Langsung ke konten utama

Mutiara Penjaga Al Islam


Al Islam mendidik santrinya dengan ketat. Mereka dipersiapkan menjadi penegak Islam di hari depan. Tak mengherankan jika kualitas mereka berada di atas rata-rata.

Zaki tengah membaca-baca kitab di perpustakaan lantai pertama masjid lima lantai itu. Hari-harinya dihabiskan di ruang-ruang bersekat buku dan kitab. Itu ia lakukan untuk segera menuntaskan karya tulis – penelitian semacam sekripsi - sebagai syarat kelulusannya. Untuk bisa lulus, pesantren Al Islam mewajibkan santrinya mebuat karya tulis, hafal minimal 10 juz, dan mampu aktif berbahasa arab. Zaki hampir telah memenuhi semua syarat, terlebih ia hafidz (hafal al qur’an).

Karena kecerdasannya Zaki kini diamanahi sebagai ketua takmir atau OSIS pada sekolah umum. Selain mesti bertanggungjawab dengan penelitiannya, ia juga bertanggungjawab atas santri lainnya. Ia mengatur dan memimpin semua kegiatan sehari-hari santri. Dari soal belajar hingga soal membersihkan masjid. “Ya, susah sebenarnya. Orang yang harus diatur banyak dan pinter-pinter,” tutur pemuda asal Kartosuro, Surakarta ini.
Santri yang berada di Al Islam pusat di Solo dikhususkan bagi mereka yang tengah menyelesaikan penulisan. Tiap tahun santri Al Islam dari seluruh wilayah hijrah ke Al Islam Solo untuk menyelesaikan tugas akhir. Sebelum memulai menulis santri tersebut mesti mengikuti training khatam Al qur’an dan isinya selama tiga bulan.  
Untuk menulis, selain terdapat fasilitas perpustakan, Al Islam juga menyediakan ruang komputer. Perpustakaan menyediakan referensi yang yang lengkap terkait tema penelitian. Penggunaan referensi sangat disiplin, tidak boleh ada kutipan dari kitab yang belum dibaca. Fasilitas komputer yang berada di lantai 3 digunakan para santri untuk mengetik karyanya. “Ruang komputer tutup jam 10, soalnya kita ada wajib dzikir malam,” ujar Zaki. Karya tulisnya sendiri telah selesai, hanya tinggal menunggu ujian.
Tradisi menulis dan meneliti tak hanya dituangkan lewat karya ilmiah tapi juga majalah dinding. Zaki dan kawan-kawannya di takmir menerbitkan media bernama “Mamat”. Mading berjumlah 30 halaman itu berisi pembahasan hadits, fikih, bahkan hingga cerita fiksi karya para santri. “Media itu untuk menyebarakn ilmu,” pungkas Zaki. Mading biasanya difotokopi hingga 7 untuk kemudian disalurkan ke seluruh mahat Al Islam. “Semuanya ditulis tangan. Pernah memakai komputer tapi katanya kurang menarik,” tambahnya.
Ihwal Al Islam yang tak akan memberinya ijazah kelak saat ia lulus, Zaki sama sekali tak risau. Alasan utama ia bergabung dengan Al Islam 8 tahun lalu tak pernah berubah hingga kini: memahami ‘din’. “Kalau Al Islam sudah bagus yang lain akan mengingkut,” ucap Zaki optimis. Orang tuanya yang walaupun pengusaha toko besi, selalu memberinya semangat bahwa dunia bukan segalanya, apalagi ijazah. Meski hidup di pesantren sangat kontras dengan keadaanya yang berkecukupan, itu bukan masalah. “Beda banget. Di sini itu lauknya nggak enak, sayurnya nggak enak, tapi itu ujianlah,” canda pemuda 20 tahun ini. Setelah lulus ia berencana melanjutkan studi ke Arab Saudi.
Tidak hanya aktif di dalam pesantren, santri Al Islam juga bebearap kali ditugaskan keluar. Saat bencana meletusnya Merapi 2010 silam semisal, Zaki dan kawan-kawan ditugasi untuk menyiapkan tabliq akabar bagi koraban letusan. Saat itu Ustadz Mudzzakir sendiri yang menjadi penceramah. Sejumlah santri juga diturunkan untuk menjadi relawan. “Kalau saya pas itu ndak boleh, tidak memenuhi syarat,” ujar Zaki menerangkan bahwa dirinya tak cukup mampu menjadi relawan bencana.
****
Seorang santri memintanya menunjukan kitab rujukan. Ia pun bergegas mencarai-cari kitab yang sesuai. Tak lama ia menemukan kitab yang dimaksud. Tak lupa dirinya membuka halaman terakhir kitab yang berisi catatan peminjaman. Ia ingin memastikan santri yang bersangkutan pernah membaca kitab itu. Erwan Roihan (38), begitu nama ustadz ini, adalah pembimbing tugas akhir santri para santri.
Proses penulisan sendiri dimulai dengan adanya pembekalan selama 3 bulan. Dalam rentang waktu itu santri diberikan materi seputar metode dan teknik penulisan ilmiah. Baru setelah itu santri memulai untuk mencari tema penulisan. Tema yang ada lantas ditawarkan pada pembimbing. Baru setelah itu proses bimbingan dimulai dengan sistem layaknya bimbingan skripsi di perguruan tinggi.
Permasalah yang kebanyakan dibahas adalah seputar fiqih, meskipun para murid sebenarnya diberikan pilihan selaun fiqih yaitu tafsir dan hadits. “Karena yang paling beragam permasalahannya adalah dalam fiqih,” ujar Erwan. Tema penulisan selain dari penemuan murid dan seringkali berangkat dari persoalan di sekitar. “Kadang orang tua murid memiliki usulan tema yang memang mereka temukan dalam keseharian,” tambah lulusan Teknik Sipil UGM ini. Tema yang ada lantas diajukan kepada pembimbing dalam bentuk proposal penulisan.
Selain proposal, santri juga mesti menunjukan kitab-kitab yang akan digunakan sebagai rujukan. Mereka diwajibkan untuk pernah membaca kita tersebut. Pembimbing harus memastikan bahwa yang bersangkutan pernah membaca kitab tersebut dibuktikan dengan catatan peminjaman di perpustakaan. Jika kedapatan belum mempelajari kitab rujukan, proposal bisa saja ditolak.
Proses pembimbingan dikontrol dengan formulir yang dimiliki baik oleh santri maupun pembimbing. Dalam jangka waktu tertentu formulir akan diperiksa. “Jika banyak yang kosong akan kita cari tahu kenapa. Kita pun akan menegur mereka,” ucap Erwan. Ini karena proses penulisan mesti selesai sebelum 7 bulan. Jika hingga waktu yang ditentukan penulisan belum selesai, santri yang bersangkutan akan diberi himbauan dan tindakan. Pengontrolan tidak hanya bagi murid tapi juga pembimbing. “Mungkin kalau kita saat kuliah banyak pembimbing yang tidak mendampingi secara serius,” tambah Erwan. Menurutnya, prosesi bimbingan di Al Islam sangatlah ketat.
 Setelah karya tulis selesai, pembimbing memastikan bahwa karya tersebut telah layak untuk diujikan. Dari pembimbing karya tersebut kemudian diperiksa akhir oleh Ustadz Mudzzakir. Jika terdapat kekurangan tulisan dikembalikan pada santri untuk disempurnakan dan jika lolos bisa langsung disidangkan. Meski Ustadz Mudzzakir menjadi penentu akhir tak berarti bahwa pendapat penulis mesti sama dengannya. “Tulisan terkadang berbeda dengan mahzab ustadz. Tapi selama memiliki argumen dengan sumber yang tepat itu boleh,” papar Erwan. Penulisan memang diarahkan agar santri memiliki kebebasan ilmiah.  
Saat munakosah – ujian karya tulis – santri akan diuji pemahaman ihwal tulisannya. Mereka diwajibkan untuk mempertahkan pendapatnya dengan menggunakan dalil yang tepat. Setelah monakosah, karya tulis santri yang menarik juga diujiakan secara umum. Tak main-main penguji munakosah umum itu adalah para profesor dari UNS, UMS, dan sejumlah universitas lain. “Para guru besar tersebut menguji sesuai bidang ilmunya. Jadi terkadang jawabannya tidak ada dalam tulisan santri,” terang Erwan. Pria yang terhitung masih keponakan Ustadz Mudzzakir ini juga mengtakan bahwa para penguji terkadang memberikan usulan tentang tema yang baik untuk ditulis selanjutnya.
Proses yang demikian panjang dan rumit itu membuat karya tulis santri cukup memiliki kualitas. Bahkan bebera waktu silam sebuah penerbit di Solo meminta sejumlah tulisan santri untuk diterbitkan sebagai buku. Namun malangnya penerbit itu tak pernah memberi kabar. “Ndak tahu kok nggak samapai ke kita. Katanya sudah terbit. Padahal itu sudah lama,” keluh Erwan. Ia hanya ingin agar penulis karya tersebut diberikan haknya.
Erwan jugu bercerita jika Al Islam memang memiliki hubungan yang baik dengan sejumlah akademisi. Mereka mengakui bahwa santri Al Islam memiliki potensi. Melihat kemampuan para santri, para guru besar itu hingga mencetuskan untuk membentuk Mahat Ali – jenjang pendidikan Al Islam yang setingkat univesitas. “Prof. Joko, Prof Bambang, Prof. Fuadi, Prof. Rafiq, Prof. Adi, mereka sepakat membuat semacam universitas di sini,” ujarnya. Mahat Ali sempat berjalan namun kini sedang rehat sejenak. Seluruh guru besar tersebut sama sekali tidak meminta imbalan. “Malah beliau memberi bantuan ke kita,” tambah Erwan.    
Erwan sendiri tertarik untuk mengajar di Al Islam karena panggilan hati. “Saya itu salah masuk jurusan. Saya bakatnya di ilmu sosial” canadnya. Erwan tidak ingin berkarir sebagai sarjana teknik,  meski almamater dan jurusannya sangat mungkin membuatnya sukses. “Allah itu tidak akan menghalang-halangi rizkinya manusia,” kata Erwan yang kini juga menjadi penulis dan penterjemah ini. Ia tercatat telah menghasilakn 60 terjemahan kitab. Tak hanya itu, ia juga telah menerbitkan tiga buku. Salah satu bukunya yang cukup dikenal yaitu “Cara Mudah Masuk Surga”.
****
Abdul Latief dan Ibnu Saud tengah sama-sama tengah menunggu giliran mandi. Sembari memgang handuk dan alat mandi mereka bercakap-cakap. “La,” ucap Abdul. “Na’am,” jawab Ibnu. Keduanya lantas tertawa. Abdul dan Ibnu tengah bercanda dalam bahasa Arab.
Mereka bercakap tentang malam perpisahan semalam. Ketika libur tiba santri Al Islam memiliki tradisi mengadakan acara semacam pentas seni. Perpisahan di isi dengan derama berjudul “Tujuh Golongan yang Akan Masuk Surga”. Selain itu ada juga kuis seputar ilmu Islam. Lomba Khotbah juga tak lupa melengkapi kemeriahan hingga jam 11. Derama, kuis, pula Khotbah semuanya dalam bahasa Arab. Seluruh santri Al Islam memang diwajibakan hanya berkomunikasi dengan bahasa Arab.
Abdul (19) mengaku jika saat awal memang sulit untuk aktif berkomunikasi dengan bahasa Arab. Namun karena semua menggunakannya lama-lama ia menjadi terbiasa. “Kalo dipaksa lama-lama juga bisa,” tutur santri asal kota Solo ini. Menurutnya dengan aktif berbahasa Arab ia lebih mudah mengikuti pelajaran. Terlebih untuk membaca kitab, kefasihan berbahasa Arab sangatlah membantu.
Pun Ibnu (21) merasa kemampuan bahasa Arab sangatlah membantu. Ia masuk menjadi santri mahat Al Islam atas dorongan orang tuanya. Tiga kakanya juga adalah alumni Al Islam. “Ayah saya adalah jamaahnya Ustdaz sejak dulu,” ujarnya. Ayahnya yang seorang PNS ingin agar dia bisa menjadi ulama besar kelak.
Abu Abdilah (58), salah seorang Ustadz Al Islam, mengamini jika aturan menggunakan bahasa Arab adalah wajib. Itu terkait dengan strategi pembelajaran agar santri lebih mudah memahami pelajaran. Keterampilan tersebut juga yang membuat target hafal qur’an dan hadits lebih mudah tercapai. “Anak-anak faseh bahasa Arabnya. Saya saja kalah,” ucap Abu rendah hati. Ia manambahkan jika menjadi hafidz tidak diharuskan di mahatnya. Tapi selalu saja ada yang mampu menghafal 30 juz di tiap angkatannya.
Murid Al Islam menurutnya memang kebanyakan berasal dari jamaah pengajian yang diampu Ustadz Mudzakir. Termasuk tiga anaknya juga adalah alumni Al Islam. Karena terbukti bagus para jamaah menginginkan anaknya untuk masuk Al Islam. “Sejarah awal pendiriannya juga kami berniat mendidik anak-anak kami sendiri,” ucap lulusan PGA (Pendidikan Guru Agama) Solo ini. Terkadang mereka dari luar jamaah juga memasukan anaknya ke Al Islam karena menilai kualitas Al Islam. Kualitas itu terbukti dengan banyaknya permintaan dari sejumlah pesantren untuk menjadikan lulusan Al Islam sebagai pengajar. “Ya, kami sangat bersykur atas semua ini,” tambahnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram