Langsung ke konten utama

Perjuangan masih Panjang wahai Aktivis Pers Mahasiswa!!!


Perubahan situasi politik boleh saja terjadi tapi semangat bergerak mestinya tak boleh menyerah. Peran dan idealisme kadang memang tidak sejalan dengan gagasan dan kenyataan. Dalam catatan di atas lika-liku pers mahasiswa pernah saja redup atau sebaliknya. Sederhananya bagi PPMI perubahan tidak hanya dilakukan tetapi perlu pula dikawal sampai kapanpun. Tidak ada yang menghendaki pers mahasiswa tenggelam dalam perubahan. Harapan organisasi perhimpunan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) mestinya tegas beranjak dan berbenah untuk mengakhiri kegamangan perubahan tersebut.
   Sebagai wadah atau perhimpunan, selain menghimpun melalui keanggotaan organisasi internal dan memiliki posisi strategis untuk merangkul peranan gerakan mahasiswa yang lain. Bila PPMI menyadari dengan cermat bahwa potensi posisi strategis pers mahasiswa ini dapat dilakukan masif di berbagai kanal-kanal. Barangkali spirit dan orientasi saja tidak cukup, gerakan perhimpunan perlu terus menjaga bara pers mahasiswa tidak padam. Keberpihakan, perlawanan, dan kemampuan pers mahasiswa bukan angan-angan diwujudkan, bukan pula sekadar romantisme. Sedangkan bagi pers mahasiswa, media adalah ujung tombak gerakannya.

Membaca catatan ini, entah siapapun dia dan kacamata apapun yang digunakan, hanya generasi sekarang yang berhak menegaskan orientasi dan membuktikan peran pers mahasiswa. Persoalan orientasi bila merunut-cermati dinamika pers mahasiswa, keberpihakan dan sikapnya sudah sangat cukup jelas. Maka tinggal bagaimana generasi berikutnya bergerak. Oleh sebab itulah, catatan ini belum selesai saat ini.   
Sebuah pilihan yang lebih tepat disebut gila memang melanjutkan perhimpunan tanpa perangkat yang lengkap dan mapan. Maka seperti satire jika diperdengarkan, latah mengikuti wacana kehilangan orientasi. Bila gagasan dan gerakan yang setengah-setengah dilakukan PPMI, maka bukan tidak mungkin sejarah kembali berulang.
Pada dekade 1980, pers mahasiswa bergelut dengan birokratisasi atau ideologi terstruktur, maupun hegemoni wacana pembangunan oleh pemerintah. Awal dekade 1990, pers mahasiswa melawan diskursus ‘pers’ dan ‘penerbitan’. Setelah runtuhnya era otoritarian (1998) pers mahasiswa berseteru dengan hal-hal amatir dan sporadis gerakan. Berdebat soal pergeseran nilai gerakan dan perlawanan. Redup, tidak jauh berbeda dengan awal dekade 1980. Tetapi spirit kritisisme pers mahasiswa seolah tetap bergejolak meski masa telah berubah, periode dan generasi berganti.
Tentu penulisan catatan ini, baik yang tercatat maupun yang berada di baliknya, menjadi awal sebuah langkah untuk bergerak dalam cara dan posisi PPMI. Ada yang luput bila pers mahasiswa mengabaikan ambiguitas nilai dan kebimbangan generasi masa transisi. Maka ‘ini belum selesai’ dan mesti ditegaskan, begitu saja. Lantas, apakah mampu perhimpunan bergerak dalam entitas yang majemuk tanpa intervensi apa dan siapapun?
Penutup Buku "Catatan yang Belum Selesai" By Moch. Fathoni: Mantan Koor. Litbangnas PPMI, alumni POROS UAD, Mahasiswa S2 Sastra UGM.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram