Langsung ke konten utama

Bonus untuk Para Pengabdi

ucap sumpah PNS
        Sejumlah kabupaten menghabiskan sebagian besar dananya untuk menggaji PNS. Kabupaten Klaten dan Boyolali semisal menghabiskan 73% APBD untuk belanja pegawai. Bahkan, Tasikmalaya dan Magetan mengalokasikan 75% APBD untuk menggaji pegawai negerinya. Banyak pihak termasuk pemerintah pusat menilai hal tersebut sebagai pemborosan.
       Di sisi lain, banyak dijumpai pelayanan kesehatan dan pendidikan yang tidak layak. Dalam bidang pendidikan semisal, banyak muncul fakta bahwa pendidikan masih menjadi barang yang mahal. Menjelang Ramadhan ini, di mana harga kebutuhan pokok melonjak memberatkan masyarakat, para PNS malah akan diberikan gaji ke-13: gaji yang dimaksudkan sebagai bonus. 
       Padahal, jumlah masyarakat yang berprovesi sebagai PNS jauh lebih sedikit dibanding masyarakat umum. Seharusnya aloksai yang ditujukan bagi masyarakat umum lebih banyak. Jika separuh lebih uang daerah dihabisakn hanya untuk sejumlah kecil masyarakat berarti prinsip keadilan telah dilanggar.

       Benar memang bahwa kesejahteraan adalah salah satu faktor untuk meningkatkan motivasi kerja para pegawai. Bonus seperti gaji ke-13 juga bisa memacu etos kerja para PNS. Namun peru dipertanyakan, apakah bonus itu telah seimbang dengan kinerja para PNS? Jawabanya beragam tapi pada umumnya menilai kenerja para pengabdi masyarakat itu belumlah baik.
       Sebaiknya pemberian bonus perlu dikonsep secara baik agar tepat sasaran. Bonus hanyalah pantas bagi mereka yang berprestasi baik. Pemerintah kiranya perlu untuk membuat sistem penialain kenerja tiap PNS. Bagi mereka yang dinilai berkinerja baik, hadiah seperti gaji ke-13 bisa deberikan. Sebaliknya, bagi mereka yang berkinerja buruk perlu ada punishment agar yang bersangkutan mau memperbaiki diri.
       Istilah sistem gaji berdasarkan prestasi dikenal sebagai remunerisasi. Salah satu lembaga yang telah menerapkan remunerisasi adalah Departemen Keuangan. Kebijkan itu muncul konon agar pegawai Depkeu tidak tergoda untuk korupsi dan menjadi bersemangat dalam bekerja. Namun, kisah fenomenal Gayus HP Tambunan – PNS perpajakan yang terbukti korupsi – telah meruntuhkan hipotesis bahwa remunerisasi bisa mecegah korupsi.
       Atas semua itu, sistem remunerisasi perlu diimabangi dengan pembenahan menatal para PNS. PNS harus dikembalikan pada hakekatnya yaitu sebagai abdi atau pelayan masyarakat. Artinya, ada prinsip pengabdian yang seharusnya melandasi provesi sebagai PNS. Sayangnya, anggaran yang berlebih terhadap belanja pegawai dan pemberian gaji ke-13 telah semakin membuat makna pengabdian itu hilang.
       Lebih jauh, pemerintah juga mesti sadar bahwa rakyat kebanyakan di negeri ini masih belum sejahtera. Alokasi berlebih untuk gaji PNS lebih baik digunakan untuk program pemberdayaan masyarakat. Pun bonus gaji ke-13 akan lebih bermakna jika diguanakan untuk memperbaikai pelayanan umum. Jika masyarakat diberdayakan dengan kualitas pelayanan yang baik  maka akan ada harapan untuk terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dan jika masyarakat sejahtera negeri ini pun sejahtera termasuk para PNS juga bisa digaji secara lebih baik tanpa peru gaji ke-13.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram