Langsung ke konten utama

MTA dan Perebutan Pengaruh Ormas Islam

Perkembangan Majelis Tafsir Al-Quran (MTA) cukup pesat. Hampir di setiap wilayah telah berdiri cabang MTA. Tak ayal kehadiran MTA juga menimbulkan gesekan dengan Organisasi Islam yang terlebih dahulu ada.
Sarno dengan penuh hikmat mendengarkan ceramah sang ustad.z Begitupun dengan ratusan jamaah lainnya, mereka cukup khusuk mencermati nasihat-nasihat dalam pengajian itu. Meski Kudus – tempat diselenggarakannya pengajian – cukup jauh dari tempat Sarno berasal, seolah tak membuatnya letih atau kehilangan konsentrasi. Jarak Wonogiri – Kudus nan jauh terbayar sudah dengan ilmu yang ia peroleh.    
Kehusukan pengajian itu tiba-tiba sedikit terusik oleh kegaduhan di luar gedung. “Ada anak sekolah latihan dramband opo yo?,” ucap Sarno pada seorang jamaah di sampingnya. Ia mengira ada acara parade drumband melewati Gedung Ngasirah Kudus, tempat ia mengaji.
Sekian waktu gaduh itu tak jua berlalu. Sarno mulai sadar jiku itu bukan marcingband atau semacamnya. “Ya Allah kenapa ada pengajian kok tidak mau minta izin dengan umat di sini,” ucap Sarno menirukan teriakan samar-samar di luar gedung saat itu. Ia baru tahu kalo ternyata pengajian yang ia ikuti didemo massa. Ada yang tak berkenan dengan pengajian akbar dalam rangka peresmian MTA (Majelis Tafsir Al Qur’an) wilayah Kudus Sabtu, 28/1/2012 tersebut.
Saat pengajian berakhir Sarno kaget melihat kerumunan orang di depan gedung. Mereka berorasi sambil membawa banyak atribut dan bendera. Sempat ia lihat bendera Nahdlatul Ulama (NU), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Barisan Ansor Serbaguna (Banser), Gerakan Pemuda (GP) Ansor, dan Fatayat. Orasi para pengunjuk rasa semakin keras saja. Namun para jamaah saling mengingatkan untuk tidak terpancing.
Sekitar 200 personel Polres Kudus juga nampak berjaga. Untuk menghindari bentrok polisi memasang pagar betis. Sebaris Polisi berjejer menghadap para pengunjuk rasa, barisan lainnya menghadap ke arah jamaah MTA. Sarno dan sekitar 3000 jamaah MTA lainnya yang sebagian besar berasal dari luar Kudus diamankan untuk menuju bus. Hingga Sarno masuk bus orasi masih terus terdengar.
Tak lama berselang, kejadian itu muncul di media massa. Sebagian besar judul berita itu adalah pembubaran pengajian MTA. KRjogja.com, 28/2/2012 semisal memuat berita dengan judul “Pengajian MTA Dibubarkan Paksa”. Media televisi seperti Metro TV pun menayangkan berita dengan judul kurang lebih sama. Namun, Sarno tak melihat peristiwa itu sebagai pembubaran. “Kami pulang karena pengajian memang sudah selesai, bukan karena ada demo” ujarnya. Unjuk rasa mulai saat pengajian memang hendak usai.
Untuk meluruskan berita itu MTA berinisiatif untuk memakai hak jawab di media. Ahmad Sukina, ketua MTA Pusat memberikan jawaban bahwa yang terjadi di Kudus sama sekali bukan pembubaran. Ia juga menyangkal beberapa isu yang menyudutkan bahwa ajaran MTA itu sesat. Lewat sebuah tayangan bertajuk “Pelurusan Berita Bohong” yang didokumentasikan MTA TV, Ahmad Sukina menjelaskan fakta yang sebenarnya. Ia juga mengajak semua pihak yang terkait dengan peristiwa Kudus untuk tabayun.
   Pihak MTA sendiri berpendapat tidak ada alasan untuk adanya pembubaran pengajian akbar yang dihadiri Pimpinan MTA Pusat Ust. Ahmad Sukino dan KH. Cholil Ridwan dari MUI Pusat tersebut. Secara teknis semua persyaratan telah dipenuhi. Ijin mengadakan acara dari Kepolisian juga telah dikantongi. Bahkan Sekretaris Daerah Kudus ikut hadir membacakan sambutan dari Bupati Kudus. “Ini berarti acara kami legal karena banyak pejabat yang hadir.” ujar Yoyok Mugiyanto, Seketaris MTA, seperti dikutip oleh Fujamas.net, 29/1/2012.  Secara legal formal MTA Kudus juga telah resmi sejak empat tahun silam. Pengajian akbar tersebut adalah untuk pengukuhan sekaligus sosialisasi MTA wilayah Kudus.
Upaya pembubaran atau penolakan terhadap pengajian yang digagas MTA tidak sekali itu saja terjadi. Kejadian yang hampir sama pernah terjadi di Purworejo Maret, 2011 silam. Saat itu MTA berencana meresmikan perwakilannya untuk Kabupaten Purworejo. Sedianya acara itu akan dilaksanakan di alun-alun Kutoarjo. Ijin pun telah dikantongi dari Pemerintah Daerah Purworejo. Namun, menjelang acara Pemda Purworejo membatalkan ijin pengajian di alun-alun Kutoartjo atas tekanan pihak yang mengaku sebagai elemen umat Islam setempat.
MTA tak patah arang. Kepanitiaan lantas memutuskan untuk menyewa rumah makan Sumber Alam sebagai tempat pengajian. Tempat tersebut dinilai cukup luas untuk menampung jamaah pengajian. Tapi pihak penolak MTA mengetahui rencana itu. Persis tiga hari sebelum hari H, manajemen  RM. Sumber Alam meminta pengajian untuk ditunda hingga batas waktu yang tak tentu pun dengan alasan yang kurang jelas. Kebetulan tak lama berselang MTA Bantul juga akan diresmikan. Peresmian MTA Purworejo akhirnya dilaksanakan di Jogjakarta bersamaan dengan persemian MTA perwakilan Bantul di UMY.
Meski telah diresmikan, penolakan MTA di Purworejo terus terjadi. Jalan-jalan menuju kantor MTA Purworejo dihinggapi sejumlah spanduk berisi penolakan terhadap MTA. Kantor MTA yang baru saja usai dibangun pun dicorat-coret dengan tulisan bernada penolakan. Bahkan, pernah kantor tersebut dilempari kotoran dan telur busuk. Jalan masuk kantor MTA juga dipakasa ditutup hingga beberapa kali. Kerena dirasa menggangu pihak MTA melapor ke Polres Purworejo bahkan sampai ke Polda Jawa Tengah. Akhirnya, setiap diadakan pengajian gedung MTA dijaga oleh polisi untuk beberapa bulan pertama.
Kamis 31 Maret 2011, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Purworejo akhirnya mengeluarkan sikap terhadap keberadaan jamaah MTA. Seperti dilansir di suaramerdeka.com, 01/04/2011,  Rois Syuriah NU KH Habib Hasan Al Ba'bud dan Ketua Tanfidziyah HA Hamid AK SPd I. mengungkapkan alasan penolakan terhadap MTA dalam rapat koordinasi menyikapi keberadaan MTA yang difasilitasi Kantor Kementerian Agama. NU menolak kehadiran MTA karena materi dan metode dakwahnya dinilai provokatif, meresahkan, serta bisa memicu perpecahan umat.
PCNU sendiri telah mengeluarkan surat PCNU bernomor: PC.11.32/04/D/III/2011 yang berisi pernyataan sikap tersebut. Surat tersebut juga ditandatangani para kiai khos di Purworejo. Mereka yakni KH Jakfar Samsuddin pengasuh pesantren Al Falah Lugosobo, KH Dawud Muchlas (PP Al Muttaqin), KH Dawud Maskuri (PP Ma'unah Plaosan), KH Thoyfur Mawardi (PP Darut Tauhid), KH Habib Hasan Al Ba'bud (PP Al Iman Bulus), KH Abdullah Syarqowi (PP Al Irsyad), KH Chalwani Nawawi (PP An Nawawi), KH Nashihin CH (API Winong Kemiri), dan KH Much Atabik (PP Ash Shiddiqiyah).
Secara garis besar surat tersebut menyatakan bahwa para Kiai Purworejo merasa keberatan dengan materi dan metode pendekatan yang dilakukan MTA dalam melakukan dakwah. Pasalnya, MTA tidak menghormati perbedaan fiqhiyah, cenderung melecehkan ajaran kelompok lain, provokatif, menyebarkan kebencian, dan permusuhan di kalangan umat Islam, sehingga mengganggu ketenteraman dan keharmonisan umat beragama di Purworejo.
****
 Masuk ke kantor itu layaknya masuk kantor seorang pejabat tinggi Negara atau direktur perusahaan besar. Kantor pemimpin MTA itu luas dan rapih. Tepat di belakang meja terpampang foto Ustadz Ahmad Sukina bersama Presiden SBY, Ketua PP Muhammadiyah Din Samsyudin, dan tokoh NU Salahudin Wahid. Di sampingnya lagi berdiri bendera merah putih yang diapit dua bendera MTA.
  Sembari menunggu Ustadz Sukina, Ustadz Suhadi (64), adik kandung Ustadz Sukina menyambut ramah Isra.  TV LCD 4 inch menyala, memainkan rekaman suara dakwah seorang penceramah. Nampaknya suara sang Kiai di rekaman itu cukup kharismatik, dalil pun cukup faseh ia ucapkan. Namun semakin lama nada bicara penceramah itu semakin meninggi. Kosa kata keras pun makin seriang ia sebut.
Rekaman ceramah itu menyebut-nyebut MTA dan Ustadz Ahmad Sukina. “Syeh Sukina niku kito paringi Buhori gundulan meniko langsung pamit, mboten saged moco (Sukina diberi Buhori diberi Kitab Buhori dengan huruf arab gundul tidak bisa, Red.),” ucap penceramah di rekaman tersebut. Rekaman itu diunduh dari youtube dengan judul “Mustamar Provokator dan Penyebar Fitnah”. Sosok itu adalah Kiai Marzkui, pimpinan salah satu pesantren di Malang dan juga dosen UIN Malang. Konon ceramah itu diberikan di pondok Tambak Beras.
Marzuki menuduh MTA memberikan statemen bahwa tahlilan dan acara semacamnya lebih berdosa dari pada zina. MTA menurutnya juga menghalalkan daging anjing. Selain itu MTA ia tuduh mengatakan bahwa Masjid NU itu tidak bisa untuk shalat, apalagi yang terletak di dekat makam. “Nggih meniko, saking gethinge Sukina kalih NU, kalih pesantren (Ya itu, karena begitu bencinya Ustadz Sukina pada NU dan pada pesantren, Red.),” ucap Marzuki lantang. Marzuki yang juga Ketua Cabang NU Malang memang menggunakan pengajian itu untuk membahas isu seputar MTA. “Kalo daging anjing dianggap halal, ya Sukina itu juga halal,” tambahnya.
Ketika rekaman ceramah Kiai Marzuki hampir usai, Ustadz Sukina masuk ke dalam kantornya. Beberapa staf berdiri bersalaman, sebagian mencium tangan sang ustad. Sukina lantas menemui Isra di tempat duduk tamu. Dengan ramah pria kelahiran Solo 66 tahun silam itu menyapa Isra.
Suara rekaman ceramah Marzuki belum dimatikan. Karena itu Sukina mulai bercerita tentang isu-isu negatif yang selama ini MTA terima. Ia sangat menyesalkan apa yang dikemukakan Marzuki, “Seorang Kiai, seorang dosen kok begitu,” ucap Sukina. MTA menanggapinya dengan mengirim surat kepada pihak Marzuki untuk tabayun. Meski statemen Marzuki dirasa sangat menyudutkan, MTA tak berniat membawa kasus tersebut ke meja hijau. “Moso umat Islam sama Islam kok di pengadilan negeri. Ya, kita harus menjaga sesama muslim,” tambah Sukina sembari tersenyum.
Sukina mulai bercerita tentang tuduhan yang selama ini disematkan pada MTA. Tentang tuduhan bahwa MTA mengajarkan bahwa tahlilan itu lebih berdosa dari pada zinah, ia tak membenarkan. MTA sedari awal pembentukannya adalah untuk memahami Islam secara murni. Tahlilalan, kenduri, dan upaca semacamnya tidak memiliki dasar dalam Islam, sehingga tidak boleh dilaksanakan. “Di MTA selain harus mau mempelajari al-quran juga wajib mengamalkannya,” ucap Sukina. Ajaran meninggalkan upacara tersebut menurutnya semata-mata adalah pengamalan al-quran, bukan intrik untuk menyerang oramas Islam lain.
Isu yang gencar terdengar adalah bahwa MTA menghalalkan daging anjing. Menurut Sukina itu isu yang dipelintir. Karena santer dipermasalahkan, MTA membahas persoalan tersebut dalam brosur Ahad Pagi – sebuah himpunan naskah pengajian ahad pagi. Yang menjadi inti dari persoalan itu sebenarnya adalah anjing sebagai hewan yang digunakan dalam berburu. Saat berburu jika hewan buruan mati karena digigit anjing maka daging hewan buruan itu tetap halal. Ketentuan itu juga masih diatur dengan berbagai syarat. “Yang berhak menghalal-haramkan sesuatu itu Allah swt, nabi pun tak boleh, apalagi MTA,” tutur Sukina.
Isu “daging anjing halal” menurutnya sengaja dibesar-besarkan untuk menyerang MTA.  Pun ihwal dakwah MTA tentang anjuran untuk meninggalkan ritual yang tak islami adalah materi yang sering dijadikan pijakan untuk memusuhi MTA. Menurut Sukina dakwah MTA tak pernah berusaha memusuhi elemen umat Islam lainnya. “Padahal kita ngaji nggak pernah nyebut NU, nggak pernah nyebut organisasi apapun,” tambahnya.
Menanggapi sejumlah penolakan terhadap MTA di sejumlah tempat, Sukina melihat itu tak lepas dari kepentingan politik. “Mereka takut kehilangan pengaruh,” ujarnya. Peristiwa di Purworejo dan Kudus didalangi oleh ormas Islam yang merasa terancam keberadaanya oleh MTA. Terkait hubungannya dengan NU, Sukina tidak menampik jika memang ada sedikit gesekan. Namun itu terjadi di tingkatan lokal saja. Terbukti elit-elit NU yang berada di Majelis Ulama Indonesia (MUI) sama sekali tidak memusuhi MTA. Foto-foto Ustadz Sukina bersama ketua MUI Pusat, Kiai Maruf Amien, Menteri Agama Surya Dharma Ali bahkan adik kandung Gus Dur, Salahudi Wahid sedikit menejadi bukti. Beberapa tokoh tersebut juga pernah mengunjungi kantor pusat MTA.
Pria yang saat muda pernah aktif menjadi ketua Pemuda Muhammadiyah itu menegaskan bahwa MTA tetap adalah sebuah yayasan. Jadi tidak beralasan jika terdapat Ormas Islam yang takut tersaingi. Di dalam perjuangan dakwahnya MTA tak pernah mempermasalahkan dari mana seseorang berasal termasuk keanggotaan Ormas-nya. “Kita kan tidak punya KTA (Kartu Tanda Anggota). Wong umat agama lain saja boleh ikut pengajian kok,” tambah Sukina. Sosok yang mengagumi perjuangan KH. Ahmad Dahlan ini juga menegaskan bahwa semangat utama MTA tetap adalah untuk mengembalikan umat pada ajaran quran dan hadits.  “MTA didirikan itu belajar dari gerakan tarjih yang saat ini agak kurang intensif lagi,” tambahnya.
Zainal Arifin Adnan, Ketua MUI Surakarta menilai tidak ada yang salah dari MTA dan usaha dakwahnya. Mengenai hubungan antara MTA dengan NU di wilayah Surakarta ia nilai cukup baik. Namun ia juga menilai peristiwa di Kudus dan Purworejo sebagai insiden yang buruk bagi umat Islam. “Kita sayangkan, kalau dia mengaku Islam, ada dakwah Islam harusnya didukung,” pungkasnya. Ia meminta agar ulama dari keduabelah pihak mau untuk saling tabayun dan mendamaikan umatnya.
Hubungan MTA dan MUI Surakarta juga sangat baik. Keberadaan MTA justru membantu program-program MUI. “Jelas sangat membantu MUI Solo. MUI kecamatan nggak jalan, MTA kecamatan jalan,” ujar Zainal. Ia berharap agar MTA bisa istiqomah dengan jalan dakwahnya. Ihwal MTA yang dituduh menghalalkan daging anjing ia nilai sebagai hal yang keliru. “Nggak ada, itu tuduhan nggak usah dibahas, itu fitnah saja,” tambah guru besar dan Dekan Fakultas Kedokteran UNS itu. Persoalan itu ia rasa telah usai dengan klarifikasi MTA di radio dan pengajian ahad pagi. Ia pun sepakat dengan pelurusan MTA terkait isu tersebut.  
   Di luar persoalan MTA dengan Ormas Islam, MTA ternyata punya cerita cukup menarik dengan umat lain iman. Pengajian MTA yang selalu dipadati ribuan jamaah ternyata cukup inklusif. Umat dari agama lain pun boleh mengikuti pengajian. “Alquran itu kan rahmat untuk semua manusia,” tutur Sukina. Bahkan cukup banyak umat agama lain yang tertarik dengan Islam setelah mengikuti pengajian MTA. “Kemarin saya baru nerima tamu putri, itu katholik yang masuk islam, ya itu karena dari radio MTA,” tambahnya. Wanita itu kini tengah mengurus perceraian dengan suaminya yang masih katholik.  

Komentar

  1. semprol2.... bohong, nyatanya semua santrimu utowo warga binaanmu gak ngerti mana yang hak dan mana yang bathil........ masak se enaknya aja makan tanah orang laen warga2 binaanmu iku..... yen raiso ngaji mbok gk usah sok pandai.

    BalasHapus
    Balasan
    1. nek ga ada buktinya ga usah ngasal

      Hapus
    2. Mas Bryan Adam... ya, pada dasarnya masing-masing ormas saling berlomba dalam membina umat. & berlomba-lomba dalam kebaikan itu bagus kata Rasullullah... hehe..

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. dakwah islam yg dilaksanakan oleh majelis tafsir alqur'an sebaiknya didukung dan tidak perlu dipermasalahkan. Ego kelompok dan pengikut tidak layak dijadikan argumen untuk saling menyerang apalagi sampai diliat orang kafir. Tentu orang kafir pada ketawa ngeliatnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Demikian Mas Abbaz... jika memang dakwah MTA bisa memberi sumbangsih pada umat berarti itu baik. ini menjadi pemicu bagi ormas lain untuk lebih bekerja keras & kreatif dalam membina umat...

      Hapus
  4. Kalian berkata, MTA selalu sopan...
    Kalian Brkata, Bahwa Ilmu tidak untuk di perdebatkan..

    TAPI KLAKUAN KALIAN SEPERTI TIDAK ADA ALAYAK KESOPANAN.
    KELAKUAN KALIAN SEPERTI TIDAK ADA JALAN AWAL DARI PARA SHOLIHIN.

    KALIAN HANYA MENGEDEPANKAN AKAL....

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe... ini hanya laporan atas dasar wawancara mas... semoga tidak demikian adanya. cuma memang masing2 ormas Islam perlu saling menghormati agar kepentingan umat tetap menjadi hal yg utama...

      Hapus
  5. just wanna say this is clearly balance

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. thanks... I hope that it can open our heart and mind that we're the one as Moslem. Moslems need to understand the facts: there are so many "flag" and "friction" in Islam. however, the facts have to be internalized as a harmony...

      Hapus
  6. ya semoga dakwah mta lebih sopan terhadap khazanah lokal

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram