Langsung ke konten utama

Cerita di Masa Transisi - Sejarah Pers Mahasiswa

student movement versus police
Di tengah gejolak politik nasional dan gerakan mahasiswa yang memanas, PPMI tidak diam begitu saja. Perhimpunan yang berdiri sejak 1992 ini meskipun tidak punya atribut organisasi namun semakin lantang meneriakkan perlawanan. Selain itu, aktivis pers mahasiswa terus melakukan konsolidasi ke berbagai aliansi dan forum komunikasi gerakan mahasiswa menjelang 1998.1 Sehingga PPMI hampir tidak pernah terlihat benderanya.
Sejak Kongres III PPMI di Surabaya, sekira September 1997, pengurus terpilih hanya mampu tiga bulan aktif melakukan konsolidasi ke daerah-daerah.2 Jadi struktur kepengurusan belum lengkap waktu itu.3 Meski demikian daerah-daerah tetap berjalan. Delapan bulan setelah itu, Eka Satialaksmana, Sekretaris Jenderal (Sekjen) III PPMI, mengundurkan diri.
Hal ini tentu saja berimbas pada PPMI. Secara organisasi, PPMI mengalami keguncangan luar biasa di saat kosong pemimpin. Eka mengaku, ia mengundurkan diri karena, pertama, tidak mampu mengemban amanat kongres yang harus melaksanakan Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) dan Rapat Kerja Nasional (Rakernas). Kedua, dirinya tidak mampu melakukan konsolidasi ke wilayah-wilayah, terutama ke Presidium dan Mediator Wilayah. Ketiga, dirinya sudah tidak lagi aktif di struktur LPM.4 

“Waktu itu aku ditugasi membentuk kepengurusan. Kemudian harus bikin Rakernas, harus diawali dulu dengan Rakerwil setiap wilayah. Jadi struktur organisasi saja belum lengkap waktu itu. Wilayah-wilayah belum terbentuk. Dan aku ada persoalan teknis aja untuk menggelar Rakernas dan Rakerwil,” ungkapnya.
Sementara waktu itu situasi politik menuntut untuk banyak bergerak di jalan. Eka juga terlibat di dalam. Akhirnya, di akhir 1998, Eka mengirimkan surat resmi via pos tentang pengunduran dirinya sebagai Sekjen PPMI.
Hal ini kemudian segera direspon oleh pers mahasiswa. Ketika Balairung UGM mengadakan Sarasehan se Jawa-Bali pada 2 November 1998. Gedung KAGAMA dimanfaatkan untuk membahas pengunduran Sekjen.5 Awalnya sarasehan ini sengaja untuk menyikapi kondisi kebingungan pers mahasiswa di tengah keterbukaan kran demokrasi setelah Soeharto lengser. Maka, atas permintaan peserta panitia memberikan waktu untuk pembahasan tambahan tentang pengunduran diri Sekjen PPMI. Demikian, hujatan dan cemoohan bermuara kepada PPMI, khususnya Sekjen yang mengundurkan diri. Tidak ada solusi dan kesepakatan awalnya. Karena kecewa, tak jarang peserta meninggalkan forum yang tidak menghasilkan apa-apa kecuali hujatan dan mempertanyakan kesehatan internal organisasi. Hingga menjelang Maghrib tetap tidak ada tawaran dalam rangka pemulihan organisasi. Lantas pertemuan dilanjutkan di Balairung. Peserta tinggal delegasi dari Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jakarta yang mengikuti forum. Jadi sekitar 30 orang dan pembicaraan akhirnya menuju upaya penyelamatan PPMI. Hujatan dihentikan karena tanpa kelapangan dan kepala dingin solusi tidak pernah ditemukan.
Akhirnya, Kongres Luar Biasa (KLB) pun disepakati sebagai jalan keluarnya. Selain itu, diagendakan pula konsep revitalisasi organisasi, restrukturisasi dan pengoptimalan kerja-kerja di tingkat wilayah, serta pembagian kerja dari setiap delegasi. Setelah itu diputuskan Jawa Timur sebagai tempat kongres yang luar biasa ini. Dengan pertimbangan Jawa Tmur dinilai lebih solid dari yang lain waktu itu.
Sebulan kemudian, Kongres IV PPMI Luar Biasa digelar di Universitas Darul Ulum Jombang.6 Kepepet dan Ingin Tetap Berada di Bawah Tanah,” judul Majalah Edukasi Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel edisi XXIX/Februari/1999. Judul itu jelas menggambarkan sikap tegas PPMI pada Kongres IV yang luar biasa ini.
Secara sederhana, LPM Ngacor Universitas Darul Ulum memfasilitasi kongres. Agenda revitalisasi dilakukan menyangkut perombakan struktur organisasi, membangun Jaringan Kerja Organisasi, dan proses pemilihan Sekjen. Sedangkan LPJ Sekjen III PPMI Periode 1997-1998 dianggap selesai pada saat sidang pleno setelah tata tertib (Tatib) kongres, meski suasana sidang waktu itu begitu riuh, saling bertentangan pandangan antar delegasi. Hal ini berdasarkan pandangan beberapa peserta  yang diberi surat pengunduran diri.7
Sidang dimulai. Komisi A membahas AD/ART. Perdebatan mulai terlihat ketika memasuki pembahasan struktur organisasi yang ingin merubah garis koordinatif dan instruktif dalam pengurus.8 Mempertimbangkan AD/ART sebelumnya yang semua struktur hierarki dari Sekjen sampai LPM. Tidak ada hubungan instruksi, semua koordinasi. Hal ini dinilai celah yang mengakibatkan terputusnya kerja-kerja organisasi di jenjang hierarki.
Perdebatan ini sebenarnya mencoba menemukan perpaduan konsep kultural yang selama ini dibangun dan dipertahankan dengan konsep struktural organisasi. Begitulah sebuah manifestasi sebuah organisasi bawah tanah yang tidak merepotkan diri dengan legalisasi.
Kongres sebelumnya sempat melahirkan Badan Pekerja Harian (BPH). BPH dalam praktiknya, meski belum sampai akhir periode, dinilai menjadi masalah. Penyebabnya, BPH hanya dipegang oleh satu sampai dua orang dari masing-masing wilayah yang tingkat komitmennya sering dipertanyakan.9
Kesepakatan Komisi akhirnya membentuk Jaringan Kerja Organisasi (JKO) yang berfungsi sebagai pengganti BPH. JKO dipandang lebih luwes dalam melakukan kerja-kerja stuktural. Misalnya, JKO tidak membatasi anggotanya hanya di tingkat Presidium Nasional tapi juga sampai Dewan Kota. Selain itu, JKO juga tidak mengikat anggotanya bahkan alumni dan simpatisan pun diperkenankan asal menguntungkan bagi kinerja organisasi. Intinya, kerja-kerja kultural dalam ruang struktural.
Semua kinerja bertumpu pada seorang Sekjen. Pengalaman pengunduran diri Sekjen sebelumnya menjadi pertimbangan utama memilih-milih sosok pemimpin: pemimpin yang mampu mengemban tanggungjawab organisasi dengan segala konsekensinya.
Tahap pencalonan dimulai dengan delapan orang yang dicalonkan dari masing-masing delegasi Dewan Kota. Calon ini kemudian dikerucutkan menjadi dua kandidat yang bersedia dicalonkan. Edi Sutopo dari Ekspresi, pers mahasiswa UNY Yogyakarta dan Indra, mengaku dari simpatisan PPMI Dewan Kota Surabaya, yang didukung penuh dari Dewan Kota Surabaya. Keduanya termasuk orang baru mengenal PPMI.10 Kekhawatiran muncul. Salah satu Presidium Abd Kholik asal Jawa Timur mewanti-wanti, jangan sampai sewaktu-waktu tega menjual nama PPMI untuk kepentingan politik semu. Belajar dari generasi pers mahasiswa sebelumnya. Akhirnya Edi Sutopo terpilih. Paling tidak Sekjen baru siap melanjutkan roda organisasi yang sempat terhenti. Karena PPMI harus memilih kalah menyerah atau bangkit terus berjuang. Jangan sampai berhenti sebelum memilih. 
Kongres juga membahas kegelisahan pers mahasiswa yang berada di simpang jalan. Telah terjadi perubahan kencang, kebebasan dan sikap kiritis pers umum menjadi pertimbangan lain arah gerakan pers mahasiswa. Menghadapi hal demikian tentu tidak bisa kemudian melupakan masalah dapur pers mahasiswa sendiri. Masalah-masalah internal tetap menjadi pekerjaan rumah. Serta soal konsolidasi juga pekerjaan utama bagi PPMI. Setidaknya kerja konsolidasi memang selalu menjadi prioritas. Sayangnya dalam kongres ini kurang membahas soal tema perjuangan mahasiswa Indonesia secara keseluruhan.11 

Walk Out Bukan Jalan Keluar
Perubahan adalah keniscayaan. Pun transisi, suatu bentuk pergeseran dari masa sebelumnya ke masa sesudahnya. Bagaimana PPMI menghadapi masa transisi ini? Setelah agenda penggulingan rezim Orde Baru berhasil maka semangat reformasi dan demokrasi apakah membuat pers mahasiswa mampu tetap berdiri, menjaga idealismenya? PPMI sibuk dengan semangat membawa perubahan sehingga lupa jika perubahan itu menimpa dirinya, karena tak ada yang dapat menghindar dari perubahan.
Perubahan terjadi begitu cepat dan mendesak namun PPMI belum siap dengan perubahan itu. PPMI yang sebelumnya tidak dapat keluar, bergerak di bawah tanah, kini terekspos ke publik. Namun di satu sisi, kondisi politik nasional tidak bisa dipisahkan dari fungsi dan posisi PPMI
Saat itu terjadi kegoncangan politik nasional. Disintegrasi mengancam kesatuan NKRI. Isu yang sangat sensitif bagi daerah-daerah yang selama ini kurang diperhatikan oleh pusat: Jakarta, Jawa. Aceh ingin merdeka, begitu pula Makasar, Riau, Timor-timur, dan Papua. Maka muncul berbagai tuntutan seperti pemberian otonomi yang lebih luas kepada daerah.
Suasana demikian, menurut Sekjen IV PPMI 1998-2000 Edi Sutopo, juga terbawa di PPMI. Jadi mahasiswa terpecah suaranya, antara mendukung pemisahan atau tidak. Di PPMI pun begitu. Sebagai Sekjen, Edi menggambarkan PPMI seperti Pemerintah RI yang menerima tuntutan-tuntutan dari daerah. PPMI menerima tuntutan-tuntutan dari beberapa anggota PPMI yang mewakili daerah-daerah di Indonesia. “Apa sih manfaatnya PPMI bagi kami? Selama ini kami tidak merasa diwakili. Apa kontribusi PPMI kepada kami, bagi LPM kami? Itu protes-protes kepada saya,” ujarnya.12
“Jadi seolah-olah antara perjuangan yang dirintis gerakan pers mahasiswa sampai terbentuknya PPMI itu, setelah reformasi kemudian lost memory. Untuk apa perjuangan bersama-sama itu dilakukan.13 Toh, waktu kita tidak ada pertanyaan ketika PPMI dibentuk, apa manfaatnya bagi kami? Tapi yang muncul, apa yang bisa kita lakukan untuk mencapai tujuan bersama. Misalnya kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat, itu yang ingin dijunjung bersama,” jelasnya.
Edi menambahkan, jika ditarik lebih jauh, tuntutan-tuntutan semacam kesejahteraan dan keadilan ekonomi, pencabutan lima UU politik dan sebagainya itu yang diperjuangkan bersama salah satunya lewat pers mahasiswa. Tidak ada sekat-sekat ideologis yang memisahkan.
Selama tahun 1997 sampai reformasi, menurut Edi, PPMI tidak pernah dipersoalkan. Baru ketika Soeharto lengser dan merasa bahwa tujuan penumbangan rezim sudah selesai, maka ada tuntutan lebih jauh mengarah pada PPMI. Padahal negara pun tidak pernah memberikan apa-apa kepada rakyat. Pertanyaan ini pun dialamatkan kepada PPMI.
Diakuinya, PPMI di masa ini masih mencari format untuk masanya. Kondisi yang mempertanyakan pusat cukup memengaruhi konsentrasi kinerja berjalan. Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung pada 1999 digelar untuk memprioritaskan kinerja dan optimalisasi program kerja (Prokem) hasil rekomendasi kongres. Mana yang didahulukan dan apa yang bisa dilakukan. Salah satu hasilnya yakni penerbitan Merah Putih dikelola oleh Jawa Timur.
Tanggungjawab dan sentralisme Sekjen diberikan penuh, kemudian Jawa Timur menyatakan siap mem-back up Sekjen. Karena memang kinerja Sekjen betul-betul menguras tenaga, harus nafas kuda. Perlu ada upaya mengantisipasi jangan sampai Sekjen lepas kontrol. Jangan sampai misalnya, LPM tidak mem-back up, studinya bermasalah, jaringannya tidak bisa bergerak, bisa-bisa patah semangat.
Melihat tugas dan kinerja Sekjen memang prihatin sekali karena tidak ada yang membiayai, konsolidasi ke sana sini sendiri, dengan biaya sendiri pula. Kalau organisasi tidak jalan, kesalahan semua ditujukan kepada Sekjen. Tapi kalau ada kegiatan siapa yang membiayai Sekjen, siapa yang membantunya?
“Daripada menyiksa Sekjen lebih baik tidak usah terlalu berharap kepada organisasi ini. Tidak usah mendudukkan Sekjen sebagai orang yang nomor satu sehingga harus dimintai pertanggungjawaban yang berat,” ungkap Edi Sutopo.14
Perjalanan satu periode ini sebagai recovery kondisi PPMI yang down akibat mundurnya Eka Satialaksmana (Sekjen PPMI Periode 1997-1998). Maka usaha-usaha yang dilakukan, salah satunya, adalah menjalin kembali komunikasi yang sempat “terinterupsi”. Periode penyelamatan perhimpunan sehingga waktu itu apapun bentuk organisasinya yang penting jalan.
Dalam kinerjanya pun pengurus terbebani dengan semangat harus jalan tadi. PPMI masih mencari bentuk agar tidak kaku, dinamis dan kondisional. Maka perlu adanya pematangan-pematangan pada Mukernas agar kegagalan periode sebelumnya tidak terulang kembali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram