Langsung ke konten utama

Dilema Memilih Jurusan di Perguruan Tinggi

Wisuda

Hampir semua siswa SMA saat ini sedang gemar-gemarnya membahas rencana setelah lulus. Kebanyakan dari mereka memiliki keinginan untuk mendapatkan pendidikan di perguruan tinggi. Meski, karena keterbatasan ekonomi, hanya sebagiannya saja yang mampu melanjutkan. Karena itu, kesempatan melanjutkan ke bangku kuliah menjadi hal yang mesti dipersiapkan sebaik mungkin selain Ujian Akhir Nasional (UAN).
            Dalam proses persipan seringkali muncul dilema dalam memilih jurusan dan perguruan tinggi. Pertimbangan prospek kerja sebuah jurusan dengan pertimbangan minat dan bakat anak seringkali bertentangan. Orang tua biasanya lebih mempertimbangkan prospek kerja dari suatu jurusan. Dengan memilih jurusan yang menjanjikan, mereka berharap bisa memberikan yang terbaik bagi generasinya.

Anak seringkali memiliki pandangan berbeda. Mereka lebih mempertimbangkan minat dan kecintaan mereka terhadap suatu bidang dalam memilih jurusan. Terkadang mereka lebih memilih jurusan yang tergolong “jenuh” yaitu jurusan yang tak banyak dibutuhkan dunia kerja.
Akibat yang buruk akan timbul ketika pandangan orang tua dan anak tidak mampu terjembatani. Anak seringkali mesti mengikuti pilihan orang tua untuk masuk jurusan dan perguruan tinggi yang dinilai berprospek baik. Karena bukan bidang yang dicintai, perstasi belajar anak menjadi tak begitu maksimal. Lebih parahnya, terkadang kuliah mereka juga menjadi kacau.
Dari konflik di keseharian masyarakat tersebut makna belajar dan ilmu pengetahuan patut untuk didefinisikan kembali. Belajar hakekatnya adalah mempelajari pengalaman yang disebut sebagai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan semacam apapun pada dasarnya memiliki guna bagi kehidupan manusia. Permasalahan yang mestinya muncul bukan pada memilih akan belajar apa tetapi lebih kepada bagaimana memanfaatkan ilmu yang dikuasai.
Cara pandang yang tak tepat memaknai belajar berakibat pada kondisi umum bangsa. Lulusan perguruan tinggi lebih menjadi para pencari kerja ketimbang menciptakan kerja. Padahal, jika saja seseorang belajar tentang sesuatu yang menjadi minatnya - jurusan dan ilmu apapun - ia akan bisa maksimal memanfaatkan ilmunya untuk menyelesaikan masalah. Permasalahan mencari penghidupan semisal bisa terpecahkan dengan berkarya atau berwirausaha sesuai ilmu dan keahliannya.
Lebih jauh, tujuan pendidikan nasional mesti diperjelas kembali. Pemerintah dalam hal ini departemen pendidikan pernah berniat akan menutup jurusan-jurusan yang dinilai telah jenuh. Pandangan tersebut sebetulnya bukan sudut pandang pendidikan yang baik.
Keinginan untuk menyesuaikan pedidikan dengan kebutuhan dunia kerja memang penting. Tetapi, ilmu pengetahuan dan pendidikan mesti diletakan di tempat yang terhormat. Pendidikan terutama di perguruan tinggi mesti dimaknai sebagai tahapan tinggi seorang manusia untuk belajar sesuai dengan minat dan bakatnya. Kita mesti percaya pada potensi individu manusia bukan malah bergantung pada prospek dunia kerja semata.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram