Setelah lelap dalam kevakuman cukup panjang, dari awal hingga medio dekade 1980, pers mahasiswa (persma) mulai melakukan konsolidasi di beberapa
daerah pada akhir dekade itu. Berbagai kegiatan dilakukan, mulai dari pelatihan hingga konsolidasi
gerakan. Seperti di Jakarta-Yogyakarta, lalu meluas ke kota-kota lainnya. Di Universitas
Negeri Surakarta (UNS) pada November 1990, Januari 1991 di Universitas Negeri
Jember (Unej). Dari rangkaian pertemuan tersebut akhirnya merekomendasikan
terbentuknya Forum Komunikasi Pers Mahasiswa se-Jawa.1 Niatan itu kemudian ditindaklanjuti pada Februari di Gedung Wanagama
Yogyakarta.2
Pertemuan di Wanagama yang dihelat pada 6-7 Februari 1991 ini
berhasil mengikat kesepakatan untuk membentuk wadah tunggal bagi pers mahasiswa. Pertemuan ini
sebenarnya temu alumni yang awalnya ingin menggagas adanya Kongres IPMI. Tetapi peserta
bereaksi, dan terjadilah perdebatan. Ada yang tetap menginginkan Kongres IPMI dan
ada yang menghendaki kongres dengan wadah baru. Akhirnya ditetapkan bahwa pers
mahasiswa butuh wadah. Entah itu IPMI, entah itu apa namanya. Maka dibentuklah
Badan Pekerja (BP) yang bertugas untuk menyelenggarakan forum yang terserah
itu.3
Wahyudi merekam bahwa ada tiga keputusan penting pada forum ini.4 Pertama, kesepakatan tentang orientasi pers
mahasiswa ke arah profesionalisme dan fungsionalisme. Profesionalisme dalam
artian bukan profit oriented namun dalam pemahaman pengelolaan
organisasi yang diharapkan mampu meningkatkan efisiensi kerja dan mendorong
kemandirian. Sementara fungsionalisme dimaksudkan dalam upaya pewujudan
keterpaduan antara fungsi mahasiswa sebagai intelektual muda dan fungsi pers
sebagai media.
Kedua, peserta sepakat tentang diperlukannya wadah bagi pers mahasiswa se-Indonesia.
Segala permasalahan terkait pembentukan wadah tersebut akan dibicarakan pada
pertemuan pers mahasiswa selanjutnya, yang dianggap sebagai Pra-Kongres. Maka, forum
menyepakati IKIP Bandung sebagai penyelenggara pertemuan berikutnya dan
Universitas Udayana Bali sebagai alternatif kedua.5
Optimisme gerakan pers mahasiswa mulai tampak jelas.
Di Wanagama ini, Badan Pekerja yang kemudian dikenal dengan Steering
Commitee (SC) Nasional dibentuk untuk memfasilitasi pertemuan-pertemuan
lanjutan. Badan Pekerja ini pula disebut panitia ad hoc karena tugasnya
untuk mempersiapkan forum pertemuan berikutnya sebagai tindak lanjut butir I
panitia ad hoc.
Panitia ad hoc (SC) Pra-Kongres berjumlah
11 orang, terdiri dari Tri Suparyanto (Pendapa UST) delegasi DIY sebagai
koordinator, dengan wakil Okky Satrio (Komentar Universitas Moestopo) delegasi
DKI Jakarta, dan beranggotakan: Zainul Aryadi (Kreatif IKIP Medan) delegasi
DI Aceh, Sumut, Riau, Sumbar; Ariansyah (Teknokra Unila Lampung) delegasi
Lampung, Jambi, Sumsel, dan Bengkulu; Tugas Suprianto (Isola Pos IKIP
Bandung) delegasi Jawa Barat; Adi Nugroho (Manunggal Undip Semarang) delegasi
Jawa Tengah; Heyder Affan Akkaf (Mimbar Unibra) delegasi Jawa Timur; I
Gusti Putu Artha (Akademika Univ. Udayana Bali) delegasi
Bali, NTB, NTT, dan Timor-timur; Mulawarman (Identitas Unhas) delegasi Sulsel,
Sulteng, Sultra, Sulut; Alimun Hakim (Kinday Univ. Lambung Mangkurat) delegasi
Kalteng, Kalsel, Kalbar, dan Kaltim; RH. Siahainenia (Univ. Patimura) delegasi Maluku
dan Irian Jaya.6
Panitia ad hoc punya tugas-tugas yang intinya mengkoordinir kegiatan
sampai terselenggaranya kongres wadah baru pers mahasiswa. Seiring dengan rencana akan diselenggarakannya kongres untuk
wadah baru tersebut, perdebatan tentang IPMI pun berakhir. “Jadi jelas,
kongresnya bukan Kongres IPMI,” terang Tri Suparyanto. Karena realitanya pers mahasiswa butuh wadah,
sedangkan kondisinya waktu itu cerai berai, tidak bisa dikonsolidasi.
Steering Commitee Nasional yang bertujuan untuk terus
mengupayakan pertemuan-pertemuan lanjutan ini juga menghimpun pers mahasiswa di tingkat daerah. Maka kemudian bermunculan
kantong-kantong pers mahasiswa di daerah yang
kelak bakal menjadi cabang bagi organisasi nasional yang akan dibentuk itu.8 Sejak Juni sampai Oktober 1991, sudah
terbentuk perhimpunan-perhimpunan di tingkat wilayah/kota. Seperti Perhimpunan
Penerbit Mahasiswa Yogyakarta (PPMY)9 di
Yogyakarta dan Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Malang (PPMM) di Malang.
“Pokoknya kalau belum bisa di tingkat nasional, perlu masing-masing di tingkat
wilayah melakukan konsolidasi dulu,” jelas Abdul Rahman Ma’mun.10
Maka, sangat tidak tepat jika
kemudian setelah tahun 2000-an terjadi benturan antara PPMI dengan organisasi
pers mahasiswa di tingkat wilayah/kota itu, seperti di Malang (PPMM) dan di
Jember (Forum Pers Mahasiswa Jember atau FPMJ). Salah satu sebabnya adalah ketidakindependensian
pandangan aktivis pers mahasiswa yang terlibat di PPMI dalam menyikapi keanggotaan PPMI dan klaim
tentang ketunggalan wadah pers mahasiswa, selain memang mereka aktif di organisasi lain di tingkat kota/wilayah tersebut.
Tak Semudah Membayangkan
Setelah melalui beberapa pertimbangan, akhirnya
IKIP Bandung dipilih sebagai tempat Pra-Kongres. “Jalan Panjang Menuju Wadah
Tunggal Pers Mahasiswa Indonesia,” tulis Majalah Himmah.11
Namun ternyata tidak semudah seperti yang direncanakan. Pertemuan
yang sedianya dilaksanakan tanggal 8-10 Juli 1991 ini dihadang dengan Surat
Edaran dari Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 05/SE/Ditjen PPG/1991
tertanggal 1 April tentang Pengaturan Penggunaan Pengurus Pers Pahasiswa,
Pemimpin Umum diganti dengan Ketua Pengarah, dan Pemimpin Redaksi diganti
dengan Ketua Penyunting. Selain itu juga memuat aturan isi pemberitaan yang
harus mencerminkan ciri-ciri akademis dan tidak menyajikan berita politik
praktis.
Selang dua bulan kemudian, tepatnya pada 1 Juli 1991, Direktur Kemahasiswaan Depdikbud mengeluarkan surat No.
547/D5.5/U/1991 tentang tidak diberikannya rekomendasi penyelenggaraan “Sarasehan Penerbitan Mahasiswa se-Indonesia”.
Dengan pertimbangan: (1) Berdasarkan pengalaman selama ini tentang berbagai
kegiatan penerbitan kampus mahasiswa ternyata: (a) Kegiatan tersebut tidak
menunjukkan kejelasan sasaran yang ingin dicapai, dan (b) Panitia tidak pernah
memberikan laporan penyelenggaraan kepada Direktorat Kemahasiswaan; (2)
Berdasarkan hasil pemantauan Direktorat Kemahasiswaan terhadap “Temu Aktivis
Penerbitan Kampus Se-Indonesia” yang diselenggarakan di Wonosari Yogyakarta
(6-9 Februari 1991) ternyata kegiatan tersebut tidak menunjukkan citra forum
akademik sebagaimana layaknya perguruan tinggi; (3) Direktorat Kemahasiswaan
telah memprogramkan Latihan Keterampilan Penerbitan Kampus Tingkat Pembina
1991/1992 yang akan diselenggarakan pada Januari 1992 di Universitas Lampung
yang merupakan keputusan Rakernas Pembantu Rektor III-1991.12
Keluarnya surat ini cukup membuat panitia
kerepotan karena diterima menjelang hari berlangsungnya acara. Bahkan beberapa
peserta dari berbagai daerah sudah mulai berdatangan, termasuk di antaranya
adalah dari Kalimantan, Bali, Sumatera, dan Jawa Tengah. Dampak dari surat
tersebut hampir membuat acara batal. Tapi akhirnya pihak kampus tidak keberatan
melalui PR III-nya memberi kesempatan bagi berlangsungnya acara meski dengan
catatan batasan waktu.
Acara pun dimulai dengan sederhana dan dipersingkat, mengingat waktu
yang mendesak. Hingga tanggal 9 Juli 1991, menyepakati bahwa wadah tunggal pers mahasiswa perlu dan
mendesak dibentuk. Sarasehan di Isola Pos IKIP Bandung atau yang disebut
Pra-Kongres ini kemudian mengubah format acara menjadi Bandung Informal
Meeting, karena pertemuan yang direncanakan tersebut akan menghasilkan
beberapa keputusan tentang perangkat-perangkat organisasi, seperti komisi I membahas
AD/ART, komisi II membahas rancangan GBHK, dan ditambah komisi khusus untuk
membahas surat dari Dikti tersebut.
Sidang berlangsung di Gedung Garnadi IKIP Bandung dan dimulai sekitar
pukul 12.00 WIB. Tiba-tiba pihak kampus menginginkan forum selesai pukul 13.00
WIB hari itu juga, tanggal 9 Juli 1991. Kondisi peserta memanas disusul seorang
dosen yang mengaku mewakili PR III meminta pengertian kepada peserta. Pihak
kampus intinya tidak ingin nama baik kampus tercemar. Peserta pun ricuh,
suasana benar-benar chaos. Masing-masing peserta memaksakan kehendaknya. Waktu terus menyempit padahal
forum dituntut harus menghasilkan suatu keputusan.
Forum yang memanas ini kemudian diambil alih
oleh panitia untuk segera ditutup. Sebelumnya, sidang sempat menetapkan hasil
pembahasan komisi C, namun belum sampai pada komisi A dan komisi B, apalagi
pembahasannya. Akhirnya sidang di-skorsing sampai pada waktu yang tidak
ditentukan (sampai pertemuan berikutnya). Banyak peserta yang tidak puas. Dalam suasana yang kacau itu, salah satu
peserta naik ke panggung dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Semua
peserta ikut bernyanyi, khidmat dan mengharukan. Jauh berbeda dengan beberapa
saat sebelumnya ketika mereka bertengkar dalam persidangan. Terlihat adanya
persatuan dan kebersamaan, bahkan banyak yang sempat meneteskan air mata.13
Akhirnya, forum diputuskan untuk dilanjutkan di
luar IKIP Bandung, yakni di Kebun Binatang Bandung pada pukul 16.00 WIB.
Setelah sebelumnya Tim SC bersidang memutuskan akan diadakan Pra-Kongres lagi
di Lampung dan Kongresnya di Palu.14
Ketika forum dilanjutkan itu, sepenuturan Tri
Suparyanto, forum pindah ke kebun binatang namun tidak lagi kuorum setelah
dibubarkan oleh PR III atas nama pihak keamanan dan Dirjen tidak mengizinkan
lagi malam itu.
“Pokoknya tidak boleh, kita kocar-kacir. Ada aparat, banyak intel itu. Ada yang nyasar, ada yang tidak
sampai dan ada yang tidak berani. Artinya wong sudah tahu banyak aparat
akhirnya tidak berani. Akhirnya tidak kuorum. Karena tidak kuorum akhirnya
perlu ditindaklanjuti dengan pertemuan berikutnya,” papar Tri15
Sekitar 35 dari 112 peserta meneruskan
pembahasan di kebun binatang tanpa sepengetahuan aparat manapun. Pertemuan
lanjutan itu kemudian disebut Bandung Informal Meeting. Dari sini nama
dan AD/ART Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan program kerja
itu sudah disepakati meski belum disahkan karena belum memenuhi kuorum.
Selain itu, forum juga
menyepakati mengirimkan delegasi untuk berdialog dengan Direktur Kemahasiswaan,
Enoch Markum di Jakarta. Maka diputuskan tiga juru bicara,16 yaitu Didik Supriyanto (UGM), M. Ridha Saleh
(Universitas Tadulako), dan Usman Hassan (IKIP Jakarta). Sementara anggota delegasi dilarang membawa poster. Hal ini untuk
menjaga ketertiban dialog.
Delegasi sampai di Jakarta pada 10 Juli 1991,
tapi Enoch sibuk dan tidak mau ditemui. “Saya tidak punya jadwal bertemu dengan
kalian,” katanya. Niat baik mahasiswa ini tidak ditanggapi semestinya. Maka
mereka yang terdiri dari 30 orang itu menemui DPR RI, diterima oleh Wakil Ketua
FPP (Fraksi Persatuan Pembangunan). Namun pengaduan atas SK Direktur
Kemahasiswaan Depdikbud itu hanya ditampung dan tidak lagi terdengar kabarnya.17
Dari Jakarta, tiga delegasi diutus —mereka
adalah Didik Supriyanto, M. Ridha Saleh, dan Zainul Aryadi (IKIP
Medan)—berangkat ke Lampung bersama dengan panitia ad hoc. Tujuannya
adalah melakukan konsolidasi dan meminta kesediaan pihak Universitas Lampung
(UNILA) menjadi tuan rumah pertemuan pers mahasiswa berikutnya. Untuk
meminimalisir kecurigaan, maka pertemuan tersebut dikonsep dalam bentuk
“Latihan Ketrampilan Penerbitan Mahasiswa”. Beruntung pihak Pembantu Rektor III
Unila bersedia.
Sepulang dari Lampung, Didik Supriyanto dan Tri
Suparyanto berusaha menemui Pembantu Rektor III IKIP Bandung guna mendapatkan
pengesahan dari pertemuan sebelumnya di Bandung. Namun nasib baik agaknya tidak berpihak, Pembantu Rektor III ternyata sudah bertolak ke Spanyol. Karena
tidak berhasil berjumpa dengan PR III IKIP Bandung,
mereka kemudian berusaha menemui lagi PR III Universitas Lampung. Tapi
sayangnya yang bersangkutan tidak bisa ditemui juga.
Menurut sumber Balairung UGM menyebutkan, Pembantu Rektor III Unila
berusaha menghindar.18 Kemudian Didik
Supriyanto dan Tri Suparyanto berusaha menemui sekali lagi Direktur
Kemahasiswaan Depdikbud di Jakarta. Hasilnya sama dengan sebelumnya,
Enoch menolak untuk ditemui.
Kegagalan beruntun itu rupanya tidak membuat mereka down tetapi justru kian bersemangat. Sebuah
pelajaran bagaimana sulitnya menerobos keangkuhan birokrasi. Setelah itu
konsolidasi semakin masif dilakukan di daerah-daerah dengan membentuk
forum-forum komunikasi pers mahasiswa. Hasilnya, di Malang terbentuk Forum
Komunikasi Penerbitan Mahasiswa Malang. Di Yogyakarta, lahir Perhimpunan
Penerbitan Mahasiswa Yogyakarta. Pun demikian juga di Jakarta, Bali dan Nusa
Tenggara, Ujung Pandang, dan daerah-daerah lainnya.
Pada tanggal 19–23 November 1991, sesuai dengan
kesepakatan dengan Pembantu Rektor III Unila, maka digelar Latihan Ketrampilan
Penerbitan Kampus Mahasiswa Tingkat Pembina Se-Indonesia di Teknokra
Universitas Lampung. SC atau panitia ad hoc berusaha memanfaatkan momen
ini untuk mematangkan persiapan pembentukan wadah baru. Sebab di satu sisi,
pers mahasiswa mendesak agar sesegera mungkin melaksanakan pertemuan bagi
terbentuknya wadah penerbitan kampus mahasiswa. Jika tuntutan tidak dipenuhi
maka, pertama, SC harus mempertanggungjawabkan tugas yang telah
dimandatkan itu kepada seluruh aktivis penerbitan kampus se-Indonesia; kedua,
SC harus menyerahkan mandat yang ada kepada aktivis penerbitan kampus
se-Indonesia. Hal ini merupakan bentuk akselerasi SC Nasional demi terbentuknya
wadah baru tersebut.
Forum di Unila ini ternyata tidak banyak
dihadiri oleh pengurus pers mahasiswa melainkan anggota pers mahasiswa yang baru, yang belum tahu banyak tentang
rencana pembentukan wadah baru itu. Melihat kondisi yang tidak memungkinkan
diadakannya pembahasan mengenai perencanaan wadah baru, maka momen tersebut
hanya dipakai untuk melangsungkan pelatihan jurnalistik dan rangkaian acara
lainnya. Mengenai rencana wadah baru, forum hanya menentukan tempat konsolidasi
berikutnya. “Yang datang anak-anak baru, yang tua-tua nggak datang,
karena PR mengutus yang muda-muda. Ngapain yang tua? Jadinya, ya, cuma
diklat aja,” jelas Tri Suparyanto, Koordinator SC Nasional.19
Pertemuan berikutnya di Universitas Gajayana Malang pada 20 Desember
1991. Karena yang hadir ternyata hanya se-Jawa, maka kesempatan ini hanya
membahas seputar program-program kerja berikutnya. Rancangan program kerja PPMI
pun dirumuskan. Keinginan turut menyuarakan aspirasi mahasiswa dan masyarakat
dengan meningkatkan kesadaran kritis sepertinya menjadi semangat pembentukan lembaga ini. Seperti termaktub
dalam poin ketiga rumusan umum, yaitu menciptakan penerbitan mahasiswa sebagai
sarana pembentuk pendapat umum di kalangan mahasiswa ke arah kreatifitas kritis
dan dinamis.20
Setelah itu pertemuan-pertemuan terlihat vakum selama sepuluh bulan
karena tidak ada forum selevel regional atau nasional. Namun konsolidasi di
daerah-daerah tetap berjalan. Bahkan secara resmi, beberapa kota membentuk
forum-forum kekuatan di tingkatan basis. Perintisan pembentukan forum tersebut
diniatkan untuk memperlancar konsolidasi dan mempererat hubungan antar kota, sehingga
kendala personal dapat diatasi.21 Melalui
jalan komunikasi secara personal, negosiasi, dan sebagainya, penjajagan terus
berlangsung hingga mendapatkan izin untuk mengadakan Lokakarya Penerbitan
Mahasiswa Se-Indonesia dan Diklat Dasar X se-Jawa Timur pada 14-18 Oktober 1992
di UAKPM Universitas Brawijaya Malang.
Pilihan soal nama antara ‘pers’ dan ‘penerbitan’ pada waktu itu
melahirkan debat sengit yang hampir tidak berujung. Sebagian memilih kata ‘penerbitan’ sebagai jalan
kompromi atas situasi politik yang tidak berpihak saat itu. Sementara yang lain
tetap ngotot dengan pilihan kata ‘pers’ agar fungsi kontrolnya tidak disempitkan.
Penggunaan nama ‘penerbitan’, bukan ‘pers’,
adalah pilihan kompromis. Mengingat dikeluarkannya Surat Edaran Dikti No.
849/D/T/1989. Pun Peraturan Penerangan No. 01/1975 yang menggolongkan pers
mahasiswa ke dalam kategori penerbitan khusus.22 Karena Menpen menilai hanya ada satu pers
nasional yang diatur melalui SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Sedangkan penerbitan khusus diatur dengan STT (Surat Tanda Terbit).
Penggunaan penerbitan khusus dimaksudkan untuk
tidak bersifat politis, tetapi lebih diarahkan pada teknis keilmuan dan
kejuruan. Depolitisasi kemudian diperketat dengan Surat
Edaran Direktorat Jenderal PPG Nomor 05/SE/Ditjen/PPG/1991 tentang Operasional
Penerbitan Khusus. Tidak hanya itu, isi Surat Edaran Dikti No. 849/D/T/1989 ternyata juga
mengklasifikasi ragam pers mahasiswa melalui ragam istilah.23 Seperti Pemimpin Umum diganti Pengarah,
Pemimpin Redaksi diganti Penyunting. Hal ini sebagai salah satu upaya untuk mereduksi arti
pers itu sendiri.
T. Jacob, Mantan ketua IWMI (Ikatan Wartawan
Mahasiswa Indonesia) berkomentar, “Biar pakai nama setan tidak jadi soal, asal
dia jalan!”24 Baginya, yang penting adalah produknya.
Mengenai nama tidak jadi permasalahan karena dalam realitanya pun tetap
memerankan diri sebagai pers. Heydar Affan Alkaff menyebut penggunaan ini hanya
sebuah bentuk kompromi saja. Meski begitu, diakui, penggunaan istilah itu telah
berpengaruh pada orientasi pemberitaan dan format terbitan yang membatasi dan
menyiutkan nyali untuk menjalankan fungsi kontrol.25
Istilah penerbitan lebih lunak karena memang
Orde Baru tidak menginginkan pers mahasiswa hidup di dalam kampus. Agaknya Orba masih trauma dengan
pers mahasiswa. Karena
sensitif dengan kata ‘pers’ oleh
mahasiswa, maka penggunaan istilah itu pun dipersoalkan. Bagi Rektor di
beberapa kampus, pers itu seperti menjadi momok yang menakutkan.26
Gara-gara menggunakan kata ‘pers’, kunjungan
aktivis pers mahasiswa Yogyakarta ke Universitas Brawijaya Malang ditolak.27 Hanya karena ada kata ‘pers’-nya. Pihak kampus
menganggap itu bukan wilayah kemahasiswaan di dalam kampus.
Gagasan-gagasan yang muncul dari yang lunak
sampai yang radikal pun menyeruak. “Kenapa tidak dilawan sekalian, meski tidak
ada rujukan soal aturan. Tidak ada urusan,” kata sebagian peserta Kongres I
PPMI tahun 1993. Debat soal nama ini begitu sengit hingga tak didapat
kata sepakat. Kemudian, Tri Suparyanto sebagai Koordinator SC, mengusulkan agar
Sekjen dan Presidium yang lain mencoba ke Ditjen Dikti. Kalau mereka tidak
memberikan respon, baik positif maupun negatif, maka sekalian melawan, kita
ubah menjadi pers mahasiswa.28
Benar adanya. Setelah ke Dikti, ternyata tidak ada respon soal itu.
Dikti justru tidak mempersoalkan soal istilah (pers atau penerbitan) dan
organisasi (PPMI). Mereka tidak mau tahu karena sebenarnya itu tidak ada aturan
dan kategorinya apa PPMI itu. Yang ada waktu itu hanya organisasi di tingkat
kampus, seperti Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi Indonesia (SMPTI) dan
kepemudaan, yakni KNPI. Sedangkan PPMI tidak masuk ke dalam kedua
kategori tersebut. Jika masuk dalam KNPI, tentu timbul dua masalah. Pertama,
berbeda orientasinya. Kedua, waktu itu tahun 1990-an KNPI dinilai sebagai
kepanjangan tangan pemerintah.29 Lantas
untuk apa membentuk PPMI kalau kemudian hanya berada di bawah KNPI.
Karena banyak yang ingin mengfungsikan sebagai pers mahasiswa, tidak
hanya menjadi penerbitan, maka perlu dimatangkan di tingkatan nasional. Hal ini
baru dapat terealisasi ketika Kongres II PPMI di Jember dengan keputusan
Deklarasi Tegalboto yang menolak berbagai jenis perijinan yang diberlakukan
terhadap pers mahasiswa. Rommy Fibri memaparkan perdebatan penggunaan istilah itu semasa periodenya,
1993-1995:
“Kita tak ingin juga, terjadi perpecahan hanya
karena penggunaan nama. Maka kompromi itu dilakukan. Bukan karena faktor
eksternal tapi karena menghindari terjadinya perpecahan internal di tubuh PPMI.
Karena menyadari banyak aktivis pers mahasiswa yang akrab di kampus, soft
dengan politik, dan ada juga yang radikal yang jiwa pers memandang penggunaan
istilah penerbitan terlalu lunak. Meski kenyataannya waktu itu sudah
kecenderungannya mengarah pada fungsi pers mahasiswa.”30
Demikian jalan tengah yang ditempuh. Dengan
adanya wadah ini, harapannya mampu membangkitkan kembali kehidupan pers
mahasiswa yang waktu itu redup. Dengan upaya pelembagaan atau pengorganisasian,
solidaritas pers mahasiswa di dalam
lembaga tersebut akan muncul. Tidak perlu legalitas dan pengakuan dari siapa
pun. Ada kesamaan yang tumbuh melalui kesadaran yang sama-sama lahir dari satu
rahim. Setidaknya itu menjadi bargaining position untuk memperkuat pers mahasiswa. Tri Suparyanto menuturkan soal wadah baru ini:
“Secara internal lembaga berfungsi untuk
meningkatkan mutu penerbitan dan sosialisasi nilai. Sedangkan fungsi
eksternalnya, memperkuat posisi tawar pers mahasiswa dengan penguasa, baik
dengan birokrasi kampus maupun pemerintah. Salah satunya adalah dengan
membentuk opini publik. Sekitar 200 penerbitan mahasiswa yang bertebaran di
negeri ini tentu sangat potensial. Itu secara vertikal. Lalu secara horizontal
adalah posisi tawar di hadapan masyarakat pembacanya. Posisi ini menjadi
semacam gerakan penyadaran.”31
Nama sudah tercetus ketika pertemuan di Bandung
itu. Namun karena belum kuorum maka perlu ada pertemuan berikutnya untuk
dideklarasikan. Sehingga sarasehan dan Lokakarya di Malang itu sudah tinggal
mengesahkan saja. Selain itu beberapa rancangan sudah
tersusun seperti AD/ART dan GBHK.
Upaya-upaya itu terus dilakukan, di antaranya di UI Depok, Unila
Lampung, Bali, Sulawesi Selatan, lalu di Gajayana Malang,32 dan memuncak di Unibraw Malang.33 Perlu dicatat bahwa pertemuan formal ini
terasa besar karena nebeng forum pers mahasiswa baik berupa temu
aktivis, sarasehan, maupun pelatihan. Di luar pertemuan semacam ini sering dan
banyak dilakukan, tapi tidak pernah didokumentasikan ataupun bila ada penulis belum ditemukan data tersebut.
Baru Dimulai dari Sini
“PPMI Lahir di Malang,” tulis SKM Sketsa halaman depan.34 Pada pukul 16.29 WIB tanggal 15 Oktober 199235 sidang menetapkan berdirinya Perhimpunan
Penerbitan Mahasiswa Indonesa (PPMI)36 yang
ditandatangani oleh Tri Suparyanto sebagai Ketua Sidang dan Ines Wuri
Handayani, Sekretaris Sidang. Suatu hasil perjalanan panjang dari kerinduan
mewujudkan wadah baru bagi pers mahasiswa.
Sebelum deklarasi di Malang digelar, beberapa orang mematangkan
konsep deklarasi. Menurut Tri Suparyanto37 di antaranya adalah Sholeh U. G., Wigyo,
Heyder Affan Akkaf, Rohman Budiyanto, Tugas Suprianto, Rahman Ma’mun, dan Rommy
Fibri, ditambah I Gusti Putu Artha, Mulawarman, dan anggota panitia ad hoc
lainnya.
Pertemuan Lokakarya Penerbitan Mahasiswa Indonesia (LPMI) pada 15-17
Oktober 1992 oleh Unit Aktivitas Penerbitan Kampus Mahasiswa Unibraw Malang ini
diikuti oleh 72 peserta dari 37 PTN dan PTS se-Indonesia. Inilah pernyataan
bergabungnya Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) yang ada diperguruan tinggi
dalam organisasi yang diberi nama PPMI. Selain menghasilkan terbentuknya wadah
tingkat nasional, juga menetapkan AD/ART dan program kerja PPMI, serta
Kurikulum Pendidikan dan Latihan (Diklat) jurnalistik mahasiswa.
Seluruh hasil tersebut sebelumnya dibahas dalam empat Komisi: Komisi
I LPMI membahas rumusan tentang AD/ART; Komisi II tentang rumusan program kerja
PPMI; Komisi III tentang Kurikulum Diklat Jurnalistik Mahasiswa; dan Komisi IV
tentang rekomendasi khusus membahas tempat alternatif pertemuan berikutnya dan
sekaligus pelaksana Kongres I PPMI.38 Beberapa
usulan39 dalam pertemuan itu yang menuntut untuk segera
direspon oleh PPMI saat itu juga adalah sebagai berikut:
1) Membahas struktur organisasi penerbitan
mahasiswa di fakultas yang ada di bawah Senat Mahasiswa Fakultas (SMF). Karena
berkenaan dengan SK Mendikbud 0457/U/1990 tentang pedoman organiasi
kemahasiswaan di PT, yang menyebutkan bahwa lembaga kemahasiswaan di fakultas
adalah HMJ, SMF, dan BPM. Adapun penerbitan
kampus mahasiswa berada di bawah SMF.
2) Meminta PPMI untuk menjernihkan prosedur dan
mekanisme pembredelan, penghentian, pembekuan setiap penerbitan mahasiswa, juga
status anggota/pengurus mahasiswa dari nonmahasiswa
3) Meminta PPMI untuk mengeluarkan sikap
sehubungan dengan penarikan majalah Vokal IKIP PGRI Semarang yang dicekal
terbit.
4) Mengharuskan
PPMI membantu bagi penerbitan maha-siswa untuk memperoleh Surat Izin Terbit
(SIT).
Lalu, disepakati adanya pertemuan lanjutan PPMI
guna kesiapan sekiranya akan diselenggarakan April–Mei/Juni 1993 di Bali. Untuk itu maka dibentuk panitia ad hoc yang bertugas sebagai
SC Panitia Kongres I PPMI. Jadi panitia ad hoc bentukan Wanagama belum
selesai hingga terselenggaranya Kongres wadah baru (PPMI). Sedangkan beberapa
anggota panitia ad hoc sudah lulus kuliah dan non aktif. Maka pada
pertemuan ini merestrukturisasi anggota panitia ad hoc tersebut.
Terbentuk panitia ad hoc jilid II yang masih dikoordinatori oleh Tri
Suparyanto.40 Berikut anggota-anggotanya:
- Koordinator: Tri
Suparyanto/Pendapa UST(Delegasi DIY), dengan Anggota:
- Tugas Suprianto/Isola
Pos IKIP Bandung (Delegasi Jawa Barat),
- Arief Adi Kuswardono/Manunggal
Undip (Delegasi Jateng)
- Wignyo Adiyoso/Ketawang
Gede Unibraw (Delegasi Jatim)
- Okky
satrio/Komentar Universitas Mustopo (Delegasi DKI Jakarta),
- Aldrin
Jaya Hirpathano/Teknokra Unila (Delegasi Sumbagsel),
- I Wayan Ananta Widjaya/Akademika
Unud (Delegasi Bali, NTT, NTB, Timor-timor),
- M. Ridha Saleh/Format
Universitas Tadulako (Delegasi Sulawesi),
- Alimun
Hakim/Kinday Universitas Lambung
Mangkurat (Delegasi Kalimantan),
- Yon
Soukotta/ Universitas Patimura (Delegasi Maluku dan Irian Jaya).
Usaha ini sebenarnya telah dirintis sejak 1987
namun kemudian wadah baru tidak kunjung terbentuk. Salah satunya karena memang
pers mahasiswa dan panitia persiapan yang dibentuk memilih menghidupkan kembali
IPMI, satu-satunya wadah yang sudah ada dan diakui waktu itu. Karena kondisi
politik yang tidak memungkinkan, IPMI yang terakhir kalinya menyelenggarakan
Kongres tahun 1980 ini pun padam, bahkan disebut-sebut beku sejak 1975,41 menyusul dibentuknya panitia ad hoc
pada tahun 1991 di Wanagama yang menegaskan membuat wadah baru, bukan IPMI.
Sejak itu, tepatnya 20 bulan (Februari 1991–Oktober 1992), dimulai dengan
upaya-upaya mengkonsolidasi pers mahasiswa dengan memanfaatkan
kegiatan-kegiatan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Tidak semua bentuk konsolidasi
dan pertemuan didokumentasikan oleh panitia ad hoc maupun pers
mahasiswa. Salah satunya dikarenakan tidak semua konsolidasi berformat rapat atau
sidang, tapi lebih cair dan dinamis.
Dengan terbentuknya perhimpunan ini, tugas pers
mahasiswa berikutnya akan lebih terbantu. Sebagaimana usulan pertemuan di
Malang, salah satunya menyikapi pembredelan Majalah Vokal IKIP
PGRI Semarang yang dicekal terbit dan Tabloid Dialoque terbitan Senat
FISIP Unair Surabaya dibredel dan penanggungjawabnya di-skorsing.
Ketika pers mahasiswa dinilai telah mengusik
pemerintah melalui pemberitaannya, maka pemerintah dengan kekuasaannya bisa
melakukan apa saja, seperti pembredelan dan lainnya. Sementara pers mahasiswa
tetap saja tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan adanya wadah baru ini (PPMI),
muncul semangat solidaritas untuk melakukan advokasi. Dalam kasus Dialoque,
pertama-tama PPMI melakukan pengecekan kebenaran atas pembredelan tersebut,
kemudian rechek, baru mengeluarkan statement. Banyak fungsi dan
harapan yang tersandar pada PPMI, mulai dari sebagai pembela kemerdekaan dan
kebebasan pers mahasiswa yang terkoyak, sebagai tameng pelindung independensi
pers mahasiswa yang selalu coba dikebiri, hingga sebagai tempat berteduh dan
menambatkan tali persekawanan di antara para pegiat pers mahasiswa .
Jika awal tahun 1993 kasus prembedelan mendera Dialoque,
berikutnya giliran Arena IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Mei 1993.
Demikian kondisi pers mahasiswa yang terus mengalami benturan-benturan dengan
birokrasi kampus mereka sendiri. Di satu sisi, perhimpunan yang baru saja
berdiri ini belum mampu bergerak leluasa karena belum menyelenggarakan Kongres
dan pengurusnya pun belum terbentuk. Tapi keterbatasan itu tidak membuat PPMI lantas berdiam diri tanpa melakukan apa-apa.
“Sambil menggayungsambuti kelahiran PPMI, kita
mencoba untuk membuat langkah inisiasi sejauh yang kita mungkinkan, sambil
melirik konteks dan situasi,” semangat Hasan Aoni Aziz, yang waktu itu menjabat
Presidium PPMI Jawa Tengah.42
Lalu Memainkan Isu
Tahun 1990-an, Depdikbud memunyai prinsip bahwa
para mahasiswa tidak boleh membangun organisasi di tingkat universitas, karena
jika itu dibangun maka konsolidasi akan terjadi dan itu tentu membahayakan.
Depdikbud hanya memperbolehkan organisasi di tingkat fakultas dalam bentuk
Senat Mahasiswa. Ini adalah bagian dari strategi untuk membonsai gerakan
mahasiswa. Dan benar adanya, kebijakan tersebut menjadikan mereka akhirnya
hanya sibuk mengurusi kegiatan-kegiatan di fakultasnya saja tanpa memunyai
wawasan politik lebih luas.
Seiring berjalannya waktu, mahasiswa yang hidup
dalam belenggu rutinitas fakultas masing-masing itu akhirnya tak betah juga.
Hingga akhirnya mereka berkumpul lagi
dan mengupayakan untuk membentuk wadah43.
Selain Senat Mahasiswa, ada organisasi ekstra.
Dikatakan ekstra karena kelompok aktivis mahasiswa ini menolak dilokalisasi di
dalam kampus. Tapi sayangnya, mereka (mahasiswa) yang bergulat di organisasi
ekstra tidak bisa memanfaatkan fasilitas dan dana dari kampus. Padahal
sejatinya mereka punya hak untuk itu. Dana kampus waktu itu hanya digunakan
untuk kegiatan-kegiatan fakultas, namun tidak menyasar sama sekali pada
pengembangan potensi mahasiswa. Dari sini kemudian muncul alternatif: pers
mahasiswa yang berkedudukan di kampus namun dengan pola pikir yang tidak
terkungkung di dalam kampus menjadi tempat untuk bertemunya para aktivis
mahasiswa.
Pers mahasiswa mampu memanfaatkan dana dari
kampus dan memfasilitasi organisasi ekstra kampus. Awalnya ada dua jenis gerakan, yaitu gerakan pers dan gerakan
kelompok studi. Masa-masa itu, gerakan kelompok studi lebih disukai karena
jenis ini lebih aman tanpa dicurigai oleh pemerintah. Ketika gejolak aktivisme
mahasiswa tidak terbendung lagi, gerakan kelompok studi yang biasanya bergelut
dengan buku itu ternyata kurang berhasil dalam hal kaderisasi.
Persis pada titik inilah pers mahasiswa menjadi alternatif
gerakan mahasiswa. Buku-buku mulai ditinggalkan. Diskusi-diskusi kritis
bergairah, darah yang semula mendidih kini mulai mencair. Aktivis pers
mahasiswa akhirnya tidak kuat menahan diri. Mereka pun aksi turun ke bawah, mengadvokasi
dengan pena dan apa saja yang dapat dilakukan. Membaur dan menjadi motor gerakan mahasiswa.
Dari kata-kata membalik halaman demontrasi. Kelompok diskusi, gerakan
mahasiswa, dan pers mahasiswa berpadu dengan wacana pengembang isu, penggagas kritis, lalu aksi. Dari mimbar bebas
sampai gerakan jalanan tidak sungkan-sungkan lantang
berteriak. Tidak ada yang paling berperan besar, dan tidak
ada yang boleh mengklaim paling berperan.44
Paduan gerakan mahasiswa membuat pemerintah
kalang kabut. Lalu, kampus-kampus mulai ditekan kuat-kuat. Konsep pendidikan
dilokalisir sebagai pemenuhan kebutuhan negara, dan bukan pemenuhan bangsa.
Kaum muda dijadikan kebutuhan komoditi pasar, dan bukan membentuk manusia yang
peduli terhadap nasib bangsanya.45 Kampus
menjadi penjara. Kontrol terhadap kampus kian ketat.
Namun bukan pers mahasiswa namanya, jika tidak pandai mencari celah. Mereka mengadakan
pelatihan-pelatihan jurnalistik yang cenderung pada bidang keilmuan dan
penulisan, sehingga pihak birokrasi kampus dan pemerintah tidak curiga. Forum-forum regional dan nasional mulai banyak diselenggarakan,
bahkan Dirjen Dikti pun mengadakannya, dan pers mahasiswa memanfaatkannya.
“Kita bisa bergerak seperti itu karena adanya
alasan pelatihan pers mahasiswa, kalau tidak kita bisa habis. Lebih
menguntungkan. Jadi waktu itu, selain kita bergerak ke luar kampus, kita juga
bergerak ke sistem supaya match dan terlindungi oleh sistem,” ungkap
Rahman Ma’mun.46
Dengan adanya acara-acara seperti pelatihan maka
kampus akan mengirimkan delegasi dan membiayainya. Itulah keuntungan. Di sisi
lain, konsolidasi terus dilakukan. Hingga akhirnya terbentuk wadah pers
mahasiswa secara nasional.
Pers mahasiswa memang lebih diuntungkan. Diuntungkan karena masih di
bawah atap kampus dan tradisi intelektual yang cukup terjaga, meski dengan
berbagai cara berusaha untuk dilemahkan. Tetapi semakin ditekan justru semakin kuat. Semakin ditiup, semakin membara. Basis idealisme pers mahasiswa sebagai bagian dari gerakan mahasiswa
tidak pernah padam. Itulah semangat pers mahasiswa yang terus
digelorakan.
Upaya pelemahan melalui kebijakan NKK/BKK yang secara de jure
selesai tahun 1990 itu tidak berpengaruh ketika pada praktiknya birokrasi
kampus pun menjadi sasaran pers mahasiswa. Dualisme bidikan pers mahasiswa: kekuasaan
birokrasi kampus dan kekuasaan pemerintah. Maka demikian pula potensi membangun
jaringan, semakin luas, baik di tingkatan kampus maupun di luar kampus. Pers
mahasiswa punya potensi itu: merangkul gerakan yang lain. Kesadaran kritis yang
dipraktikkan tidak hanya pada arena wacana di dalam kampus semata melainkan
juga di ranah riil masyarakat. Di sini mahasiswa berpeluang memengaruhi
masyarakat, terutama yang menghadapi kasus-kasus represifitas penguasa.
Pendiri IPMI, Koesnadi Hardjosoemantri,
menyatakan bahwa mahasiswa hendaknya tidak menutup mata terhadap yang selain
pandangannya sendiri.47 Ngomong politik tapi bukan jadi antek
politik. Sekata dengan Dwidjo bahwa pers mahasiswa pun berpolitik. Penggunaan
istilah ‘politik praktis’ sebenarnya mereduksi agar mahasiswa melulu menggeluti
buku-buku diktat kuliah. Mahasiswa dilarang kritis dan dilarang berani
bertanya. Istilah ‘politik praktis’ hanya upaya stigmatisasi organisasi mahasiswa
agar gerakannya tidak mengalamat ke kekuasaan, agar status quo terjaga
dari goyangan dan kritikan. Meski sisi lain ada benarnya juga, untuk meredusir
kepentingan-kepentingan tertentu yang memboncengi gerakan mahasiswa.
Berseberangan dengan itu, pers mahasiswa justru terus menghembuskan
nafas-nafas perlawanan. Mohctar Lubis pernah berkata bahwa pers mahasiswa tidak perlu
membatasi diri dengan persoalan kampus. Karena mahasiswa itu sudah dewasa,
sudah berhak menentukan dan bertanggungjawab terhadap masa depan generasinya.
Jadi tidak ada bedanya dengan warga negara yang lain.
“Selama ini kita beranggapan kalau sudah dari pemerintah tidak bisa
digugat lagi. Kalau benar,
ya, kita dukung. Tapi persoalannya apa memang benar? Kita berhak menguji dengan
pikiran dan fakta-fakta yang bisa kita kumpulkan. Jika kritikan yang mengusik
penguasa biasanya dibalas dengan pembredelan. Agaknya ini perlu diluruskan,”
paparnya.48
Sosialisasi nilai, istilah Tri Suparyanto, yang
dilakukan mendorong pembaca media pers mahasiswa yang sebagian besar mahasiswa
tergerak untuk melakukan perubahan. Sejarah ini
sangat dinamis, terasa cepat berubah sekitar awal dekade 1990-an. Di sini, mahasiswa sudah berani membicarakan
hal-hal yang di luar mata kuliah. Tidak hanya berhenti dalam
pelatihan-pelatihan saja, karena dalam dua sampai tiga bulan pers mahasiswa
selalu mengadakan kegiatan. Akibatnya persoalan akademik menjadi kurang
diperhatikan, seperti jarang mengikuti kuliah. Tetapi di balik itu, pers
mahasiswa merupakan tempat kondusif bagi berkumpulnya para aktivis mahasiswa
dengan kecenderungan yang berbeda-beda. Ada kelompok mahasiswa yang ingin menjadi
penulis atau wartawan yang tidak ingin menjadi aktivis gerakan. Ada pula yang
ingin profesional di bagian iklan, fotografi dan seterusnya.
“Kalau dari sudut pengorganisasian kita harus
menghargai masing-masing aktivis yang dengan berbagai macam motivasinya itu.
Jika semua motivasi ini bisa diakomodasi, konsolidasi akan semakin kuat. Dan
nantinya tidak bisa dipungkiri, di seluruh kampus di Indonesia pemasok terbesar
dari gerakan mahasiswa adalah anak-anak pers mahasiswa, walaupun tidak
menggunakan label pers mahasiswa. Pers mahasiswa itu adalah menjadi tempat
alternatif untuk berkumpulnya para aktivis,” terang Aman mengingat-ingat
dinamika mahasiswa awal 1990-an .49
Namun, ada juga aktivis pers mahasiswa yang
tetap menggerakkan dan menurunkan massa. Jadi PPMI adalah salah satu dari
sekian banyak varian gerakan mahasiswa. Baik yang dari organ ekstra, seperti
gerakan mahasiswa HMI, GMNI, PMKRI, PMII dan sejenisnya, maupun yang dari
internal kampus, Senat Mahasiswa dan segala macamnya. Semua berlatar belakang
yang sama: pers mahasiswa. “Jangan dilupakan ini,” tegas Dwidjo.50
Sangat beragam. Seperti wadah penampungan gerbong aktivis mahasiswa
yang siap diturunkan di mana saja. Romantisme mahasiswa dengan gerakan mengarah pada radikalisme. Militansi
dan idealisme berpadu pada semangat kaum muda. Tidak ada yang mempertanyakan
soal perbedaan, apalagi mempertentangkan satu sama lainnya. Kekayaan jaringan
yang dengan sadar berhimpun, tanpa paksaan dan tidak dibentuk dengan klaim
politis.
Seperti menemukan momen, pers mahasiswa membaca
kondisi sedang di bawah birokrasi otoritarian dan gejala gerakan yang memuncak.
Sedangkan pers umum banyak yang bungkam atau dibungkam. Aparatus negara
setidaknya berhasil menggali kuburan pers umum. Beberapa
yang lantang dibredel atau dilarang terbit sampai pada waktu yang tidak
ditentukan.
Gerakan mahasiswa membutuhkan asupan gizi.51 Masya-rakat mulai resah dan menyadari diri
dalam ketidakpastian. Pers umum dikekang kuat-kuat. Pers mahasiswa yang sejak
awal bergejolak dan membangun wacana kritis kini memainkan perannya.
Memosisikan peluang gerakan dan kondisi politik sebagai pemicu. Kasus-kasus
yang mengusik penguasa semakin kencang diangkat. Motor penggerak mahasiswa pun
dipercepat. Dan memang sudah menjadi tugas media untuk mengontrol kondisi
sosial, jika menginginkan perubahan yang segera.
Setelah melalui jalan panjang, PPMI akhirnya
dideklarasikan di Malang pada tahun
1992. Konsolidasi pers mahasiswa berusaha lebih dimasifkan, konsep yang lama
digagas kembali. Hingga wadah baru itu pun lebih dinamis dan luwes dalam
memosisikan dirinya sebagai organisasi yang mewadahi organisasi. Sebuah bentuk
yang unik: lembaga menaungi lembaga-lembaga (pers mahasiswa). Wadah alternatif
yang waktu itu dirindukan oleh pers mahasiswa pasca hilangnya IPMI dari
peredaran. Muncul kesadaran berkumpul dan berbagi dengan
saudara serahim, sesama pers mahasiswa.
Upaya pembentukan wadah itu, selain sebagai cara yang tepat untuk
menghimpun diri dan mempertegas posisi pers mahasiswa juga sebagai alternatif
untuk menampung keluh-kesah emosional yang gerah dan letih dengan isu-isu
politik dan kekuasaan. PPMI sebagai
bagian dari gerakan mahasiswa juga sebagai paguyuban atau komunitas pers
mahasiswa yang memiliki jalinan solidaritas dan komunikasi kultural sangat erat.
Segala perbedaan atribut dan latar belakang gerakan akan melumer ketika masuk
ke wadah ini karena begitu kuatnya ikatan kultural di antara mereka.
Dua hal yang tidak dapat dilepaskan dari pers mahasiswa: bahwa
sebagai bagian dari gerakan mahasiswa harus terus membarakan perlawanan dan
kontrol terhadap kekuasaan, namun hal itu haruslah dilambari dengan analisa dan
data yang sesuai dengan media.
“Nah itu kan berat, ini harus berdasarkan
fakta yang sesuai lazimnya kaidah-kiadah pers
yang benar. Maka jika ditanya apakah ada targetan-targetan itu, tentu ada. Namun tidak
kemudian secara serampangan asal njeplak saja. Di sini ada konsep
investigasi dan reportase di dalamnya. Ini yang menjadi tantangan bagi pers
mahasiswa. Sehingga pilihan-pilihan yang berani dan beresiko menjadi
konsekuensi,” kata Dwidjo.
Dwidjo mendeskripsikan pilihan sebagai aktivis pers mahasiswa ini
dengan “orang-orang yang kritis, yang punya keganjilan hati, keganjilan nurani
untuk memikirkan bangsa ini. Bahwa bangsa ini sakit, bangsa ini sedang didera,
sedang terjebak, sedang dijajah oleh suatu kekuatan. Ini kan yang bisa membaca hanya hati
nurani, maka inilah yang membuat mereka menjadi militan, melakukan
pilihan-pilihan, termasuk melihat pers mahasiswa kemudian menjadi PPMI.”
Keprihatinan dan kegelisahan yang juga dialami oleh
aktivis mahasiswa masa itu perlu dituntaskan dalam berbagai bentuk, tidak cukup
hanya dalam media pers mahasiswa saja. Keterampilan memainkan isu pun
diterapkan dalam aksi-aksi penyikapan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.
Bisa dilihat, misalnya, pada 1990-an, isu lokal pengambilalihan tanah kebun
warga di Cianjur, Jawa Barat, yang akan dijadikan lapangan golf. Setelah
menggelar aksi dengan petani-petani, isu lokal ini di-blow up menjadi
isu nasional oleh pers mahasiswa.52 Sehingga
banyak solidaritas dan media umum yang kemudian meng-angkatnya. Sebuah
tantangan untuk memainkan isu, jika tidak mau dikatakan sebagai pengekor dari
isu media umum.53
Komentar
Posting Komentar