Langsung ke konten utama

Pers Mahasiswa Dekade 1990-an - Berani atau Dibredel!


student movement organization 
Paruh pertama dekade 1990, kondisi otoritarian memuncak. Tetapi di sisi lain resistensi pers pun kian mengusiknya. Dalam tiga tahun pertama, 1990-1993, empat pers mahasiswa mengalami pembredelan: Vokal IKIP PGRI Semarang pada 1992, Dialoque FISIP Unair Surabaya pada 1993, Arena IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 1993, dan Focus Equilibrium FE Universitas Udayana Bali pada 1993. Seiring dengan itu, tiga pers umum pun dibredel yaitu Tempo, Detik, dan Editor pada 21 Juni 1994. Pada tahun yang sama dialami pula oleh Tabloid Sarana Aspirasi Sastra (SAS) Fakultas Sastra Universitas Negeri Jember, Majalah Kanaka Fakultas Sastra Udayana Bali, dan Isola Pos IKIP Bandung.
Berawal dari sebuah seremonial pembukaan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di IKIP PGRI Semarang, 31 September 1992. Sambutan ketua yayasan menyinggung soal terbitan Vokal yang berbau politik. Bahkan, dia mengancam akan mengundurkan diri jika penampilan Vokal masih tetap demikian. Sambutan itu kemudian disambut keberatan oleh Rektor IKIP. Tentunya tekanan dialamatkan kepada pihak yayasan. Yayasan mendapat teror akibat pemberitaan Vokal yang mengangkat Golput. Karena waktu itu menjelang Pemilu 1992. Diketahui bahwa ketua yayasan juga menjabat sebagai DPRD I Jawa Tengah, dan pada Pemilu ini sebagai Calon Legislatif untuk DPR RI.
Hari itu juga Pembantu Rektor III mengadakan rapat dengan mahasiswa yang dihadiri oleh Vokal, SMPT, dan UKM lainnya. Hasilnya, sudah dapat ditebak, memutuskan Vokal ditarik dari peredaran.43 Akhirnya kasus ini selesai ketika disepakati bahwa ketua yayasan dan ketua SMPT hilang dari struktur kepengurusan Vokal.

Berbeda dengan Vokal, Tabloid Dialoque terbitan Senat Mahasiswa FISIP Unair Surabaya dibredel dan penanggung-jawabnya diancam skorsing. Hal ini karena pihak dekanat mempersoalkan izin terbitnya tabloid dari Senat tanpa diketahui oleh pihak rektorat. Meski sebenarnya pihak dekanat telah mengetahui sebelumnya karena memang Senat telah mengajukan permohonan.
Alasan ini yang dijadikan celah untuk menggulung Dialoque. Sedangkan isi tabloid, menurut pengurusnya, sangat wajar karena di dalam kuliah mereka diajari soal politik. “Kalau melarang, hancurin aja mata kuliahnya,” kata Hartoko, ketua BPM Unair. Dialoque yang terbit perdana ini harus berurusan juga dengan Polwiltabes Surabaya. Hal ini karena, menurut Polwiltabes, Dialoque termasuk dalam selebaran gelap.44 Penanggungjawab Dialoque kemudian sempat ditahan dan Ketua Senat FISIP Unair diskorsing melalui SK Rektor No. 649/PT.03.H/I/1993 tertanggal 25 Januari 1993.
Aksi solidaritas untuk Dialoque berdatangan. Selain oleh Senat  dan BPM (Badan Perwakilan Mahasiswa) FISIP Unair sendiri, dukungan datang dari Yogyakarta. PPMY mengirim surat protes kepada Mendikbud,45 Fuad Hassan. Dan di Surabaya, Formasa (Forum Mahasiswa Surabaya) mengancam akan menggelar aksi solidaritas lebih besar. Dukungan juga mengalir dari PMII, Kelompok Studi Cakrawala Timur, Kelompok Mahasiswa Studi Pembangunan, Komite Pembelaan Mahasiswa Surabaya, dan Kelompok Studi Gerbang. 46 Akhirnya perjuangan yang tidak sia-sia, Emil Syarif Lahdji, penanggungjawab Dialoque, pun dilepaskan.47
Giliran Arena IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dibredel.48 Dengan mengangkat berita utama “Bisnis di Kekuasaan” sebagai laporan utamanya, menghasilkan keluarnya SK Rektor No. IN/I/R/PP.003/93 tertanggal 18 Mei 1993. Padahal sebelumnya pada tanggal 27 April 1993 telah dilayangkan surat No. IN/I/HM. 00/1341/93 yang intinya berisi untuk merevisi berita laporan “Bisnis Keluarga Presiden,” tulisan Ali Sadikin, dan wawancara dengan Adnan Buyung Nasution. Jika tidak dilakukan revisi maka rektor tidak akan bertanggungjawab.
Surat peringatan tersebut juga ditembuskan ke Korem, Polwil, Kodim dan Polresta. Kemudian pengurus Arena meminta penjelasan terkait surat tersebut. Sampai pada keempat kali permintaan tersebut diajukan, respon tetap nihil bahkan negatif.
Akhirnya rektor mengeluarkan SK pembredelan tersebut dengan alasan bahwa Arena tidak memiliki STT yang legal pada waktu itu, padahal Arena sudah mengantongi SIT sejak 1966. Namun menurut pihak rektor, SIT tersebut sudah tidak berlaku lagi karena telah berganti dengan STT. Alasan kedua, Arena tidak mencerminkan penerbitan khusus namun lebih cenderung pada pers umum. 
Yang jelas, sejak 1986, Arena telah mengajukan permohonan STT kepada Deppen melalui rekomendasi rektor waktu itu namun belum kunjung terbalas. Padahal secara periodik Arena telah melaporkan penerbitannya dan mengisi IPK.49 
Dampak dari pembredelan ini mengundang aksi solidaritas tidak hanya dari pers mahasiswa tapi juga kelompok mahasiswa lainnya. Selain PPMI (Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia), PPMY (Perhimpunan Pers Mahasiswa Yogyakarta), FKPPM (Malang), FKPMS (Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Semarang), FKPMJ (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi) dan sebagainya, juga organisasi internal semisal Senat Mahasiswa, UKM, dan lainnya.
Puncaknya pada 2-14 Juni 1993 yang ditandai dengan gelombang aksi yang terus berdatangan dari berbagai daerah: Jakarta, Jawa Tengah, Bandung, Jombang, Salatiga, Surabaya, Malang, dan Jember. Sehingga kemudian digelar rapat akbar yang bertajuk “Pembongkaran Represifitas dalam Kampus”. Rapat akbar ini pun dikenal dengan Kongres Mahasiswa Indonesia. Aksi terus dilakukan sampai rektor mencabut SK Pembredelan Arena. Namun pihak rektorat justru menyatakan SK pembredelan tersebut tidak dapat dicabut.
Massa makin anarkis, menduduki kantor rektorat dan memboikot ujian semester pada Senin itu, 13 Juni 1993. Akhirnya rektorat bersedia berdialog. Tetapi sebelum itu terjadi ketegangan, lantas aparat keamanan mendobrak dan menangkap 13 mahasiswa.
Kemudian pihak keamanan mendatangi pihak rektorat untuk dipertemukan dengan pihak mahasiswa. Sedangkan pihak keamanan melalui Kapolwil DIY sebagai mediator dan Deppen DIY sebagai saksinya. Hasilnya sesuai dengan pemberitaan Majalah Pendapa edisi Nomor 19 tahun 199350 menyebutkan, dalam dialog hampir empat jam itu disepakati bahwa Arena boleh terbit kembali setelah memiliki STT. Maka pihak rektorat dalam dua bulan akan sepenuhnya membantu pengurusan STT.
Namun menurut Majalah Arena yang terbit tahun 1995,51 menyebutkan, Arena dapat terbit kembali sembari meng-usahakan STT. Sedangkan pihak rektorat berjanji membantu sepenuhnya kelancaran dalam mengurus STT tersebut.
Belum selesai di situ. Esoknya, pihak rektorat mengadakan siaran pers yang menyatakan bahwa rektorat tidak pernah mencabut SK pembredelan dan Arena tetap tidak boleh terbit sebelum memunyai STT. Bahkan rektorat mempersulit dengan membuat peraturan yang merubah struktur kepengurusan Arena. Rektor sebagai ketua pengarah Arena, dan PR III sebagai wakil ketua pengarahnya.
Demikian kasus Arena yang semakin memanaskan gejolak mahasiswa. Di daerah lain terjadi pula hal serupa. Focus Equilibrium terbitan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Bali pun bernasib sial. Bahkan kemudian kasus ini menjadi bahasan dalam Kongres I PPMI. Hingga presidium mendapat mandat dari kongres melalui SK Kongres PPMI Nomor 10/TAP/Kongres I/PPMI/IX/1993 tentang Rekomendasi Kebijakan Umum untuk segera membantu menyelesaikan kasus media ini.52
Kasus terus berlanjut. Tabloid SAS, Fakuktas Sastra Universitas Jember, menjadi korban berikutnya. Edisi 42 Tahun V/1994, khususnya halaman 12-13, yang memuat wawancara dengan Pramudya Ananta Toer: “Bukan Hanya Buku, Popok pun Dirampas” membuat dekanat berang dan mengeluarkan SK Dekan Nomor 1986/PT32.H4.FS/SK/0.13/1994.
Sebagai bentuk solidaritas, aktivis pers mahasiswa mengadakan aksi massa dan surat pernyataan di Solo, menggugat kesewenangan birokrat kampus yang mengebiri pers mahasiswa. Selain dari Solo dan Jember, beberapa kota lain pun berdatangan seperti dari Yogyakarta, Malang, Semarang, dan Surabaya.
Keputusan dekanat ini dibalas dengan pernyataan Petisi Sepuluh November yang diharapkan mampu meredam keadaan, namun tidak membawa hasil.53 Justru kemudian pengurus SAS periode 1993-1994 dipaksa ’cuci gudang’ hengkang dari kepengurusan.
Sebenarnya soal halaman 12-13 itu asumsi saja. Bahkan yang lebih tegas adalah tajuk rencananya menyebutkan dan mencetak tebal kata ’rezim otoriter’. Padahal SAS juga biasa memerahkan telinga birokrasi kampus. Waktu itu alumni SAS juga turun, namun justru untuk membantu dekanat.

“Ya biar semangat maksudnya. Karena sebelumnya sangat akademis, sastra, budaya. Karena setiap generasi punya semangatnya sendiri. Kan, tambahnya, tidak ada salahnya berwacana pergerakan itu. Lalu ya dibredel itu, “ jelas Praminto.54
Keputusan ‘cuci gudang’ itu kebetulan hampir akhir masa periode kepengurusan. Setelah pergantian struktur, nama pun ikut berubah, dari SAS menjadi IDEAS. Persoalan selesai meski pengurus baru juga agak dipersulit, seperti harus menyerahkan draf yang akan dicetak. Tidak kalah pintar, Praminto memberikan draf lain, yang bukan akan dicetak.
Masih soal pemberitaan. Majalah Kanaka terbitan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali yang dalam ulasan utamanya mengangkat tema “Ketika Penguasa Digebuk Kritik” edisi Nomor 1/TH.IX/1994 pun bernasib serupa.
Jauh di barat pulau Jawa, Bandung yang dingin pun ikut  memanas. Isola Pos IKIP Bandung tidak luput dari gejolak ancaman media, namun kali ini dengan kasus yang berbeda. Laporan utamanya edisi 15/TH IV/1994,55 khususnya halaman XII, digugat oleh Senat Mahasiswa (Fakultas Pendidikan Teknik dan Keguruan) FPTK IKIP Bandung. Hal ini karena pihak senat tidak puas atas pemberitaan Ospek. Sehingga ketika sampai di pembaca, berita laporan utamanya raib. Akhirnya, pengurus Isola Pos memilih jalan damai, dengan bersedia menyobek halaman 12 dan tidak memperkarakan perilaku pemukulan yang dilakukan oknum pengurus senat mahasiswa FPTK terhadap salah seorang pengurus Isola Pos.56
Tahun 1995 pun tidak lepas dari pembredelan. Diantaranya adalah Majalah Aspirasi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jakarta dan pemimpin redaksinya dipecat sebagai mahasiswa. Kemudian pembredelan halaman Majalah Indikator FE Universitas Brawijaya Malang. Dan tidak diizinkan beredarnya Majalah Invest oleh Rektor STIESIA Surabaya.
Tanggal 5 Desember 1995 Rektor UPN “Veteran” Jakarta mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor SKEP/100/XII/1995 tentang Tindakan terhadap Mahasiswa yang Melanggar Tata Tertib serta Disiplin Kampus. Dalam SK tersebut Rektor memberikan sanksi akademik kepada Ali Nuryasin, Pemimpin Redaksi Majalah Aspirasi. Sanksi berupa diberhentikan sebagai mahasiswa UPN Veteran dan dilarang mengikuti kegiatan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa).57 Bersamaan  dengan itu keluar pula pada hari yang sama SK Rektor nomor 101/XII/1995 yang membekukan kegiatan Lembaga Penerbitan Mahasiswa ASPIRASI.58
Keputusan Rektor ini dipicu oleh tulisan Ali Nuryasin dalam rubrik Renungan yang berjudul “Kemerdekaan?” di Majalah Aspirasi edisi 52/XI/Agustus/95 dinilai subversif dan menghasut mahasiswa agar memusuhi pemerintah. Keputusan pemecatan merupakan hasil rapat senat kampus pada 4 dan 6 Desember 1995, serta disepakati oleh Dephankam selaku Dewan Pembinan UPN.
Pembantu Rektor III UPN Veteran Jakarta Wahyu Slamet menekankan bahwa Majalah Aspirasi telah dimanfaatkan sebagai alat penyaluran politik praktis dan berbahaya maka kampus menindaknya. “Jadi menurut saya sudah sewajarnya jika kami menindak mahasiswa tersebut karena anak itu dapat berbahaya bagi keamanan dan ketertiban kampus,” jelas Wahyu. 59
Solidaritas segera bermunculan. Forum Komunikasi Pers Mahasiswa se-Jabotabek  (FKPMJ) segera merespon dengan Surat Terbuka tertanggal 7 Desember 1995 dan menyebarkan informasi ke seluruh media massa umum dan majalah maha-siswa seluruh Indonesia jika tidak segera dicabut keputusan tersebut.
Menurut inventarisir Aspirasi60 hal ini adalah akumulasi sikap kampus. Sebelumnya Aspirasi edisi 47 juga menerbitkan artikel berjudul “Prediksi 94” tentang politik yang juga dipermasalahkan oleh Pembantu Rektor III UPN. Disusul pada bulan Agustus 1995 pamflet keluaran Aspirasi yang dituduh sebagai agitasi kepada pimpinan kampus. Isi pamflet tersebut menyebutkan bahwa kampus bersifat otoriter.
Seperti tak sepi dari pembredelan, tahun 1996, giliran Buletin Saksi Keadilan terbitan Sema Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila) harus berhadapan dengan Departemen Penerangan Wilayah Lampung. SK bernomor 334A/pp-b/IV/1996 tertanggal 22 April 1996 pun keluar. Surat tersebut berisi perintah untuk melakukan penarikan peredaran Buletin Saksi Keadilan edisi 2/April 1996 dan sekaligus menghentikan aktivitas media tersebut. Alasan yang diberikan karena keputusan Menteri Penerangan RI Nomor 01/PER/MENPEN/1975 pasal 4 yang mewajibkan media mahasiswa memiliki STT.
PPMI dalam surat pernyataan sikap, tertanggal 10 Mei 1996, menyatakan bahwa keputusan Departemen Penerangan tersebut tidak beralasan. Karena Buletin Saksi Keadilan, seperti halnya media mahasiswa yang lain, tidak di bawah institusi Departemen Penerangan, sehingga tidak wajib mengikuti instruksi tersebut.61
Kasus-kasus yang dialami oleh pers mahasiswa kemudian tak terdeteksi secara pasti berapa media pers mahasiswa yang terkena ancaman, pembredelan, dan jenis lainnya. Di beberapa daerah terdengar kabar pembredelan, antara lain di Malang (Civitas Universitas Merdeka), Semarang (Hayamwuruk Universitas Diponegoro), dan Surabaya (Arrisalah Fakultas Dakwah IAIN Surabaya). Majalah Arrisalah edisi XXXII/Th. XII/1997 mengangkat berita “Radikalisme Politik Indonesia”. Kasus-kasus itu menunjukkan gejolak pers mahasiswa dan radikalisme pemberitaan yang memuncak menjelang 1998.

Menjaga Sikap dan Orientasi
Secara terang PPMI tidak menyerukan gerakan penggulingan rezim Orde Baru. Sebab PPMI  secara praktis tidak ingin terjebak dalam kepentingan politik tetapi secara kritis sebagai wadah pers mahasiswa memberikan pemahaman bahwa melawan penguasa yang dholim adalah bagian dari perjuangan. PPMI sebagai bagian dari oposan dengan idealismenya akan terus mengawasi penyalahgunaan kekuasaan dan melawan segala bentuk kesewenangan yang dilakukan oleh penguasa, karena hal itu hanya akan menjadikan rakyat sebagai korbannya.
Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian dan independensi PPMI sebagai wadah pers mahasiswa agar tidak terjebak pada orientasi praktis. Setelah 1998, gerakan mahasiswa terpecah: ada yang merasakan kemenangan maka euforia terjadi.62 Sedangkan PPMI tetap konsisten terhadap wacana kritis sebagai pers mahasiswa, bahkan memandang hal ini sebagai sandiwara, dan kecurigaan ini dipublikasikan kepada gerakan mahasiswa. “Sebagai gerakan tentu emosi isu penggulingan sangat kuat, namun apakah masyarakat siap dengan perubahan,” ujar Imun, panggilan Dwi Muntaha.63
Jika gerakan mahasiswa yang berorientasi praktis itu memiliki senior-senior yang berada di kekuasaan, maka gerakan mahasiswa akan menjadi underbouw kepentingan tertentu. Akhirnya, jika ukurannya kesadaran, maka gerakan 1998 itu menjadi kesadaran naif. Ketika terjadi pergantian rezim, penguasa aktor lama bisa masuk lagi dengan pola-pola yang tak berbeda.64 
Banyaknya golongan yang menjadi agen percepatan penggulingan Soeharto baik dari kalangan akademisi, praktisi politik, gerakan sosial, media, dan sebagainya menjadi gerakan besar 1998. Sehingga yang demikian itu sulit dibedakan antara kepentingan praktis dan gagasan independen gerakan mahasiswa waktu itu.65 Sebelum 1998, pemerintahan Soeharto memang telah dinilai tidak efektif lagi dalam menopang kepentingan global (kapitalisme). Gerakan untuk mempercepat penggulingan bukan rahasia lagi. Suhu politik pun memanas. Di sisi lain, banyak pula akademisi lulusan luar negeri yang bersentuhan langsung dengan mahasiswa menghembuskan wacana tersebut.
Tidak disangka perubahan terjadi begitu cepat, Soeharto lengser dari presiden. Di daerah-daerah sudah banyak terjadi tekanan gerakan yang dilakukan baik oleh mahasiswa maupun masyarakat. Maka ketika isu itu dihembuskan segera menyebar dan gerakan 1998 adalah klimaksnya. Akumulasi dari gejolak gerakan masyarakat, mahasiswa, dan kepentingan-kepentingan politik tertentu sejak beberapa tahun sebelumnya. Dari 1998 itu, ada yang diuntungkan, pun sebaliknya: ada yang dikorbankan. Ada kepentingan-kepentingan bermunculan yang mengarah pada keinginan terhadap kekuasaan dan dominasi tertentu. Sehingga PPMI waktu itu kecewa dengan berubahnya gerakan. “Kecewa itu jelas, tapi bukan pesimis. Masih mungkin juga membangun gerakan yang memang substansial. Yang konsisten,” tegas Imun.66 
Dalam Kongres III PPMI tahun 1997, PPMI berusaha untuk tetap konsisten dalam mengawal perubahan. Wacana pembahasan kongres masih meneguhkan fungsi pers mahasiswa sebagai media alternatif. “Yang pasti dalam sebuah gerakan memerlukan konsistensi, mau menerima konsekuensi, berbesar hati dan sadar diri,” ujar Eka, Sekjen PPMI yang terpilih dalam Kongres III itu.
Isu yang dibahas dalam kongres belum ada kaitannya dengan gerakan 1998, meski dipahami bersama bahwa kondisi politik waktu itu merupakan akumulasi dari berbagai isu daerah67, kondisi ekonomi (krisis moneter), dan penguatan akar solidaritas pers mahasiswa dan gerakan mahasiswa secara menyeluruh. Soal penggulingan Orba tidak ditulis secara verbal dalam rekomendasi PPMI. Dalam kondisi yang demikian dinilai bahwa melawan sebuah rezim otoriter adalah sebuah sikap dan nilai perjuangan pers mahasiswa. Namun PPMI tidak menyerukan gerakan 1998 dalam penggulingan Orde Baru.68 PPMI sebenarnya menawarkan format grass root bagi pers mahasiswa saat itu, untuk melakukan suatu aliansi kekuatan opini mahasiswa melalui pers mahasiswa.
Kongres III PPMI ini, seperti sebelum-sebelumnya, ‘menumpang’ Diklat Lanjut Lembaga Pers Mahasiswa Solidaritas (lembaga perbitan tingkat institut) IAIN Sunan Ampel Surabaya. Hal ini selain untuk menyiasati soal pendanaan juga menyiasati agar agenda PPMI yang ketika itu termasuk dalam OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) bisa berjalan. Eka Satialaksmana terpilih menjadi Sekjen III PPMI periode 1995-1997 setelah melewati proses pemilihan. “Awalnya ada dua calon, yakni delegasi dari Lampung, namun saat pemilihan dia mundur. Jadi nggak ada pilihan. Tapi sudah syukur, sudah ada yang mau,” terang Imun.69 
Kesolidan kota dan LPM menjadi pertimbangan utama dalam memilih seorang Sekjen, selain figur dan komitmennya. Karena keanggotaan PPMI adalah delegasi, perwakilan dari LPM dan pengurus nasional adalah delegasi kota.
Sedangkan profil Eka waktu itu dipandang sebagai orang baru dalam jaringan pers mahasiswa di PPMI. Perdebatan terjadi ketika Sekjen dilihat belum memahami organisasi ini. Dengan beratnya konsekuensi dalam mengemban amanat kongres, akhirnya Eka mengundurkan diri delapan bulan kemudian karena beberapa faktor yang melatarbelakanginya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram