Langsung ke konten utama

Al Islam Bertahan Menjaga Otentitas


Ustadz Mudzzakir

Al Islam dikenal sebagai pesantren yang lihai mendidik santrinya. Banyak sudah hafidz yang tercipta di mahat asuhan Ustadz Mudzzakir ini. Namun, Al Islam tetap bertahan untuk tidak mengeluarkan ijazah.
Panas begitu menyengat siang itu. Gang kecil diperkampungan padat kota Solo itu sepi. Tiga petugas berjaga di salah satu sudut gang. Mereka mengenakan baju bergambar pedang menyilang bertuliskan FPIS (Front Pemuda Islam Surakarta). Satu di antara mereka meminta isra’ mengisi daftar hadir tamu. Sedikit kata-katanya mempersilahkan gerbang pesantren itu untuk dilangkahi.

Seketika itu juga kumandang adzan duhur menyambut. Dari gerbang bertulisakan “selain santri mahat dilarang masuk”, satu per satu santri berjubah putih keluar. Mereka bergegas menuju masjid, persis di samping asrama. Duhur pun segera dimulai. Dengan waktu yang cukup lama, duhur pun usai. Para santri bergegas kembali ke asrama. Sebagian kecilnya bertahan di dalam masjid membuka kalam Illahi.
Salah seorang santri mendatangi Isra’. “Sudah ada janji dengan Ustadz?” tanyanya singkat. Ia pun segera masuk ke ruangan di lantai satu masjid berlantai lima itu. Sekitar lima menit kemudian santri itu keluar. “Sebentar, nanti masuk bersama saya,” ucapnya lagi padat.
Tak berselang lama Isra’ dibimbing santri tersebut masuk. Pintu pertama dibuka. Papan tulis, layar projector, bersama sebuah laptop nampak siap digunakan di ruangan itu. Pintu kedua pun dibuka. Deretan buku beratus jumlahnya memagari rapat ruangan. Pula LCD projector dan laptop berada di tengahnya. “Asslamuallaikum,” ucap pelan sang santri membungkuk sembari membuka pintu ketiga. Mengejutkan, hanya kata itu yang tepat Isra’ ucapkan tat kala memasuki rungan ketiga tersebut.
Seorang pria menyambut ramah dan langsung menyalami Isra’ . “Mari-mari, silahkan, mohon maaf ruangannya agak berantakan,” ucapnya. Ia segera mempersilakan duduk di ruangan yang pula dipagari ribuan kitab. Karpet hijau yang lebih mirip dengan sajadah pun menjadi tempat duduk yang begitu nyaman saat itu. Sejuk air conditioner semakin membuat panasnya hari lenyap seketika. Sejenak ia meninggalkan keyboard dan layar LCD yang tengah ia gunakan untuk menulis. Ialah adalah Ustadz Mudzzakir, pemimpin pesantren Al Islam.
Dengan penuh antusias Mudzzakir membuka percakapan dengan Isra’. Salah satu ulama terkemuka di Solo yang telah me-nasional itu pun mulai bercerita tentang mahat (perguruan) yang ia pimpin: Al Islam. Al Islam adalah pesantren di ,,,,. Pesantren itu cukup dikenal karena mampu menghasilkan cendikiawan muslim yang mumpuni. Cerita bahwa Al Islam tak mengeluarkan ijazah semakin membuat namanya membahana.
Al Islam lahir dari keperihatinan Mudzzakir terhadap kondisi bangsa dan umat. Itu terkait pula dengan pandangan Mudzzakir bahwa asas tunggal sebagai hal yang menyalahi aqidah Islam. Sila ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ baginya merusak pandangan umat terhadap makna bertuhan. “Imbuhan ke- dan –an dalam bahasa Indonesia itu berfungsi membentuk makna banyak atau menyerupai. ‘Kepulauan’ bermakna banyak pulau, lah kalau ‘ketuhanan’?” ujarnya. Pasal pertama Pancasila bagianya bertentangan dengan makna Allah itu satu.
Tentu bab kata ‘Ketuhanan’ hanyalah sebagian kecil dari ketidaksepakatan Mudzzakir terhadap dijadikannya Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila bagianya tak lebih dari alat kekuasaan untuk mendapat legitimasi dari rakyat. Pembelaan terhadap tanah air dan bangsa memang wajib dalam pandangan Mudzzakir. Namun, jangan sampai usaha tersebut menodai ajaran Islam. “Tanpa hal tersebutpun (Pancasila, Red-) jika bangsa ini dalam kesulitan pasti saya akan turun tangan,” tambah pria kelahiran 64 tahun silam ini. Baginya, menjadikan sesuatu melebihi Tuhan mesti ditentang.
Keyakinan Mudzzakir tersebut membawanya pada jalan hidup yang ia lakoni hingga hari ini. Ia yang sempat menjadi PNS di bidang farmasi pada tahun 70-an itu pun memilih menanggalkan setatusnya. Ia mulai mencari ilmu tentang Islam yang hakiki. Meski bekal dari orang tuanya yang memang adalah keluarga ulama telah mumpuni, ia merasa masih harus mencari. Pernah ia kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya, namun dalam penilainnya ilmu tentang Islam yang disajikan tak sesuai. Kurang dari 1 tahun ia memutuskan keluar. Ia pun belajar dari Kiai-Kiai besar hingga mampu membca dan memahami kitab-kitab penting dalam Islam.
Dengan bekal ilmu yang mumpuni Mudzzakir justru semakin menemukan banyak hal yang tak sesua dengan tuntunan Al Qur’an dan Hadits. Ia akhirnya berinisiatif untuk mulai membenahi kondisi tersebut dengan menjadi pengajar di sejumlah sekolah dan pesantern. Namun demikian, kemapanan pandangan yang tak sesuai tidak bisa ia rubah. Ia justru banyak menemui penolakan. Hingga akhinrnya  ia samapia pada kesimpulan untuk melakukan pendidikan secara amandiri.
Mudzzakir pun kembali ke tempat kelahirannya: Solo. Tahun 1984 ia memulai mendirikan Al Islam. Saat itu jumlah santrinya hanya 6 orang, 2 diantranya adalah anaknya sendiri. Dalam pandanganya, umat Islam itu tidak boleh tidak belajar tentang Al Quran. “Orang Islam ndak ngerti Al Quran itu dosa,” tuturnya. Oleh karena itu ia memfokuskan pendidikannay pada ilmu agama. Ia pun ingin agar anak didiknya selamat dari ajaran yang salah sebagaimana ia peroleh dari sekolah umum. “Semua anak saya tidak ada yang belajar di sekolah umum. Semuanya di sekolah yang tidak umum,” canda ayah dari 18 orang anak ini.
Pendidikan Al Islam dipusatkan di masjid ,,,. Sebelum Mudzzakir, para pendahulunya termasuk ayah dan kakenya sudah menggunakan masjid tersebut sebagai tempat berdakwah. Saat awal pendiriannya, Al Islam juga mengalami sejumlah rintangan. Penolakan bukannya hadir dari non-muslim tapi justru dari tokoh elemen muslim di Solo. Termasuk dengan menyebut bahwaa Mudzzakir adalah penganut syiah. Mereka takut kehilangan pengaruh.
Di masa awal, masyarakat sekitar masjid saat itu pun tidak begitu suka dengan keberadaan Mudzzakir bersama Al Islam. Sikap kurang senang itu terutama dipicu oleh penolakan Al Islam untuk mengikuti tradisi penduduk sekitar tentang bernegara. Saat perayaan kemerdekaan RI semisal. Untuk alasan apapun Al Islam selalu menolak mengobarkan bendera merah putih. Mudzzakir menilai memperlakukan bendera secara berlebihan adalah tindakan yang syirik. “Dulu kita berantem terus, allhamdulillah sekarang tidak. Sudah beberapa tahun ini zakat dan daging kurban kami salurkan pada warga sekitar,” tambah anak ke-8 dari 9 bersaudara ini.
Tentu saja bukan hanya soal bendera atau warna merah putih. Mudzzakir memiliki pandangan mendalam soal hubungan doktrin kecintaan negara dan usaha meligitimasi kekuasaan. Pengalamannya yang malang melintang dalam dunia aktivisme termasuk menduduki posisi cukup penting di PII (Pemuda Islam Indonesia) membekalinya untuk kritis pada semua yang menyangkut Islam terkait dengan negara. Kembali lagi, apapun tidak boleh bertentangan dengan apa yang Islam ajarkan.
Lebih jauh, doktrin kecintaan pada negara yang buta menurutnya telah mencemari makna penting pendidikan. Pada pendidikan yang dirancang negara, ia melihat banyak kepentingan kekuasaan yang sengaja disusupakan pada materi pembelajaran. Pendidikan yang dibidani negera juga dia anggap terlalu sekuler. Hingga khusus pada pendidikan Islam ia pun melihat adanya ketidakmurnian  niat. Hal itu membawa Mudzzakir pada kesimpulan bahwa harus ada pendidikan yang murni dan didasari niat kuat untuk memahami keesaan Allah.
Untuk itu, lewat pendidikan yang ia rintis, Mudzzakir secara hati-hati menanamkan konsep pikir yang tepat antara ilmu dan keislaman, antara pengayaan akal dan hati. Baginya pula, pesantren bukan tempat untuk menemukan Islam tetapi adalah tempat membekali seseorang untuk menemukan Islam. Dalam pendapatnya semua ilmu pengetahuan adalah ilmu Islam yaitu ‘din’.
Sudut pandang itu Mudzzakir dan Al Islam wujudkan dalam kurikulum yang sepenuhnya Al Islam rancang sendiri. Meski berbasis pensantren, porsi terhadap ilmu lainnya tetap diajarkan. Selain diajarkan tentang Qur’an dan hadits, ilmu lain dari sains, sosial, dan bahasa juga masuk dalam kurikulum. Hal itu juga terkait dengan pandangan Mudzzakir bahwa hakekatnya semua cabang ilmu adalah ilmu agama. Sehingga semua mesti dipelajari. “Sederhana saja. Tidak satupun dari kita boleh bodoh soal akherat,” jelas Mudzakir tatkala ditanya visi dan misi Al Islam.
Tanpa Ijazah
Kemurnian ilmu dan pendidikan juga rawan terhadap budaya materialisme. Pada pendidikan umum, lembaga pendidikan diarahkan pada keterampilan siswanya untuk mencari penghidupan. Materi pendidikan sengaja dirancang agar kelak lulusan sekolah umum dapat liahi mencari makan dan kemakmuran. Padahal, dalam keyakinannya, Mudzzakir memahami jika rizki seorang hamba itu telah ditentukan sejak dalam kandungan seseorang tersebut. “Coba tikus, sudah dimusuhi, diburu manusia, tak punya perusahaan, mertuanya juga miskin, tapi tetap bisa mendapatkan makan. Lah manusia?,” tuturnya sembari melempar senyum canda.
Oleh karena itu, pesantren yang ia dirikan tak mau terjebak dengan terlalu urusan perut saja. “Itu namanya mengajari anak itik berenang,” pungkasnya. Untuk itulah mahat Al Islam tidak terlalu menekankan pendidikan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan duniawi. Al Islam bahkan tidak mengeluarkan ijazah bagi santrinya yang telah lulus.
Ijazah bagi seolah umum adalah sebuah bukti bahawa sesorang telah lulus dan siap untuk menggunakan tenaga dan jasanya. Karena tidak terlalu berkiblat pada konsep pendidikan sebagai pencetak tenaga kerja, Al Islam dirasa tidak terlalu perlu untuk mengeluarkan ijazah. “Karena kita ini tidak berniat mencetak buruh sih yah,” tutur Mudzakir. Pendidikan konvensional menurutnya selama ini terbukti hanya menciptakan buruh.
Al Islam sendiri telah beberapa kali dianjurkan untuk mengeluarkan ijazah oleh sejumlah pihak termasuk departemen Agama. Utusan Depag hingga pernah datang ke mahat menawarkan agar sebaiknya Al Islam mengelurkan ijazah. Hingga pada 2008 santri pada tingkatan ibtidaiyah diperkenakan untuk mengikuti ujian nasional.
Karena santri tak pernah diberi materi PKN, mereka kesulitan. Namun celakanya, sang pengawas yang merasa iba sengaja memberikan jawaban kepada peserta. Kejadian itu sontak membuat pihak Al Islam sangat  kecwa. Pasalnya, hanya untuk nilai santrtinya diajari untuk tidak jujur. Akhirnya AL Islam kmemutusakan untuk tidak lagi mengikutkan santerinya pada ujian sejak 2009. “Kami tidak rela hanya untuk selembar kertas anak kami rusak,” ucap Mudzzakir.
Ia pun pernah mendiskusika dengan para pengajar Al Islam untuk tentang pemberian ijazah. Tapi sebagian besar ustadz mersa belum perlu. Sampai pernah mahat sengaja mengundang sejumlah profesor untuk sekedar mengungkapkan pandangan tentang pentingnya ijazah. “Mereka tidak bisa menjelaskan letak pentingnya ijazah,” kata Mudzzakir. Sebagian besar alasan adalah agar santri bisa mendapatkan pekerjaan setelah lulus. “Kalau ingin melanjutkan ke perguruan tinggi ada juga yang tak menerima anak kami tanpa meminta ijazah,” tambahnya. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pernah menerima lulusan Al Islam tanpa mensyaratka ijazah.
Pertimbangan tidak mengeluarkan ijazah juga terkait keberpihakan Al Islam terhadap umat tak mampu. Al Islam terbukti menjadai pencetak santri yang unggul. Jika kelak mengeluarkan ijazah maka santri dari keluarga kaya akan banyak tertarik masuk. “Jika mereka lolos tes, menyumbang gedung, apakah ada jaminan kami akan menolaknya,” tanya Mudzzakir. Masih menurutnya, ketika jumlah santri kaya banyak ada kemungkinan santri kurang mampu tidak bisa tertampung. “Dan kami tidak mau itu,” pungkasnya.
Terus Berkembang
Dari murid awal yang hanya berjumlah 6 orang, Al Islam kini tumbuh menjadi pesantren besar dengan jumlah santri yang cukup banyak. Untuk tingkatan sanawiyah semisal. Tiap tahunnya Al Islam membuka peluang bagi 130 santri. Namun, jumlah pendaftarnya seringkali membludak hingga 170-an pendaftar. Al Islam sendriri terbagai menjadi 4 tempat yaitu di Solo, Pulung Bambu, Plumpang Wetan, dan Jumapolo.
Seleksi masuk Al Islam dikenal cukup ketatat. “Anak saya saja ada yang peranah tidak lulus seleksi,” kata Mudzzakir. Pada tingkatan sanawiyah semisal. Untuk bisa masuk menjadi murdi Al Islam mesti menaklukan beberapa tes. Pada tingkatan MA semisal, calon murid wajib hafal 5 Juz Al Qur,an dan 30 hadits. Selain itu mereka juga diuji kemampuan bahasa Indonesia dan matematiknya.
Hasil seleksi Aliyah dibagi menjadi tiga kelompok yakni peringkat pertama, peringkat kedua, dan mereka yang tidak lulus. Bagi peringkat pertama putra, mereka akan ditempatkan di Al Islam Jumapolo. Peringkat kedua putra akan belajar di Al Islam Pilangbambu. Bagi santriwati yang masuk tergolong peringkat pertama akan ditempatkan di Al Islam Plumpang Lor dan yang kedua berada di Pilangbambu. Sedang bagi mereka yang tidak lulus untuk sementara ditawarkan di pesantren lain yang memiliki jaringan dengan Al Islam. Setelah kelas tiga, mereka akan diberikan kesempatan untuk menulis tugas akhir di Al Islam pusat.
santri akan diasramakan mulai pada jenjang MTS. Oleh karena itu mereka yang diperkenankan masuk sanawiyah mesti telah berusia 11 tahun. Ini karena mengacau pada hadits yang mewajibkan seorang anak harus dipisah tidur dengan orang tuanya pada usia 10 tahun. Dari MTS hingga Aliyah, santri akan tinggal diasrama sepanjang tahun. Hanya ada dua kali libur yaitu saat selesai ujian semester.
Dalam rentang waktu itu murid akan didik sesuai kurikulum yang ada. Kurikulum tersebut murni rancangan Al Islam tanpa menyadur kurikulum pendidikan nasional. Tentu dalam pembuatannya, kurikulum tersebut disesuaikan dengan tuntunan dan perkembangan ilmu pengetahuan terkini. Hingga saat ini kuriulum tersebut tak banyak berubah, hanya sedikit mengalami penyesuaian.
Meski kemerdekaan hidup mereka sedikit diminta, buah manis siap mereka santap saat lulus kelak. Ilmu yang mumpuni sudah barang tentu para santri dapat. Kelulusan bisa dicapai ketika seorang santri telah hafal minimal 10 Juz al qur’an dan meyelesaikan tugas akhir berupa karya tulis. Pihak pesantren juga meberikan hadiah tatkala hari kelulusan. Jika santri mampu lulus dengan menyandang predikat hafidz (hafal 30 juz al quran) ia akan mendapat kitab dan sejumlah uang. “Ya, itu sedikit sebagai penggembira,” ucap Mudzzakir.
Namun ilmu tiada arti tanpa pengamalan. Karena itu, setelah lulus santri harus mengabdi selama 2 tahun di Al Islam. Setelah wiyata bakti, alumni Al Islam biasanya langsung diminta oleh sejumlah pondok pesantren seperti pesantren Hidayatullah di Jogja. Bagi mereka yang memiliki prestasi lebih akan ditarik untuk mengajar di Al Islam. Tapi, pesantren juga membebaskan lulusannya untuk memilih hidupnya kedepan selam taat terhadap ajaran Islam. Termasuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
Mimpi ihwal perguruan tinggi itu sebenarnya pernah menjadi nyata tatkala Al Islam memiliki ‘Mahat Ali’ – tingkatan setelah aliyah yang setara perguruan tinggi. Para pengajar Mahat Ali adalah orang-orang berilmu termasuk sejumlah guru besar dari perguruan tinggi terkemuka. Namun, mimipi itu kini sementara kembali menjadi mimpi. Karena sejumlah hal Mahat Ali diistirahatkan. Kapan ia akan bangun kembali?

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram