Langsung ke konten utama

Tragedi Ujian Nasional


dilarang mencontek


Menjadi jujur di negeri ini seringkali sulit. Pepatah Jawa, “Sing Jujur: Ajur” (yang jujur menjadi hancur) barangkali tepat adanya. Contoh yang paling hangat adalah kisah Siami. Ia dengan penuh kesadaran membuka sebuah dugaan parktik contek masal saat Ujian Nasional (UN) di sekolah anaknya, SD N Gadel 2, Surabaya. Namun malang menimpa, Siami sekeluarga diusir dari tempat tinggalnya karena kejujuran itu.
            Kasus dugaan contek masal di SD N Gadel 2 menimbulkan keperihatinan mendalam terhadap nasib pendidikan bangsa ini. Ki Hadajar Dewantara pernah berkata jika pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Dalam pendidikan seorang manusia dikenalkan pada nilai-nilai kehidupan agar menjadi manusia paripurna. Jika pendidikan justru memparktikan ketidakjujuran – seperti pada kasus contek masal - maka batalah fungsi pendidikan tersebut.

            Selain kasus contek masal, sejumlah kecurangan saat ujian nasional juga telah banyak terungkap. Modus yang digunakan cukup beragam. Hampir seluruhnya ditimbulkan oleh ketakutan yang berlebih terhadap UN. UN adalah momok karena menjadi penentu kelulusan siswa.
Karena UN menimbukan berbagai masalah, banyak pihak menyerukan penghapusan UN. Mahakamah Konstutusi (MK) bahkan menghendaki UN untuk dibenahi. Meski demikian, pemerintah tetap bersih kukuh jika UN tetap harus ada. Standar kelulusan UN yang naik secara bertahap dinilai sebagai peningkatan kualitas pendidikan.
Menanggapi banyaknya kasus kecurangan, pemerintah menanggapinya dengan sanksi dan himbauan. Pihak yang terbukti bertindak curang secara cepat dikenai sanksi. Berikutnya pemerintah menghimbau jika kejujuaran harus diutamakan dalam UN. Namun faktanya, dari tahun ke tahun selalu saja ada tindak kecurangan dalam UN.
Lebih mendalam, kecurangan dalam UN sebetulnya bukan semata kesalahan pribadi pelaku. Harus jujur diakui UN ternyata telah menjadi hal yang memaksa sejumlah pihak menjadi tidak jujur. UN sebagai standar penilaian tidak memperhatikan obejek penilaiannya yang teramat beragam. Dari Merauke hingga Sabang kesenjangan kualitas pendidikan sangat timpang. Akan sangat menyulitkan jika kesenjangan itu diuji dengan sistem penilaian UN yang sama. Kesenjangan itulah yang menjadi godaan terbesar untuk tidak jujur dalam UN.
Ada yang mengaitkan budaya mencontek dengan tindak korupsi. Dan ternyata, dari sederet nama para koruptor, mayoritas adalah orang-orang berpendidikan. Semoga hipotesa bahwa pendidikan berperan dalam melahirkan koruptor tidaklah benar. Jangan sampai karena UN kejujuran menjadi terpinggirkan.
Semua pihak mesti ingat bahwa pendidikan adalah proses yang dinamis dan inovatif. Jika UN justru menimbulkan banyak permasalahan maka jangan segan untuk mengganti atau mengahapuskan UN. Seperti uacapan Ki Hadjar, pendidikan mesti dijaga agar tetap memanusiakan manusia. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram