Langsung ke konten utama

Sejarah Pers Mahasiswa - Perjalanan Kode Etik PPMI



   Sejak deklarasi pada 15 Oktober1992 kode etik jurnalistik bagi pers mahasiswa baru dibahas pada periode II PPMI. Bermula dari Kongres II pada tahun 1995 yang menghasilkan rekomendasi untuk perumuskan Kode Etik PPMI. Sebelumnya wacana itu sebenarnya sudah bergulir namun kondisi organisasi pada periode I lebih memusatkan kinerja presidium pada wilayah sosialisasi dan konsolidasi PPMI ke daerah-daerah.1 
Periode II pun demikian, meski sudah direkomendasikan dalam kongres hingga akhir periode 1995-1997, garapan kode etik belum selesai. Penyikapan atas banyaknya kasus-kasus yang dialami oleh pers mahasiswa baik yang dibredel ataupun ancaman kekerasan lainnya menjadi prioritas kinerja presidium pada periode ini untuk menggalang solidaritas dan penguatan basis. Mengingat memanasnya suhu politik dan gerakan mahasiswa mulai menggeliat, PPMI dengan tegas melalui Deklarasi Tegalboto tidak mengakui STT dan SIUPP.
Bergejolaknya konstelasi politik dan bergairahnya gerakan mahasiswa justru berdampak negatif terhadap PPMI. Kala pers mahasiswa dan gerakan mahasiswa turun ke jalan, kerja-kerja kepengurusan tertunda, bahkan terabaikan. Periode III, pasca Kongres III tahun 1997, PPMI mengalami stagnasi organisasi. Sekitar delapan bulan praktis tanpa konsolidasi. Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) dan Musyawarah Kerja Wilayah (Muskerwil) belum dilakukan. Ini berujung pada pengunduran diri Sekjen periode III terpilih. Sehingga proses perumusan kode etik pun tertunda.
Memasuki periode III PPMI diterpa problem kepengurusan. Sehingga agenda penyelamatan organisasi segera dilakukan. Kongres IV Luar Biasa digelar demi misi penyelamatan tersebut. Hasilnya Sekjen baru dipilih, memasuki periode IV 1998-2000.  Sebuah kepengurusan yang lahir di tengah situasi kelam dan harus menanggung setumpuk warisan agenda yang terbengkalai di periode sebelumnya.
Pada kepengurusan baru yang dipimpin oleh Edi Sutopo ini, agenda perumusan kode etik pers mahasiswa yang sempat tertunda pun kembai dilanjutkan. Maka digelarlah Lokakarya Kode Etik Nasional pada 8-9 Agustus 1999 yang diselenggarakan di Ukhuwah, pers mahasiswa IAIN Raden Fatah Palembang. Hal ini sebagai upaya untuk melaksanakan rekomendasi Kongres IV Luar Biasa di Jombang pada 4-7 Desember 1998.
Akhirnya Lokakarya ini berhasil menelorkan Kode Etik PPMI. Karena pengesahan Kode Etik PPMI hanya dapat dilakukan oleh kongres sebagai forum tertinggi organisasi maka baru pada kongres berikutnyalah rumusan matang ini disahkan.
Adalah Mataram tempat dilangsungkannya Kongres V PPMI. Pada akhir bulan kelima tahun 2000 rencana pengesahan Kode Etik PPMI dilakukan, tanpa banyak pembahasan. “Waktu itu lepas saja,” kata Saiful Muslim.2 Kongres justru berkonsentrasi pada perdebatan antar anggota PPMI yang membuat kapal ini akhirnya retak. Sebagian anggota menyatakan diri keluar dari PPMI dan ada yang membuat wadah baru. Peristiwa ini membuat trauma dan luka di tubuh organisasi.
Usai Kongres V di Mataram, ketegangan itu masih terasa. Perpecahan yang terjadi menjadi isu santer hingga menyebar ke mana-mana, menjadi pembicaraan hangat utamanya di kalangan aktivis pers mahasiswa. Ini memang ujian berat bagi organisasi. Tapi PPMI tidak boleh bersikap kerdil, harus bisa menerima perpecahan ini sebagai bagian yang lumrah dalam sebuah proses berorganisasi dan berdemokrasasi. Atas pemahaman ini, PPMI kemudian berusaha fokus menata langkah untuk perbaikan masa depan fungsi dan peran organisasi.
Pada kepengurusan PPMI periode 2000-2002 ini lebih banyak berjalan dan bekerja di dalam organisasi untuk melakukan perbaikan internal. Hanya sesekali saja melakukan kerja-kerja eksternal. Karena periode ini memang ingin fokus menata sistem organisasi sesudah retak di Mataram. Sembari itu, kepengurusan ini juga ingin memaksimalkan pada kongres berikutnya.
Kongres VI PPMI pun berhasil digelar di Malang pada tahun 2002. Banyak hal yang dihasilkan dalam kongres ini, bukan hanya menyangkut perbaikan internal organisasi tapi juga penajaman langkah advokasi isu-isu kerakyatan. Badai pun berlalu, dan Kode Etik PPMI yang tertunda sejak 1995 akhirnya dikukuhkan. Dewan Etik Nasional (DEN) dibentuk sebagai pengawal kode etik. Kemudian sebagaimana Sekjen, Koordinator DEN dipilih dalam Kongres. Struktur dan pematangan baru organisasi rampung periode VII ini. Dari Malang semakin terang orientasi PPMI.
Selain mengawasi kode etik, DEN pun berfungsi sebagai pengawal kinerja Sekjen. Secara garis besar, DEN berfungsi pada wilayah jurnalistik dan wilayah organisasi. Ketika terjadi permasalahan akibat pemberitaan yang berujung pada pelanggaran kode etik maka DEN akan merekomendasikan Sekjen untuk memberikan tindakan-tindakan advokasi atau sanksi. Sedangkan pada ranah organisasi, DEN berwenang memberikan pertimbangan kepada Sekjen baik diminta maupun tidak.
Untuk mendinamisir fungsi dan wewenang Sekjen maka DEN diberikan kewenangan untuk menyelesaikan masalah internal organisasi. Setelah ditetapkan mekanisme penyelesaian masalah, DEN ikut berperan dalam penyelesaian permasalahan di tubuh PPMI.3 Sehingga DEN memiliki tugas menyelesaikan permasalahan apabila terjadi konflik antara Sekjen dengan PPMI Kota/Dewan Kota, dan bersama-sama dengan Sekjen menyelesaikan apabila konflik terjadi antar PPMI Kota/Dewan Kota. Kode Etik PPMI setiap kongres dibahas dan direvisi jika dinilai perlu.4 
Sejak dirumuskan pada Lokakarya Kode Etik tahun 1999 dan dikawal dengan DEN pada Kongres VI tahun 2002 di Malang, Kode Etik PPMI selalu mengalami perubahan meski tidak signifikan. Kode Etik PPMI menjadi acuan dan konsekuensi organisasi pers mahasiswa dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik.
Rambu-rambu ini untuk mengarahkan keberpihakan kerakyatan dan idealisme pers mahasiswa pada integritas dan moralitas sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial. Upaya pers mahasiswa dalam pembelaan hak-hak rakyat sebagai gerakan idealisme mahasiswa perlu dijamin dan dijaga secara etis dan dengan operasional yang benar dan jelas.
Meski kran kebebasan pers telah terbuka secara de jure melalui Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 namun secara de facto pasca rezim Orde Baru ancaman terhadap pers mahasiswa bukan berarti tidak ada lagi. Potensi pembredelan tetap saja muncul, justru kini dilakukan oleh birokrasi kampus. Karena birokrasi kampus tidak jarang merasa terusik dengan pemberitaan pers mahasiswa. Birokrasi kampus baik pihak rektorat, dekanat, jurusan maupun organisasi internal kampus (BEM atau Senat sejenisnya), rentan menekan independensi dan membatasi kebebasan pers mahasiswa.
Hal ini cukup berbeda ketika masa rezim represif yang secara politis pers mahasiswa harus menghadapi struktur kekuasaan rezim (vertikal) pemerintah. Setelah peristiwa 1998 tidak hanya di pusat, tetapi represifitas itu juga menyebar ke daerah-daerah, ke kota dan ke kampus. Tidak banyak memang kasus pembredelan dan ancaman yang dialami pers mahasiswa rentang tahun 1999-2002. Namun bukan berarti musim pencekalan tidak ada lagi. Represifitas mulai bermunculan. Salah satunya kasus meninggalnya Sa’datul Fitriyah, fotografer Teknokra Universitas Lampung, Lampung, saat melakukan kerja-kerja jurnalistik pada September 1999. Insiden ini disikapi ketika Dies Natalis PPMI dilaksanakan di Bali pada 4-6 Desember 1999, salah satunya dengan membentuk tim pencari fakta sebagai bentuk advokasi.5
Dari Lampung ke Makassar. Pada tanggal 21 April 2000, Nasrullah, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar, pun bernasib sama dengan Fitriya. Kasus demi kasus, pelanggaran HAM dan demokrasi kembali terjadi di masa transisi, pasca gerakan yang katanya reformasi.
Menyusul Arena IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada akhir bulan Agustus 2000 usai Mukernas di Pabelan Universitas Muhammadiyah Surakarta, Solo.6 Akibat pemberitaan yang direspon berlebihan oleh Front Pembela Islam (FPI) Yogyakarta, kesekretariatan Arena dirusak. Kasus ini kemudian dibawa hingga ke Jakarta. Bahkan Kojeng Amrullah, Koordinator Badan Pekerja Nasional Litbang PPMI waktu itu, digebuk oleh FPI Yogyakarta.7 
Upaya advokasi kemudian dilakukan melalui kerjasama dengan Kontras. Kasus ini sampai ke Kepala Divisi Humas (Kadivhumas) Polri. Kasus akhirnya selesai dan Ketua FPI Yogyakarta diganti.8 Berikutnya tindakan berlebihan menimpa Catatan Kaki Universitas Hasanuddin Makassar. Lalu kasus represif terhadap pers mahasiswa terjadi pula di Mataram dan Malang.9 
Tahun 2005 kekerasan terhadap pers mahasiswa dialami Arena UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ketegangan masa Pemilihan Wakil Mahasiswa (Pemilwa) dan pemberitaan Arena menjadi pemicu terjadinya kekerasan. Bahkan peristiwa ini merembet pada  konflik internal PPMI Dewan Kota Yogyakarta karena terkait mekanisme pengambilan kebijakan dan penyelesaian masalah. Pada tahun 2007 di Makassar dialami oleh Watak (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Makasar) STIEM Bongaya. Watak dibeku-kan menyusul Pemimpin Umum dan Sekretaris Redaksi diberhentikan sebagai mahasiswa, dan beberapa lainnya diskorsing serta mendapatkan surat teguran oleh Ketua STIEM Bongaya.10
Peristiwa-peristiwa tersebut mencerminkan bahwa meski rezim Orde Baru telah berganti namun tindakan-tindakan represif dan ancaman terhadap pers mahasiswa tetap berseliweran. Dan mungkin, kasus-kasus serupa masih banyak terjadi di daerah-daerah lain yang tidak dipublikasikan atau selesai dan redam di wilayah internal kampus.

Konflik Internal dan Fungsi DEN
Konflik internal kali pertama dalam konteks PPMI terjadi sebab sensor surat pos undangan Steering Committe Nasional kepada aktivis pers mahasiswa di Ujung Pandang (sekarang Makassar) akibatnya mereka tidak mengikuti Kongres. Permasalahan akhirnya mampu diselesaikan secara kultural ketika Sekjen dan Presidium PPMI datang dan audiensi di Ujung Pandang.
Konflik berikutnya terjadi ketika pengunduran diri Sekjen III terpilih. Meski kemudian selesai namun dapat dipahami pentingnya basis kota dalam hubungan struktural di tubuh PPMI. Jika permasalahan di Ujung Pandang tersebut karena akses informasi, maka konflik berikutnya ini karena dukungan, pemahaman dan relasi basis pers mahasiswa anggota PPMI di kota, serta mengarah pada kondisi organisasi yang belum mapan.
Hal ini kemudian terlihat ketika Kongres V PPMI di Mataram tahun 2000. Gugatan yang dimuarakan kepada PPMI lebih karena tiga hal: pertama, karena struktur organisasi PPMI yang belum mapan; kedua, karena lemahnya komitmen dan pemahaman, serta tujuan keorganisasian angggota; ketiga, sebab lemahnya jalinan kultural antar anggota PPMI. Meski diakui bahwa suasana polarisasi dan segmentasi gerakan mahasiswa berpengaruh pada sikap dan pandangan anggota PPMI. Sehingga insiden ‘Mataram’ terjadi. Beberapa anggota PPMI walk out pada kongres tahun 2000 tersebut.11
Insiden semacam itu kemudian tak lama juga terjadi di Daerah dengan sebab yang variatif. Pengalaman-pengalaman tersebut membuat jurang pemisah dan ‘perang dingin’ antar pers mahasiswa baik anggota PPMI maupun yang bukan anggota.
Sungguh disayangkan. Solidaritas pers mahasiswa yang pernah diserukan belum dipahami bersama. Kepekaan dan kepedulian sosial berlalu tanpa kepedulian sesama. Konsolidasi dan sosialisasi, langkah yang pernah dilakukan pada periode awal  PPMI, selalu diupayakan baik secara keorganisasian maupun yang lebih utama secara kultural.
Tahun 2000 pasca Kongres V PPMI di Mataram upaya tersebut telah ditempuh namun hingga akhir periode upaya rekonsiliasi dan konsolidasi belum optimal dilakukan. Pada Kongres VI di Malang tahun 2002, menjadi bentuk konkret upaya tersebut. Perangkat dan struktur organisasi yang dinilai kurang mulai diperbaiki. Hubungan Kota dan Nasional yang berjarak kemudian direkatkan. Dewan Kota dan Kota dibentuk dengan relasi otonom.12 Perangkat bidang pengembangan organisasi dibentuk untuk membantu kerja-kerja internal Sekjen.13 Pendataan ulang anggota dilakukan. Untuk mendinamisir roda organisasi maka dibentuk Dewan Etik Nasional sejalan dengan diberlakukannya Kode Etik PPMI.
Perbaikan dan berbenah diri sepertinya tidak pernah berhenti. Tetapi masalah internal justru kembali terjadi. Pemahaman keanggotan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dengan cara pendelegasian sebagaimana sejak PPMI berdiri, tetap tidak berubah. Sistem dan struktur organisasi berubah dari Presidium yang bersifat kolektif (1993-2002) secara de jure, namun realitanya hanya dilakukan periode I dan II (1993-1997). Kondisi menunjukkan Sekjen menjurus pada figur bukan kolektif sehingga kerja-kerja bersama menjadi one man show, baik pada sosok Sekjen atau sosok yang lain.  Itu terjadi ketika masa transisi (1998-2002). Baru secara legal formal, sistem Presidium berubah seiring dengan perubahan struktur organisasi PPMI. Pembentukan Badan Pekerja (BP) Nasional sejak 2000-2002 telah dilakukan, namun hingga 2006, karena dinilai tidak maksimal maka dibentuk Koordinator Wilayah (Korwil) untuk membantu kerja-kerja Sekjen, terutama wilayah internal.14 Namun struktur ini kemudian berubah ketika Kongres 2008, dengan kembali pada BP Nasional dan menghapus Korwil dari struktur organisasi.
Di wilayah buttom-up relasi kota dengan nasional diperbincangkan. Hierarki otonom dengan garis instruktif otonom. Pola seperti ini dipilih hingga Kongres IX periode 2008-2010. Sedangkan struktural DEN tetap berfungsi sama seperti periode 2002-2008 dalam hal pengawasan kode etik.  Namun dalam fungsi organisatoris, selain berfungsi sebagai pertimbangan dan pengawasan organisasi, DEN berhak menyelesaikan konflik antara Sekjen dengan PPMI Kota/Dewan Kota, dan bersama-sama dengan Sekjen menyelesaikan masalah antar PPMI Kota/Dewan Kota.
Kemudian selain kedua hal penyelesaian masalah tersebut, dalam penyelesaian konflik antara persma anggota PPMI dengan PPMI Kota/Dewan Kota, kewenangan diberikan kepada Sekjen pada tahun 2004. Pada Kongres 2008, kewenangan itu dilimpahkan kepada DEN untuk menyelesaikan konflik tersebut.15
Perubahan penyelesaian masalah ini diantaranya terlihat ketika terjadi permasalahan Arena Univesitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (UIN Suka) pada tahun 2005. konflik antara Ketua PPMI DK Yogyakarta dengan Arena yang kemudian ditangani oleh Sekjen PPMI. Konflik horisontal antara Arena dengan organisasi mahasiswa di kampusnya. Dalam konflik itu, terjadi pemukulan terhadap beberapa anggota Arena sehingga persoalan itu menjadi panjang dan melibatkan pihak kepolisian. Dari persoalan pemberitaan sampai pada keorganisasian.16  Kasus tersebut kemudian disampaikan kepada Sekjen PPMI. Namun terjadi dua versi berbeda antara yang dijelaskan oleh Ketua PPMI Dewan Kota Yogyakarta dan Arena. Perbedaan tersebut mengarah pada konflik internal antara PPMI Dewan Kota Yogyakarta dan Arena.
Ketua PPMI Dewan Kota Yogyakarta menyatakan bahwa kasus tersebut tidak hanya konflik yang murni karena kerja jurnalistik, tetapi juga disebabkan adanya keterlibatan organ atau kelompok massa tertentu.17 Namun pernyataan Arena yang disebarluaskan lewat mailinglist membantahnya.18 Menurut Arena, kasus ini murni timbul karena pemberitaan Slilit (salah satu media terbitan Arena) yang membahas tentang Pemilwa yang sedang berlangsung di kampus UIN Suka.19 
Arena yang merupakan anggota PPMI menilai Ketua PPMI DK Yogyakarta telah melakukan pengkaburan fakta dan tidak tegas dalam menangani konflik tersebut. Karena sebagian pengurusnya memiliki kepentingan dan perbedaan cara pandang mengenai nilai, prosedur, dan cara kerja jurnalisme, serta  “ketidaksehatan” mekanisme pengambilan keputusan dalam kepengurusan PPMI DK Yogyakarta.20 
“Ketidaksehatan” itu diakui oleh Agung Sedayu selaku Sekjen Nasional PPMI saat itu. Agung yang dilibatkan dalam penyelesaian konflik antara Arena dengan PPMI DK Yogya-karta mengakui banyaknya kesalahan awal dalam pemformulasian aturan pengambilan kebijakan ditingkatan PPMI DK Yogyakarta. Oleh karena itu, peristiwa konflik Yogyakarta ini dijadikan pembelajaran guna perumusan dan pengambilan kebijakan organisasi.21
Konflik yang awalnya terjadi antara Arena dengan pihak non anggota, berimbas kepada konflik internal dalam tubuh PPMI. Arena menilai diperlakukan tidak adil oleh PPMI DK Yogyakarta dan mengganggap sebagian kepengurusan PPMI di Yogyakarta bersikap tidak netral. Hal ini berujung pada keluarnya Arena dari keanggotaan PPMI pada 26 April 2005 dan menarik kembali anggotanya yang waktu itu menjadi pengurus PPMI baik itu di tingkat nasional (Faliqul Isbah, Koordinator Divisi Advokasi Dewan Nasional), maupun di tingkat PPMI DK Yogyakarta (Fathul Qorib, Hakim Muzzayan, dan Nur Izzah Millati). 22 
Keterlibatan Sekjen Nasional PPMI dalam penyelesaian konflik internal PPMI DK Yogyakarta ternyata gagal dilakukan karena banyak kesalahan dalam pemformulasian aturan pengambil kebijakan di tingkatan PPMI DK Yogyakarta. Ketua PPMI DK Yogyakarta bahkan dinilai kurang dapat menempatkan diri dan cenderung masuk dalam lingkaran konflik yang terjadi.23 Dalam konflik internal ini, posisi DEN sebagai badan independen dalam PPMI tidak dilibatkan dalam penyelesaian masalah, karena memang pada waktu itu mekanisme penyelesaian masalah dalam tubuh PPMI diselesaikan oleh Sekjen.24 
Demikian secara organisasi, upaya pendamaian bukannya tidak dilakukan. Menurut Agung, Sekjen PPMI, konflik yang terjadi dalam PPMI DK Yogyakarta versus Arena sebenarnya adalah konflik antar organisasi mahasiswa di dalam UIN Suka saja, bukan sengketa pers mahasiswa. Agar konflik ini tidak meluas keluar UIN Suka, apalagi sampai ke kota-kota lain, maka untuk sementara Arena keluar dari PPMI secara struktural 25 
Pada Kongres PPMI ke VIII di Makassar tahun 2006, wewenang penyelesaian konflik internal antara LPM dengan PPMI DK/Kota diserahkan kepada DEN yang dianggap lebih netral karena strukturnya terpisah dengan pengurus pelaksana PPMI dan terdiri lebih dari satu orang dengan strukturnya yang berbentuk dewan. Jadi, sejak itu fungsi dan wewenang DEN secara garis besar mencakup tiga hal: pengawasan kinerja pers mahasiswa anggota PPMI dalam hal kode etik, pengawasan kerja-kerja PPMI, dan mediator penyelesaian masalah dalam struktur PPMI. Jika terjadi konflik antara DEN dan Sekjen PPMI maka diselesaikan pada kongres atau kongres luar biasa.26

Mencari Jalan Alternatif (2002-2008)
Penegasan orientasi pers mahasiswa pada isu-isu kerakyatan pada periode 2002 – 2006 (periode VI – VII) merupakan bentuk konsistensi mengawal perubahan yang mesti tetap berada di dekat garis massa. Perubahan kondisi politik dan struktur organisasi membuat PPMI tetap memilih menjaga jarak dengan kekuasaan. Hal ini terlihat dari  kehati-hatian PPMI dalam mengambil kebijakan organisasi.
PPMI tetap memilih jalan sunyi sebagai bagian gerakan mahasiswa, yang berarti tetap hidup di bawah tanah. Tanpa perangkat organisasi legal formal dan mapan, sebagaimana lembaga gerakan mahasiswa yang disebut layak. Tanpa sekretariat yang tetap, tanpa legalisasi pemerintah, dan dana yang berlimpah.
Hal ini berdampak pada dua konsekuensi logis. Pertama, karena dilakukan untuk menjaga independensi dan semangat idealisme pers mahasiswa, serta keberpihakan kepada rakyat, maka akan lebih terjaga. Kedua, dengan segala konsekuensinya PPMI tetap seperti ini; minim fasilitas dan belum berkembangnya program-program nyata dalam ukuran praktis. Sehingga banyak yang menganggap PPMI tidak berhasil dalam melaksanakan program kerjanya, bahkan dipandang tidak jelas dan tidak menyentuh persma anggotanya. Pun sebaliknya, jika tawaran-tawaran yang berorientasi praktis pencapaian target program kerja material tanpa tujuan substansial maka nilai independensi dan idealisme pers mahasiswa akan sulit diterapkan. Dilema pandangan yang sama-sama memiliki titik lemah dan keunggulan.
Namun PPMI akhirnya mengambil sikap tegas dan menawarkan jurnalisme kerakyatan dengan analisis kritis tanpa orientasi karir yang praktis. Perdebatan tentang orientasi gerak dan isu yang diusung pasca euforia 1998 menjadi perhatian khusus. Sehingga ada tuntutan pemformulasian baru metode gerak PPMI perlu dilakukan sesuai dengan perubahan zaman, namun PPMI tidak berubah sejak awal. Landasan kesadaran kerakyatan ini sebenarnya telah lama muncul namun untuk mempertegas menyikapi isu-isu kerakyatan menjadi pilihan yang tepat untuk formulasi orientas pasca Peristiwa 1998.
Hal ini sebenarnya sudah dimulai sejak periode 1998-2000.27 Tetapi pada periode berikutnya orientasi ini kurang dibahas karena terjadi kegoncangan internal di tubuh PPMI. Akhirnya periode 2000-2002 ini lebih menitikberatkan pada rekonsiliasi dan konsolidasi internal PPMI. Baru kemudian Kongres PPMI 2002 di Malang kondisi internal setidaknya dapat dipahami bersama oleh pers mahasiswa anggota PPMI, yang kemudian melakukan restrukturisasi dan perubahan yang signifikan dalam keorganisasian28.
Orientasi PPMI mulai mengarah pada sinergitas gerakan massa rakyat. Karena sebagai sebuah wadah alternatif pemupuk orientasi gerakan pers mahasiswa Indonesia sudah seharusnya PPMI mengarahkan untuk lebih dekat dengan garis massa rakyat. Pemberitaan dan isu yang diusung media persma harus mampu menyentuh persoalan-persoalan kerakyatan, bahkan lebih jauh harus mampu melakukan pembelaan.
Kesadaran dan orentasi gerak PPMI ini yang kemudian terus coba dibumikan oleh pengurus-pengurus PPMI selanjutnya, yakni periode VII 2004-2006 dan periode VIII 2006-2008. Sehingga dapat dikatakan periode VI 2002-2004 adalah masa rekonsiliasi PPMI dalam orientasi pers mahasiswa. Kongres 2002 di Malang yang kemudian memilih Rijal Asep Nugroho mempertegas sikap dan arah gerakan PPMI setelah 5 tahun pasca perubahan 1998.
Ada pemahaman orientasi dalam pers mahasiswa setelah kran kebebasan dibuka, khususnya pasca 1999. Dengan ditetapkannya UU Pers No. 40 Tahun 1999 secara de jure memulai masa libertarian. Pers umum menggejala dan mewabah. Objek pemberitaan yang sebelumnya ‘tabu’ diangkat pers umum karena terbentur oleh pemerintah kini bebas diangkat. Banyak media bermunculan sehingga media yang bermodal besar dan punya relasi kuat akan menggilas media-media kecil. Persaingan semakin ketat seiring dengan industrialisasi media. Terlepas dari itu semua, kemajuan teknologi membantu akses informasi dengan cepat. Sehingga media harus dituntut aktualitasnya. Berbagai media elektronik, termasuk online, merebak dan pers mahasiswa dianggap sudah ditinggalkan publik.
Bila masa Orba berita yang sensitif karena bersinggungan dengan politik dan pejabat pemerintah termasuk militer pers umum tidak berani mengangkatnya dengan bebas,  setelah lengsernya Soehaarto pers umum justru lebih berani mengungkap. Bahkan dari sudut pandang aktualitas, ketajaman, pendanaan, dan sebagainya pers mahasiswa dianggap tidak berperan masif terhadap perkembangan sosial-politik kerakyatan. Lantas dari anggapan tersebut memicu sikap pesimistik, bahwa pers mahasiswa harus kembali ke kampus (back to campus). Muncul logika subordinasi yang biner bahwa  pers umum profesional dan pers mahasiswa menjadi amatir. Maka pilihan kembali ke kampus menjadi wacana alternatif pers mahasiswa. Sedangkan PPMI tidak pernah repot dengan orientasi pemberitaan karena dipahami bahwa wilayah keredaksian perlu dijaga independensinya, PPMI justru lebih mengakomodir apapun orientasi anggotanya. Namun diakui kondisi wacana yang berkembang dan orientasi yang bergulir pasca 1999, dengan ditandainya UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, cukup memengaruhi sikap pemberitaan pers mahasiswa.

Gagasan Back to Campus
Gagasan back to campus tidak sepenuhnya baru, pada dekade 1980 konsep back to campus sering digunakan. Pandangan back to campus merupakan ekor dari kebijakan NKK/BKK yang memaksa pers mahasiswa menulis di balik dinding-dinding kampus. Karena dipahami sebagai upaya mengembalikan media (pers mahasiswa) kepada pembacanya, gagasan ini muncul kembali. Kondisi yang tidak jauh berbeda dengan dekade 1980. Domain pembaca pers mahasiswa adalah domainnya mahasiswa. Tetapi ketika kemudian lebih nyaman dengan wacana teoretik dan wacana kampus, maka pers mahasiswa lupa dengan basis gerakan mahasiswa pada jalur kerakyatan sebagai bentuk tanggungjawab pelaksana tri dharma perguruan tinggi dan idealisme mahasiswa.
Pers mahasiswa kemudian dituduh sebagai pendukung gerakan penceraian mahasiswa dengan rakyat dan pemuja kampus menjadi menara gading. Maka tidak heran ketika wacana yang muncul masa 1999 dan setelahnya orientasi pers mahasiswa menyempit di dalam kampus (back to campus). Banyak terbitan pers mahasiswa praktis mengangkat isu-isu kampus semata. Tidak sedikit majalah pers mahasiswa berubah politik keredaksiannya. Sebagaimana pembacaan terhadap orientasi media pers mahasiswa yang pernah dilakukan oleh Litbang PPMI periode 2002-2004. Menurut Franditya Utomo, koordinator proyek itu—meski penelitian itu akhirnya tidak selesai hingga akhir kepengurusan— tetapi dapat dilihat bahwa kecenderungan media pers mahasiswa pada 1999–2003 mengarah kepada orientasi back to campus.29 
Fenomena kebanyakan tersebut menjadi tren penerbitan mahasiswa. Maka ketika pers mahasiswa mengalami krisis internal karena pendanaan dan SDM, sikap yang diambil kemudian mengurangi periodesita terbitan dan minimalisasi media terbitan. Hal teknis ini berdampak pada pengawalan isu yang diangkat dalam pemberitaan yang terkadang belum tuntas dan belum mengena. Seperti majalah yang hanya terbit satu kali atau dua kali dalam setahun atau media tersebut hanya digarap oleh tiga sampai lima orang aktif.
Majalah seperti proyek prestisius yang menjadi agenda program keredaksian. Maka banyak pers mahasiswa banting setir menerbitkan buletin atau tabloid, yang sebenarnya dalam sejarahnya ini digunakan oleh pers mahasiswa dalam mengawal isu-isu perubahan. Semisal Harian KAMI yang terbit standard dan buletin-buletin minimum yang beredar ketika peristiwa 1998. Karena format demikian dinilai efektif bagi publik pembaca dengan pertimbangan sumber daya dan efektifitas pengawalan isu. Sehingga ketika orientasi back to campus menyeruak, format buletin dan tabloid, bahkan kording (koran dinding) digunakan pers mahasiswa.
Sementara untuk menyiasati transformasi isu-isu ke pembaca digunakan majalah, untuk yang berorientasi back to campus, selain buletin atau tabloid, lebih menggunakan jurnal sebagai pilihan format terbitannya. Bahkan selain kreasi-kreasi dalam terbitan pun dilakukan dan sangat variatif, dari format buku hingga media online digunakan untuk mendukung publisitas pers mahasiswa.
Sebenarnya upaya pencarian soal orientasi telah dimulai sejak 1998, ketika sarasehan pers mahasiswa diadakan oleh Balairung. Namun hal itu kurang dibahas mengingat kondisi PPMI yang waktu itu rapuh karena Sekjen yang baru terpilih mengundurkan diri. Sehingga waktu itu pembahasan tidak menjadi rekomendasi dan tuntas. Kemudian pada Kongres berikutnya, pembahasan lebih pada penyelamatan organisasi. Sedangkan Kongres V PPMI tahun 2000 di Mataram pun demikian. Upaya untuk pencarian itu memperjelas, terlihat dari tema Kongres yang dipilih: “Jati Diri Pers Mahasiswa sebagai Kontrol Sosial dan Agen Perubahan”.
Namun, lagi-lagi kondisi internal PPMI belum siap membahas orientasi pers mahasiswa. Demikian pada masa transisi, upaya menemukan orientasi pers mahasiswa belum menemukan titik terang. Baru kemudian setelah masa rekonsiliasi internal periode 2000-2002 penegasan gagasan konsistensi mengawal isu-isu kerakyatan menjadi pilihan. Tetap pada semangat awal: menjadi alternatif adalah pilihan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram