Langsung ke konten utama

“Jati Diri Pers Mahasiswa sebagai Kontrol Sosial dan Agen Perubahan”


“Jati Diri Pers Mahasiswa sebagai Kontrol Sosial dan Agen Perubahan” adalah tema yang dipilih Kongres V PPMI tahun 2000 di Mataram. 26 Tema tersebut dimaksudkan agar pers mahasiswa selain menyikapi konstelasi politik nasional juga berusaha menyelesaikan problem internal yang belum usai.
Di satu sisi, idealisme dan fungsi pers mahasiswa yang melekat tidak bisa begitu saja dilepaskan karena itu sebagai ruh perjuangan pers mahasiswa. Fungsi konrol sosial pers mahasiswa tentu menempati posisi prioritas jika dibandingkan dengan fungsi pendidikan, informasi apalagi sekedar hiburan. Maka sangat aneh bila pers mahasiswa merasa kehilangan nyali dan isu di tengah hiruk-pikuknya problem riil berbagai bidang kehidupan dalam masyarakat. Pers mahasiswa mestinya dapat menyediakan alternatif bacaan yang sehat. Artinya bacaan itu harus jujur, objektif dan benar. Jangan biarkan rakyat memeroleh informasi seadanya dari pers umum yang sudah terkontaminasi dengan kepentingan ideologis pasar media. Bacaan yang jujur dan membebaskan akan merangsang dialog wacana sehingga berpengaruh positif bagi proses demokratisasi.
Sebuah tantangan bagi pers mahasiswa untuk sejauhmana merefleksikan fenomena-fenomena sosial politik sehingga mampu diformulasikan pada program-program aksi kerakyatan-kemasyarakatan. Hal ini sekiranya sebagai upaya menjawab pertanyaan; di mana letak kepedulian sosial dan daya kritis mahasiswa?
Di sisi lain, pencarian jati diri dan format yang tepat belum kunjung terjawab. Usia yang masih cukup muda dan kurangnya SDM sepertinya bukanlah alasan utama untuk terus berbenah, tetapi yang lebih subtantif lagi adalah menemukan format organisasi yang tidak berorientasi praktis namun mampu mendorong pencapaian serta penguatan organisasi. Landasan substansial perhimpunan untuk menjalin konsolidasi tidak mungkin tercakup dalam angka-angka atau penyeder-hanaan yang praktis. Solidaritas anggota dan potensi pem-bangunan wacana pers mahasiswa dalam perhimpunan sepertinya menjadi basis yang perlu dibicarakan. Pemahaman utuh tentang fungsi-fungsi jaringan media, dan sikap pers mahasiswa sendiri dalam mengawal fenomena sosial politik yang berkembang. Tidak reaktif atau sporadis. Pendekatan kritis harus diproritaskan daripada instingtif atau spekulatif.
PPMI yang terdiri dari pers mahasiswa se-Indonesia adalah sebuah kekayaan tersendiri. Pemaksimalan potensi tersebut akan memperkaya khasanah wacana aktivis pers mahasiswa dengan sarana konsolidasi organisasi, bahkan menjadi kekuatan pendorong proses-proses gerakan mahasiswa. Beban historis dan romantisme heroik bukan pertimbangan utama dalam upaya konsolidasi pers mahasiswa. Setiap generasi punya masanya sendiri. Jelas berbeda konteks pers mahasiswa hari ini dengan kemarin, apalagi besok.

Syaratnya adalah organisasi yang solid. Bagaimanapun bentuk dan strukturnya, kebersamaan adalah kuncinya. Melihat struktur pada tahun 1998-2000 ini terdiri atas Sekjen, Presidium Wilayah (Preswil), Dewan Kota (DK), lalu pers mahasiswa sebagai anggota. Akan tetapi tidak adanya kekuasaan lebih pada Sekjen berupa garis instruksi ke bawah membuat kewenangan melakukan koordinasi berkaitan dengan program kerja, lebih-lebih penyikapan terhadap fenomena aktual, menjadi agak terhambat. Sedangkan organisai butuh staffing untuk melakukan controlling dan aktualisasi kerja-kerja.
Tanggungjawab yang sangat sentralistik pada Sekjen setidaknya berdampak pada dua hal.27 Pertama, lemahnya pengawasan terhadap Sekjen berpotensi terhadap penyalah-gunaan wewenang dan jabatan. Kedua, dengan minimnya kekuatan sumberdaya organisasi akibatnya sangat minim koordinasi dan pelaksanaan program kerja. Perlu dipikirkan kewenangan instruktif Sekjen kepada Presidium Wilayah, Dewan Kota dan pers mahasiswa supaya pola koordinasinya lebih jelas.
Jaringan Kerja Organisasi (JKO) hasil Kongres IV Jombang awalnya diharapkan dapat memfasilitasi hambatan tanggungjawab personal itu, namun demikian dalam perjalanan selanjutnya JKO tidak bekerja secara maksimal dan fungsi riilnya sering dipertanyakan. Pertama, karena overlapping kerja dengan Presidium Wilayah dan Dewan Kota. Kedua, sangat sedikit person yang bersedia duduk di JKO dan mampu melakukan aktivitas atas nama pribadi untuk kerja-kerja PPMI. Beberapa individu yang intensif melakukan kerja-kerja JKO lebih disebabkan tanggungjawab pribadi dan kedekatannya dengan Sekjen, sehingga fungsi JKO tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Menurut Rudi Astriyono, salah satu peserta Kongres IV asal Jember, JKO hanya buang-buang bahasa saja. Karena sebenarnya secara kultur sudah melakukan jaringan kerja organisasi. Selain itu, karena rekomendasi Kongres IV di Jombang, maka ketika Mukernas 1999 di Bandung JKO dipahami sebagai sebuah mekanisme yang harus coba dilakukan untuk PPMI nasional.28
Sedikit kembali ke belakang, Pra-Mukernas di Yogyakarta pada tanggal 17-18 April 1999 di Wisma Barek IKIP Yogyakarta yang diikuti oleh 73 peserta menghasilkan materi Mukernas II Bandung.29 Materi Mukernas berupa materi stressing dari draf Program Kerja, draf Kode Etik Jurnalistik PPMI, dan draft Jaringan Kerja Organisasi (JKO).
Seminggu setelah itu, pada 25-26 April 1999, diselenggarakan Mukernas II PPMI di IKIP Bandung bertema “Menatap Masa Depan Pers Mahasiswa dalam Kebebasan Pers.” Mukernas yang diikuti 123 peserta lebih ini lalu membentuk 5 komisi, yaitu: Komisi A membahas program kerja, Komisi B membahas JKO, Komisi C membahas Advokasi dan Kode Etik, Komisi D membahas kurikulum Diklat, Komisi E membahas Tabloid Merah Putih.30
Setelah pembahasan program kerja, Merah Putih, JKO, dan advokasi selesai, forum menugaskan kepada Sekjen untuk menindaklanjuti pembahasan kurikulum dan kode etik jurnalistik di lain forum, karena butuh konsentrasi pembahasan lebih mendalam. Selanjutnya diagendakan pertemuan untuk membahas dua hal tersebut di beberapa tempat yang menjadi alternatif yaitu Surabaya, Malang, Purwokerto dan Palembang.
Akhirnya acara itu dilaksanakan di Palembang, IAIN Raden Fatah Sumatera Selatan. Jadilah Lokakarya Nasional Kode Etik dan Kurikulum Diklat Pers Mahasiswa PPMI pada 7-8 Agustus 1999. Lokakarya ini diikuti oleh 50 aktivis pers mahasiswa dengan tema “Menguatkan Basis Moral, Memantapkan Sistem Pengkaderan dan Meningkatkan Profesionalisme Pers Mahasiswa menuju Demokrasi Sejati”.31
Pembahasan kode etik dan kurikulum Diklat tepatnya berlangsung di Pusdiklat Pemda Bukit Siguntang. Dengan berangkat dari perbedaan visi dan misi dari berbagai pihak yang ada dalam masyarakat, termasuk di dalamnya pers mahasiswa, yang merupakan pers alternatif, maka sangat penting untuk menyatukan pandangan terutama berkaitan dengan hal kode etik dan kurikulum pelatihan jurnalistik. Hasilnya rumusan resmi Kode Etik Jurnalistik PPMI ini kemudian dikembangkan hingga Kongres VI PPMI 2002 di Malang.
Berikutnya Dies Natalis PPMI ke VII di Wisma Warsiki Sanur Bali pada 4-6 Desember 1999.32 Beranjak dari kebutuhan organisasi akan konsolidasi serta transformasi antar generasi dan antar sejarah dengan harapan dapat menjalin kembali rasa kebersamaan dan solidaritas sosial.
Kesempatan itu sekaligus digunakan untuk merekatkan kembali silaturahmi dengan pers mahasiswa di Bali yang sempat non aktif sepanjang 1998-1999.33 Momen Dies Natalis ini dimanfaatkan untuk konsolidasi. Pembahasan diantaranya soal gagasan JKO, jaringan dengan alumni PPMI, iuran wajib PPMI, tabloid Merah-Putih dan advokasi Sa’datul Fitriya yang meninggal pada September 1999. Karena belum dapat dipastikan soal meninggalnya aktivis pers mahasiswa dari Teknokra Universitas Lampung ini, maka forum kemudian menyepakati dibentuknya tim pencari fakta sebagai advokasi terhadap Fitriya.34
Gagasan menjalin alumni pers mahasiswa pada Dies Natalis ini salah satunya, karena kehadiran Rommy Fibri, Asep Wahyu, Alumni PPMI Bali, dan tokoh-tokoh generasi pertama PPMI lainnya. Namun akhirnya forum belum kunjung terbentuk. Banyak faktor dan perdebatan yang muncul. Yang jelas kesiapan dan kebutuhan organisasi menjadi alasan utamanya. Sedangkan keinginan untuk membuat Pusat Dokumentasi dan Komunikasi dunia pers mahasiswa semakin membulat ketika ada tawaran dari detik.com dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk menyelenggarakan Kampus Online. Tawaran kerjasama berikutnya, yakni dari kampuskita.com yang melayani jasa dokumentasi, komunikasi, dan sosialisasi. Di akhir periode ini juga ditawari koleksi majalah dan tabloid pers mahasiswa oleh beberapa alumni PPMI. Lagi-lagi ketika periode berakhir maka berakhir pula rencana-rencana dan keinginan itu, padahal program belum selesai dan belum pula ada transformasi ke pengurus berikutnya. Sehingga ketika periode baru dimulai, agenda kerja pun dari awal lagi.
Di akhir periode, Edi Sutopo menjelaskan, untuk mencapai tujuan dibutuhkan model organisasi yang solid, hubungan yang kuat antar anggota menjadi modal besar dalam menjawab kebutuhan PPMI. Tentu saja hal ini dengan tidak mengabaikan atribut seperti karakter, kesiapan dan esensi.35
Pertama, Karakter. Organisasi ini dipenuhi balutan kultur, apakah itu dalam kerangka aktivis mahasiswa, ataupun aktivis pers amatiran sehingga idealisme yang dikedepankan tidak jauh dari situ, berputar-putar dan marak dengan wacana, gagasan atau konsep meledak-ledak. Karakter ini sangat kuat mendominasi dan saya yakin kita semua tahu. Kecenderungan inilah yang membuat kita kadang-kadang spekulatif.
Kesiapan, untuk dapat mempertahankan kondisi ini saja sudah bagus. Kita perlu memaklumi pada tingkatan kerangka yang bersifat teknis organisatoris, bahwa PPMI sangat rapuh. Namun pada konsep yang sangat kaya, eratnya hubungan antar LPM tidak bisa ditampik.
Esensi, ada dua mainstream memaknai esensi. Pertama, esensi diletakkan pada akibat. Kedua, esensi merupakan sebab kita sering terjebak di sini. PPMI memiliki dua lini organisasi, above line organization (organisasi lini bawah) yang merupakan jaringan regional antar LPM. Up line organization (organisasi lini atas) yang memediasi hubungan antar LPM antar regional. Karena ini adalah perhimpunan maka esensi terbentuk dari model hubungan-hubungan itu. Gagasan tentang model organisasi tidak lepas dari ketiga atribut di atas. Kegagalan dalam peletakan atribut itu menyebabkan PPMI tidak menjadi organisasi yang solid dengan paradigma dan arah gerakan yang mantap. PPMI bisa saja menamakan apapun dalam balutan apapun juga untuk tetap bisa berhubungan satu sama lainnya. Jadi sekali lagi karena model perhimpunan maka akan memudahkan hubungan-hubungan itu. Kita akan sulit bertemu dan berkumpul di sini kalau bukan karena hubungan dalam PPMI. Model akan menjadi inspirasi strategis dalam konstelasi apapun di PPMI. Selanjutnya, antara harapan dan kenyataan pers mahasiswa membuat pola persepsi dan memengaruhi bentuk dan sikap anggota PPMI. Berkaitan dengan hal ini, terdapat tiga pola sikap memandang PPMI.
Pertama, menolak. Pers mahasiswa yang bersikap demikian (menggugat organisasi PPMI) biasanya dimulai dari berbagai pertanyaan yang cukup mendasar, seperti: eksistensi, orientasi organisasi, kontribusi organisasi, dan semacamnya. Gugatan selajutnya menyangkut persoalan teknis seperti masalah geografis, sulitnya koordinasi, sosialisasi, komunikasi, dan sebagainya. Namun gugatan menyangkut hal-hal yang sifatnya prinsipil berupa idealisme, keberpihakan, prinsip dan gagasan, hampir tidak ada yang mempermasalahkan sebab ada mekanisme kongres dan forum lain untuk menyelesaikan soal ini. Meskipun menggugat tetapi hubungan baik yang sudah terbangun tetap terjaga, setidaknya pada generasi itu. Tergantung transformasi generasi di LPM. Keinginan untuk berkomunitas mewujudkan kolektifitas bahkan kebutuhan solidaritas dan advokasi membuat tingkat hubungan itu semakin erat, karena pers mahasiswa tetap butuh hidup berkomunitas dan menghimpun diri.
Kedua, setengah-setengah. Hal ini biasanya disebabkan adanya benturan kepentingan antara LPM dengan kepentingan pribadi. Apapun alasannya, ketika kepentingan itu berbenturan akan membuat rintangan peralihan persepsi pada seseorang lebih-lebih jika tidak dapat membuat skala prioritas. Sikap setengah-setengah itu biasanya dimulai dari keluhan keraguan dan adanya keluhan yang dihadapi, realitas pribadi, realitas LPM dan realitas PPMI. Hal itu terjadi biasanya karena putusnya kaderisasi, dan minimnya informasi tentang PPMI.
Ketiga, mendukung. Sikap mendukung biasanya ditunjuk-kan dengan support moral dan intelektual. Kepedulian itu dapat merangsang ide-ide kreatif bagi tumbuhnya pembaruan-pembaruan organisasi. Munculnya sikap-sikap tersebut adalah imbas resistensi LPM terhadap PPMI karena ketidakpercayaan LPM pada PPMI. Kesadaran bersosial dan berkomunitas ini belum dibarengi dengan keaktifan LPM menjadi anggota dan pengurus PPMI sebagai struktur organisasi.
Soal optimalisasi struktur sebenarnya sudah dibahas ketika Mukernas II 1999 di Bandung. Pada forum itu menggariskan bahwa kerja organisasi dilaksanakan secara bersama-sama. Pada akhirnya aktivitas LPM di tingkat lokal sangat ditentukan oleh kinerja Presidium Wilayah atau Dewan Kota untuk mengintensifkan komunikasi dan sosialisasi pers mahasiswa.
Nomaden
Perihal kesekretariatan tetap menjadi persoalan meski dinilai kurang serius dan hampir selalu dipertanyakan. Ketika Sekjen PPMI terpilih periode IV 1998-2000 dari Yogyakarta, mendapatkan sekretariat hibah dari Sri Sultan HB X. Sekretariat terletak di Jalan Tentara Pelajar, Pingit, Yogyakarta. Letaknya sangat strategis, yakni di pusat kota bersebelahan dengan Stasiun Tugu dan Perpustakaan Daerah DIY. Kemudian untuk digunakan bersama-sama dengan PPMY (Perhimpunan Pers Mahasiswa Yogyakarta).36 Tetapi hal ini justru tidak berarti ketika periode berakhir.
Dalam hukum kebiasaan, sekretariat berlokasi (mengikuti) di mana Sekjen berada. Maka menjadi masalah tersendiri ketika Sekjen terpilih periode berikutnya (2000-2002) dari Mataram. Kemudian diserahkan kepada Presidium Nasional untuk mencari kepastian, maka ditentukan beberapa daerah sebagai alternatifnya, seperti Bandung, Solo, atau Yogyakarta.
Akhirnya, Solo disepakati sebagai sekretariat PPMI. Tetapi ini pun difungsikan tidak lama, hanya beberapa waktu saja. Namun setidaknya berguna untuk persiapan Dies Natalis IX PPMI 2001 di Riau. 37 Kendala yang tidak mudah dijangkau hanya alasan klasik yang muncul akibat tidak difungsikan lagi sekretariat di Solo.
Disusul dengan acara Informal Technical Meeting PPMI di Jember pada Juni 2001 merekomendasikan sekretariat PPMI di Surabaya. Dan akhirnya sekitar bulan Juli 2001, ditetapkan sekretariat  PPMI di Wonocolo Gang III, Surabaya, Jawa Timur (di belakang IAIN Sunan Ampel Surabaya).38
Sampai akhirnya, masalah sekretariat menjadi alasan klasik dan terus digelindingkan di tiap pertemuan (baik informal maupun formal), karena organisasi nasional seperti PPMI seharusnya memiliki pusat informasi. Demikian pandangan mengenai kesekretariatan PPMI. Kebutuhan atau keinginan? Padahal sejak berdirinya, PPMI belum pernah berdiam diri di satu tempat atau sekretariat tetap. Keputusan sebuah organisasi bawah tanah yang tanpa bentuk ini adalah konsekuensinya; sekretariat berada di tempat di mana Sekjen berada. Bahkan bagi Sekjen I (Rommy Fibri) dan Sekjen II (Dwidjo Utomo Maksum) sekretariat PPMI ada di tas punggungnya.
Perdebatan soal sekretariat lerai dengan sendirinya karena dinilai bukan hal utama yang harus didahulukan dalam agenda perhimpunan pers mahasiswa. Hingga periode 2008-2010 sekretariat PPMI masih tetap: berada di LPM asal Sekjen terpilih dan berada di tas punggung ke mana Sekjen itu pergi.
Bukan Sinterklas
Akumulasi problem riil yang harus dijawab PPMI usai kongres yang diselenggarakan pada tahun 2000 menjadi catatan tersendiri bagi generasi berikutnya. Bukan sekedar perlunya perubahan struktural organisasi, tapi posisi organisasi, kondisi objektif konstelasi politik, orientasi gerakan, dan kekhawatiran kepentingan, serta pencapaian dan kontribusi organisasi pada masa transisi memaksa PPMI berbenah diri.
Harapan Edi Sutopo soal kongres bisa menjadi tonggak sejarah bangkitnya PPMI hanya tinggal harapan. Ketidakberhasilan kongres meletakkan dasar pondasi dan menjawab problem yang dihadapi akan semakin menambah beban Sekjen terpilih nanti. Apalagi jika transformasi keanggotaan PPMI tidak lancar. Kongres V PPMI 2000 ini banyak diikuti oleh angkatan baru mesti diakui bahwa PPMI membutuhkan perbaikan organisasi.
Pada tataran wacana, gugatan tersebut bagus karena menggugat keadaan agar menjadi lebih baik, akan tetapi bila gugatan itu menjadi konsep diri, maka sangat tidak produktif. “Sehingga kenyataannya telur diujung tanduk dan pecah,” ungkap Lukman.39
Setidaknya untuk menjadi yang lebih baik, perlu menjawab untuk apa bergabung dalam PPMI? Karena setiap masa punya pertanyaan yang mesti dijawab. Suatu pertanyaan yang wajar dilontarkan, sebab agak mustahil bergabung dalam suatu organisasi, tanpa harapan mendapatkan reward apapun. Dalam kasus PPMI, jika pada masa lalu harapan anggota lebih berorientasi pada adanya kebersamaan gerakan melawan tirani kekuasaan Orde Baru. Kini harapan itu lebih pada bagaimana meningkatkan kemampuan jurnalistik, manajemen redaksi, dan sejenisnya. Tergantung sejauhmana pemahaman soal media (idealisme pers mahasiswa), jika tirani dipahami sudah tidak ada lagi, atau untuk apa pers mahasiswa ada.
Bila dulu pers mahasiswa lebih pada upaya mengaktualisasikan sikap diri, kini lebih pada upaya mendapatkan skill. Dulu lebih mengharapkan PPMI bisa jadi wadah perjuangan, kini lebih mengharapkan PPMI menjadi “sinterklas” yang siap membagi-bagikan hadiah.
Terhadap situasi ini, berkembang dua gagasan.40 Pertama, PPMI menjadi organisasi yang punya aturan tegas dan ketat, dan melakukan kerja-kerja layaknya lembaga profesional lainnya. Hal ini harus dijawab bilamana PPMI hendak memenuhi harapan para anggotanya yang menginginkan PPMI memberikan kontribusi riil atau materiil. Tanpa itu, PPMI akan tetap seperti sekarang: menjadi lembaga yang hanya bisa bersifat paguyuban namun memaksakan diri untuk jadi profesional. Karena itu, supaya bisa profesional, PPMI dituntut melakukan perubahan radikal dan revolusioner dalam struktur organisasi, utamanya tentang keanggotaan.
Kedua, PPMI cukup menjadi lembaga paguyuban. Alasan-nya, selama ini dalam praktiknya PPMI tidak bisa meng-instruksikan sesuatu pada lembaga lain (LPM anggotanya dan Dewan Kota). Karena itu, ia menjadi tak lebih dari sekadar sebagai payung bagi lembaga-lembaga yang menjadi anggotanya tersebut. PPMI mengalami kondisi seperti ini karena berusaha menolak sejarah.
Kedua pandangan yang menggunakan logika formal ini kurang memperhatikan aspek kultural yang selama ini tidak dapat diabaikan dalam PPMI. Faktor solidaritas dan kebersamaan sebagai prinsip perhimpunan non-formal yang mewadahi lembaga-lembaga formal (LPM). Unik memang. Semua kepentingan dan orientasi pers mahasiswa ditampung di dalamnya. Ada yang menginginkan jaringan luas, advokasi, materi jurnalistik, data, dan sebagainya. Ada orientasi gerakan politik, gerakan moral, dan gerakan lainnya. Ada yang radikal kekiri-kirian sampai yang kekanan-kanan. Berbagai macam kebutuhan pers mahasiswa ada di dalamnya, maka demikianlah format perhimpunan.
Dikatakan profesional, karena berupaya memadukan kerja-kerja struktural dengan kultural yang telah dibangun sebelumnya. Independen dan khas, sebagaimana pers mahasiswa: khas sebagai oposan. Maka ketika kondisi berubah, ketika rezim otoritarian berganti, pers mahasiswa tetap dengan khasnya. Sedangkan struktur dan bentuk tergantung dengan kebutuhan dan pembacaan melihat kondisi yang sedang dihadapi.
Hasil Kongres V 2000 di Mataram menyisakan luka dan harus segera diobati. Konsep diawali dengan perubahan struktur Sekjen menjadi Koordinator Presidium Nasional. Dengan sifat kepemimpinan kolektif, yang dibantu oleh beberapa pengurus di setiap wilayah dan kota. Model Presidium ini hasil dari Mukernas Agustus 2000.
Persoalan Keanggotaan
Persoalan keanggotaan ini merupakan pertanyaan besar bagi pengurus, terutama Presidium Nasional. Sebenarnya, selama periode 2000-2002, pembahasan ini telah dimulai saat kongres, Mukernas dan diperjelas lagi pada Informal Technical Meeting di Jember. Bahkan dengan keadaan ini, pernah ada keinginan untuk menjadikan PPMI sebagai badan hukum (akte). Tawaran terakhir, yakni hasil Lokakarya Nasional di Surabaya pada Januari 2002 di sekretariat PPMI menetapkan bahwa keanggotaan akan didata pada saat pendaftaran sebagai peserta di Kongres VI April 2002 di Malang.
Sejak pertama didirikan, PPMI beranggotakan pers mahasiswa (LPM).41 Sedangkan pengurus PPMI adalah delegasi-delegasi dari organisasi pers mahasiswa anggota. Persoalan mengenai keanggotaan ini dibahas dan ditegaskan lagi pada Kongres 2002.
Perdebatan mengenai keanggotaan pada saat itu memunculkan dua opsi: apakah PPMI beranggotakan pers mahasiswa(LPM) sebagaimana yang sudah berjalan selama ini ataukah beranggotakan individu yang didelegasikan oleh pers mahasiswa (LPM) untuk berkosentrasi penuh mengurusi PPMI.
Opsi beranggotakan individu ini muncul karena berkaca dari pengalaman selama ini, ketika PPMI beranggotakan LPM, maka kerja-kerja PPMI tidak bisa maksimal. Kenapa? Karena LPM itu sendiri merupakan sebuah lembaga atau organisasi yang sudah memiliki aturan dan sistem tersendiri serta beranggotakan sekian banyak orang. Ketika PPMI ingin memaksimalkan kerja dan menuntut tanggungjawab, kepada siapa itu dialamatkan? Sebab LPM sekali lagi beranggotakan banyak orang. Pendek kata, tidak ada individu pasti yang bisa diikat oleh sistem PPMI, karena keanggotaan PPMI berupa LPM. Istilahnya, lembaga yang menghimpun lembaga-lembaga.
Hal ini terjadi ketika individu yang didelegasikan oleh LPM tidak mampu memosisikan dirinya sebagai pengurus PPMI. Ini berdampak kepada LPM yang diwakilinya dan kinerjanya di PPMI. Tidak mungkin misalnya tanpa membawa identitas pers mahasiswa tempat ia berasal, karena seluruh pengurus di PPMI  pada dasarnya adalah delegasi dari LPM masing-masing.
Oleh sebab kurang dipahami sistem keanggotaan ini dalam praktiknya banyak dijumpai pertanyaan. Apakah yang bersangkutan lebih mengutamakan kepentingan LPM atau PPMI? Ketika delegasi fokus di PPMI maka akan mengorbankan tugas-tugasnya di LPM dan sebaliknya; ketika fokus di LPM, dia membengkalaikan tugas-tugasnya sebagai pengurus PPMI. Tapi pada umumnya, mereka lebih ‘berat’ pada LPM-nya dibanding PPMI. Akibatnya, salah satunya, adalah kurang adanya komunikasi dan konsolidasi di daerah masing-masing sehingga beberapa daerah kehilangan jejak (mengalami keterputusan historis dengan PPMI). Tambah bahwa individu belum mampu memposisikan dirinya sebagai aktivis gerakan pers mahasiswa.
Untuk wilayah Sumatera konsolidasi PPMI sangat kurang, walaupun mempunyai Presidium Nasional sendiri. Keadaan ini terlihat ketika acara Dies Natalis VIII di Riau, sehingga perlu melakukan konsolidasi dengan mereka, seperti daerah Lampung, Palembang, Medan, Padang, Pekanbaru, dan Aceh.
Begitu juga dengan Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Pada saat Mukernas, beberapa delegasi dari Kalimantan Selatan masih hadir. Beruntung mediator untuk wilayah Sulawesi dari Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah punya hubungan komunikasi yang cukup intens. Tetapi untuk Maluku dan Papua betul-betul kehilangan jejak.42 Cukup memprihatinkan. Menyikapi hal ini beberapa pers mahasiswa membentuk divisi khusus jaringan (kerja-kerja eksternal) yang salah satu fungsinya, sebagai delegasi dari LPM.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram