Langsung ke konten utama

UU Guru dan Dosen Pudarkan Idealisme Pendidkan Islam



A.     Pendahuluan
Hasil dari kurikulum pendidikan Agama Islam harus diakui sangat memperihatinkan. Setelah  sekian lama dilaksanakan, kurikulum Pendidikan Agama Islam pada pendidikan formal terbukti tak mampu menjegal produk pendidikan dari dampak negatif modernisasi. Jika sistem selalu melihat pencapaian secara ideal dan pula telah mengalami penggodokan yang tentu memperhatikan pengalaman yang ada, faktor lain dalam pendidikan Agama Islam kemungkinan menjadi celah kegagalan pendidikan Agama Islam pada pendidikan formal.
Pendidik dan pendekatan pendidikan Agama Islam bisa merupakan celah dari kegagalan Pendidikan Agama Islam dewasa ini. Pendidik saat ini lebih banyak terbentuk atas dasar pragmatisme tujuan mendidik. Dengan hadirnya UU Guru dan Dosen yang menawarkan kesejahteraan yang tinggi, banyak orang yang menentukan pendidikan untuk menjadi seorang Guru, termasuk Guru Agama. Pola pemikiran pragmatis pada awal adala sebuah kewajaran. Selanjutnya, penylenggara pendidikanlah yang harus mampu mengubah prespektif tersebut untuk lebih mengedepan subtansi pengabdian sebagaimana ciri provesi guru. Namun, pendekatan penylenggara pendidikan guru juga tak mampu melkuakn itu atau memang belum sadar akan pentingnya pembangunan jiwa pengabdi pada provesi guru.
Dengan pragmatisme tersebut, pendidik yang terlahirpun kemudian tak seideal amanat kurikulum. Mereka tak mampu untuk berfikir efaluatif demi kesuksesan mengajar. Mereka, sebagimana pragmatismenya saat dibentuk akan cenderung statis dan hanya memusatkan konsentrasi pada peningkatan kesejahteraan semata.tantangan pendididkan Agma yang begitu dinamis seiring perkembangan jaman tak mampu disikapi secara baik oleh para guru agama. Akibatnya, kebutuhan peserta didik atas pendidikan Agama sebagai arah jalan kedepan tak mampu dipenuhi pendidikan agama kita. Sikap peserta didik yang tercantum dalam subtansi kurikulum pendidikan agam islam akhirnya tak mampu tercapai.
Setelah itu, pendektan pendidikan Agma Islam juga tak bisa mengakomodir berbagai aspek dari peserta didik yang seharusnya mampu disentuh olehnya. Pendekatan pendidikan islam bisa disebut terlalu mengdikotomikan aspek kognitif dengan aspek afektif. Dalam perekembangannya, pendidikan islam secar cepat berubah menjadi pendidikan yang leih mengedepankan aspek kognitif peserta didik. Aspek yang sebenarnta menjadi subtansi pendidikan islam dalam pembangunan ahlak peserta didik juag akhirnya terpinggirakan oleh capaian konitif yang tak berdasar. Hal tersebut telah terukti dengan hasil-hasil PAI selama ini. Peserta didik mungkintahu akan materi pendidikan islam namun taka mampu melakukan internalisasi terhadap konteks kehidupan nyata mereka. Pada khirnya hasil PAI kita saat ini bisa disebut tahu Islam namuntak mampu memahami Islam.
Dari paparan tersebut, point penting yang perlu dibahas adalah tentang apakah ditetapkannya UU guru dan doesn memang punya implikasi terhadap cara pandang masyarakat terhadap pendidikan guru? Kemudian apakah perbedaan cara pandang tersebut mempengaruhi kualitas dari pendidik itu sendiri di dalam proses pendididkannya? Lalau, bagimana dampak dari kondisi tersebut terhadapa kegitanan pembelajaran pendidikan islam. Dan terakhir adalah apa sajakah yang harus dperhatikan oleh LPTK dalam mensikapi pola pandang masyarakat yang berbeda dalam memasuki pendidikan guru?

B.UU Guru dan Dosen dan Cara Pandang Terhadap Provesi Guru
1. Teori Pendidikan          
Pendidikan di setiap negara memiliki arah tertentu. Arah tersebut adalah semacam patokan dan targetan kemana pendidikan akan bermuara. Mengingat pendidikan adalah sebuah usaha dalam membangun peserta didik maka arah pendidikan tersebut disesuakan dengan kebutuhan pendidik. Namun terdapat perbedaan presepektif tentang pertanyaan untuk apa dan siapa manfaat pendidikan tersebut. Oleh krena itu munculah beberapa teori tentang pendidikan yang membahas soal tujuan dari pendididkan tersebut. Secara umum kita bisa membagi konsep pendidikan menjadi tiga. Tilaar dan Suryadi (1994:14) menyatakan bahwa secara teori konsep tersebut terbagi menjadi teori fungsiaonalisme, human catital, dan empirisme.
            Teori fungsionalisme adalah teori yang melihat bahwa pendidikan adalah sebuah usaha terpadu yang berujung pada pencapaian manfaat bagi suatu negara atau masyarakat. Peserta didik dalam teori ini dilihat sebagai individu yang harus didik kemampuan intelektualnya agar bisa menyumbankan kemampuan mereka dalam menyokong perkembangan suatu negara. Lebih lanjut Tilaar dan Suryadi (1994:19) menyatakan bahwa teori fungsionalisme mencurahkan perhatiannya pada mencurahkan pendayaguanaan sumber daya manusia intelektual secara efektif sehingga akan memberikan dampak yang sangat besar terhadap kekuatan suatu negara. Dengan demikian, upaya pemeliharaan dan pendayaguanaan sember daya manusia (SDM) secara efisien telah menjadi sasran hampir di semua negara di dunia. Perhatian terhadap SDM merupakan salah satu karakteristik yang menonjol dari teori fungsionalisme.
            Teori yang kedua adalah teori human capital. Teori ini adalah suatu aliran pemikiran yang menganggap bahwa manusia merupakan suatu bentuk kapital sebagaiaman bentuk-bentuk kaital lainnya (seperti mesin, uang, tekhnologi, dst.) yang sangat menentukan terhadap produktifitas suatu bangsa (Tilaar & Suryadi, 1994:23). Melalui investasi dirinya sendiri, seseorang dapat memperluas alternatif untuk memilih provesi, pekerjaan, atau atau kegiatan yang lain sehingga dapat mensejahterakan hidupnya. Human capital ini dapat diaplikasikan melalui berbagai bentuk investasi sumber daya manusia diantaranya pendidikan sekolah, pendidikan luar sekolah, pengalaman kerja, kesehatan gizi, transmigrasi dsb.
            Cara befikir teori ini sebenarnya mirip dengan Technological Functionalism. Kedua teori tersebut menekankan pada fungsi teknologis dari pendidikan dan pendayagunaan sumber daya manusia secara efisien. Pada satu fihak, teori humancapital bremaksud menjawab tantangn dari apap yang diesebut underinvestment in human capital; yaitu kurang dikembangkannya seluruh potensi sumber daya manusia untuk membangun pertumbuhan ekonomi. Pada pihak lain, technologica; ascription, yaitu faktor-faktor pembawaan seperti setatus sosial, ekonomi, koneksi, jenis kelamin, dst yang sering memberikan pengaruh terghadap mekanisme sleksi dan promosi tenaga kerja.
            Kemudian yang terahir adalah teori empirisme. Pusat dari teori ini adalah kombinasi dari subtansi dan metodologi terutama dalam melakukna diagnosisi terhadap maslah pemerataan pendidikan. Kemunculan Teori Empirisme metodologis dalam cabang sosilogi pendidikan juga merupakan jawaban dari perkembangan analisis sosiologis dalam bidang pendidikan yang sebelumnya tidak memilki dasar (Karabel & Hasley, 1997). Teori ini terpusat pada 3 masalah besar yaitu (a) pendidikan dan mobilitas sosial, (b) pemerataan kesempatan pendidikan, (c) pendidikan dan pertumbuhan ekonomi.
            Pendidikan dan mobilitas sosial dalam teori emprisme bermakna bahwa pendidikan adalah sebuah cara untuk melakukan mobilitas sosial. Sejalan dengan studi Blau dan Ducan pada Tilaar & Suryadi (1994:28) menyimpulkan bahwa masyarakat yang cenderung telah mengalami pergeseran struktural ke arah masyarakat industri lebih menkankan pada faktor achievement ketimbang ascription dalam suatu mobilitas pekerjaan antargenrasi. Kesimpulan ini didukung didukung oleh penemuan yang menunjukan bahwa variabel latar belakang keluarga tidak memepngaruhi terhadap setatus dan pekerjaan lulusan pendidikan. Lebih kanjut keduannya kemudian mengatakan bahwa status dalam pekerjaan tidak lagi didominasi oleh pengruh faktor keturunan, tetapi harus diakui oleh prestasi yang diakuib secara meluas.Kemudian, pemerataan kesempatan pendidikan dalam teori empirisme bermakna bahwa pendidikan tersebut harus menjadi sebuah hal yang mereta pada semua lapisan masyarakat. Pendidikan dan pertumbuhan ekonomi bermakna bahwa pendidikan adalah salah satu faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi adalah hampir sama dengan paparan teori fungsionalisme dan humman capital.
2.Relevansi Pemahaman Pendidkan yag Filosofis terhadap Pendidikan Islam
            Dari konsep-konsep tersebut pendidik seharusnya memahami tentang makna pendidikan secara filosfis. Pemahaman tersebut menjadi penting akarena hal tersebut akan menjadi patokan bagaiman para mendidik tersebut mendidik. Tanpa adanya pemahaman yang baik terhadap konsep tersebut pendidik akan terbelenggu pada pencapaian-pencapaian yang subjektif dan pragmatis. dalam konteks PAI, pendidik dalam hal ini guru agama harus mampu memetakan fungsi PAI terhadap konsep filosofis pendidikan tersebut. Dengan mampu melakukan internalisasi konsep guru PAI akan mamapu melakukan pendekatan pendidikan yang tepat terhadap peserta didik. Sebaliknya jika tidak dapat dikuasi oleh para pendidik maka pendidikan islam hanya akan menjadi hal yang normatif dan tak memilki pencapaian yang jelas. Akibat akhirnya adalah para peserta didik yang tak mamapu dikendalikan oleh pegethuan agama seperti saay ini. Namaun jika semua berjalan secara ideal, sebaliknya, para peserta didik akan selalu menemukan jawaban dari islam ihwal maslah hidup mereka sehimngga tingkah laku yang buruk dapat ditekan.
            Maslah yang paling mendasar mengenai pendidikan islam adalah bahwa pendidik tak mampu untuk membuat pesrta didik dapat melakukan internalisasi matri agama. Bahkan Kornad Kebung pernah berkata bahwa pendidikan agama hanyalah pendidikan yang dogmatis. Artinya bahwa materi agama hanya dipahami sebagai sebuah hmpunan materi kognitif yang harus dikuasai tanpa mendalami aspek pemahaman yang mendalam terhadap pesert didik. Saat ini, murid tahu agama tapi tak mampu memahami agama. Pendidikan dogmatif semacam itu dikarenakan oleh pensakaralan ajaran agama yang berlebihan yang akhirnya membawa nilai agama menjadi nilai yang mandeg tanpa mengalami dilaektika yang demokratis.
            Pendidik yang mamapu memahami konsep filosfis pendidikan akan memilki sensifitas dan progresivitas dalam pengajarannya sehingga mampu untuk memahami bahwa pendidikan agam islam bukan hanya sebuah kesakralan tetapi ajaran mulia yang memberikan kita kesmpatan untuk memahaminya. Hal tersebut dapat terjadi karena pendidik akan secara jelas memilki target pencapaian pendidikan islam. Denagn kesadarn yang tinggi sebagi pengruh dari pemahaman yang pendidikan yang filosofis tersebut ajarn islam akan diakanai secara filosofis pula bahwa semangat pendidikan islam adalah menciptakan generasi yang baik bukan generasi yang hanya pintar tentang islam namun tak memahami islam dalam praktik kehidupan sehari-hari.
            Mekanisme untuk membuat oara pendidik samapai kepada pemahaman pendidikan yang baik denagn mengethui tujuan pendidikan yang filosfis tentu memmerlukan sebuah usaha. Usaha yang pertama adalah dengan membuat sebuah kurikulum pendidikan islam yang relevan pada LPTK. Hal tersebut karena memanga pemahaman filosofis saat ini terancam oleh motivasi oportunis sebagai akibat dari UU guru dan dosen. Penyesuaian tersebut bisa dimulai dengan formulasi jam kuliah dan jam di luar kuliah yangproposional. Peneysuaian waktu tersebut kemuida dilanjutkan dengan arahan bagi para calonpendidik untuk ikut organisasi kemahasoswaan. Kita harus faham bahwa organisasi adalah ttemapt yang paling efektif adalam pemebntukan pola fikir mahasiswa. Cara pengaturannya adalah dengan tidak terlalu berat sebelah dalam memebebani para mahasiswa jurusan pendidikan deagn tuntutan akademis (sepert presensi 75%, larangan masuk organisai, dan kebijakan lain yang berelbihan). Cara semacam itu akan mendidik para calon pendidik untuk lebih memilki pola pemikiran yang luias dan tak searah saja. Modal pemikiran yang terbuka sebagai hasil dari gemblengan organisasi tersebut akan membuat para calon pendidik akan memahami makna pendidikan secar filosofis. Cara lainnya adalah dengan memberikan mata kuliah khusus bagi pengembangan pola berfikir mahasiswa kependidikan. Sejalan dengan pandanga Ibnu Rusd, seorang cendikiawan msulim, yang pernah berkata bahwa filsafat adalah salah satu cara memahami islam maka mata kuliah filsafat perlu untuk diberikan. Menurutnya, Alloh menyuruh manusia untuk menggunakan logika dalam memahami ajaran-Nya.  Hal tersebut tentu sangat beralasan. Sesuai dengan konteks memahami pendidikan secara filosofis maka seorang poendidika harus pula mampu berfikir secara filosofis. Dengan adanay pendidikan filsafat hal tersebut akan membuat para calon pendidik menjadi individu yang mampu menganalisa dan memetakan maslah abstrak termasuk dalam konteks ini makan filosofis pendidikan isalam.
            Dengan pendidik ynag mampu memahami pendidikan dalam ranah folosofis maka pendidik akan menjadi pendidik yang sensistif terhadap situasi dan kondisi serta mampu melakuakn perkembangan pendidikan islam yang progersif. Pendidik dengan memahami konsep filosofis penddikan akan mampu membaca keadaan pengajaran agama islamnya. Sensitifitas tersebut ditimbulkan oleh pemhaman tentang targetan makro dalam sebuah pembelajaran islam. Dengan mengetahui batsan tartget maka pendidikan akan senantiasa efaluatif terhadap bagaimana ia mengajar pendidikan islam. Pendidik pula akan cepat tanggap terhadap kebutuhan peserta didik yang berhubungan dengan aspek keislaman. Pemahaman yang baik tentang makna pendidikan secar foilosofis juga berdamapak pada progresifitas pendidik. Dengan semua yang gambalang tentang tujuan umum hingga kusus yang dihelskan dalam makana pendidikan akan membuat pendidik sealu mencoba menemukan terobosan untuk mencapai targetan pendidikan islam.
            Dengan kondisi pendidik yangs emacam itu juga akan memberikan manfaat bagai peserta didik. Jika selama ini materi pendidikan islam disampaiakan searah karean terlalu dogmatis dengan pemahaman pendidik yanga baik akan berubah menjadi pemebelajaran yang menggunakan pendekatan yang komunikatif. Hal tersebut akan membuta pesrta didik merasa nyaman pada pembelajaran agama islam karena mereka memilki ruang yang luas untuk menuju internalisasi akan pendidikan islam. Secar nyaman mereka akan berkomunikasi tentang keluhan hidup mereka untu disesuakan dengan pembelajaran agama yang sedang berlangsung. Dengan pendidik yang telah sensitif serta progresif, pendidik juga akan mencoba untuk amampu memberikan arahan yang tepat. Jika tidak mampu pendidik dengan pemahaman yang baik akan secar jujur mengkui dan akan terus berusaha untuk mampu menjawabnya. Sebaliknya peserta didik karean merasa nyamandan mendapatkan pencerahan dari pendidikan agam semacam itu akan pula memilki kesadran untuk melakukan tindakan sebagaimana islam ajrkan. Di sisi kognitif, pesrta didik juga kan lebih mumpuni karena proses pembelajaran yang komunikatif semacam itu akan lebih mudah dipahami.
C.Kesimpulan
            Tantangan terberat pendidikan islam saat ini adalah tentang bagaimana materi pendidikan islam dapat secara tepat diinternalisasi oleh pesrta didik. Namun, untuk menuju itu hambatan juga tak sedikit. Masalh pendidik yang tak sensistif dan progresif adalah maslah yang utama. Dengan memahami konsep dan pengertian pendidikan secara luas dan mendasar atau filosofis, pendidik akan membangun sensitifitas dan progresifitasnya secara mandiri sebagiamana paparan di atas. Dengan kondisi pendidik yang semacam itu nantinya akan berdampak pada kualitas internalisasi pendidikan isalm yang baik. Pada akirnya, pendidikan islam yang kita inginkan akan secar bertahap bisa tercapai. Amin.
                 
           

              

Referensi
Anshari, Hafi. 1983. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Tilaar, H.A.R & Suryadi Ace. 1994. Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: PT Remaja   Rosdakarya.
Palmoquist, S. 2007. Pohon Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram