Langsung ke konten utama

Politik dan Kesejahteraan Sosial


Oleh; Habibullah*

Pada dasarnya, politik dan kesejahteraan adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hal tersebut sebagai upaya mewujudkan stabilitas dan kemaslahatan bersama. Namun, ketika kepentingan pribadi dan kelompok lebih dulu menjadi bagian dari watak individu “penguasa”, maka politik berubah menjadi mediator yang dominan untuk menghancurkan eksistensi sebuah negara.
Sejak reformasi bergulir, bangsa Indonesia mengalami persoalan kebangsaan yang tiada habisnya. Mulai dari persolan Hak Asasi Manusia (HAM), korupsi, TKI, utang luar negeri, penggusuran PKL, sampai pada persoalan terorisme serta persoalan-persoalan lainnya. Bahkan sampai hari ini persoalan-persoalan tersebut masih ada yang belum tuntas penyelesaiannya. Hal ini disebabkan ‘keterlenaaan’ para pemimpin yang seringkali meributkan permukaan dari persoalan tersebut dan bukan substansi dari persoalan itu sendiri. Sehingga, tidak bisa lagi membedakan mana masalah, mana yang bukan masalah, yang ujung-ujungnya berakibat pada semakin kompleksnya persoalan kebangsaan dan kenegaraan kita yang berhubungan dengan kesejahteraan.

Eman Hermawan dalam Nalar Kekuasaan Kaum Pergerakan (2008), menegaskan bahwa persoalan kolektif bangsa Indonesia disebabkan oleh adanya jarak antara elit dengan realitas masyarakat yang terus dipertahankan. Situasi seperti itu justru menguntungkan elit dari segi status dan akumulasi finansial serta tidak adanya ketulusan hati dan good will di kalangan elit untuk menyelesaikan persoalan bangsa, seringkali masalah justru dijadikan alat untuk mendapatkan keuntungan, bahkan yang lebih ironis lagi, elit seringkali menempatkan diri “di luar masalah” sehingga masalah adalah urusan “mereka”, sementara elit cukup memberi saran untuk jalan keluar, tidak lebih. Sehingga jangan heran kalau dalam setiap persoalan, para elit selalu mendapatkan pencitraan yang baik, karena tidak menempatkan diri dalam pusaran persoalan itu sendiri. Akhirnya, kesejahteraan hanya menjadi alat kepentingan untuk melegitimasi kebijakan yang telah dicampuraduk dengan kepentingan pribadi dalam pemainan politik para penguasa.

Rimba Politik
Sudah menjadi rahasia umum bahwa realitas politik dalam beberapa tahun terakhir lebih mendominasi dan seakan-akan hanya masalah politik saja yang menjadi persoalan urgen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga banyak kalangan yang menilai bahwa politik di republik ini telah menjadi salah satu mata pencaharian untuk memperkaya kebutuhan para pemangku kebijakan.
Akhirnya, makna politik bukan lagi dipahami sebagai instrumen untuk mendistribusikan kekuasaan dengan salah satu agenda utamanya menciptakan kesejahteraan rakyat, akan tetapi politik hanya dipahami sebagai syarat untuk meraih sebuah kekuasaan dari perwujudan kepentingan pribadi dan kelompok. Hiruk pikuk politik yang demikian, seakan sudah menjadi realitas yang tidak bisa dipungkiri dalam kehidupan para elit pemerintah seiring dengan semakin maraknya praktek politik yang menunjukkan keserakahan dan korupsi yang tidak bisa lagi ditoleransi.
Anak kecilpun tahu bahwa pergolakan politik sangat menentukan perkembangan suatu negara, khususnya dalam kesejahteraan sosial dimana kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik dan merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, seperti mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak (Bessant, Watts, Dalton dan Smith: 2006).
Politik dan pemerintahan bukanlah suatu keniscayaan karena ia hanyalah wahana bagi mendaulatkan hak rakyat dan menegakan keadilan serta membawa kesejahteraan kepada kehidupan bangsa. Rakyat menginginkan peace of mind, kebebasan dan kesejahteraan hidup. Inilah yang seharusnya diberi oleh para elit pemerintah yang bernaung di bawah demokrasi. Oleh karena itu, sudah sewajibnya elit pemerintah untuk meletakkan usaha memperjuangkan nasib dan hak rakyat sebagai agenda utama agar kesejahteraan rakyat tidak selalu terabaikan.

Menuju politik kesejahteraan
Perlu disadari bahwa politik hanyalah alat dalam pengambilan kebijakan. Oleh karenanya, yang salah adalah mereka yang mempersalahgunakan alat itu. Politik mengajarkan kepada masyarakat untuk memahami posisinya sebagai warga negara yang baik, yaitu memahami posisinya tidak hanya sebagai objek terhadap kebijakan namun juga memahami dirinya sebagai subjek bagi perubahan. Selain itu, Masyarakat harus memahami dan turut serta dalam substansi manifestasi terhadap kebijakan agar masyarakat tidak hanya menjadi unsur legitimasi bagi hadirnya sebuah kebijakan karena tuntutan pertama politik adalah kesejahteraan bersama. Pada tingkat ini, politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara demi kesejahteraan dan kebaikan bersama.
Eric Weil mengatakan, politik merupakan suatu gerak yang berangkat dari moral dan melampauinya dalam suatu teori tentang negara. Oleh karena itu, politik bukan seperti yang dipahami politikus, tetapi bagi orang yang mencoba mencari makna di dalam politik. Maka politik beranjak dari moral. Cara pandang moral ini harus mengakar dalam cara pandang politikus yang diorganisir oleh negara agar bisa diterjemahkan dalam relitas politik.
Sekarang, rakyat tidak membutuhkan omong kosong yang kerapkali dibungkus dengan kesantunan teoritis politik akantetapi rakyat membutuhkan kesediaan pemimpinnya untuk ikhlas melakukan pengorbanan politik bagi terwujudnya salus populi suprema lex, dimana kesejahteraan rakyat ditempatkan sebagai hukum tertinggi.
Dengan demikian, semoga politik pro-kesejahteraan mampu terwujud di republik ini agar terlahir sebuah kepemimpinan yang unggul, yang mampu mengelola perubahan sekaligus diterima rakyat serta mampu memobilisasi dan mengoptimalkan berbagai potensi yang tersedia, mampu menyusun program yang visioner yang tepat untuk masanya, dan melakukan langkah-langkah yang konsisten di bawah kepemimpinan yang bukan hanya berwibawa, tetapi juga tepercaya, amanah, dan mampu menumbuhkembangkan kematangan dan kesiapan rakyat untuk berubah sejahtera.

Penulis adalah: Direktur Eksekutif Reinaisant Institute Jogjakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram