Langsung ke konten utama

Akreditasi dan Nasib Mahasiswa PTS

UAD Kampus II

Berdasarkan Per.Men.Dik.Nas. No. 28 Tahun 2005, semua perguruan tinggi (PT) mesti sudah terakreditasi pada tahun 2012. Jika tidak, sebuah PT bisa dicabut izin operasinya. Banyak perguruan tinggi swasta (PTS) yang merasa keberatan dengan kebijakan tersebut. Masadepan mahasiswa PTS juga sedang dipertaruhkan dengan dampak dari regulasi tersebut.
            Akreditasi memang penting untuk mengukur kualitas pelayanan pendidikan sebuah PT. Lebih jauh akreditasi juga merupakan jembatan menuju kualitas manusia Indonesia yang unggul. Sebuah lembaga pendidikan yang berkualitas diharapakan akan mampu mencetak lulusan yang bermutu. (dimuat di Kedaulatan Rakyat) 
Namun, menjadi sulit bagi PTS untuk mencapai standarisasi yang diharapkan. Berbeda dengan PTN yang memperoleh subsidi pemerintah, PTS sebagain besar hanya dihidupi oleh dana masyarakat. Dari keterbatasan dana itu posisi PTS seringkali berada dalam dilema.
            Jika sebuah PTS ingin mampu sejajar kualitas pelayanannya dengan PTN ia mesti menarik biaya pendidikan yang tinggi. Padahal, kebanyakan PTS, terutama yang berada di daerah, mamiliki peserta didik dari kalangan ekonomi menengah kebawah. Banyak PTS yang lebih memilih untuk mengenakan biaya pendidikan terjangkau agar tetap mampu melayani masyarakat bawah.
            Jika peraturan tersebut benar-benar diberlakukan, mahasiswa PTS-lah yang paling takdiuntungkan. Mahasiswa tersebut adalah yang tak seberuntung mereka yang mampu terserap di PTN. Dengan berbagai kebijakan, PTN saat ini tak ramah lagi bagi masyarakat bawah. Masyarakat yang tetap ingin mengubah nasib lewat pendidikan akhirnya menambatkan pilihannya pada PTS yang terjangkau.
            Jika tempat belajar mahasiswa tersebut kelak tak terakreditasi atau bahkan dihentikan operasinya, pupus sudah harapan mereka. Sulit bagi para lulusan PTS tersebut untuk mendapatkan akses ekonomi yang baik. Sebagian besar lembaga kini mensyaratkan akreditasi minimal B bagi pelamar kerja. Bahkan, pemerintah pula mematok akreditasi minimal B pada persyaratan menjadi PNS. Sedang, untuk berwirausaha masyarakat bawah terkendala modal dan jaringan.
Dampak bagi mahasiswa PTS dan masyarakat tersebutlah yang patut dipertimbangkan sebelum menerapkan peraturan tersebut. Seharusnya ada persiapan lebih matang dari lembaga akreditasi, perguruan tinggi, dan pemerintah. Pihak-pihak tersebut harus memastikan pemberlakuan peraturan tersebut tak akan mengorbankan siapapun.
            Lembaga akreditasi harus memperhatikan kesenjangan yang ada antara PTS dan PTN. Indikator penilaian sebaiknya menyesuaikan dengan berbagai keterbatasan PTS. Penyesuain tersebut tentu tak boleh mengurangi akurasi penilaian kualitas sebuah perguruan tinggi.
            Pihak perguruan tinggi terutama swasta mesti sungguh-sungguh mempersiapkan kelengkapan yang dibutuhkan dalam akreditasi. Sebaiknya PTS melaksanakan audit mutu internal agar mampu mengukur dirinya. Kekurangan yang ada harus segera dilengkapi.
            Pemerintah menjadi pihak yang paling bertanggungjawab ihwal akreditasi dan dampaknya. Pemerintah harus mengalokasikan dana tunjangan untuk membantu PTS. Ini agar PTS tak hanya bergantung pada dana masyarakat. Sehingga, PTS mampu meningkatkan pelayanannya sesuai standar akreditasi. Mereka yang belajar di PTS pula adalah generasi bangsa ini. Harus diingat bahwa lembaga pendidikan swasta telah mengabdi jauh sebelum lahirnya Negera Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram