Langsung ke konten utama

Babak Baru Pergerakan Mahasiswa

Mahasiswa Menduduki Gedung DPR

Setiap perubahan besar di negeri ini selalu melibatkan mahasiswa. Dari pergerakan nasional yang melahirkan kemerdekaan hingga reformasi 1998 menempatkan mahasiswa dalam peran sentral. Namun, saat ini pergerakan mahasiswa seolah terasing di hingar-bingar kebebasan yang ia perjuangkan.
Setelah reformasi, demokrasi hidup di dalam semangat kebebasan. Kebebasan mengubah orientasi hidup bangsa. Pemaknaan kebebasan sangat dekat kaitannya dengan kembalinya orientasi hidup terhadap individu. Pertimabangan kepentingan pribadilah yang seolah saat ini menjadi rujukan segala tindakan. Bangsa ini kini tak lagi dipersatukan oleh semangat yang selalu sama.

Ini bisa kita amati di masyarakat melalui media. Kesatuan-kesatuan masyarakat kini lebih sering terbentuk dari sentiemen-sentimen superioritas dan eksklusifitas. Masyarakat kini terbelah kedalam kelompok-kelompok yang terbentuk karena kesamaan kepentingan pribadi semata. Akibatnya, kebangsaan saat ini begitu lemah. Konflik antar kelompok masyarakat adalah gejala nyata lapuknya semangat kebangsaan.
Kondisi tersebut ternyata juga menerpa elemen gerakan mahasiswa. Semangat pergerakan mahasiswa kini terduksi menjadi semangat kelompok. Seringkali kepentingan rakyat yang dibela tidak lebih bermakna dari eksistensi kelompok. Ini bisa dilihat saat aksi di jalan. Elemen-elemen gerakan berlomba meninggikan bendera masing-masing. Mereka sangat sulit untuk bersatu meski tuntutan dan isu yang dibawa sama.
Resistensi tak hanya muncul antar elemen mahasiswa. Antara gerakan dengan masyarakat yang dibelapun terkadang terjadi gesekan. Aksi mahasiswa terkadang terlalu menonjolkan kekuatan fisik. Sering muncul di media aksi mahasiswa yang berakhir rusuh. Cara tersebut mengganggu kehidupan sehari-hari masyarakat. Seolah terjadi paradoks antara pembela dengan yang dibela.
Di dalam kampus mahasiswa pula saling memagari dirinya. Muncul istilah mahasiswa hedonis, mahasiswa akademis, dan mahasiswa aktivis. Di atara ketiganya, mahasiswa aktivislah yang paling sedikit jumlahnya. Antar ketiga jenis mahasiswa ini muncul sentimen. Sayangnya, aktivis pergerakan juga seringkali terseret dalam sentimen tersebut. Semuanya merasa paling benar.
Sementara itu rakyat kecil seolah dibiarkan sendirian meratapi ketidakberdayaanya. Tewasnya 6 anggota keluarga di Jepara karena mengkonsumsi nasi tiwul baru-baru ini cukup menghentak hati. Setelah sekain lama negara ini terbentuk, kemiskinan ternyata tak pernah tuntas ditangani. Negara seringkali tak hadir di saat-saat rakyat benar-benar membutuhkannya.
Di sinilah peran besar mahasiswa teramat dibutuhkan. Menyelesaikan persoalan kemiskinan tak hanya bisa dengan teriakan di jalan. Toh mereka yang diteriaki mungkin telah tertutup hati nuraninya. Mahasiswa harus berjuang melalui kemampuannya masing-masing. Dengan berbagai disiplin ilmu mahasiswa mesti mampu memecahkan persoalan yang menerpa masyarakat.
Pergerakan mahasiswa mesti menempatkan diri sebagai kekuatan pelopor. Kepeloporan mesti dimulai dari kampus. Aktivis mahasiswa mesti menyatukan cara pandang mahasiswa. Sadarkan semua mahasiswa jika mereka memiliki tanggungjawab intelektual yang melekat. Mahasiswa harus mampu mengaplikasikan ilmunya untuk mendampingi rakyat. Turunlah ke basis (rakyat) dan bantulah agar mereka terentaskan dari ketidakadilan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram