Langsung ke konten utama

Bada Haji tanpa Haji: Sisi Lain Desa Karanggedang

sawah di Suwuk, Cibitung, Karanggedang tatkala senja 



Desa Karanggedang, desa yang makmur namun tak memilki Pak Kaji atau Ibu Kaji. Sejarah pergolakan politik memutus mata rantai religiusme Islam.
Desa itu seperti kota yang hilang ditengah rimba. Menuju desa yang bernama Karanggedang ini layaknya petualangan di film Indiana Jones atau bahkan Jurasik Park. Melewati bukit-bukit curam dengan hutan pinus yang memagari jalan membuat sedikit adrenalin bergejolak. Hewan-hewan kecil seperti Luak, Landak, dan burung-burung yang tak segan melintasi jalan aspal belubang-lubang membuat perjalanan layaknya tamasya di taman safari. Di dalam hutan, beberapa penduduk desa yang sedang menyadap getah pinus dan lannya merumput atau menggembalakan kambingnya menyapa dengan senyum ramah. Sungguh sebuah kedamaian di sebuah Kabupaten yang sampai saat ini masih terus terhempas permasalahan.    
            Sekitar satu jaman terbuai petualngan, desa itu kemudian menyuguhkan pemandangan yang tak disangka-sangka sebelumnnya. Desa diperbukitan pertama setelah dataran rendah pantai selatan itu  memperlihatkan simbol-simbol kemakmuran yang berkilauan meruntuhkan perkiraan akan keterbelakangnya. Rumah-rumah tembok berlapiskan keramik warna-warni berjejer di pinggiran jalan desa. Di jalan, motor-motor model terkini melintas tiada henti. Warung-warung nampak layaknya toko karena melimpahnya barang dagangan dan pula pembelinya. Semua itu membuktikan tingkat kesejahteraan desa itu tinggi.

            Dari data setatistik tahun 2009, penduduk desa adalah 3.592 orang. Walau hanya sebagian kecil yang berpendidikan perguruan tinggi, kultur kerja keras di desa itu membuat kesejahteraan tiap keluarga tetap baik. Selain penduduk desa memang para petani yang memiliki lahan sendiri, kiprah pemuda pun ikut mengkatrol kesejahteraan penduduk desa. Para pemuda setelah sekolah menegah atas biyasanya langsung merantau ke kota, luar jawa, bahkan hingga jadi pelaut di Amerika. Penghasilan yang baik diperantauan lantas mereka kirimkan ke desa. Uang kiriman itulah yang kemudian menjadi modal pembangunan dan perluasan lahan pertanian para orang tua di desa. Walau dana yang mengalir dari perantauan ke desa itu cukup banyak, sepertinya dana itu tak ada yang mengalir ke Departemen Agama. Dari data setatistik menunjukan bahwa penduduk desa yang sudah menunaiakan haji masih nol atau belaum ada satupun dari penduduk desa yang berpredikat haji batau hajah.
            Seperti ironi, di tengah kesejahteraan yang setabil naik, aspek pencapaian dalam hal keislaman masih begitu rendah. Dengan kesejahteraan yang seperti itu namun masih nihilnnya jumlah haji menjadi semacam indikator bahwa pemahaman keislaman desa itu masih rendah. Eyang Amir, salah seorang penduduk desa menjelaskan adanya keterkaitan nihilnya jumlah haji di desa itu dengan sisi kelam sejarah desa itu. Kakek 80 tahun itu menuturkan sebagian besar penduduk desa itu adalah pendatang dari daerah yang tergolong baik pemahaman keislamannya pada tahun-tahun setelah proklamasi 1945. “Kebanyakan orang di desa ini dari daerah Cinangsi termasuk saya dan orang tua saya. Orang tua saya rajin solat dan pandai mengaji,” tuturnya.
            Menurut sejarah, desa Karanggedang itu memeng selalau terkena imbas oleh pergolakan politik pasca kemerdekaan. Pergerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1960-an dan Darul Islam (DI TII) sebelumnnya menjadikan wilayah desa Karanggedang dan sekitarnya sebagai basis pergerakan. Secara keseluruhan wilayah kabupaten Cilacap memeng masuk kedalam wilayah yang sempat menjadi basis PKI. Sebagai perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah membuat wilayah ini ideal sebagai titik pergerakan. Secara geografis wiyah Cilacap adalah titik aman Pergerakan PKI di wilayah Purwokerto dan sekitarnya di Jawa Tengah serta Tasik  Malaya dan Ciamis di Jawa Barat. Ketika terdesak karena pasukan TNI atau kekeurangan bahan makanan, PKI dari kedua wilayah itu masuk wilayah Cilacap khususnya desa Karanggedang untuk berlindung atau sekedar mencari bahan makanan.
Kondisi itu lantas berimbas pula pada kondisi sosial dan budaya desa Karanggedang. Para anggota PKI di desa ini lantas melakukan intimidasi terhadap penduduk desa. Kondisi sosila awal masyarakat yang relijius  membuat PKI geram dan mulai memaksakan pandangan mereka tentang kosep beragama. Konsep pemikiran komunis yang memandang Agama dan Islam khususnya sebagai sebuah dominasi dan hegomoni kelas borjuis memandang penduduk Karanggedang harus meninggalkan ibadah. Masyarakat lantas diteror. Mereka yang melaksanakan sholat atau pergi ke Mushola dilarang. Ada beberapa kejadian yang menegrikan di mana beberapa penduduk yang beribadah lantas dibunuh didepan umum untuk menimbulkan efek teror yang lebih. “Saat itu kalau ada yang sholat biyasannya diculik dan nggak kembali lagi. Kami takut dan mulai tak berani untuk sholat,” ungkap Eyang Amir.
Sekitar lima tahunan, setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30SPKI/Gestapu) mampu diungkap Tentara Nasional Indonesia (TNI) PKI langsung diberantas. Di desa karanggedang pemberantsan PKI dan antek-anteknya juga dilakukan. Mereka yang disinyalir sebagai anggota atau antek-anteknya PKI lantas di bawa ke Pulau Nusakambangan untuk kemudian tak kembali lagi. “Saat Gestapu kami lega. PKI dibasmi dan kami jadi bebas,” lanjut Eyang Amir.
Walau telah terbebas dari teror PKI, tekanan yang terjadi selama 5 tahunan itu ternyata telah mengubah kondisi sosial religius penduduk desa secara kuat. Mereka penduduk yang masih religius mulai meninggal dunia. Orang dewasa dengan pendidikan formal dan agama yang sangat minim mulai menganggap tak penting beragama berganti pandangan materialisme. Anak-anak yang pada awal pergerakan PKI baru mulai belajar Islam namun kemudian dipaksa untuk menjauhi ibadah tumbuh menjadi individu yang tak begitu faham Islam. Kondisi inilah yang di sebut Sakam salah seorang penduduk desa yang terlahir di wal tahun 60-an sebagi sebuah kondisi putusnya generasi religius Islam. Sakam yang seorang perngkat desa di desa Karanggedang itu sangat merasakan masa-masa pasca Gestapu yang ia maknai sebagi masa keilangan jati diri. “Seharusnya dengan umur dan kondisi ekonomi saat ini saya sudah sedang di Mekah di Idul Adha ini. Tapi, saya masih belum siap karena belum punya ilmu yang cukup tentang Islam. Saya menyesali keadaan setelah Gestapu itu,” tuturnya.
Sakam hanyalah salah satu penduduk yang menjadi korban Efek domino pergerakan PKI. Walau mengakui kekurangpahamannya terhadap ilmu Islam, Sakam dan keluarganya termasuk taat beribadah. Ia mengaku tetap menjalani ibadah wajibnya. Warga yang lain, walau tak serajin dirinya juga masih rajin berzakat bahkan di Idul Adha ini setiap RT berkorban minimal 1 kambing. Kondisi desa ini pun aman dan damai, tidak ada konflik atau tindakan kriminal yang menonjol. Kondisi yang tanpa pemahaman agama yang tak begitu dalam namun kondisi desa bisa sejahtera dan aman membuat pemahaman sebagian warga menggagap semakin tak penting mendalami ilmu agam islam. “Prinsipnya kita berbuat baik dan tak berbuat dosa. Rajin beribadah kalu malah jadi teroris juga kan malah berdosa,” ungkap Cipto seorang petani dan pemilik traktor pembajak sawah. Untuk masalah naik haji dirinya berpendapat bahwa haji itu milkinya orang yang mampu. Cipto sama seperti Sakam mengaku belum mampu untuk naik haji. “Naik Haji kata orang pinter kan kalu mampu. Nah, saya ini belum mampu,” ungkapnya sambil sedikit tertawa.
     Susilah seorang Guru di SD Negeri 1 Karanggedang kelahiran tahun 1965 memandang maslah ini juga karena pendidikan agama yang tak baik. “Dari saya kecil sampai saat ini belum pernah ada TPA. Tidak ada kemauan baik dari masyarakat ataupun pemerintah untuk menyudahi damapak PKI itu. Saya berharap sejarah kelam desa ini tak boleh menjadi hambatan terhadap pendidikan Islam,” tuturnya. Menurutnya pula bahwa hanya dengan pendidikan agam islam yang baik dan sungguh-sungguhlah pola pemikiran masyarakat desa akan berubah. “Kebanyakan warga di sini terlalu terfokus pada kebutuhan duniawi. Hanya dengan pendidikanlah mereka akan memahami berharganya ilmu khususnya ilmu Agama. Seharusnya sudah banyak warga yang sudah jadi Pak Kaji,” tambah Guru SD yang sedang mengikuti proses sertifikasi ini. 

Komentar

  1. Ilmu agama memang penting, sebagai benteng dan pelurus iman kita. Walaupun sedikit namun bukan berarti mereka itu buta akan agama, kebanyakan dari mereka masih mengacu pada filosofi jawa, yang jika dikaji ulang tidaklah berbeda dengan ajaran-ajaran agama khususnya islam. ironisnya banyak yang mempelajari agama tanpa mengerti maksud, tujuan dan implementasinya. sama halnya dengan orang yang sedang belajar membaca heh...
    baik, dari pada tidak sama sekali seperti saya ini hehehe...
    Memang banyak dari mereka yang tidak sama sekali berkeinginan pergi haji, dan memang benar karena pemahaman agama yang sedikit, jika mengatakan kepentingan duniawi yang mereka utamakan, itu tidaklah benar,segelintir dari mereka yang menginginkan akan hal itu sudah berusaha sebisa mungkin walaupun waktu terealisasinya cukup lama.
    Inilah realita kehidupan sob, unik dan sulit untuk ditebak. Saya berharap penulis dapat menggapai semua impiannya dan pergi haji yang mabrur

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram