Langsung ke konten utama

Jamaah, Tumpuan Hidup MTA


Gedung MTA menjulang tinggi pun mewah. Fasilitas dakwah MTA juga bukan main-main. Dari manakah uang MTA?

Sedari pukul 3 sore mobil dan motor mulai memenuhi parkir gedung itu. Dari mobil premium hingga sepeda motor tua dirapihkan Satgas MTA yang piket Jum’at itu.  Satu persatu jamaah mengambil buletin bertajuk brosur pengajian. Hari itu brosur berjudul “Surat Az-Zukhruf bagian ke-2”. Beberapa merapat ke Koperasi membawa buku tabungan. Beberapa lainnya mendekat pos satpam sekedar menitipkan barang untuk sanak saudaranya di luar kota.

Dari yang perlente hingga jamaah yang berpakaian cukup sederhana saling bersalaman. Tak ada batas diantara mereka: semua setara. Mereka lantas bergegas menaiki tangga menuju tempat pengajian. Semua sandal dilukar, disimpan di lantai satu. Lantai satu juga menjadi tempat shalat ashar bagi jamaah yang keseluruhan pria itu. Pengajian Juma’t sore memang dikhsuskan bagi jamaah pria.
Tepat pukul 4, melalu pengeras suara, pembawa acara mulai menghimbau jamaah untuk bersiap. Acara dimulai dengan pembacaan brosur secara bersama-sama. Seseorang membacakan lafadz surat Az-Zukhruf beserta terjemahannya frasa demi frasa diikuti oleh jamaah. Baru setelah itu tafsir surah tersebut dibacakan. Kemusryikan adalah inti pembahasan brosur kala itu.
Hingga brosur selesai dibacakan masih terdapat jamaah yang baru hadir. Satu-persatu sekitar 4000 jamaah pengajian itu diminta megisi daftar hadir. Sambil menunggu kehadiras selesai dicatat, pembawa acara memanggil nama-nama yang mendapat kiriman barang dari jamaah MTA di luar Solo Raya. Pengajian MTA yang menyebar ke banyak tempat juga dipergunakan sebagai jasa pengantar barang – seperti UPS atau TIKI namun gratis.
Sekitar pukul 5, Kijang Inova sampai mengantar Ustadz Sukina hingga lobi gedung MTA. Artinya, pengajian yang khusus bagi jamaah MTA se-Solo Raya itu hendak dimulai. Isra pun besrisap naik tangga untuk mengikuti pengajian. Namun seorang satpam tiba-tiba berkata, “Untuk sementara ini anda belum diperkenankan mengikuti pengajian. Besok untuk pengajian Ahad pagi anda boleh untuk ikut serta.” Ternyata pengajian itu tertutup bagi pihak luar MTA. Soundsystem yang tadinya Isra dengar di lobi gedung mewah itu pun dimatikan. Entah kenapa.

*****

Janji itu ditepati. Minggu, Isra diperbolehkan untuk mengikuti pengajian yang kondang dikenal “Pengajian Ahad Pagi”. Jika pada pengajian hari Jum’at hanya dihadiri kaum pria, di Ahad pagi pria wanita boleh ikut. Pengajian Ahad pagi dibuka untuk umum tak terbatas usia dan domisili. Bahkan, kaum non-muslim pun boleh mengikutinya. Jumlah jamaah tentu saja berlipat dua. Sekitar 7000 hingga 8000 jamaah dipastikan hadir di tiap Ahad pagi.
Pengajian dimulai sekitar pukul 9. Pembukaan acara hampir sama dengan pengajian hari Jum’at. Yang cukup membuat menarik adalah biasanya pada Ahad pagi ada penyerahan jimat. Lewat tiap ceramah baik langsung maupun melalui radio, MTA menekankan jimat itu musyrik dan mesti dibuang. Mereka yang akhirnya menyadari jimat itu diharamkan Islam  menyerahkan jimat pada MTA.
Sama dengan pengajian MTA lainnya, Ahad pagi menggunakan metode tanya jawab. Seorang jamaah berkata bahawa ia diminta untuk membantu hajatan nikahan tetangganya. Namun, sepengetahuan dia calon mempelai pria sudah sering menginap di rumah calon mempelai wanita. “Apakah saya harus menolak untuk rewang (membentu) dan mengatakan alasan saya?” tanya jamaah diwakili oleh pembawa acara. Ustadz Sukina berpenadapat jika seharsunya jamaah tersbut mengingatkan. Namun, tidak ikut membantu tetangga tersbut adalah hal yang tidak beralasan.
Partanyaan berikutnya mulai dibacakan. “Tadi malem saya mengikuti acara pernikahan yang nanggap penari jawa bergoyang liak-liuk seperti ular. Yang membuka resepsi Kiai terkenal di Solo,” kata salah seorang jamaah yang dibacakan oleh pembawa acara. Dia mempertanyakan persoalan Kiai tersebut. Lebih lanjut ia juga berkata, “Kalau saya tidak tahu karena habis makan langsung pulang.” Ustadz Sukina pun langsung menjawab, “Kui ngapusi. Kalau langsung pulang kok tahu sing liak-liuk iku pye.” Jawaban itu sontak membuat jamaah tertawa.
Metode dakwah MTA tersebut terbukti mampu menarik banyak jamaah. Pendekatan dakwah yang egaliter dan tidak melangit dinilai sebagai kunci sukses perjuangan MTA. Tak ayal jumlah jamaah MTA semakin banyak. Jumlah jamaah yang besar ternyata sangat diberdayakan. Ada sebuah usaha agar warga MTA mau berperan aktif dan ikut serta dalam dakwah dan perjuangan Islam. Infaq jamaah adalah bukti hebatnya jamaah MTA. Gedung lantai 4 nan mewah yang digunakan untuk pengajian Ahad pagi itu pun salah satu bukti kekuatan infaq warga MTA, yayasan yang resmi berdiri tahun 1974 silam ini.
Pada awal pendiriannya, saat masih dipipimpin oleh Ustadz Abdullah Thufail Saputra, MTA berkantor di Jalan Semanggi, Surakarta. Hal itu berlanjut hingga kepemimpinan Ustadz Ahmad Sukina yang dimulai sejak 1992. Sejak saat itu pengajian terus berkembang. Tempat di jalan Semanggi pun sudah tak lagi mencukupi. Pengajian kemudian dipindah di SMA milik MTA. Tapi perekembangan jumlah jamaah MTA terus terjadi, SMA pun tak sanggup menampungnya. “Dulu sampai masuk kampung, masuk gang, sampai diingatkan warga,” ujar Mansyur, bendahara umum MTA.
Akhirnya pengurus yayasan beserta warga berembug bagaimana agara MTA memiliki tempat yang lebih luas. Tahun 1990, Sirat, seorang pengusaha Solo berniat menjual tanahnya di Jalan Mangkunegaran. Ia ingin agar tanahnya bisa dibeli oleh lembaga sosial. “Alhamdulliah beliau ketemu dengan kita. Rencananya tanah ini akan dibuat mall,” tutur Mansyur. Tanah seluas 1500 meter persegi itu sudah hampir dibeli investor termasuk tanah yang ditempati SMP Negeri 3, 4, dan 5 Surakarta. Namun karena ada monumen PGRI yang tidak bisa dirislah, pembanguan itu dibatalkan. “Saat itu harganya 800 juta disuruh beli 720 juta. Uangnya dari warga kita juga,” tambah pensiunan Telkom ini.  Hanya dalam jangka 1 tahun dana itu sudah terkumpul.
Tanah tersebut untuk sementara dijadaikan lahan parkir bagi jamaah pengajian. Baru pada tahun 2007 pembangunan gedung MTA dimulai. Namun lokasi gedung tidak bisa langsung menghadap ke jalan raya. Sejumlah ruko ilegal menutupi bagian depan yang memang adalah lahan negara. Akses masuk ke bangunan hanya dengan melewati lorong selebar 2 meter.
Pihak MTA lantas menghadap Wali Kota saat itu yaitu Joko Widodo untuk meminta jalan. Kebetulan tahun 2008, Wali Kota yang akarab disapa Jokowi berencana memindahkan ruko-ruko tersebut ke gedung Ngarso Puro. Gedung MTA pun akhirnya bisa langsung diakses dari jalan raya. “Akhirnya ada kecocokan. Berkat Pak Wali, tapi rencana dari Pak Wali dulu itu. Ya, rumornya malah katanya MTA yang memindahkan,” pungkas Mansyur. Beberapa pihak menerka jika MTA yang merelokasi para pedangang ruko.   
Pembangunan gedung empat lantai itu menghabiskan dana 13, 75 milyar rupiah. Padahal dalam rencana awal gedung dengan konsep modern itu hanya dianggarkan 9,5 milyar. Dalam perjalanan perlu ada penambahan di sana-sini. Panitia pembangunan atas izin yayasan akhirnya menutup kekurangan dengan mengajukan pinjaman sebesar 5 milyar kepada BNI Syariah. Hanya dalam jangka 3 tahun hutang dengan bunga 0,6 persen itu lunas. “Satu bulan kita harus mengangsur 225 juta dan belum pernah telat,” ucap Mansyur. Karena membayar dengan lancar pihak BNI bahkan menawari pinjaman kembali.
Tahun 2009 gedung MTA akhirnya diresmikan oleh Presiden SBY. Banyak yang mengaitkan gedung berdindidng kaca biru itu dengan Partai Demokrat. Namun, Mansyur tidak membenarkan cerita itu. “Kalau biru itu ndak sengaja. Kita ambil yang sejuk aja,” ujarnya. Bantuan dari negara hanya 7 unit komputer dari Kementrian Sekretaris Negara. “Itu saja setelah peresmian,” tambah pria kelahiran Boyolali 1960 itu.
Selain gedung dan fasilitas pengajian, MTA juga mengelola lembaga pendidikan dan kesehatan. Tercatat MTA memiliki lembaga pendidikan dari TK hingga SMA. Untuk pelayanan kesehatan MTA juga mendirikan rumah sakit bersalin. Dalam mengefektifkan dakwah MTA juga mengelola radio dan TV. Di bidang eknomi MTA juga mengelola CV. Al-Abror yang bergerak di usaha percetakan dan air mineral. Koperasi simpan pinjam pun diadakan untuk melayani umat di bidang keuangan.   
Seluruh aset dan sarana MTA dibiayai oleh jamaah. Sistem pembiayaan MTA adalah dengan benar-benar mengikutsertakan jamaah. Untuk MTA Pusat, pembiayaannya ditopang oleh MTA Perwakilan dan Cabang. MTA Perwakilan dan Cabang membiayai dirinya secara mandiri tanpa bantuan pusat. “Kalau kita ada keperluan kita kumpulakan. Kita memcahkan anggaran mungkin tidak lebih dari 10 menit,” ujar Mansyur. Anggaran kemudian dibagi ke Perwakilan dan Cabang selanjutnya ke jamaah. Untuk keperluan apapun termasuk pembangunan gedung, MTA mengaku tak pernah mengedarkan proposal. Yayasan juga bersedia menerima bantuan dari perseorangan dengan syarat tidak mengikat. “Itu mungkin sulit dibayangkan. Saya sendiri juga heran,” tambahnya.
Tak hanya bagi kepentingan internal organisasi, pemberdayaan jamaah juga digunakan untuk melayani kegiatan sosial MTA. MTA selalu mengirmkan satgasnya ke berbagai lokasi bencana. Seperti di bencana Tsunami Aceh, satgas MTA berhasil memfungsikan kembali masjid di Oulele. “Kita tidak hanya mengirimkan satgas tapi juga lengkap dengan bantuannya. Itu dari jamaah,” kata Sukina, pemimpin MTA.
Di luar negeri MTA juga aktif memberikan bantuan. Untuk pembangunan Masjid di Ghaza, Palestina, MTA berhasil mengimpin infaq hampir 1 milyar. Pada pengajian Ahad Pagi, Ustadz Sukina biasanya menghimbau jamaah untuk memberikan infaq. Pernah sesekali seorang relawan di Palestina meminta Ustadz sukina untuk menyebarkan sms permohonan bantuan sebesar 20 ribu per orang. “Kita umumkan di jamaah saat pengajian ahad pagi. Yang bisa lebih jangan hanya 20 ribu, yang tidak mampu jangan sampai tidak andil,” tutur Sukina. Dana yang terkumpul lantas disalurkan kepada pihak yang membutuhkan. Cara infaq semacam itu menurut Sukina sangat dianjurkan Islam. Bila benar-benar dilaksanakan akan mendatangkan manfaat yang luar biasa.  “Mengumpulkan dana seperti itu kalau kata Kiai Marzuki uang dari setan,” canda Sukina menutup perbincangan dengan Isra.

****

Joko Santoso, stpam MTA, mulai mengaji di MTA sejak tahun 1990. Ia mengaku tertarik dengan MTA dari WC. Bukan menemukan hidayah saat sedang menggunakan WC, tapi ia kagum dengan pembuatan WC di desanya yang menurutnya unik. Suatu hari ia melihat sejumlah orang tengah membuat spiteng. Itu cukup menarik, karena saat itu spiteng di desanya adalah barang mewah. Setelah ia telusuri para pekerjanya ternyata tak dibayar. Ia telusuri lagi ternyata semua pekerjanya adalah jamaah MTA. Lebih dalam pertanyaannya, salah seorang dari pekerja berkata, “WC itu penting. Islam mengajarkan kebersihan. Masa, wong Islam kok jorok,” ucap Joko mengingat peristiwa itu. Ternyata, membuat WC juga anjuran Islam. Tak hanya berdoa bersama-sama dilanjutkan makan.
Sejak itu Joko mengikuti pengajian MTA. Menurutnya, kekompakan antar jamaah MTA cukup luar biasa. Antar jamaah tidak hanya tergabung dalam urusan pengajian tapi sampai soal makan pun antar jamaah MTA mesti saling peduli. Hal yang sama juga dirasakan Sarno. Pria asal Wonogiri itu juga menjelaskan bahwa solidaritas antar jamaah menjadi penekanan penting dalam MTA. Ia yang tergabung dalam Satgas MTA cukup sering bertugas di luar kota hingga berhari-hari. Padahal, kesehariannya adalah beternak kambing. Namun kambingnya tak pernah kelaparan karena tetangganya yang sesama jamaah MTA bersedia untuk memberi pakan tumpuan hidupnya itu. “Dari yang kecil-kecil itu, Islam indah kok,” ujarnya.

Komentar

  1. spiteng itu apa yud??
    bukannya septic-tank yak??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha... Iyo to?? bene, kui urusane editore.. Iki iseh mentahan as...

      Hapus
  2. Ya semoga allah slalu meridhoi jalannya da'wah majelis tafsir alquran (MTA)dan selalu tumbuh berkembang

    BalasHapus
  3. Ya semoga allah slalu meridhoi jalannya da'wah majelis tafsir alquran (MTA)dan selalu tumbuh berkembang

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram