Langsung ke konten utama

Saatnya Reformasi Mental

memelihara mental

Telah 13 tahun sudah sejak reformasi membuka babak baru kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Reformasi menjadi jargon populer yang hingga kini masih digunakan untuk menjelaskan sebuah perubahan. Meski, perubahan itu mulai dipertanyakan.
            Proses reformasi sebenarnya telah dimulai sejak beberpa tahun sebelumnya. Kaum intelektual terutama mahasiswa merasa bahwa kedikatatoran rezim orde baru sudah sangat kelewatan. Keresahan itu kemudian disikapi dengan adanya konsolidasi terhadap semua elemen masyarakat dan mahasiswa untuk menyamakan persepsi tentang ide perubahan.

            Momentum perubahan akhirnya tercipta dikala ekonomi Indonesia mengalami krisis pada 1997. Terdapat sebuah alasan mendasar bahwa kepemimpinan Presiden Soeharto mesti diturunkan. 21 Mei 1998 orde baru akhirnya tumbang. Sejak itulah bangsa ini memulai sebuah masa baru: masa kebebasan.
            Setelah orde baru tumbang, konstitusi disesuaikan. Beberapa kali UUD 1945 diamandemen. Hal itu untuk memantapkan sistem demokrasi. Masing-masing lembaga negara pula direposisikan agar tak mengulangi kesalahan orde-orde sebelumnya.
            Namun, kita sama-sama tahu betapa sejumlah lembaga negara masih tak sesuai cita-cita reformasi. DPR sebagai representasi rakyat malah seringkali tak sejalan dengan kehendak rakyat seperti pada soal studi banding ke luar negeri. Lembaga hukum yang mestinya menjunjung nilai keadilan malah menjadi pelanggar hukum itu sendiri seperti dalam kasus mafia hukum. Pemerintah yang harusnya menjamin hidup rakyatnya seringkali abai akan kewajibannya. Ini terlihat dari semakin maraknya korupsi pada berbagai level birokrasi. Pun masyarakat saat ini lebih mudah terkotak-kotak ke dalam kelompok yang tak jarang menimbulkan anarkhisme.  
            Demokrasi prosedural yang berkembang menjadi demokrasi transaksional dianggap yang paling bertanggungjawab atas semua hal tersebut. Lebih mendalam reformasi yang tak diterjemahkan secara baiklah yang menjadi ujung pangkal. Selama ini perhatian hanya tertuju pada transisi fisik saja. Padahal mental dan karakter bangsa ini pula mengalami masa transisi dari pengekangan orde baru ke alam kebebasan.
            Transisi tak matang itu menimbulkan ruang kosong yang berakibat pada disorientasi tata nilai dan norma di masyarakat. Masyarakat menjadi cenderung berpikir parktis dan pragmatis. Akhirnya masyarakat termasuk mereka yang punya kuasa terjerumus pada kepentingan pribadi yang sesaat.
            Jika “re-“ dalam reformasi bermakna “kembali” maka sebaiknya bangsa ini mesti mulai mencari kembali jati dirinya. Di sana ada nilai kesetiakawanan sosial, menghargai perbedaan, kejujuran, kerja keras pulai nilai luhur lainnya. Jati diri bangsa itu adalah 4 pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Demokrasi kemudian bisa berkembang menjadi sesuatu yang ideal dan bukan hanya prosedural. Harus ada usaha untuk mengembalikan semua warga bangsa ke mentalitas empat pilar tersebut. Dengan itu reformasi bisa menjadi sesuatu yang paripurna.
            

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram