Langsung ke konten utama

Hubungan Pers Mahasiswa dengan Gerakan Mahasiswa


Ada dua hal yang menarik dicermati terkait orientasi gerakan mahasiswa. Pertama, sebagai media, pers mahasiswa terkena dampak kondisi politik Indonesia. Setelah tumbangnya rezim otoritarian, kebebasan pers seolah tanpa batas. Pers umum yang semula tidak berani memberitakan hal-hal yang sensitif di masa kepemerintahan Orde Baru kini jauh lebih berani. Euforia kebebasan ini juga berdampak pada menjamurnya media-media umum. Banyak media baru yang bermunculan pasca tumbangnya Soeharto.
Dalam kondisi demikian, posisi dan orientasi pers mahasiswa sebagai media alternatif pun dievaluasi. Pengertian alternatif dalam konteks ini adalah menunjuk pada sikap keberanian pers mahasiswa dalam memberitakan berita-berita yang tidak berani diangkat media umum kala itu. Lantas apa lagi yang dikatakan alternatif sekarang? Pertanyaan yang muncul masa itu. Jangankan membuat berita kasus atau investigasi, menerbitkan media sendiri saja berkala: kala-kala terbit, kala-kala tidak. Banyak faktor yang menyebabkannya, mulai dari soal SDM sampai pendanaan.
Kedua, sebagai bagian dari gerakan mahasiswa, pers mahasiswa tak luput dari dampak polarisasi dan segmentasi organisasi gerakan mahasiswa. Hubungan antar organisasi gerakan mahasiswa tidak lagi harmonis seperti sebelum 1998. Karena selain menilai musuh bersama gerakan mahasiswa sudah tidak ada lagi dan menyebarnya wacana kekuasaan di daerah-daerah, banyaknya kepentingan yang sulit untuk dicari jalan tengahnya.
Wilayah dan sasaran gerakan seperti menyempit, lahan garapan gerakan mahasiswa hanya melingkar-lingkar di kampus saja: muncullah gerakan back to campus.23 Gerakan mahasiswa seolah-olah bingung: apa yang dapat dilakukan ketika rezim sudah tak lagi represif dan kebebasan terbuka luas? Perjuangan sepertinya selesai dan saatnya kembali ke bangku kuliah.
Tidak heran jika mahasiswa pasca 1999-an lebih akademis daripada memilih jalan gerakan. Pemerintah pun lihai memanfaatkan kondisi ini. Gerakan mahasiswa dibuat sibuk dengan kondisi kampus. Tidak hanya menceraikan mahasiswa dengan rakyat namun juga mengadu domba gerakan mahasiswa dengan memperebutkan kader dan kekuasaan kursi pemerintahan mahasiswa (Badan Eksekutif Mahasiswa atau Senat Mahasiswa). Pers mahasiswa yang cenderung oposan dengan kekuasaan mengkritisi penguasa kampus, entah itu BEM atau Senat Mahasiswa maupun birokrasi kampus. Sebenarnya, retaknya hubungan pers mahasiswa dengan gerakan mahasiswa lainnya ini cukup ironis. Mengingat misi dan idealisme mahasiswa, berpihak kepada yang tertindas dan melawan terhadap kekuasaan.


Hubungan Pers Mahasiswa dengan Gerakan Mahasiswa
Dekade 1990 adalah masa romantisme gerakan mahasiswa dengan pers mahasiswa. Ini kali kedua dalam sejarah, setelah masa pergerakan kolonial hingga kemerdekaan,  KAMI yang berkoalisi IPMI jelang akhir Orde Lama berhasil menggulingkan Soekarno, bersama-sama militer menuju Orde Baru. Pemerintahan Soeharto pun khawatir jika media mahasiswa ini berkembang, apalagi keduanya menyatu: pers dan gerakan mahasiswa.
Akhir tahun 1989, mahasiswa bersatu mengadakan mimbar bebas di Yogyakarta. Forum ini merupakan hasil dari kesepakatan akhir tahun 1988 di Pantai Parangtritis. Maka tak heran ketika peristiwa Waduk Kedung Ombo dan Tangga Demokrasi solidaritas Arena gerakan mahasiswa sudah banyak yang menyatu. Gerakan mahasiswa dan pers mahasiswa sangat dekat sampai jelang 1998. Keduanya cukup lengket.
Kedekatan ini salah satunya karena masa NKK/BKK (Didik Supriyanto menulis sejak 1978-1990) pers mahasiswa sulit bergerak akibat represi media terlalu kuat. Maka pers mahasiswa tidak hanya bergerak lewat media saja tapi juga turun ke jalan dan bergabung dengan gerakan mahasiswa lainnya. Bergabungnya anggota awak pers mahasiswa dalam gerakan mahasiswa sangat mungkin terjadi. Karena double organisasi atau keanggotaan ganda adalah wajar.
Pasca mundurnya Soeharto, pers mahasiswa dan gerakan mahasiswa tidak sejalan lagi; tidak jauh berbeda dengan pasca keharmonisan masa-masa sebelumnya. Perbedaan ini akibat masalah dapur alias permasalahan keluarga mahasiswa sendiri, bukan akibat tekanan-tekanan dari luar. Persoalan dapur ini senyatanya lebih rentan. Hubungan antar gerakan bercerai-berai, bahkan seperti ‘anak kecil’ yang marah ketika tidak diberi permen. Saling berseteru jika ada permasalahan yang menyangkut nama baik organisasinya. Makka hampir-hampir organisasi mahasiswa kehilangan fungsi kontrol dan orientasi dasarnya menjadi advokasi masyarakat. Mereka terjebak pada elitisme organisasi. Masing-masing bertahan seraya membanggakan atribut organisasinya. Di tengah situasi demikian, sikap apatisme antar organisasi tampak begitu kuat, bahkan cenderung saling mencurigai. Ironis memang.
Seperti halnya pers mahasiswa, tahun-tahun peralihan abad 21 menjadi masa tersulit dalam sejarah PPMI. Transisi orientasi dan pergeseran gerakan menjadi semacam shock culture persma. Bahkan hubungan dengan gerakan mahasiswa lainnya kian berjarak, dan sesama pers mahasiswa sendiri pun mulai terlihat renggang. Perjuangan dianggap sudah selesai seiring tengan tumbangnya rezim represif dan orientasi kembali ke kampus (back to campus) menjadi wacana sentral di bawah alam sadar gerakan mahasiswa.
Selain itu, wacana ketidakpercayaan terhadap pusat selalu digugat, diiringi kecurigaan antar organ yang semakin menguat.24 Hal-hal yang sebelumnya tidak pernah disinggung kini dipersoalkan. Pertanyaan ini muncul pasca 1998, sebelumnya tidak pernah dipersoalkan, misalnya soal keanggotaan organisasi. Minimnya mahasiswa yang aktif dalam organisasi membuat organisasi-organisasi kampus akhirnya saling berebut kader. Dengan berbagai cara mereka berusaha mendapatkan kader-kader baru untuk menyambung keberlangsungan hidup mereka, atau hanya sekedar untuk memperlihatkan eksistensi organisasinya.
Persoalan lain yang muncul akibat perseteruan ini yakni pemahaman ‘kuasa lahan’, rebutan dominasi di dalam kampus.  Hal yang sebelumnya tidak terjadi membuat gerakan mahasiswa sibuk sendiri di dalam kampus dan terlena, lupa dengan tujuannya sebagai gerakan. Terlalu menikmati kekuasaan yang kecil di kampus, menjadi penguasa kampus. Inginnya seluruh kampus dikuasai. Sehingga tidak heran terjadinya krisis eksistensi. Gerakan berebut mengisi ruang-ruang publik lewat media mahasiswa adalah salah satunya. Pada titik ini, lembaga pers mahasiswa (LPM) sering dijadikan sasaran perebutan untuk menopang hasrat kekuasaan mereka.
Sudah menjadi rahasia umum di kalangan pers mahasiswa, beberapa LPM akhirnya mati tidak ada regenerasi setelah ‘dikuasai’ gerakan mahasiswa ekstra atau intra. Sebab LPM yang sudah ‘dikuasai’ oleh organisasi ekstra maupun intra diposisikan sebagai penyokong nalar kekuasaan mereka di dalam kampus, bukan sebagai sinergi gerakan antar organisasi mahasiswa. Posisi pers mahasiswa (PPMI) yang strategis sebagai gerakan bukan tidak mungkin mampu menjalin dan berpotensi melakukan sinergi gerakan mahasiswa tersebut. Selain itu, peran pengkaderan dan pendidikan menjadi titik utama dalam menyambung rantai generasi agar tidak terjadi lost generation dan selalu menyambung wacana dalam frame kesadaran historis gerakan mahasiswa.
Jika dipetakan, ketidakharmonisan ini selain karena sikap kritis pers mahasiswa dalam medianya, juga karena keterputusan generasi dan semangat idealisme mahasiswa secara historis maupun sosiologis. Sikap kritis membuat penguasa kampus (Senat Mahasiswa atau BEM, termasuk Rektorat dan Dekanat) tidak menyukai pers mahasiswa. Sehingga berbagai tindakan digunakan untuk menstabilkan kekuasaan. Temasuk state apparatus maupun ideology apparatus. Dari kooptasi, intervensi, tindakan represif, sampai pendudukan dan pengambil-alihan pers mahasiswa. Jika demikian, maka tidak jarang pers mahasiswa kemudian hanya dijadikan corong atau media publikasi. Imbasnya sense pers kurang diperhatikan sehingga pers mahasiswa tidak diurus regenerasinya, manajemen organisasinya diabaikan, dan akhir ceritanya bisa dipastikan: mati. Kasus semacam ini membuat kesan bahwa organisasi gerakan mahasiswa (termasuk ekstra) dijauhi oleh pers mahasiswa.
Namun, tidak sesederhana demikian. Pemahaman organisasi gerakan baik oleh pers mahasiswa sendiri atau gerakan yang lainnya mengalami pergeseran orientasi praktis. Ikut organisasi harus menguntungkan. Jika tidak, mengapa diikuti. Logika semacam ini menghinggapi kebanyakan aktivis mahasiswa, bahkan mereka yang dulunya idealis sekalipun.
Pers mahasiswa lantas dijadikan tempat menempa diri pada profesi: calon wartawan media umum. Wacana yang berkembang saat itu mengarah pada profesionalitas pers mahasiswa dengan menjadikan pers umum sebagai alat ukurnya, mulai dari segi managemennya, metodologinya, hingga orientasinya. Lebih fatal lagi, ukuran profesional itu dilihat dari apakah anggota dalam pers mahasiswa itu digaji atau tidak, layaknya wartawan media umum.
Sedangkan gerakan mahasiswa dijadikan sebagai saluran yang tepat untuk berkarir baik di bidang politik maupun lainnya. Maka tidak heran jika orientasi sosial aktivis mahasiswa mulai surut. Kepentingan subjektif (individu atau kelompok) lebih besar dari pada kepentingan sosial. Di sinilah benturan itu terjadi. Tidak hanya terjadi antara pers mahasiswa dengan gerakan mahasiswa lainnya, tapi juga antar organisasi gerakan mahasiswa. Logika semacam ini sudah menjadi rahasia umum.
Kondisi pers mahasiswa pun secara umum mengalami hal yang demikian. Ketika pers mahasiswa tidak mampu menerbitkan media maka akan dipertanyakan eksistensi pers mahasiswanya. “Pers mahasiswa kok nggak nerbitin majalah,” kata Lukman Hakim. Dirinya memandang salah satu penyebab terabainya media pers mahasiswa adalah aktivitas awak media sendiri yang berselingkuh dengan gerakan. “Sehingga, waktu itu saya pada objektifnya mengatakan begini, harus dipilih menjadi pers mahasiswa atau menjadi aktivis gerakan mahasiswa,” ungkapnya.25
Meski sebenarnya ia tidak setuju dipilah-pilah antara aktivis pers mahasiswa dengan aktivis gerakan mahasiswa, tapi pada faktanya pers mahasiswa itu mengabaikan kegiatan-kegiatan jurnalistiknya waktu itu. Dalam masa transisi pers mahasiswa demikian, katanya, perlu reorientasi gerakan pers mahasiswa yang menekankan pada skill jurnalistik, menulis, melakukan riset, menerbitkan terbitan yang berkala, dengan apapun format medianya, buletin atau majalah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram