Langsung ke konten utama

Pemurtadan Itu Nyata (Lapsus FUI Sragen Jawa Tengah)


Pemurtadan selama ini dianggap “hantu”: ada namun tidak ada. Itu terjadi karena payung hukum persoalan pemurtadan belumlah jelas. Umat Islam Sragen cukup banyak merekam usaha penggadaian iman tersebut. Pemberdayan ekonomi dan pendidikan adalah benteng terluar melawan pemurtadan.
Sebuah laporan mengejutkan diterima Muhari hari itu. Seorang pengunjung dealer motor miliknya bercerita soal kejadian di kampungnya. Pelanggannya itu bercerita mengenai pembelian tanah yang cukup luas oleh orang dari Semarang di dekat rumahnya. Tiba-tiba saja tanah itu akan dibangun sebuah gereja megah.
Warga kampung tersebut bingung. Salah seorang warga berinisatif menghubungi pemerintah desa dan Polres setempat. KTP warga lantas dikumpulkan. Mengherankan, dari semua warga ternyata tidak ada yang non islam. Terbukti sudah jika pendirian tampat ibadah tersebut adalah ilegal. Setelah melakukan dialog yang panjang, pembangunan gereja itu dihentikan.

Pihak Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) mengamini jika sesekali terjadi sengketa pendirian rumah ibadah. Fahrudin, ketua FKUB Sragen menuturkan jika seringkali sengketa terjadi karena adanya permasalahan administrasi. Pendirian tempat ibadah seharusnya memperhatikan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006. Dalam SKB tersebut diatur syarat pendirian rumah ibadah yakni pada bab IV pasal 13 dan 14. Tujuan dari peraturan tersebut adalah untuk menjaga kerukunan antar umat beragama.
Syarat yang seringkali dilanggar adalah mengenai jumlah jamaah. Dalam SKB disebutkan bahwa pengguna rumah ibadah sedikitnya berjumlah 90 jamaah dalam satu lingkup wilayah tertentu. Beberapa pihak terkadang memanipulasi data dengan mengikutsertakan warga yang tidak memiliki kaitan langsung. “Wong realitanya ada kekurangan syarat adiministrasi. Kadang orang sudah meninggal masih diikutakan, yang diluar negeri juga,” kata Fahrudin. Pendirian juga mesti mendapat rekomendasi tertulis dari departemen agama setempat dan FKUB. Beberapa pendirian tidak mengajukan ijin namun langsung membangun. “Bagai yang minoritas mungkin menganggap, ya alasan klasik seakan kita mempersulit. Sebenarnya jelas dalam aturan,” ujar pria 49 tahun ini.  Setelah sengketa terjadi, FKUB dan Depag acapkali dinilai sebagai pihak yang tidak toleran.
Anggapan bahwa Depag intoleran sudah sering dialamatkan pada Depag Sragen. Fahrudin teringat ketika salah seorang rekan mempertanyakan netralitas Depag. “Mbok KUA diganti nama jadi kantor Islam saja. Saya ini orang hindu itu tidak ada perwakilan di KUA kok,” ucap Fahrudin menirukan seorang rekannya. Untuk persoalan ini juga sebenarnya telah diatur. Keputusan Menteri Agama No. 373 Tahun 2002 merumuskan kuota minimal perwakilan dalam KUA. Kabupaten Sragen menurut Fahrudin masuk dalam kategori 1A yang berarti jumlah umat muslim sangat mayoritas. Itu berarti umat nonmuslim belum memenuhi kuota untuk menempatkan perwakilannya di KUA. “Di Bali KUA ya orang Hindu. Di NTT ya kepalanya katolik. Jadi tidak benar jika orang non Islam itu dipersulit. Kami berani menjamin,” tambahnya. Meski minoritas, dalam keanggotaan FKUB semua agama memiliki perwakilan.
Munculnya prasangka negatif terhadap kebebasan beragama muncul akibat kurangnya sosialisasi. Fahrudin menyayangkan kurangnya komunikasi dari para pemimpin agama untuk menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya. Seharusnya tiap pemimpin agama menjelaskan payung hukum yang justru bertujuan untuk menjaga kerukunan. Masyarakat juga seringkali tak mau tau tentang peraturan tersebut dan hanya mengelu-elukan kebebasan beragama. Ia mencontohkan kasus GKI Yasmin di Bogor di mana media nasional mengkambinghitamkan Depag dan umat mayoritas. Umat muslim yang mayoritas justru dipojokan oleh pembangunan opini melalui media.      
Selain persoalan pendirian rumah ibadah, persoalan antar umat beraga seringkali muncul dari adanya usaha memperngaruhi keyakinan dari umat lain. Dalam ingatan Fahrudin memang terdapat sejumlah laporan kasus pemurtadan. Salah satunya yang terjadi di Plupuh, Sragen tahun 2010 silam. Seorang oknum di wilayah tersebut mengumpulkan warga dan membawanya ke Kaliurang, Jogjakarta. Di sana mereka diindikasikan dibaptis. Namun Fahrudin mengaku jika laporan tersebut tidak resemi.
FKUB pun telah menyelesaikan kasus tersebut. Fahrudin kala itu langsung mengadakan rapat dan menurut perwakilan pendeta, kasus tersebut hanya oknum saja. Perwakilan pendeta mengira jika kegiatan itu dilakukan oleh pihak dari luar. “Dari kepolisian kemungkinan itu dari orang luar Solo,” ucap pria kelahiran Boyolali ini. FKUB telah menyelesaikan kasus tersebut bersama kepolisian. Ia juga mengingatkan umat Islam untuk waspada karena gerakan-gerakan pemurtadan memang nyata ada. Untuk ditel kasus pemurtadan yang ditangani FKUB Fahrduin tak begitu paham. Ia menyebutkan salah seroang anggota FKUB, Suwandi yang lebih mengetahui. “Yang tahu itu Pak Wandi. Tapi kebetulan beliau sekarang izin ke Jakarta,” pungkas Fahrudin.
****
    Wagiman tiba-tiba mengumpulkan para tetangganya di Desa Kalijambe, Sragen. Ia membujuk mereka untuk ikut dalam sebuah acara. Dari sekian warga, 21 orang tertarik dengan ajakan Wagiman. Sebuah truk kemudian menyambangi desa tersebut. Truk itu kemudian membawa rombongan Wagiman dan 21 warga lainnya ke suatu tempat.
  Romobongan itu diturunkan di sebuah kompleks yang masuk dalam wilayah Salatiga. Warga yang Wagiman bawa ternyata bukanlah satu-satunya. Beberapa romobongan datang dari kabupaten lain bahkan hinggal luar Jawa Tengah. Panitia kemudian meminta tiap-tiap orang untuk mengubah namanya. Rekan Wagiman, Lasiman diminta merubah namanya menjadi Basori. Lasiman pun mesti mengaku tak berasal dari Sragen ketika ditanya romobongan dari daerah lain.
Acara kemudian dimulai. Semua yang hadir dikumpulkan pada satu aula. Seorang penyelenggara  menyanyikan sebuah irama, seperti lagu. Semua yang hadir diminta ikut bernyanyi. Prosesi itu dilakukan hingga tiga hari lamanya. Di hari hari terakhir tiap hadirin dimandikan pada sebuah bak diiringi nyanyian yang menyerupai mantra. Setelah itu mereka diijinkan pulang dengan membawa buah tangan uang 100 ribu rupiah dan sebuah kitab. Peristiwa tersebut terjadi pada Oktober, 2010 silam.
Kisah itu diceritrakan oleh Suwandi, salah seorang anggota FKUB di hari yang sama saat Isra’ bertemu dengan ketua FKUB, Fahrudin. Pun pertemuan dengan Suwandi terjadi di tempat yang sama: kantor Depag Sragen.  Suwandi ternyata tidak tengah izin ke Jakarta. Ia tengah bersiap bersama anggota FKUB lain untuk turun menanggapi pengusulan pendirian ibadah. Tiap tahun selalu ada pengajuan pendirian gereja di wilayah Sragen.
Hanya berselang setengah bulan, peristiwa serupa kembali terjadi di Desa Pagak, Kecamatan Plupuh, masih di wilayah Sragen. Modusnya masih sama: mengajak warga ke suatu tempat. Jika sebelumnya warga dibawa ke Boyolali, kini Kaliurang, Jogjakarta menjadi tempat kegiatan.  Ada sekitar 17 warga yang terpikat mengikuti acara tersebut. Kegiatan berlangsung selama tiga hari dan diisi acara bernyanyi dan dimandikan di kolam. Setelah selesai peserta dibekali pesangon sebesar 300 ribu.
Suwandi yang mendapat laporan tersebut lantas membawanya dalam rapat FKUB. Untuk peristiwa Kalijambe, FKUB belum terlalu antusias. “Terus saya bawa ke rapat FKUB. Tapi justru FKUB agak sinis,” tuturnya. Warga Kalijambe pun enggan melapor ke Polisi karena ketakutan. Akan tetapi menurut Suwandi intel Polisi saat itu sudah bergerak. Dalam peristiwa di Plupuh, FKUB cukup memberi perhatian. Dalam sebuah rapat FKUB menyimpulkan jika yang bermain dalam kejadian tersebut adalah oknum dari luar Sragen.
FKUB juga menggelar rapat dengan Kepolisian yang diwakili Kasad intel Bambang. Polisi kemudian bergerak dengan memanggil para saksi. Namun penyelidikan tak bisa mengendus hubungan antar aktor dalam peristiwa tersebut. Suwandi bahkan mengemukakan jika kasus itu berhenti di tengah jalan. “Katanya tidak ada pasalnya. Bahwa kaya gitu tidak ada pasalnya,” ujar pria 66 tahun ini. Suwandi cukup kecewa dengan terbengkalainya penyidikan kasus tersebut. “Tapi kan ada peraturannya melaarang penyebaran agama dengan iming-iming. Itu penyuapan,” tambah Suwandi. Hingga saat ini kasus tersebut tak pernah diungkit kembali.
Isra’ kemudian mencoba memastikan peristiwa tersebut pada pihak Polres Sragen. Hari itu  Kasad intel Bambang tengah beraktifitas di ruanggannya. Saat ditanya mengenai peristiwa itu, Bambang mengaku jika saat kejadian dirinya belum ditugaskan di Polres Sragen. “Saya hanya mendengar sedikit tentang kejadian itu dari anak buah saya,” ujarnya. ia enggan diwawancarai lebih jauh dengan alasan administrasi. “Mohon maaf mungkin bisa terlebih dahulu mengajukan surat permohonnan kepada atasan saya,” tambah Bambang. Pria yang sebelumnya bertugas di Polres Banyumas tersebut mempersialhakn Isra’ untuk datang di kemudian hari dengan mengantongi surat izin.
Mananggapi sejumlah peristiwa pemurtadan, Muslih, mantan ketua FUI Sragen mengaku prihatin. Ia tidak memungkiri jika praktik mamksakan keimanan seseorang tersebut masif terjadi di wilayah Sragen. Pendirian FUI sendiri didasari oleh semakin maraknya usaha pemurtadan. Muslih manganalisa bahwa gerakan pemurtadan kini mulai berubah startegi. Sebelumnya kawasan miskin, seperti bantaran sungai Bengawan Solo adalah incaran pemurtadan. Namun, saat ini usaha tersebut mulai mengincar wilayah yang dikenal dihuni muslim yang taat. “Di dekate kyai semisal. Karena kan mungkin ada kebanggaan tersendiri,” ujar Muslih. Ia mencontohkan bagaimana proses pendirian gereja di dekat sebuah pondok tahdidz yang cukup tua di Sragen. Secara otomatis rencana tersebut ditolak tokoh dan masyarakat sekitar. Namun, pihak yang berusaha membangun tempat ibadah tersebut malah melancarkan usaha penyuapan. Mereka memberikan warga uang, makanan, pakaian dan sebagainya. “Ya terus malah kita jadikan barang bukti penyuapan itu,” tambahnya.
Muslih menganlisa bahwa usaha pemurtadan juga dipengaruhi oleh konstalasi Islam secara global. Pasca kejadian 11 September justru semakin banyak warga Amerika yang memilih menjadi mualaf. Kecenderungan itu juga terjadi di wilayah eropa. Melihat perkembangan Islam yang pesat tentu ada pihak yang tidak berkenan. Salah satu usaha mereka adalah dengan melakukan usaha pemurtadan di Indonesia.
Permasalahan ekonomi Muslah yakini sebagai salah satu faktor yang mengancam keimanan umat Islam. Modus pemurtadan hampir seluruhnya sama yakni dengen memberikan bantuan ke umat yang msikin. “Kemarin itu ada di Sragen kota. Itu tukang adzan masjid itu kok dibaptis,” ungkapnya menunjukan bahwa kemsikinan sangat dekat dengan kemurtadan. Namun setelah FUI melakukan advokasi, muadzin tersebut kembali bersyahadat. Oleh itu Muslih pemberdayaan ekonomi sangat penting guna membendung upaya pemurtadan.
****
            Istilah terkait kurikulum dan manajemen pendidikan muncul dalam diskusi itu. Bukan sekolah atau pendidikan formal yang tengah diperbincangankan. Lembaga pendidikan informal yakni TPA ternyata perlu mereka kaji dalam sudut pandang ilmu pendidikan. “Mesti ada pembekalan teaching motivation, manajemen pengelolaan TPQ, manajemen pengelolaan kelas, termasuk kurikulum dan desain modul,” ujar Ma’ruf Triono dalam disukusi santai itu. Diskusi Ma’ruf dan rekan-rekannya terjadi setelah pertemuan rutin malam Selasa usai. Mereka rasan-rasan soal divisi pendidikan FUI Sragen yang mereka gawangi.
            Divisi ini menjadi bagian penting dari FUI Sragen. Selain sebagai upaya mencetak generasi muslim yang berkualitas, pendidikan TPA pula adalah benteng pencegahan dari usaha pemurtadan.   “Karena memang TPQ itu menjadi pintu gerbang penanaman akidah kepada anak,” seru Ma’ruf. Ia mencontohkan peristiwa yang terjadi di Kelurahan Mojokerto, Kedawung, ada usaha menyusupkan kebencian terhadap Islam. Berdirinaya TPA di sana kemudian memberikan bagaimana Islam yang sebenarnya. “Kita berani mengatakan Islam itu begini. Sekarang ini kita kurang berani mengatakn Islam,” tambah pemuda 32 tahun ini.
            Berangkat dari kesadaran akan pentingya TPA, Ma’ruf dan rekan-rekannya berinisiatif untuk membentuk forum koordinasi gerakan TPA dan TPQ se-Kabupaten Sragen. Forum itu terinspirasi oleh lembaga serupa di Solo raya yang bernaung di bawah Islamic  Center Surakarta yang telah lebih dulu ada. Forum gerakan TPA dan TPQ meliputi seluruh wilayah Sragen dengan membaginya menjadi tiga kawedanan. Dalam gerakannya forum ini juga melibatkan takmir masjid. Tujuan pendiriannya adalah agar pengelolaan TPA bisa lebih baik. Dengan usaha itu maka TPA bisa berkualitas sehingga generasi Ilsam yang lahir pula akan berkualitas.
            Sasaran program forum gerakan TPA meliputi beberapa pendekatan. Pendekatan sistem dilakukan dengan mengadakan pelatihan manajemen pengelolaan TPA, pembekalan teaching motivation bagi ustadz dan ustadzah, dan penyediaan kurikulum beserta modul. Usaha ini didasari lemahnya pengaturan TPA selama ini. Dengan kurikulum dan penyediaan modul kegiatan pemberlajaran bisa lebih terukur dan terkontrol. Bagi para ustadz juga diadakan semacam workshop seputar metode mengajar. Pelatihan ini dibagi menjadi tingkat dasar, madya, mahir, dan TOT (training of trainer). Pada tingkatan mahir para ustadz dikenalkan pada metode mendongeng sebagai bagian dari konsep happy learning. Happy learning atau konsep belajar yang menyenangkan tangah digodok sebagai metode yang bisa dilakukan oleh seluruh TPA. Pada tahapan TOT, para peserta dipersiapkan menjadi trainer di masing-masing kecamatan. Selain itu forum juga menyusun kurikulum beserta modul materi TPA. Ini dilakukan agar ada semacam sistem pendidikan yang akuntabel dalam satu lingkup Sragen.
            Bagi santri, forum gerakan TPA juga memiliki sejumlah program. Salah satunya adalah silaturahmi santri dan ustadz. 25 Desember 2012, acara ini sukses dengan mengumpulkan sekitar 7000 peserta. “Kita adakan aksi untuk mengimbangi mereka. Walaupun sempat kebobolan, masuk buku bergambar Yesus,” ungkap Ma’ruf. Setelah ditelusuri, pihak penerbit mengaku jika terjadi kesalahan teknis. Tujuan silatruahim itu adalah untuk membangun uquwah antar TPA.  TPA dalam naungan FUI sendiri difokuskan kepada anak yang bersekolah di SD negeri. SD negeri sangat minim akan pendidikan keagamaannya. “Kamu, apakah dengan dua jam pelajaran agama bisa masuk janah gak? Mereka jawab tidak,” ujar bapak 6 anak ini saat meminta respon santri TPAnya. Dalam tahap yang terbilang masih awal ini jumlah santri yang terhimpun sudah mencapai 1500-an anak.
            Jika TPA fokus pada pendidikan anak usia pendidikan dasar, FUI Sragen juga melihat bahwa remaja muslim juga mesti diperhatikan. Untuk itu para anggota muda FUI mengggagas divisi Pusdiklat Pemuda dan Pelajar. Vita Yusuf Prasetyo, koordinator divisi ini mengemukakan bahwa salah satu target pemurtadan adalah para remaja. Biasanya usaha tersebut dilakukan dengan mengadakan acara semacam outbond dengan menyisipkan materi pemurtadan. Untuk itu salah satu program divisi yang Vita pimpin adalah mengadakan kegiatan yang berjiwa muda namun tetap edukatif. “Katanya gaul tap tetap Islami,” ucap pria 26 tahun ini.
            Selain kerawanan akan pemurtadan, Yusuf menyadari jika remaja dewasa ini banyak yang terjerumus dalam pergaulan yang negatif. Pekerjaan besar yang ada di pudaknya juga adalah bagaimana membimbing kedewasaan pikir remaja dengan ilmu keislaman. Yusuf sadar jika usaha itu tak bisa FUI lakukan sendiri. Untuk itu Yusuf dan rekan-rekannya tengah menggagas adanya forum rohis (remaja masjid) se-Sragen. Agenda awal yang tengah disiapkan adalah mengadakan silaturahim bagi seluruh rohis. Baru setelah itu forum rohis bisa dibentuk. Forum rohis juga dimaksudkan untuk menetralkan stigma negatif bahwa rohis memiliki afiliasi dengan gerakan terorisme. “BNPT bilang jika teroris-teroris itu lahirnya dari remaja masjid. Kita ingin membuktikan itu salah,” tambah Yusuf yang kini menjadi pengajar di SMA Muhammadiyah 1 Sragen ini.
               Stigma yang melakat pada rohis sangat dirasa merugikan. Padahal fungsi dari remaja masjid sangat penting. Rohis adalah benteng terdepan penguatan ahlak dan akidah para remaja muslim. Tri Sudrajat cukup marasakan bagaimana stigma itu menghambat perkembangan rohis. Drajat saat ini menjadi rohis sekaligus ketua OSIS di SMA Negeri 1 Sragen – SMA paling faforit di Sragen – seringkali dianggap sebagai calon teroris. “Karena tas saya besar banyak yang nggojegi (bercanda) nanya saya bawa apa. Saya jawab bawa bom saja,” canda anggota termuda FUI Sragen ini. Pihak sekolah juga agaknya tidak sepenuh hati dalam mendukung kegiatan rohis. Padahal menurutnya, meski SMA faforit, pergaulan muridnya mesti diperbaiki.
            Darajat sangat sepakat dengan niatan untuk mendirikan forum rohis. Paling tidak dengan itu rohis di Sragen lebih bisa terkoordinir dengan baik. Kordinasi menjadi penting agar program rohis lebih jelas dan nayata. Hal itu akan membuktikan jika rohis bukan pembibitan teroris. “Pemuda Islam harus bangkit. Umat harus dipersatukan,” pungkas remaja 18 tahun ini. Selesai dari SMA ia hendak masuk jurusan hubungan internasional UGM.


Dimuat  di Majalah Isra' Pusham UII Yogyakarta 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram