Langsung ke konten utama

Sejarah Panjang Pesantren di Tanah Gersang (Lapsus Al Islam Lamongan)


Zaki menggiring bola penuh yakin. Satu dua pemain terlewati. Beberapa lawan menyingkir. Beberapa lainnya mesti tersungkur karena kalah body dengan Zaki. Badannya yang tinggi besar tak sebanding dengan tim lawan yang bertubuh kecil. Namun, tepat di depan gawang, Zaki mesti rela kehilangan bola. Seorang lawan dengan cerdik merebut bolanya dan membuang ke luar arena.
Segera saja Zaki melambaikan tangan. Seorang kawan menggantikannya bermain. Dengan keriangat bercucuran ia duduk di teras masjid. Nafasnya masih terengah-engah. Matanya masih terus tertuju pada bola yang menggelinding di kaki sang lawan. Penggantinya di lapangan sepertinya akan membuatnya gagal mereguk kemenangan pada laga itu.
Zaki adalah sosok pemain yang cukup di segani. Meski baru beberapa bulan bergabung, skill-nya cukup menjadi perbincangan pada tim lawan. Ia baru saja di-transfer namun bukan dari club sepak bola. “Katanya saya sering nakal,” ucap remaja 17 tahun ini. Zaki memang baru saja dipindah dari pesantren di Lamongan. Kini ia menjadi santri baru di Pondok Pesantren Al Islam, Tenggulun, Solokuro, Lamongan. Sebuah pesantren yang sering dikaitkan dengan Amrozi dan Muchlas.
Kenakalan Zaki di pesantren yang dulu menurutnya tergolong tak begitu serius. Ia mengaku ia hanya gemar membolos saat ada kelas. Namun, setelah sekian kali diperingatkan, ia tetap abai. Malang baginya, ia mesti dipindahkan. Kini ia mesti berjibaku dengan keadaanya. Mau tak mau ia mesti merubah sikap. Al Islam memiliki aturan kedisiplinan yang kuat. “Saya merasa lebih betah di sini,” ujar santri kelahiran Kangean ini. Meski lebih ketat, kesempatan bermain bola ada tiap sorenya. Walaupun hanya di halaman yang terlalu luas, bermain bola dengan leluasa adalah sesuatu baginya.
Sepak bola memiliki sejarah tersendiri bagi pesantren Al Islam. Sedari awal, santri dan ustadz Al Islam gemar bermain bola. Seminggu sekali squad Al Islam bermain di lapangan Tenggulun. Lawan mereka biasanya adalah tim kampung Tenggulun. Meski berkutat pada tumpukan kitab, untuk soal menggocek bola, ustadz dan santri Al Islam ternyata cukup lihai. Seringkali tim lawan mesti menelan kekalahan. Nama besar tim bola Al Islam juga telah dibuktikan oleh pesantern lain di Lamongan. Jika diadakan turnamen antar pondok, Al Islam seringkali menjadi campiun.
Meski membanggakan, Imam Muslihin, salah seorang ustadz menilai akan lebih baik jika Al Islam lebih dikenal dengan keilmuannya. Oleh karena itu, ia tengah merintis penyempurnaan kurikulum yang diacu Al Islam. Pada dasrnya Ponpes Al Islam adalah pesantren berbasis Kuliayatul Mulaimin - pesantren yang mengarahkan santrinya untuk mengkaji hukum dan nilai mengenai Islam. Karena masih terdapat waktu kosong, Imam ingin agar waktu luang itu lebih bisa dimanfaatkan dari sekedar bermain bola.
Konsep yang tengah Imam gagas adalah menjadikan Al Islam menjadi pesantren tahfidz. “Ya, sebagai lembaga kita ini lebih memiliki kemulyaan di depan umat,” tutur ustadz muda 24 tahun ini. Dengan kurikulum yang selama ini dilaksanakan, Imam melihat adanya kesempatan untuk menambah materi dengan adanya program tahfidz. Sebenarnya mata pelajaran tahfidz telah ada namun masih terbatas pada tahfidz unggulan. Dalam program tersebut hanya santri terpilih saja yang diikutkan.
Dalam program tahfidz yang tengah dimulai akan mengaplikasikan kurikulum yang telah diterapkan di Ponpes Surkati. Surkati sendiri merupakan cabang dari Isy Karima pimpinan Siyhabudin di Karangganyar, Jawa Tengah. “Saya kombinasikan ada yang ada di Surkati yang copi paste dari Isy Karima kemudian saya kombinasikan dengan di Sumenep,” ujar Imam yang juga pernah mengajar di Sumenep, Madura. Alumni Al Islam ini sempat dikirim ke Yaman untuk belajar di Universitas Darul Hadiz. Baru satu semester belajar, Imam mesti berhenti dan kembali ke Indonesia karena kondisi Yaman bergolak saat itu. Setelah pulang ke Indonesia, ternyata ia telah didaftarkan di Ponpes Surkati jurusan tahfidz. Ia pun berhasil menjadi hafidz dalam waktu 8 bulan dan berhak atas gelar diploma III.
Karena berupa gagasan baru, ide Imam awalnya diragukan. Namun dengan penjelasan yang baik akhirnya para ustadz lain menerima dan ingin agar ada uji coba terlebih dahulu. Saat ini program tahfidz masih dalam tahap uji coba hingga dua tahun kedepan. Ia berharap dengan program tahfidz, Al Islam bisa semakin baik ke depannya. Dengan jadwal yang lebih padat, Ia juga ingin agar santrinya lebih teratur. “Biar agak berkurang gila bolanya,” canda ayah satu putri ini.
****
Hutan jati Dadapan di pinggiran ladang kering itu dipadati orang-orang berseragam. Di luarnya dipasang garis kuning bertuliskan ‘police line’. Mereka nampak tengah menggali sesuatu. Tak begitu lama kemudian, tiga pipa palaron besar diangkat ke tanah. Konon katanya mereka menemukan 6 senjata api berbagai tipe dan 6.522 amunisi (Jawa Pos, 13/11/2002).
Tak berselang lama setelah itu, sejumlah polisi mendatangi Ponpes Al Islam puteri. Polisi masuk ke area pondok. Santriwati diminta keluar pondok. Jepretan kamera wartawan tiada henti mengarah pada mereka. Terlihat jelas tatapan mata rikuh di balik cadar santriwati. Mereka bergerombol dan tak mau lepas satu dengan yang lain. Wajah mereka kemudian menunduk. Adalah hampir tak pernah mereka mesti bertatap dengan puluhan lelaki di luar. Adalah peraturan pondok yang didasari syareat untuk tidak bertatapan langsung dengan lawan jenis. Dan hari itu mereka mendapati keadaan yang selama mereka jaga.
Pesantren Al Islam, bulan-bulan sekitar penangkapan Amrozi dan Muchlas menjadi buah bibir. Al Islam dianggap terkait dengan peristiwa tersebut. Ini karena Al Islam adalah pondok yang didirikan oleh keluarga besar Amrozi dan Muchlas. Nama pesantren itu sebenarnya memilki sejarah yang panjang. Meski secara resmi berdiri pada 1992 dan mulai aktif 1993, cikal bakal Al Islam telah ada sedari berpuluh-puluh tahun silam.
Ketua yayasan Al Islam, Chozin memulai cerita tentang sejarah pesantrennya dari Kakeknya. Di zaman pendudukan Belanda, Kakek Chozin telah mendirikan pesantren salaf di Tenggulun. Pendahulu Chozin adalah orang yang mengawali dakwah di Tenggulun. “Memang diakui masyarakat sini bisa baca bismilah, bisa fatehah itu ya dari nenek moyang kami,” ujarnya. Setelah sekian waktu pesantren tersebut hadir, sejumlah persoalan membuat pondok mulai redup. Persoalan pertama adalah ketika kakek Chozin wafat saat belajar di Arab Saudi. Akhirnya pondok kehabisan kader dan lambat laun pesantren pertama di Tenggulun itu berhenti.
Pendahulu Chozin adalah para tokoh Nahdiyin. Ayah Chozin sendiri adalah aktivis huisbullah. Dari remaja ia telah aktif berpolitik melalui Masyumi. Pada tahun 1960-an, ayahanda Chozin menjadi tokoh penting dalam NU. “Bapak pernah jadi ketua Pemuda Ansor pas rame-ramenya PKI,” ujar Chozin. Saat itu, PKI dan NU khususnya Ansor adalah dua organisasi besar yang saling berebut pengaruh. Tak lama setelah itu, ayahanda Chozin memutuskan keluar dari Ansor. “65 aktif di ansor, tahun 67 sudah memasang plang muhammadiyah,” canda guru agama di salah satu SD di Tenggulun ini. Setelah PKI bubar, anggota Masyumi memang merapat ke oramas Islam masing-masing. Ayahanda Chozin bergabung dengan Muhammadiyah dengan alasan yang cukup menarik. Ia banyak bergaul dengan berbagai berbagai kalangan. Karena merasa lebih sepandangan dengan Muhammadiyah, Ayahanda Chozin memutuskan merubah trah kyai NU menjadi tokoh Muhammadiyah.
Setelah sekian lama vakum, Chozin yang telah dewasa mulai tergugah untuk segera menghidupkan kembali pesantren yang telah dirintis nenek moyangnya. Harapan itu semakin nyata ketika adik kandungnya Ali Gufron (Muchlas) lulus dari Ponpes Al Mukmin Ngruki tahun 1985. Namun pada tahun yang sama Muchlas diamanati untuk mengabdi di Afganistan selama lima tahun. Pada tahun 1990, Muchlas pulang namun tidak langsung ke Tenggulun. Ia pulang ke Malaysia dan dinikahkan dengan wanita malaysia oleh Uztadz Abu Bakar Baasyir dan Ustadz Abdulah Sungkar. Setahun kemudian, yakni 1991 Muchlas pulang ke Tenggulun untuk memperkenalkan isterinya. Ia hanya sekitar satu bulan tinggal dan kemudian berangkat kembali ke Malaysia untuk mulai merintis Ponpes Lukmanul Hakim.
Di Tenggulun, Chozin juga mulai merintis pesantren yang kini bernama Al Islam. Awalnya, Chozin berkonsultasi dengan pengelola Al Mukmin Ngruki tentang keinginannya mendirikan pesantren di Tenggulun. “Setelah banyak melihat banyak pesantren satu-satunya pesantren yang menurut saya pas itu hanya Al Mukmin Ngruki. Kami melihat kedisiplinan santrinya juga kedisiplinan pengelolaannya,” ujar Pimpinan Daerah Majlis Tablik Muhammadiyah lamongan ini. Berlanjut pada tahun 1992 sekitar bulan Juli, ia bersama tokoh Muhammadiyah setempat termasuk adik kandungnya Jakfar Sodiq melakukan rapat perencaan membahas konsep pesantren. Baru pada tahun 1993, Al Islam mulai melakukan kegiatan belar mengajar dengan murid 30 santri.
Respon masyarakat Tengguln terhadap berdirinya Al Islam cukup beragam. Warga Nahdiyin yang menjadi mayoritas tidak terlalu merespon. “Ya masyarakat sini itu masa bodoh saja,” kata Chozin. Karena didirikan oleh Muhammadiyah, masyarakat menilai tujuan utama Al Islam adalah pengkaderan. Di dalam warga Muhammadiyah sendiri terjadi pro kontra. Mereka yang bersimpati melihat Al Islam sebagai usaha dakwah yang tepat. Sementara mereka yang kontra menilai jika ciri pakaian Al Islam tidak sesuai.
Sekian  lama beraktfitas dengan normal, Al Islam terhentak saat pesantren itu dikaitkan dengan peristiwa Bom Bali. Dua adik kandung Chozin, Amrozi dan Muchlas ditangkap karena diduga terkait Bom Bali. Di sinilah ujian bagi Al Islam. Namun kecurigaan itu pupus saat bukti administrasi tidak membuktikan adanya keterkaitan antara Al Islam dengan Amrozi dan Muchlas. Bahkan Bupati Lamongan sendiri saat itu melakukan konferensi pers bahwa pesantren tidak terkait dan mesti diselamatkan.
Meski tak terbukti, kejadian itu sedikit banyak mempengaruhi Al Islam. “Ya memang secara umum pesantren itu surut,” ujar Chozin menerangkan jika jumlah santri menurun pasca penangkapan. Namun penurunan menurutnya tidak semata kerena peristiwa penangkapan. Pada tahun yang sama Chozin mendirikan pesantren puteri di Brondong, Lamongan. Sejumlah calon santri lebih memilih ke pesantren baru tersebut.
Setelah penangkapan 2002 dan eksekusi 2008, Chozin menuturkan jiak memang ada semacam penyesuaian dari A Islam. Akan tetapi hal itu tidak kemudian merubah Al Islam secara ekstrim. Perubahan hanya kepada sikap yang lebih terbuka. Dari segi dakwah, Al Islam juga tidak kemudian berubah total. Yang kemudian di lakukan adalah bagaimana membenahi proses pendidikan sebaik mungkin. “Jihad itu kan yang kesekian kalinya. Jadi ada tarbiyah, dakhwah, dan baru juhad. Kita harus banyak mentarbiyahkan anak, kemudian kita dakwahkan, kemudian kalau sudah sempurna baru kita berjihad,” pungkas Chozin.
****
Saat rekannya asyik bermain bola, sore itu Fajar kebagian jadwal membantu para ustadznya membawa beras jatah pondok. Ia bolak-balik membawa karung beras. Saat semua karung sudah di bawa, ia bergegas mandi karena magrib telah menjelang. Begitu pula kawan-kawannya, mereka melangkah ceria dengan membawa handuk di pundaknya.   
Fajar adalah anggota takmir (semacam OSIS). Kegiatan santri di luar akademik akan melibatkan Fajar dan rekan-rekannya selaku rohis. Salah satu kegiatan yang melibatkan rohis adalah  kegiatan setelah ujian. Acara yang diadakan lebih ditujukan untuk membuat santri bisa refreshing. Kegiatan pendakian beberapa kali dilakukan santri Al Islam. Tak tanggung-tanggung, gunung dengan tingakat kesulitan pendakian seperti Semeru talah mereka taklukan. Selain Semeru, gunung lain di pulau Jawa seperti Lawu, Welirang, Arjuna, dan Merbabu pula sudah pernah Al Islam daki.
Namun kegiatan yang paling ditunggu santri Al Islam termasuk Fajar adalah yang berhubungan dengan bola. Untuk mengisi waktu setelah ujian smester seringkali Al Islam mengadakan pertandingan sepak bola persahabatan dengan pesantren lain. “Saya senang di sini,” ucap remaja asli Tenggulun ini. Kegiatan belajar dan lingkungan Al Islam bagi Fajar cukup mendukungnya. Tidak ada hal-hal yang selama ini dituduhkan pada Al Islam. Fajar yakin cita-citanya menjadi orang sukses bisa diraihnya bersama Al Islam. “Ulama atau ustadz juga orang sukses to,” tambahnya. Ia pun menampik jika ada diskriminasi pada santri Al Islam. Masyarakat bisa menerima para santri secara baik.
Iswanto, salah seorang ustadz mengamini jika kegiatan semacam pendakian dan pertandingan persahabatan dilakukan untuk membuat santrinya kembali segar. “Soalnya di sini ujian semester sampai tiga minggu,” ujarnya. Selain kegiatan tersebut, Al Islam beberapa kali juga mengadakan long march. Rute yang dipilih biasanya adalah Tenggulun – Tuban atau menuju Mojokerto. Selain sebagai acara semacam tamasya, kegiatan semacam itu juga dimaksudkan untuk melatih mental para santri. “Kita untuk I’dat aja,” tambah pria 34 tahun ini.
Al Islam selain pesantren yang memberikan materi mengenai agama juga mengedakan pembelajaran ilmu umum. Untuk tingkat sanawiyah, para santri diberikan materi seputar matematika, bahasa Indonesia, dan Fisika. Karena mengikuti kurikulum dari Departemen Agama, santri Al Islam juga diberikan kesemapatan untuk mengikuti ujian nasional. Jumlah santri Al Islam keseluruhan adalah 150 santri terdiri dari tiga kelas MTS dan empat kelas MA. Jumlah tersebut belum bisa menyelenggarakan UN secara mandiri. Oleh karena itu Al Islam bekerja sama dengan MTS Muhammadiyah Jeruk Purut untuk mengikuti UN MTS. Untuk tingkatan Aliayah, Al Islam mengikutkan santrinya dalam ujian paket C. “Itu pun tidak kita suruh harus. Itu kita tawarkan saja. Karena kita fokus pada tahfidz dan materi din lainnya,” kata Iswanto. Di luar pelajaran umum, Al Islam memilih menyusun kurikulum sendiri.
Alasan mengikutkan santri dalam UN dan ujian paket C adalah agar santri yang memiliki keinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi bisa dipenuhi. Menurut Iswanto alumni pesantrenya yang berkuliah cukup banyak. Ismawanto yang adalah alumni angkatan 1993 juga memutuskan untuk kuliah. Setelah lulus, ia merantau ke Poso, Sulawesi Tengah selama satu tahun. Iswanto kemudian merantau ke Kalimantan dua tahun dan ke Ambon dengan waktu yang sama. Di Ambon ia bergabung dengan Kompaq pimpinan Ustadz Aris Munandar dari solo. Setelah konflik Ambon usai ia pulang kampung dan melanjutkan studi di IKIP Budi Utomo jurusan Sastra Indonesia. Tahun 2011 ia memutuskan melanjutkan ke jenjang S2 di Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) untuk jurusan Pendidikan Agama Islam. Ia ingin memberikan contoh kepada santri bahwa setelah lulus dari Al Islam mereka harus terus belajar.
Terkait stigma ke pada Al Islam paska penangkapan Amrozi dan Muchlas tahun 2004, tak bisa dipungkiri memang ada. Sejak itu Al Islam mencoba untuk lebih terbuka. Menurut Iswanto, Al Islam sudah sangat terbuka soal pendidikan dan kegiatannya. “Kita open saja. Karena kita prinsipnya selama tidak ada senjata atau apa itu kita tetap berjalan,” ucapnya. Sejak 2002, Al Islam memang masih dipantau hingga kini. Ketika terjadi kasus terkait terorisme, Al Islam selalu dimintai informasi. Namun semua itu sama sekali tidak kemudian mempengaruhi santrinya karena mereka telah biasa dengan tekanan semcam itu. Kegiatan belajar mengajar juga tak pernah terganggu oleh kegiatan intelejen yang tiada henti. “Jadi kita tetep ada program. Semisal ada materi bab tentang jihad ya kita sampaikan apa adanya nggak mungkin kita ndak, wong ada. Jadi kita terus terang aja ndak ada yang kita sembunyikan,” tambah Iswanto.
Terkait hubungan dengan masyarakat, Iswanto menilai jika hubungannya sangat harmonis. Saat-saat awal peristiwa 2002 itu tidak dipungkiri jika sebagian masyrakat enggan memasukan anaknya ke Al Islam. Namun setelah mereka masuk dan mengetahui bagaimana pembelajaran di Al Islam, ketakutan itu sirna. Dengan masyrakat sekitar pun hubungan cukup baik. Bebrapa kali diadakan kegiatan bersama termasuk latihan sepak bola bersama. Iswanto selain mengajar di Al Islam juga terbukti bisa diterima untuk mengajar di sekolah formal. Ia juga aktif menjadi mubaliq di berbagai kesempatan dengan pesertai dari berbagai lapisan dan kelompok masyarakat.
            Ia berharap Al Islam bisa semakin berkembang ke depannya. Kualitas fisik pesantren masih perlu dibenahi. Hal yang pokok baginya adalah bagaimana mendidik santri agar menjadi anak yang soleh dan solehah sekaligus memiliki wawasan yang luas. Keinginan tersebut akan dirumuskan dengan kurikulum yang terus disempurnakan. “Saya harap semua pihak bisa mendukung program kami. Artinya, tidak ada pihak yang menghalang-halangi keinginan kita untuk berkembang,” pungkas Iswanto. 

Dimuat  di Majalah Isra' Pusham UII Yogyakarta

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram