Langsung ke konten utama

Menggagas Mimpi Ihwal Islam yang Bersatu (Lapsus FUI Sragen Jateng)


Terpecahnya umat Islam menjadi berbagai golongan adalah keniscayaan. Jika berkuatat pada perbedaan maka bersatunya Islam hanyalah mimpi. Namun, ketika nasib umat menjadi argumen, kewajiban tiap golongan adalah bersatu memperjuangkannya. FUI Sragen membuktikan bahwa demi umat, bersatunya Islam bukanlah sekedar mimpi.
Perbincangan selepas magrib itu dimulai dengan cerita sebuah kliping surat kabar Jawa Pos. “Bahwa mulai tanggal 11, jam 11, tahun 2011, penduduk dunia mencapai 7 milyar. Umat Islam jumlahnya 2 miliyar saja,” ujar Muslih penuh semangat menerangkan salah satu berita di kelipingnya. Ia kemudian melanjutkan dengan sebuah analisa bahwa umat Islam di dunia adalah minoritas. Dalam keadaan yang minoritas itu, umat Islam dijajah oleh apa yang ia sebut kaum kafir. Melalui berbagai bidang, dunia Islam mendapatkan ketidakadilan. “Nah kita ini sudah minoritas. Diuji oleh Allah menjadi miskin, tertinggal, bodoh. Israel itu penduduknya cuma 1 juta tapi professor doktornya banyak sekali. Nah kita?” tambahnya.
Bagai jatuh tertimpa tangga, kondisi yang minoritas itu diperburuk dengan tidak bersatunya umat Islam. Dalam pandangan Muslih, umat Islam saat ini tidak menyadari jika dirinya ada dalam lingkaran setan kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan. Ketiga kealpaan tersebut saling mempengaruhi dan membuat umat terperangkap dan kemandegan. Kebodohan membuat umat sulit bersatu dalam naungan Islam yang kemudian membuat umat sulit maju dan akhirnya tetap dibelenggu kemiskinan. Kemiskinan kemudian membuat umat Islam terus tertinggal dengan mereka yang memusuhi Islam. Tidak hanya mayoritas dalam hal jumlah, mereka diluar Islam juga unggul secara politis dan ekonomi. Akibatnya, berbekal kekuasaan dunia, mereka mulai memaksakan keyakinan mereka tentang kebenaran dengan berbagai cara.

Muslih sadar betul jika keadaan sulit seperti itu, umat mesti memiliki sikap. “Kalau kita sudah minoritas dan tidak bersatu kan ditendang sana di tendang sini kaya ping-pong,” ujarnya. Dalam pergolakan dunia Muslih menyebut jika dunia Islam dibiarkan hanya menjadi objek dan tidak memiliki hak dalam menentukan aturan. Ia mencotntohkan apa yang tengah terjadi di Palestina. Di mana jelas bahwa Israel itu penjajah namun dalam ratifikasi PBB, sangat sulit untuk sekedar membuat negara Palestina diakui keberadaannya. Keputusan PBB hanya dikuasai negara adidaya yang notabene di luar Islam. Di dalam kondisi penuh penindasan tersebut, umat Islam justru saling bermusuhan. Mereka saling serang dan menjatuhkan satu sama lain.
            Muslih juga melihat fenomena jamak di dunia Islam juga terjadi di Indonesia. Umat Islam Indonesia terkotak-kotak dalam kelompok-kelompok. Antar kelompok tak seringkali saling menjatuhkan dan tak segan menyulut permusuhan. “Wong sesama ormas aja bisa berikan (bertengkar, Red.) ko,” canda Muslih bersambut tawa. Tak bisa dipungkiri bahwa dalam kehidupan beragama tidak bisa lepas dari tarik-menarik kepentingan politik, ekonomi, dan sebagainya. Namun, bagaimanapun, permusuhan sesama muslim sangatlah ditentang. “Bahwa fanatiq asobiah, fanatiq golongan itu haram, nggak boleh!” tegasnya. Yang paling berbahaya menurutnya ketika kepentingan syahwat politik dan ekonomi dibalut seolah-olah itu persoalan akidah. Hal itu menurutnya banyak dilakukan oleh Ormas Islam dewasa ini.
            Menyadari betul apa yang tengah membelit umat Islam, Muslih kemudian berkeinginan untuk sedikit menjernihkan keadaan. Suatu hari ia bertemu dengan sejumlah tokoh Islam di Sragen. Mereka adalah Abdul Khliq, Abdul Karim, dan Muhari. Pertemuan itu terjadi sekitar tiga tahun lalu di rumah Muslih. Dalam pertemuan itu para tokoh tersebut sama-sama memiliki keperihatinan pada kondisi Islam. Akhirnya mereka bersepakat untuk merintis sebuah forum bersama bagia semua elemen Islam di Sragen. Tercetuslah kemudian nama Forum Umat Islam (FUI) Sragen. Anggota FUI diantaranya alam Ormas Islam Hisbutahrir Indonesia (HTI), Muhammadiyah, Majelis Tafsir Al qur’an (MTA), Nahdatul Ulama (NU) dan sebagainya. Tujuan forum tersebut adalah untuk menyatukan seluruh elemen Islam di Sragen dalam membahas persoalan umat.
              FUI menaungi semua Ormas Islam di Srgen. Bermula dari Sragen, FUI diharapkan bisa memberikan sumbangsinh terhadap usaha penyatuan umat yang pula tengah digagas di dunia Islam secara internasional. “Ya kita berbuat sebisanya dulu. Kami awali dari skup sragen dulu,” ujar Muslih yang saat didaulat sebagai ketua FUI yang pertama. Kepemimpinan FUI telah beberapa kali berganti. Pergantian diadakan secara musyawarah tiap bulan Ramadhan. Kandidat diambil dari tiap Ormas dengan cara bergiliran. “Semua elemen pernah menjadi amir. Agar hiroh terhadap islam semakin dalam. Biar ndak ada kesempatan untuk mencaci sesama muslim,” tambah pria 65 tahun ini. FUI diharapkan mampu mengikis fantisme golongan secara bertahap. “Kita sudah saatnya fanatik Islam tok, thil!”
            Saat awal FUI berkantor di kediaman Muslih: Canthel Wetan, Keluarahan Sragen Tengah, Kecamatan Sragen Kota. Karena bergabung dengan tempat tinggal, kegiatan terasa kurang efektif. Akhirnya pada tahun 2012 FUI dapat mendirikan kantor sendiri di Nglorog, Sragen. Kantor berbentuk rumah tradisional Jawa itu merupakan hasil infaq mereka yang simpati dengan perjuangan FUI Sragen, terutama para santri Muslih. Di kantor inilah tiap malam Selasa diadakan pertemuan pengurus guna membahas perkembangan dan rencana program FUI.
            Kegigihan Muslih mempersatukan umat Islam Sragen memiliki kisah yang panjang. Muslih muda hanyalah seorang pemuda desa di Kebon Agung, kelurahan Niwung, kecamatan Jokodono. Dusun itu terletak sekitar 20 kilometer dari kota. Ia sempat menuntut ilmu di pesantren tradisional nahidiyin di desanya. Barulah pada tahun 1973 Muslih hijrah ke kota Sragen. Kondisi masyarakat saat itu masih sangat lekat dengan kemaksiatan. “Saat itu orang solat ya dadi rasanan. Kalo sekarang mungkin dianggap teroris,” ujar Muslih mengenang masa mudanya. Saat masih muda Muslih rutin pergi ke Solo tepatnya Kadipuran untuk memperkaya ilmu agamanya. “Ya tiduran di sana. Mendengarkan orang-orang pandai membagi ilmu agamnya,” tambahnya rendah hati.
            Hingga suatu saat terjadi sesuatu yang membuatnya masuk dalam dinamika Orams Islam di Sragen. Suatu hari ia tiba di masjid namun adzan belum berkumandang meski telah masuk waktu. Ia memutuskan menjadi muadzin dadakan. Masjid tempat ia adzan ternyata diasuh oleh seroang Ketua PW Muhammadiyah Sragen. Sejak itu Muslih sering didaulat untuk menjadi imam dan memberikan khotbah. Pada akhirnya ia diajak untuk masuk sebagai anggota Muhammadiyah. Lahir di lingkungan NU dan besar di kalangan Muhammadiyah membuatnya sadar bahwa perselisihan antar Ormas mesti diakhiri. Perbedaan adalah hal yang wajar tapi persamaan mesti dipertemukan agar Islam menjadi kuat.
            Fokus pertama FUI adalah persoalan pemurtadan yang marak terjadi. Dibentuklah kemudian divisi anti pemurtadan. Selain begerak sebagai organisasi, dalam membentengi umat terhadap pemutadan, FUI juga mengaktifkan usaha pemberdayaan ekonomi dan koordinasi takmir masjid serta TPQ. Program yang digagas FUI Sragen sengaja tidak menyamai apa yang telah dilakukan oleh Ormas Islam yang ada. Semisal pendidikan yang sudah menjadi fokus Muhammadiyah dan Pesantren yang digagas NU, maka FUI tidak akan membuat program semacam itu. “Pokoknya nggak boleh nyaingin. Biar nanti tidak berbenturan,” pungkas Muslih sembari menawari Isra’ teh hangat dan camilan di depannya.
****
            Jaruma jam menunjukan pukul 20.00. Pendopo sudah mulai penuh oleh para hadirin. Camilan dan minuman telah terhidang sedari sore. Kalam ilahmi dibaca berlanjut saritilawahnya.  “Umat musilm satu dengan yang lain itu seperti bagian yang tak terpisahkan,” ucap saritilawah memetik salah satu hadis riwayat Muslim. Pertemuan rutin malam Selasa itu segera dimulai.
Dokter Aan, begitu ia disapa memulai pertemuan itu dengan kisah pahitnya beberapa tahun 2009 silam. “Allah kasih nikmat ke saya. Allah bangkrutkan saya 1,7 milayar,” lantangnya. Saat itu Aan mendapati kenyataan bahwa usaha yang ia rintis mengalami kerugian besar. Sebagian besar modal pinjaman dari bank saat itu belum lunas. Akibatnya Aan mesti menanggung tagihan 35 juta tiap bulannya. Dengan usaha yang telah ambruk, kala itu ia teramat bingung bagaimana bisa memastikan uang puluhan juta itu sampai pada bank. “Bangkrut itu dijauhi orang-orang, dijauhi teman-teman, bahkan dijahuhi saudara sendiri. Saya merasakannya betul,” tambahnya. Aan juga dipersalahkan keluarga karena nekat keluar sebagai dokter PNS dan malah memilih berbisnis sendiri. Dalam kondisi sulit itu ia juga mesti kehilangan isteri tercintanya selama-lamanya.
Dalam kekalutannya, Aan mulai menemukan ujung pangkal kegagalannya. Ia menemukan jawaban bahwa ribalah yang membuat usahanya terpuruk. Saat masih melakoni bisnisnya tersebut Aan sangat gemar berhutang pada bank. Semua bank dari tingkat kecamatan hingga kabupaten bahkan sampai ke Solo semua ia mintai modal. Banyak ulama yang sampai saat ini tidak memiliki keberanian untuk memfatwakan bunga bank itu haram. Dengan kejadian itu Aan sangat meyakini bahwa bunga bank itu riba yang jelas haramnya. Mulai dari itu ia bersiasat bagaimana sesegeramungkin melepaskan belitan hutang bank. Dalam waktu tiga bulan dengan penuh hal diluar nalar pembisnis, hutangnya lunas. Ia pun mulai membangkitkan lagi mesin-mesin asetnya.
Berangkat dari pengalaman pahit itu, Aan sangat taat menjalankan syareat dalam bisnisnya. “Di tempat usaha saya, kalau adzan semua berhenti. Semua solat,” tutur pria asli kelahiran Sragen ini. Sedari itu ia juga menjamin modal usahanya bebas dari bunga bank. Aset dan jenis usaha Aan kini semakin berkembang. Karena kesuksesannya kini ia menjadi pembicara strategi bisnis yang kondang dalam berbagai seminar. Bukan hanya lingkup Sragen, Ia bahkan telah dikenal di penjuru negeri. “Karena ketakwaan terhadap Allah itu berbanding lurus dengan kekayaan. Semakin anda taat pada Allah maka kekayaan akan semakin mengejar anda. Dan itu saya buktikan,” tambah Aan. Tips jitu bisnis menurut Aan adalah menjauhi riba dan menerapakan cara Islami dalam kegiatan bisnisnya.
Setelah sukses, Aan kini tengah giat menularkan siasat bisnisnya pada umat. Ia tengah menggagas program pemberdayaan umat secara nasional. Untuk Jawa Tengah semua kabupaten telah berdiri perwakilan bisnis anti ribanya. Sementara untuk pulau Jawa tinggal Ciamis dan Tasikmalaya yang saat itu belum tersentuh. Akhir 2012 kegiatannya mulai merambah Kalimantan dan Sulawesi. Namun prioritas utama tetaplah tanah kelahirannya. Ia kini didaulat sebagai ketua divisi pemberdayaan eknomi FUI Sragen. Untuk itu ia giat memberikan pelatihan terhadap umat Islam Sragen untuk memulai bisnis yang nihil riba.
Umat Islam dalam pandangannya harus mencoba berwiraswasta. Hanya dengan itu cara yang paling mungkin untuk meningkatkan eknomi umat secara signifikan. “Kita jadi pengusaha bisa mengubah wajah eknomi keluarga, bisa mengubah eknomi Indonesia. Terus kita bisa mulai berpikir bagaimana mengelola uang kita untuk membantu perjuangan agama kita,” tegas Aan menandaskan visi dan misi usahanya. Ia juga membebaskan anggota FUI dari biaya dalam tiap seminarnya. Ia bersama FUI juga merancang bagaimana agar ustadz di TPA di Sragen bisa meningkatkan kesejahteraannya tanpa menelantarkan santrinya. “Apakah kita tidak malu sama si sipit-sipit itu (etnis Tionghoa, Red.). Datang ke indoensia nggak punya modal. Kaosnya bolong-bolong, di laut minum air laut, makan ikan mentah. Sampai di sini jadi raja perkeonomian Indonesia.” Menurutnya bangsa Indonesia terlalu lemah dan mudah menyerah ketika memulai usaha.
Muahari, ketua FUI Sragen periode ini mengamini jika salah satu usaha yang tengah giat FUI lakukan adalah pemberdayaan ekonomi. Dengan pemberdayaan eknomi diharapkan mampu membentengi umat dari usaha pemurtadan. Muhari menjelaskan bahwa geraka pemurtadan adalah hal yang nyata. Usaha dari beberapihak untuk merayu muslim berpindah keyakinan adalah nyata. Berbagai cara mereka gunakan dan paling sering mengincar umat muslim yang miskin. Dengan pemberdayaan ekonomi diharapkan keimanan umat Islam Sragen bisa terbentengi.
Usaha pemberdayaan eknomi dimulai dari ustadz dan takmir masjid yang memang dinaungi oleh FUI Sragen. Melalui divisi pemberdayaan ekonomu FUI mengadakan pelatihan kewirausahaan. Tak berhenti di situ, para aktivis Islam itu kemudian dikenalkan dengan jenis usaha yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Mereka juga kemudian dikenalkan dengan sejumlah jaringan bisnis. Dengan itu aktivis Islam bisa lebih maksimal dalam melakukan pendampingan terhadap umat.
Kemandirian eknomi dari para ustadz TPA mutlak diperlukan agar memaksimalkan pendidikan agama terhadap anak. “Untuk masadepan itu ya harus dari anak kecilnya. Kalo orang tua itu pirang taun kan entek (beberapa tahun habis, Red.),” ucap pria kelahiran 1948 ini. Dalam manajemen pengelolaan TPA juga diterapkan strategi eknomi. Itu agar TPA tetap terjaga sebagai kegiatan sosial namun tetap bisa berjalan dengan baik tanpa ada kekurangan dana. “Setiap orang tua santri kan kemampuannya bermacam-macam. Itu disikapi bagaimana supaya tidak ada biaya yang memberatkan,” tambah Muhari. Kiat yang dilakukan adalah dengan menggunakan sistem donasi. TPA memiliki donatur tetap sehingga orang tua santri tidak dibebani biaya yang memberatkan. Secara kelembagaan, FUI Sragen memiliki divisi TPA yang bertugas mengkoordinir TPA seluruh Sragen.
Fokus pada penanggulangan bahaya pemurtadan yang salah satunya dilakukan dengan pemberdayaan TPA adalah pula usaha untuk mendekatkan elemen-elemen Islam. Penanggulangan pemurtadan tidak menjadi fokus dari Ormas Islam yang ada. “Semua elemen termasuk Depag, apalagi MUI itu sangat bahagia atas perhatian mengenai masalah pemurtadan,” kata Muhari ketika ditanya mengenai hubungan FUI dengan elemen Islam lain. Selain Ormas, lembaga lain juga ikut dinaungi FUI yakni Pondok Pesantren Al Hidayah, An Nehel, Ahlul Muslim, takmir masjid di 20 kecamatan, dan TPA se-kabupaten Sragen. “Semua elemen itu berjalan sendiri-sendiri. Nah, FUI ini untuk menjalin uquahnya,” tambah ayah tujuh anak ini. Usaha dalam mempersatukan elemen umat Islam Sragen adalah dengan rutin mengadakan tabliq akbar. Ini karena tabliq akbar bersifat umum dan mengikutkan semua elemen Islam dengan ciri khas masing-masing.
Divisi yang juga menjadi ujung perjuangan FUI Sragen adalah divisi advokasi. Divisi ini melakukan pendampingan terhadap masyarakat secara lebih luas. Salah satu kasus yang didampingi advokasi FUI adalah sengketa pabrik gula Mojo. Pabrik gula tersebut telah lama beroperasi namun tidak ada samasekali bentul CSR yang diberikan. Padahal masyarakt sekitar mesti menanggung polusi udara dan kebisingan selama bertahun-tahun. Tim advokasi FUI mencoba menengahi agar pihak pabrik mau menyisihkan keuntungannya bagi pemberdayaan masyarakat sekitar. Kasus lain seperti penggusuran pasar juga menjadi hal yang mendapat pendampingan advokasi FUI Sragen. Muhari ingin menunjukan bahwa ketika umat Islam bersatu, Islam bisa menegakan keadilan di masyarakat. “Kita ingin memunculkan bahwa Islam itu ternyata satu tidak terpecah-pecah,” pungkas pensiunan pengusaha dealer motor yang kini tengah merintis pendirian pesantren ini.

Dimuat  di Majalah Isra' Pusham UII Yogyakarta 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram