Langsung ke konten utama

Ketika Ulama tak Sekedar Berfatwa: Sepenggal Kisah MUI Surakarta

MUI Surakarta lahir jauh sebelum MUI yang dikenal sekarang. Berbeda dengan MUI lain yang sehati dengan pemerintah, MUI Surakarta lebih memilih bersikap kritis. Ia tetap berpandangan bahwa pemerintah dan ulama adalah setara ihwal memperjuangkan umat.

Nada bicaranya yang lembut sedikit meninggi tatkala menjelaskan buku putih yang ia genggam. Prof. Prof.DR. H. Zainal Arifin Adnan, Sp.PD, ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) Surakarta denggan antusias menceritakan latar belakang diterbitkannya buku berjudul Kritik Evaluasi dan Dekontruksi Gerakan Deradikalisasi Aqidah Muslimin. Terbitnya buku setebal 128 halaman semakin mebuat MUI Surakarta dikenal sebagai MUI Perjuangan.

Prof. Zaenal mengenang saat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengedakan Halaqoh di Hotel Novotel 21 November 2010 lalu. Acara yang merupakan rangkaian road show 6 kota besar itu bekerjasama dengan Forum Komunitas Praktisi Media Nasional (FKPMN), sebuah LSM. Ia bersama MUI Surakarta menilai ada yang ganjil dengan acara tersebut.

Kota tujuan lain dari road show ini adalah kota provinsi terkecuali Solo yang merupakan kota Kabupaten. Menurut Prof. Zainal itu karena Solo dinilai sebagai tempat berkembangnya paham terorisme. “Itu karena stigma saudara kita yang dianggap teroris itu dari solo kebanyakan,” ucapnya.

Sebelum halaqoh diadakan Ketua MUI Jawa Tengah datang ke Solo menyiapkan delegasi untuk Jawa Tengah dan Madura. Tertera bahwa yang akan menjadi pembicara salah satunya adalah Kyai Makruf Amin. Pihak MUI Surakarta berinisiatif untuk menelfon Kyai Makruf Amin. “Dia keget, nggak tau kalau ada jadwal besok. Padahal dia akan jadi narasumber kok nggak tahu. Itu kan aneh,” tutur Prof. Zainal. Kejadian itu semakin memperkuat dugaan bahwa Halaqoh itu punya maksud tertentu. MUI Surakarta akhirnya memutuskan untuk tidak mengirimkan delegasi.

Diketahui juga bahwa di akhir halaqoh terdapat konsesnsus yang ditandatangi para peserta. Namun pihak menyelenggara mengelak atas konsensus tersebut. Ternyata konsensus itu juga telah dibawa dari Jakarta dan tinggal diratifikasi oleh peserta halaqoh. Dialog yang terjadi saat acara juga telah diseting sebegitu rupa.

Pihak MUI Surakarta memutuskan untuk meminta salinan power point hasil dari pertemuan itu. “Ternyata, masyaalloh, naudubilah, dia kecuali memotong ayat motong hadits, juga dibelokan tafsirannya,” ujar Prof. Zainal sedikit geram. MUI Surakarta berfikir harus ada usaha untuk mengimbangi halaqoh tersebut. “Sebagai ulama kita punya fardu ain untuk meluruskan,”tambahnya.

Tema “Peran Ulama dalam Mewujudkan Pemahaman Agama yang Benar” dalam acara itu juga terasa ambigu. Ada kesan menjadikan ulama sebagai akar radikalisme Islam. Isi dari halaqoh tersebut mencoba menggiring pada kesimpulan bahwa Jihad tidak menjadi bagian dari ajaran Islam. Ada usaha yang terstruktur agar penegakan syariat dinilai sebagai hal yang buruk.

Prof. Zainal lebih jauh melihat isu deradikalisasi dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk meraih keuntungan pribadi. Isu terorisme bisa mendatangkan dana yang tidak sedikit dari lembaga donor terutama Amerika. “Ada oknum MUI yang ditunggangi oleh LSM,” ujarnya. Ia mengaku mendapat informasi itu dari sumber yang terpercaya. “Soalnya kalau ilmu kedokteran deradikalisasi itu obat. Kalau diangonisanya keliru, obat ini akan membuat mati. Malah tambah sakit,” tambahnya.

Akhirnya para ulama, tokoh masyarakat, dan cendikiwan melakukan pertemuan. Hasil pertemuan itu memutuskan bahwa MUI Surakarta mesti membuat buku terkait isu deradikalisasi. Buku itu menurut Prof. Zainal sangat normative dan ilmiah. Para ulama yang akan menulis diwajibkan untuk membawa referensinya.

Penerbitan buku putih diniati sebagai usaha untuk memberikan wacana penyeimbang tentang deradikalisasi. “Semoga bisa membawa hidayah bagi Mr. Obama,” canda Prof. Zainal yang juga adalah Dekan Fakultas Kedokteran UNS ini. Baru saja terbit, kedutaan Amerika mersponnya dengan memesan 15 buah buku putih. Buku itu akan dibagikan ke sejumlah perpustakaan universitas terkemuka di Amerika.

Isu deradikalisasi dan penerbitan buku putih adalah beberapa hal yang membuat MUI Surakarta dikenal sebagai MUI daerah yang pemberani. Sebelumnya MUI Surakarta juga berbeda pendapat soal penerbitan sertifikat halal dengan MUI wilayah Jawa Tengah. Peristiwa itu terjadi sekaitar tahun 1990-an.

Banyak perusahaan di kota Solo yang mendapat sertifikasi halal. Jika mesti mengurus ke Seamarang itu dirasa terlalu jauh. Akhirnya perusahaan di Solo lebih memilih mengurus sertfikasi halal di MUI Yogyakarta. “Program itu untuk menyelamatkan umat islam dari konsusmi yang haram,” ujar Drs. H. Mudjahid AM, M.Pd., ketua DAN PP MUI Surakarta. MUI Surakarta ingin agar sertifikasi halal lebih mudah.

Usaha itu dimulai dengan mengajak UMS dan UNS sebagai penyedia laboratorium uji halal. Keduanya dipilih karena memiliki fasilitas laboratorium yang mumpuni. Setelah dirasa siap MUI solo kemudian membuat surat pengajuan ke MUI Wilayah Jawa Tengah. Namun gayung tak bersambut, MUI Jawa Tengah menolaknya. Alasannya, hanya MUI Wilayah saja yang dilegalkan untuk mengeluarkan sertifikasi halal.

Ustadz Mujahid melihat penolakan itu bukan sekedar masalah prosedural. Ada latar belakang lain dalam penolakan tersebut. “Mereka (MUI Wilayah Red.) malah melihat UMS-nya,” ujar dosen IAIN Surakarta dan salah seorang pendiri IKPMI (Ikatan Keluarga Pemuda Masjid Indonesia) ini. Perjalanan MUI disadari tak lepas dari politik aliran dari Ormas Islam yang ada. “Padahal di tempat lain ada MUI tingkat kabupaten yang diperbolehkan melakukan sertifikasi  halal,” tambahnya.

****
H. Muhhamad Amir berjalan pelan menuju kantor MUI Surakarta. Hari itu hanya ia pengurus MUI yang masuk ke gedung tua berlantai ubin kecoklatan itu. Perlahan ia duduk di kursi tua berbahan kaya jati. Ia adalah pensiunan guru agama yang memutuskan mengabdikan hidupnya menjadi sekretaris MUI. Ia pun bercerita sejarah MUI yang ia tahu.

Perjalanan MUI Surakarta munurut H. Amir memang cukup berwarna. Saat Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) bubar umat Islam khususnya di Solo tidak lagi memiliki wadah. Nahdatul Ulama (NU) dan PSII sepekat dengan Nasakom, sementara masyarakat islam dari haluan yang berbeda tidak mangamini ide Presiden Soekarno tersebut.

Sejumlah ulama Solo seperti Prof. K.H. Adnan, K.H. Sahlan Rosyidi, K.H. Saleh Saibani, K.H. Abdul Karim mempelopori terbentuknya sebuah organisasi islam. Organisasi yang bertujuan mewadahi aspirasi umat Islam itu bernama Badan Kerja Ulama Surakarta. “Sebab juga di waktu itu Walikota dan jajaran pemerintah banyak terdiri dari orang ateis,” ujar H. Amir. Badan Kerja Ulama Surakarta juga dibentuk untuk melindungi kehidupan umat Islam dari tekanan politis. 

K.H. Sholihan MC, BA., salah seorang sesepuh MUI Surakarta, mengtahui secara mendetail dinamika MU. Tahun 1962 MUI Surakarta beridiri dengan nama MU (Majelis Ulama). Ciri utama MU saat itu adalah kedudukan ulama dengan pemerintah setara. “Pokonya kita setara, koe pejabat kami ulama,” ujar, anggota Komisi Dakwah dan Pembangunan MUI ini. MU menjadi jembatan antara keinginan masyarakat dengan pemerintah.

MU berdiri sebelum adanya MUI yang dikenal sekarang. Kelahiran MU di Surakarta membuat beberapa daerah mendirikan majelis sejenis seperti di Aceh dan Jawa Barat. Sayang dokumen pendirian MU Solo hilang. Menurut Kyai Sholihan dokumen itu hilang setelah dipinjam rekannya yang akan mendirikan MU di Boyolali.

Pemerintah juga mulai melirik MU sebagai organisasi yang strategis. Potensi MU akhirnya benar-benar dianggap penting saat orde baru berkuasa. Tahun 1974 Presiden Soeharto mendirikan MUI dengan K.H. Hamka sebagai ketua. Dalam konsep yang baru kedudukan MUI adalah dibawah departemen Agama. “Bukan masalah Indonesianya, tapi keududukannya,” ujar Kyai Sholihan. MU Solo diperintahkan untuk mengikuti sistem yang baru dan merubah nama menjadi MUI.

MU Surakarta dengan tegas menolak tawaran pemerintah. Akibatnya Kyai Sholihan selaku sekretaris MU dipanggil ke Semarang. Ia ditemui oleh dua Ulama MUI, Sahlan Rosyidi (Alm.) dan Umar Syahid (Alm.). Keduanya meminta agar MU segera mengikuti system MUI yang ada. Kedua tokoh itu bersal dari Solo dan notabene adalah juga para pendiri MU.

Tetap menolak desakan MUI, posisi Kyai Sholihan sebagai sekretaris akhirnya diganti. Tahun 1975 MU Surakarta berubah menjadi MUI. Dalam pandangan Kyai Sholihan pembentukan MUI tidak lepas dari kepentingan politik. Ia mencontohkan dirinya pernah hadir dalam pembukaan salah satu embarkasi di Solo. Para ulama yang hadir diminta untuk mengambil bingkisan. “Bingkisannya sarung dan baju kuning,” ujarnya. Baju kuning yang dimaksud adalah partai penguasa saat itu.

Kisah Kyai Sholihan adalah gambaran nyata kekuatan politik yang menggunakan Agama sebagai alat kekuasaannya. Dalam persoalan fatwa haram menghadiri perayaan natal bagi muslim juga terkait dengan tarik ulur kepentingan kekuasaan. Hamka, ketua MUI pertama tak semerta-merta mengeluarkan fatwa tersebut. Kyai Sholihan memiliki rekaman peta masalah yang melatarbelaknginya.

Persoalan tersebut bermula dari usaha fusi partai dari sebelumnya yang multi partai menjadi tiga saja: PPP, PDI, dan Golkar oleh Orba. Mereka dari golongan nasionalis dihendaki masuk ke PDI. Golkar tak mau dianggap partai. Sementara kalangan agamis diatur supaya bergabung dengan PPP. Namun, PPP adalah partai Islam dan mereka di luar Islam dikehendaki agar tetap dalam kontrol pemerintah.

Untuk “mengamankan” kekuasaan atas masa dari basis agama Orba mencetuskan ide Tri Kerukunan beragama – kerukunan interen umat beragama, antar umat beragama, dan antara umat dengan pemerintah. Usaha menyatukan interen umat relatif berhasil. Tahapan berikutnya Orba mencoba menyatukan umat dari agama yang berbeda.

Akhirnya pemerintah saat itu berencana mengadakan perayaan natal bersama di Senayan. Menteri Agama diadaulat sebagai ketua panitia. Semua umat dari 5 agama dihenadaki agar merayakan natal bersama. Hamka saat itu mencium gelagat tak baik dari Orba. Itu mengorbankan agama demi kekuasaan. Lantas dikueluarkanlah fatwa haram mengikuti natal bagi umat Islam.

Soeharto berang. Ia memerintahkan MUI untuk mencabut fatwa tersebut. Hamka tetap menolak dan memilih mundur. Setelah digantikan ketua yang baru fatwa itu diperlunak. Pejabat negara diperkenankan mengikuti perayaan natal. “Itu kalau mau tahu bagaimana Soeharto ngakali wong,” ucap Kyai Sholihan. Ia yang juga adalah ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) menilai persoalan kerukunan beragam bukan disebabkan agama, tapi menjadi urusan Negara dan pemerintah. Sudut pandang yang dipakai adalah kerukanan warga Negara, bukan umat suatu agama.

Sebagai cikal bakal MUI yang merekam dinamika antara Agama dan Negara dan pemerintah, MUI Surakarta tetap kritis terhadap setiap kebijkan pemerintah terkait umat. Meski secara formal MUI Surakarta dibawah MUI Pusat, dalam sejumlah hal MUI Surakarta tetap mempertahankan ciri pemikirannya hingga kini. “Saya salut dengan pikiran MUI Solo. Ulama harus mengasuh umat supaya berhubungan baik dengan pemerintah,” ucap pria kelahiran Banjarnegara 76 tahun silam ini.

*****
Joko Ikram, begitu ia disapa, menjejer tiga buah telpon selulernya di meja. Bukan bermaksud pamer, tapi demikianlah salah satu tugas Komisi Ukuwah MUI: memelihara jaringan. “Yang 2 ini hp tukang sayur, yang agak bagus satu ini,” candanya. Secara bergantian ponselnya berbunyi dari yang sekedar sms hingga melakukan panggilan. “Walaikumsalam, subahanlloh, iya, semoga menjadi berkah,” ucapnya saat menerima telfon dari seseorang.  

“Opening” Joko Beras dengan ponselnya sedikit menunjukan peran penting Komisi Ukuwah MUI Surakarta. Selain dikenal  berani bersuara, MUI Surakarta juga dinilai mampu memayungi semua eleman umat Islam di Solo. “Dengan rahmat Allah MUI solo akan menuju untuk izzul islam wal muslimin,” katanya.

Akomodatif, menurut Joko adalah kunci bagaimana MUI Surakarta mampu memayungiOrmasisalam yang ada. Dari dalam organisasi MUI menjaring semua elemen sebagai pengurus maupun anggota. Keterlibatan yang menyeluruh bisa menjadikan segala sesuatu mampu dibicarakan terutama keputusan yang terkait dengan umat.

Sosok ketua MUI saat ini yaitu Prof. Zainal juga menjadi pemersatu. Ia mampu diterima semua pihak dalam internal MUI. “Dari KTA (Kartu Tanda Anggota Red.) beliau Muhammadiyah, tapi teteap okey dengan semua. Beliau bukan sosok yang angker,” ujar Joko. Dengan usia yang relative muda untuk ukuran pengurus MUI, Prof. Zainal juga mampu berkomunikasi dengan ulama dari berbagai usia. “Sejak dulu ketua MUI ya demikian,” lanjut Joko menjelaskan bahwa sosok ketua MUI sejak dahulu relative diterima semua elemen.

Kondisi internal yang demikian membuat MUI Surakarta cukup disegani oleh semua umat dari berbagaiOrmasIslam di Solo. Joko berkisah tentang acara tabliq akbar yang dilaksanakan pada kepengurusan sebelumnya. Seluruh perwakilanOrmashadir. Tabliq akbar mengenai seruan pembubaran Ahmadiyah itu mendapat respon cukup baik dari semua umat.

Tentang Solo yang distigmakan menjadi basis gerakan Islam radikal Joko menganggap itu sebagai pandangan yang keliru. Namun, ia tak menampik jika Solo memang terdiri dari gerakan islam dengan ideology yang beragam. Dalam mensikapinya MUI Surakarta mengakomodasi perbedaan pandangan. “Kita bisa memahamai kalau anda begitu. Tapi anda tidak bisa lewat dari rel yang ada,” katanya menganalogikan bahwa MUI Surakarta akomodatif namun tetap taat pada ketentuan yang ada.

Istilah Islam garis keras yang diberikan pada beberapaOrmasIslam di Solo menurut Joko tak sepenuhnya benar. Dengan canda khasnya, ia malah menilai tak ada istilah Islam garis keras , yang mungkin ada adalah Islam garis lurus. Jika ada usaha dari pemerintah yang merugikan umat dan menyimpang dari aturan, termasuk kepadaOrmasIslam yang distigmakan radikal MUI berani kritis.

Penerbitan buku Kritik Evaluasi dan Dekontruksi Gerakan Deradikalisasi Aqidah Muslimin adalah salah satu keseriusan MUI Surakarta dalam melindungi syariat. Penanggulangan terorisme yang digawangi BNPT cukup beralasan untuk mendapat kritik. BNPT seolah mendeskritkan umat dari kelompok tertentu dan seolah ingin menghapus kata jihad dari ajaran Islam. Bersama komisi uquwah, buku itu telah dibedah di sejumlah tempat. Respon yang diterima sangat baik. “Alahamdulillah buku Putih itu terus kita sosialisasikan, kata Joko. Buku putih sampai saat ini telah dibedah di Jogja, Semarang, Cirebon, Binjai, dan masih akan berlanjut ke sejumlah tempat.

Ciri MUI Surakarta yang demikian mendapat berbagai respon dari MUI lainnya. Ihwal MUI Surakarta yang kurang diterima MUI Pusat dan wilayah Joko tak sepenuhnya menolak kabar itu. MUI Surakarta sangat jarang diundang dalam pertemuan MUI, bahkan untuk pertemuan selevel kongres. “Kita kan kemarin kesana (MUI Pusata, Red.). Kami tanya mengapa MUI solo tidak pernah diundang. Menurut pusat prosedurnya MUI wilayahlah (MUI Jawa Tengah, Red.) yang memberikan undangan. Ya, MUI Jawa Tengah mungkin belum suka saja,” tutur Joko yang juga adalah wakil bendahara Rumah Sakit PKU Muhammadiyah ini.

Peran majelis ulama tolak ukurnya adalah pada kemaslahatan umat yang dinaunginya. H. Slamet Aby adalah Ketua Takmir Masjid Anggung Suarakarta. Darinya paling tidak bisa mewakili bagaimana pandangan umat terhadap MUI Surakarta.

Menurut Aby, perna MUI Suarakarta yang paling dirasakan selama ini adalah kemampuannya dalam mengayomi umat Islam Solo yang sangat beragam. “Di dalam memberikan bingkai pada semua kelompok itu sangat berhasil. Kalau ada isu umat islam segera bisa dibicarakan,” ujarnya. MUI juga memberikan jalan keluar ketika terdapat perbedaan pemahaman dari umat.

Dalam ingatan Aby tidak pernah terjadi konflik yang berarti antar sesama umat Islam di Solo. “Mungkin bisa diredam karena semua memiliki wakil di MUI. Dengan adanya wakil di MUI kalau ada-apa itu bisa dibicarakan,” tuturnya. Ia sangat terkesan dengan acara tabliq akbar pembubaran Ahmadiyah. Menurutnya acara itu menampakan kerukunan umat Islam di Solo.

Ketengan umat juga tercipta dari bagaimana MUI Surakarta mengeluarkan fatwa. MUI Surakarta menurut Aby mampu mensosialisasikan fatwa dari pusat secara baik. Dalam masalah local Solo, MUI juga mampu melahirkan fatwa yang cukup mampu menjadi panutan. “Dulu ada sate jamu. Umat kurang tahu sate jamu itu karepe pye. Akhirnya ada sate guguk,” katanya. MUI Surakarta saat itu memberikan penegasan terhadap haram tidaknya sate jamu yang ternyata adalah sate daging anjing.


Aby juga terkesan dengan kerja keras MUI Surakarta beberapa periode yang lalu dengan mengkampanyekan penyembelihan hewan sesuai syariat. Pengurus MUI saat itu mengadakan suatu kunjungan bagaimana menyembilih yang baik. Aby juga menyimpan harapan pada MUI saat ini dan akan datang. “Kalau yang sekarang saya kurang tahu. Saya yakin ada. Mungkin cara yang saat ini berbeda,” tuturnya saat ditanya kesan terhadap program MUI periode sekarang. “Kita harapakan MUI memberikan kenyamanan terhadap umat. Memberikan fatwa yang bisa menyejukan umat baik dalam soal ibadah maupun muamalah,” tambahnya.

(Diterbitkan di Majalah Isra PUSAHAM UII edisi Januari 2012)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram