Langsung ke konten utama

Resentralisasi Pendidikan

Baru-baru ini Kemenetrian Pendidikan RI menyatakan bahwa jumlah guru di Indonesia telah lebih dari cukup. Jumlah total guru di Indonesia saat ini adalah 2,7 juta guru. Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh bahkan meramalkan hingga tahun 2014 Indonesia akan kelebihan 300.00 guru. DI sisi lain, cerita kekurangan guru di sejumlah wilayah di negeri ini masih begitu sering terdengar.
      Penyebaran tenaga pendidik memang belum merata. Guru banyak menumpuk di wilayah perkotaan terutama di pulau Jawa. Selain keengganan dari para guru untuk ditempatkan di daerah terpencil, otonomi daerah juga merupakan sebab terhambatnya pemerataan tenaga pendidik.
      Dalam otonomi daerah manajemen kepegawaian termasuk untuk guru terletak di tangan pemerintah daerah (Kabupaten dan Kota). Keputusan-keputusan penting seperti perpindahan guru ditentukan oleh daerah. Egoisitas dari sejumlah Pemda seringkali mempersulit perpindahan guru. Meskipun daerah lain kekurangan tenaga pengajar, suatu daerah yang telah mengalami surplus tenaga pendidik sulit untuk memindahkan gurunya.
       Yang lebih menyedihkan, disentralisasi pengelolaan tenaga pendidik juga menimbulkan politisasi provesi guru. Pengangkatan guru menjadi PNS atau kenaikan pangkat seringkali terkait dengan faktor kedekatan dengan pemimpin daerah. Fakta semacam ini sudah menjadi rahasia umum di berbagai daerah.
      Bagi guru yang dianggap berjasa dalam terpilihnya seorang Bupati atau Walikota, ia akan berkesempatan lebih untuk dianggkat menjadi PNS. Pejabat pendidikan seperti kepala sekolah maupun kepala dinas yang dekat dengan kekuasaan juga akan mendapatkan promosi jabatan. Sebaliknya, mereka yang dianggap tak sejalan dengan sang pemimpin akan dimutasi ke sekolah terpencil atau jabatan yang lebih rendah.
      Masyarakat menjadi pihak yang sangat dirugikan dari pengelolan pendidikan tersebut. Banyak wilayah di pelosok negeri yang sangat membutuhkan tambahan tenaga pendidik. Padahal guru adalah salah satu faktor yang menentukan berhasil tidaknya sebuah proses pendidikan. Selain itu, daerah yang memaksakan tetap mengelola jumlah guru yang berlebih, APBD mereka akan terlalu banyak dialokasikan untuk belanja pegawai. Politisasi provesi pendidik juga berakibat pada rendahnya kualitas pendidik dan pendidikan itu sendiri.
      Wacana bahwa otonomi daerah telah menciptakan raja-raja kecil di daerah adalah tepat adanya. Namun demikian pendidikan harus tetap menjadi hal yang mulya dan tidak dipolitisasi. Pendidikan adalah proses yang dinamis dan inovatif. Maka, jika disentralisasi pendidikan tidak efektif, perubahan pengelolaan tanaga pendidik harus dilakukan.
      Resentralisasi pengelolaan tenaga pendidik bisa menjadi jalan keluar. Manajemen tenaga pendidik dikembalikan ke pusat seperti sebelum adanya otonomi daerah. Dengan itu proses pemerataan guru dari Merauke hingga Sabang bisa lebih mungkin dilakukan. Resentralisasi pendidikan juga bisa menjaga provesi guru dari adanya politisasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram