuk meredusir kepentingan-kepentingan tertentu yang memboncengi gerakan mahasiswa.
     Berseberangan dengan itu, pers mahasiswa justru terus menghembuskan nafas-nafas perlawanan. Mohctar Lubis pernah berkata bahwa pers mahasiswa tidak perlu membatasi diri dengan persoalan kampus. Karena mahasiswa itu sudah dewasa, sudah berhak menentukan dan bertanggungjawab terhadap masa depan generasinya. Jadi tidak ada bedanya dengan warga negara yang lain.
     “Selama ini kita beranggapan kalau sudah dari pemerintah tidak bisa digugat lagi. Kalau benar, ya, kita dukung. Tapi persoalannya apa memang benar? Kita berhak menguji dengan pikiran dan fakta-fakta yang bisa kita kumpulkan. Jika kritikan yang mengusik penguasa biasanya dibalas dengan pembredelan. Agaknya ini perlu diluruskan,” paparnya.48
     Sosialisasi nilai, istilah Tri Suparyanto, yang dilakukan mendorong pembaca media pers mahasiswa yang sebagian besar mahasiswa tergerak untuk melakukan perubahan. Sejarah ini sangat dinamis, terasa cepat berubah sekitar awal dekade 1990-an. Di sini, mahasiswa sudah berani membicarakan hal-hal yang di luar mata kuliah. Tidak hanya berhenti dalam pelatihan-pelatihan saja, karena dalam dua sampai tiga bulan pers mahasiswa selalu mengadakan kegiatan. Akibatnya persoalan akademik menjadi kurang diperhatikan, seperti jarang mengikuti kuliah. Tetapi di balik itu, pers mahasiswa merupakan tempat kondusif bagi berkumpulnya para aktivis mahasiswa dengan kecenderungan yang berbeda-beda. Ada kelompok mahasiswa yang ingin menjadi penulis atau wartawan yang tidak ingin menjadi aktivis gerakan. Ada pula yang ingin profesional di bagian iklan, fotografi dan seterusnya.
     “Kalau dari sudut pengorganisasian kita harus menghargai masing-masing aktivis yang dengan berbagai macam motivasinya itu. Jika semua motivasi ini bisa diakomodasi, konsolidasi akan semakin kuat. Dan nantinya tidak bisa dipungkiri, di seluruh kampus di Indonesia pemasok terbesar dari gerakan mahasiswa adalah anak-anak pers mahasiswa, walaupun tidak menggunakan label pers mahasiswa. Pers mahasiswa itu adalah menjadi tempat alternatif untuk berkumpulnya para aktivis,” terang Aman mengingat-ingat dinamika mahasiswa awal 1990-an .49
     Namun, ada juga aktivis pers mahasiswa yang tetap menggerakkan dan menurunkan massa. Jadi PPMI adalah salah satu dari sekian banyak varian gerakan mahasiswa. Baik yang dari organ ekstra, seperti gerakan mahasiswa HMI, GMNI, PMKRI, PMII dan sejenisnya, maupun yang dari internal kampus, Senat Mahasiswa dan segala macamnya. Semua berlatar belakang yang sama: pers mahasiswa. “Jangan dilupakan ini,” tegas Dwidjo.50
     Sangat beragam. Seperti wadah penampungan gerbong aktivis mahasiswa yang siap diturunkan di mana saja. Romantisme mahasiswa dengan gerakan mengarah pada radikalisme. Militansi dan idealisme berpadu pada semangat kaum muda. Tidak ada yang mempertanyakan soal perbedaan, apalagi mempertentangkan satu sama lainnya. Kekayaan jaringan yang dengan sadar berhimpun, tanpa paksaan dan tidak dibentuk dengan klaim politis.
     Seperti menemukan momen, pers mahasiswa membaca kondisi sedang di bawah birokrasi otoritarian dan gejala gerakan yang memuncak. Sedangkan pers umum banyak yang bungkam atau dibungkam. Aparatus negara setidaknya berhasil menggali kuburan pers umum. Beberapa yang lantang dibredel atau dilarang terbit sampai pada waktu yang tidak ditentukan.
Gerakan mahasiswa membutuhkan asupan gizi.51 Masya-rakat mulai resah dan menyadari diri dalam ketidakpastian. Pers umum dikekang kuat-kuat. Pers mahasiswa yang sejak awal bergejolak dan membangun wacana kritis kini memainkan perannya. Memosisikan peluang gerakan dan kondisi politik sebagai pemicu. Kasus-kasus yang mengusik penguasa semakin kencang diangkat. Motor penggerak mahasiswa pun dipercepat. Dan memang sudah menjadi tugas media untuk mengontrol kondisi sosial, jika menginginkan perubahan yang segera.
      Setelah melalui jalan panjang, PPMI akhirnya dideklarasikan di  Malang pada tahun 1992. Konsolidasi pers mahasiswa berusaha lebih dimasifkan, konsep yang lama digagas kembali. Hingga wadah baru itu pun lebih dinamis dan luwes dalam memosisikan dirinya sebagai organisasi yang mewadahi organisasi. Sebuah bentuk yang unik: lembaga menaungi lembaga-lembaga (pers mahasiswa). Wadah alternatif yang waktu itu dirindukan oleh pers mahasiswa pasca hilangnya IPMI dari peredaran. Muncul kesadaran berkumpul dan berbagi dengan saudara serahim, sesama pers mahasiswa.
     Upaya pembentukan wadah itu, selain sebagai cara yang tepat untuk menghimpun diri dan mempertegas posisi pers mahasiswa juga sebagai alternatif untuk menampung keluh-kesah emosional yang gerah dan letih dengan isu-isu politik  dan kekuasaan. PPMI sebagai bagian dari gerakan mahasiswa juga sebagai paguyuban atau komunitas pers mahasiswa yang memiliki jalinan solidaritas dan komunikasi kultural sangat erat. Segala perbedaan atribut dan latar belakang gerakan akan melumer ketika masuk ke wadah ini karena begitu kuatnya ikatan kultural di antara mereka.
Dua hal yang tidak dapat dilepaskan dari pers mahasiswa: bahwa sebagai bagian dari gerakan mahasiswa harus terus membarakan perlawanan dan kontrol terhadap kekuasaan, namun hal itu haruslah dilambari dengan analisa dan data yang sesuai dengan media.
     “Nah itu kan berat, ini harus berdasarkan fakta yang sesuai lazimnya kaidah-kiadah pers  yang benar. Maka jika ditanya apakah ada targetan-targetan itu, tentu ada. Namun tidak kemudian secara serampangan asal njeplak saja. Di sini ada konsep investigasi dan reportase di dalamnya. Ini yang menjadi tantangan bagi pers mahasiswa. Sehingga pilihan-pilihan yang berani dan beresiko menjadi konsekuensi,” kata Dwidjo.
     Dwidjo mendeskripsikan pilihan sebagai aktivis pers mahasiswa ini dengan “orang-orang yang kritis, yang punya keganjilan hati, keganjilan nurani untuk memikirkan bangsa ini. Bahwa bangsa ini sakit, bangsa ini sedang didera, sedang terjebak, sedang dijajah oleh suatu kekuatan. Ini kan yang bisa membaca hanya hati nurani, maka inilah yang membuat mereka menjadi militan, melakukan pilihan-pilihan, termasuk melihat pers mahasiswa kemudian menjadi PPMI.”
Keprihatinan dan kegelisahan yang juga dialami oleh aktivis mahasiswa masa itu perlu dituntaskan dalam berbagai bentuk, tidak cukup hanya dalam media pers mahasiswa saja. Keterampilan memainkan isu pun diterapkan dalam aksi-aksi penyikapan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat. Bisa dilihat, misalnya, pada 1990-an, isu lokal pengambilalihan tanah kebun warga di Cianjur, Jawa Barat, yang akan dijadikan lapangan golf. Setelah menggelar aksi dengan petani-petani, isu lokal ini di-blow up menjadi isu nasional oleh pers mahasiswa.52 Sehingga banyak solidaritas dan media umum yang kemudian meng-angkatnya. Sebuah tantangan untuk memainkan isu, jika tidak mau dikatakan sebagai pengekor dari isu media umum.53

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.