student movement organization |
Paruh pertama dekade 1990, kondisi otoritarian
memuncak. Tetapi di sisi lain resistensi pers pun kian mengusiknya. Dalam tiga tahun pertama, 1990-1993, empat pers mahasiswa mengalami
pembredelan: Vokal IKIP PGRI Semarang pada 1992, Dialoque FISIP
Unair Surabaya pada 1993, Arena IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada
1993, dan Focus Equilibrium FE Universitas Udayana Bali pada 1993. Seiring dengan itu, tiga pers umum pun dibredel yaitu Tempo, Detik,
dan Editor pada 21 Juni 1994. Pada tahun yang sama dialami pula oleh Tabloid
Sarana Aspirasi Sastra (SAS) Fakultas Sastra Universitas Negeri
Jember, Majalah Kanaka Fakultas Sastra Udayana Bali, dan Isola Pos
IKIP Bandung.
Berawal dari sebuah seremonial pembukaan Penataran Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di IKIP PGRI Semarang, 31 September
1992. Sambutan ketua yayasan menyinggung soal terbitan Vokal yang berbau
politik. Bahkan, dia
mengancam akan mengundurkan diri jika penampilan Vokal masih tetap
demikian. Sambutan itu kemudian disambut keberatan oleh Rektor IKIP. Tentunya
tekanan dialamatkan kepada pihak yayasan. Yayasan mendapat teror akibat
pemberitaan Vokal yang mengangkat Golput. Karena waktu itu menjelang
Pemilu 1992. Diketahui bahwa ketua yayasan juga menjabat sebagai DPRD I Jawa
Tengah, dan pada Pemilu ini sebagai Calon Legislatif untuk DPR RI.
Hari itu juga Pembantu Rektor III mengadakan
rapat dengan mahasiswa yang dihadiri oleh Vokal, SMPT, dan UKM lainnya.
Hasilnya, sudah dapat ditebak, memutuskan Vokal ditarik dari peredaran.43 Akhirnya kasus ini selesai ketika disepakati
bahwa ketua yayasan dan ketua SMPT hilang dari struktur kepengurusan Vokal.
Berbeda dengan Vokal, Tabloid Dialoque terbitan Senat
Mahasiswa FISIP Unair Surabaya dibredel dan penanggung-jawabnya diancam skorsing.
Hal ini karena pihak dekanat mempersoalkan izin
terbitnya tabloid dari Senat tanpa diketahui oleh pihak rektorat. Meski
sebenarnya pihak dekanat telah mengetahui sebelumnya karena memang Senat telah
mengajukan permohonan.
Alasan ini yang dijadikan celah untuk menggulung
Dialoque. Sedangkan isi tabloid, menurut pengurusnya, sangat wajar
karena di dalam kuliah mereka diajari soal politik. “Kalau melarang, hancurin
aja mata kuliahnya,” kata Hartoko, ketua BPM Unair. Dialoque yang terbit perdana ini harus
berurusan juga dengan Polwiltabes Surabaya. Hal ini karena, menurut
Polwiltabes, Dialoque termasuk dalam selebaran gelap.44 Penanggungjawab Dialoque kemudian
sempat ditahan dan Ketua Senat FISIP Unair diskorsing melalui SK Rektor No.
649/PT.03.H/I/1993 tertanggal 25 Januari 1993.
Aksi solidaritas untuk Dialoque berdatangan. Selain oleh
Senat dan BPM (Badan Perwakilan
Mahasiswa) FISIP Unair sendiri, dukungan datang dari Yogyakarta. PPMY mengirim
surat protes kepada Mendikbud,45 Fuad
Hassan. Dan di Surabaya, Formasa (Forum Mahasiswa Surabaya) mengancam akan
menggelar aksi solidaritas lebih besar. Dukungan juga mengalir dari PMII,
Kelompok Studi Cakrawala Timur, Kelompok Mahasiswa Studi Pembangunan, Komite
Pembelaan Mahasiswa Surabaya, dan Kelompok Studi Gerbang. 46 Akhirnya perjuangan yang tidak sia-sia, Emil
Syarif Lahdji, penanggungjawab Dialoque, pun dilepaskan.47
Giliran Arena IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dibredel.48 Dengan mengangkat berita utama “Bisnis di
Kekuasaan” sebagai laporan utamanya, menghasilkan keluarnya SK Rektor No.
IN/I/R/PP.003/93 tertanggal 18 Mei 1993. Padahal sebelumnya pada tanggal 27
April 1993 telah dilayangkan surat No. IN/I/HM. 00/1341/93 yang intinya berisi
untuk merevisi berita laporan “Bisnis Keluarga Presiden,” tulisan Ali
Sadikin, dan wawancara dengan Adnan Buyung Nasution. Jika tidak dilakukan
revisi maka rektor tidak akan bertanggungjawab.
Surat peringatan tersebut juga ditembuskan ke Korem, Polwil, Kodim
dan Polresta. Kemudian
pengurus Arena meminta penjelasan terkait surat tersebut. Sampai pada
keempat kali permintaan tersebut diajukan, respon tetap nihil bahkan negatif.
Akhirnya rektor mengeluarkan SK pembredelan
tersebut dengan alasan bahwa Arena tidak memiliki STT yang legal pada
waktu itu, padahal Arena sudah mengantongi SIT sejak 1966. Namun menurut
pihak rektor, SIT tersebut sudah tidak berlaku lagi karena telah berganti
dengan STT. Alasan kedua, Arena tidak mencerminkan penerbitan khusus
namun lebih cenderung pada pers umum.
Yang jelas, sejak 1986, Arena telah
mengajukan permohonan STT kepada Deppen melalui rekomendasi rektor waktu itu
namun belum kunjung terbalas. Padahal secara periodik Arena telah
melaporkan penerbitannya dan mengisi IPK.49
Dampak dari pembredelan ini mengundang aksi
solidaritas tidak hanya dari pers mahasiswa tapi juga kelompok mahasiswa
lainnya. Selain PPMI (Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia), PPMY
(Perhimpunan Pers Mahasiswa Yogyakarta), FKPPM (Malang), FKPMS (Forum
Komunikasi Pers Mahasiswa Semarang), FKPMJ (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi)
dan sebagainya, juga organisasi internal semisal Senat Mahasiswa, UKM, dan
lainnya.
Puncaknya pada 2-14 Juni 1993 yang ditandai
dengan gelombang aksi yang terus berdatangan dari berbagai daerah: Jakarta,
Jawa Tengah, Bandung, Jombang, Salatiga, Surabaya, Malang, dan Jember. Sehingga
kemudian digelar rapat akbar yang bertajuk “Pembongkaran Represifitas dalam
Kampus”. Rapat akbar ini pun dikenal dengan Kongres Mahasiswa Indonesia. Aksi
terus dilakukan sampai rektor mencabut SK Pembredelan Arena. Namun pihak rektorat justru menyatakan SK pembredelan tersebut tidak
dapat dicabut.
Massa makin anarkis, menduduki kantor rektorat
dan memboikot ujian semester pada Senin itu, 13 Juni 1993. Akhirnya rektorat
bersedia berdialog. Tetapi sebelum itu terjadi ketegangan, lantas aparat
keamanan mendobrak dan menangkap 13 mahasiswa.
Kemudian pihak keamanan mendatangi pihak
rektorat untuk dipertemukan dengan pihak mahasiswa. Sedangkan pihak keamanan
melalui Kapolwil DIY sebagai mediator dan Deppen DIY sebagai saksinya. Hasilnya
sesuai dengan pemberitaan Majalah Pendapa edisi Nomor 19 tahun 199350 menyebutkan, dalam dialog hampir empat jam itu
disepakati bahwa Arena boleh terbit kembali setelah memiliki STT. Maka
pihak rektorat dalam dua bulan akan sepenuhnya membantu pengurusan STT.
Namun menurut Majalah Arena yang terbit tahun
1995,51 menyebutkan, Arena dapat terbit kembali
sembari meng-usahakan STT. Sedangkan pihak rektorat berjanji membantu
sepenuhnya kelancaran dalam mengurus STT tersebut.
Belum selesai di situ. Esoknya, pihak rektorat
mengadakan siaran pers yang menyatakan bahwa rektorat tidak pernah mencabut SK
pembredelan dan Arena tetap tidak boleh terbit sebelum memunyai STT. Bahkan rektorat mempersulit dengan membuat peraturan yang merubah
struktur kepengurusan Arena. Rektor sebagai ketua pengarah Arena,
dan PR III sebagai wakil ketua pengarahnya.
Demikian kasus Arena yang semakin
memanaskan gejolak mahasiswa. Di daerah lain terjadi pula hal serupa. Focus Equilibrium terbitan Fakultas Ekonomi
Universitas Udayana Bali pun bernasib sial. Bahkan kemudian kasus ini menjadi bahasan dalam
Kongres I PPMI. Hingga presidium mendapat mandat dari kongres melalui SK Kongres PPMI Nomor 10/TAP/Kongres I/PPMI/IX/1993 tentang
Rekomendasi Kebijakan Umum untuk segera membantu menyelesaikan kasus media ini.52
Kasus terus berlanjut. Tabloid SAS, Fakuktas Sastra
Universitas Jember, menjadi korban berikutnya. Edisi 42 Tahun V/1994,
khususnya halaman 12-13, yang memuat wawancara dengan Pramudya Ananta Toer:
“Bukan Hanya Buku, Popok pun Dirampas” membuat dekanat berang dan mengeluarkan
SK Dekan Nomor 1986/PT32.H4.FS/SK/0.13/1994.
Sebagai bentuk solidaritas, aktivis pers mahasiswa mengadakan aksi
massa dan surat pernyataan di Solo, menggugat kesewenangan birokrat kampus yang mengebiri pers
mahasiswa. Selain dari
Solo dan Jember, beberapa kota lain pun berdatangan seperti dari Yogyakarta,
Malang, Semarang, dan Surabaya.
Keputusan dekanat ini dibalas dengan pernyataan
Petisi Sepuluh November yang diharapkan mampu meredam keadaan, namun tidak
membawa hasil.53 Justru kemudian pengurus SAS periode
1993-1994 dipaksa ’cuci gudang’ hengkang dari kepengurusan.
Sebenarnya soal halaman 12-13 itu asumsi saja.
Bahkan yang lebih tegas adalah tajuk rencananya menyebutkan dan mencetak tebal
kata ’rezim otoriter’. Padahal SAS juga biasa memerahkan telinga
birokrasi kampus. Waktu itu alumni SAS juga turun, namun justru untuk
membantu dekanat.
“Ya biar semangat maksudnya. Karena sebelumnya
sangat akademis, sastra, budaya. Karena setiap generasi punya semangatnya
sendiri. Kan, tambahnya, tidak ada salahnya berwacana pergerakan itu. Lalu ya
dibredel itu, “ jelas Praminto.54
Keputusan ‘cuci gudang’ itu kebetulan hampir akhir
masa periode kepengurusan. Setelah pergantian struktur, nama pun ikut berubah,
dari SAS menjadi IDEAS. Persoalan selesai meski pengurus baru
juga agak dipersulit, seperti harus menyerahkan draf yang akan dicetak. Tidak
kalah pintar, Praminto memberikan draf lain, yang bukan akan dicetak.
Masih soal pemberitaan. Majalah Kanaka
terbitan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali yang dalam ulasan
utamanya mengangkat tema “Ketika Penguasa Digebuk Kritik” edisi Nomor
1/TH.IX/1994 pun bernasib serupa.
Jauh di barat pulau Jawa, Bandung yang dingin
pun ikut memanas. Isola Pos IKIP
Bandung tidak luput dari gejolak ancaman media, namun kali
ini dengan kasus yang berbeda. Laporan utamanya edisi 15/TH IV/1994,55 khususnya halaman XII, digugat oleh Senat Mahasiswa
(Fakultas Pendidikan Teknik dan Keguruan) FPTK IKIP Bandung. Hal ini karena
pihak senat tidak puas atas pemberitaan Ospek. Sehingga ketika sampai di
pembaca, berita laporan utamanya raib. Akhirnya, pengurus Isola Pos
memilih jalan damai, dengan bersedia menyobek halaman 12 dan tidak
memperkarakan perilaku pemukulan yang dilakukan oknum pengurus senat mahasiswa
FPTK terhadap salah seorang pengurus Isola Pos.56
Tahun 1995 pun tidak lepas dari pembredelan. Diantaranya adalah Majalah Aspirasi
Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jakarta dan pemimpin redaksinya
dipecat sebagai mahasiswa. Kemudian pembredelan halaman Majalah Indikator
FE Universitas Brawijaya Malang. Dan tidak diizinkan beredarnya Majalah
Invest oleh Rektor STIESIA Surabaya.
Tanggal 5 Desember 1995 Rektor UPN “Veteran”
Jakarta mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor SKEP/100/XII/1995 tentang
Tindakan terhadap Mahasiswa yang Melanggar Tata Tertib serta Disiplin Kampus.
Dalam SK tersebut Rektor memberikan sanksi akademik kepada Ali Nuryasin,
Pemimpin Redaksi Majalah Aspirasi. Sanksi berupa diberhentikan sebagai
mahasiswa UPN Veteran dan dilarang mengikuti kegiatan UKM (Unit Kegiatan
Mahasiswa).57 Bersamaan
dengan itu keluar pula pada hari yang sama SK Rektor nomor 101/XII/1995
yang membekukan kegiatan Lembaga Penerbitan Mahasiswa ASPIRASI.58
Keputusan Rektor ini dipicu oleh tulisan Ali
Nuryasin dalam rubrik Renungan yang berjudul “Kemerdekaan?” di Majalah
Aspirasi edisi 52/XI/Agustus/95 dinilai subversif dan menghasut mahasiswa
agar memusuhi pemerintah. Keputusan pemecatan merupakan hasil rapat senat
kampus pada 4 dan 6 Desember 1995, serta disepakati oleh Dephankam selaku Dewan
Pembinan UPN.
Pembantu Rektor III UPN Veteran Jakarta Wahyu
Slamet menekankan bahwa Majalah Aspirasi telah dimanfaatkan sebagai alat
penyaluran politik praktis dan berbahaya maka kampus menindaknya. “Jadi menurut
saya sudah sewajarnya jika kami menindak mahasiswa tersebut karena anak itu
dapat berbahaya bagi keamanan dan ketertiban kampus,” jelas Wahyu. 59
Solidaritas segera bermunculan. Forum Komunikasi
Pers Mahasiswa se-Jabotabek (FKPMJ)
segera merespon dengan Surat Terbuka tertanggal 7 Desember 1995 dan menyebarkan
informasi ke seluruh media massa umum dan majalah maha-siswa seluruh Indonesia
jika tidak segera dicabut keputusan tersebut.
Menurut inventarisir Aspirasi60 hal ini adalah akumulasi sikap kampus.
Sebelumnya Aspirasi edisi 47 juga menerbitkan artikel berjudul “Prediksi
94” tentang politik yang juga dipermasalahkan oleh Pembantu Rektor III UPN.
Disusul pada bulan Agustus 1995 pamflet keluaran Aspirasi yang dituduh
sebagai agitasi kepada pimpinan kampus. Isi pamflet tersebut menyebutkan bahwa
kampus bersifat otoriter.
Seperti tak sepi dari pembredelan, tahun 1996,
giliran Buletin Saksi Keadilan terbitan Sema Fakultas Hukum Universitas
Lampung (Unila) harus berhadapan dengan Departemen Penerangan Wilayah Lampung. SK bernomor 334A/pp-b/IV/1996 tertanggal 22 April 1996 pun keluar. Surat tersebut berisi perintah untuk melakukan penarikan
peredaran Buletin Saksi Keadilan edisi 2/April 1996 dan sekaligus
menghentikan aktivitas media tersebut. Alasan yang diberikan karena keputusan
Menteri Penerangan RI Nomor 01/PER/MENPEN/1975 pasal 4 yang mewajibkan media
mahasiswa memiliki STT.
PPMI dalam surat pernyataan sikap, tertanggal 10
Mei 1996, menyatakan bahwa keputusan Departemen Penerangan tersebut tidak
beralasan. Karena Buletin Saksi Keadilan, seperti halnya media mahasiswa
yang lain, tidak di bawah institusi Departemen Penerangan, sehingga tidak wajib
mengikuti instruksi tersebut.61
Kasus-kasus yang dialami oleh pers mahasiswa
kemudian tak terdeteksi secara pasti berapa media pers mahasiswa yang terkena
ancaman, pembredelan, dan jenis lainnya. Di beberapa daerah terdengar kabar
pembredelan, antara lain di Malang (Civitas Universitas Merdeka),
Semarang (Hayamwuruk Universitas Diponegoro), dan Surabaya (Arrisalah
Fakultas Dakwah IAIN Surabaya). Majalah Arrisalah edisi XXXII/Th.
XII/1997 mengangkat berita “Radikalisme Politik Indonesia”. Kasus-kasus itu
menunjukkan gejolak pers mahasiswa dan radikalisme pemberitaan yang memuncak
menjelang 1998.
Menjaga Sikap dan Orientasi
Secara terang PPMI tidak menyerukan gerakan
penggulingan rezim Orde Baru. Sebab PPMI
secara praktis tidak ingin terjebak dalam kepentingan politik tetapi
secara kritis sebagai wadah pers mahasiswa memberikan pemahaman bahwa melawan
penguasa yang dholim adalah bagian dari perjuangan. PPMI sebagai bagian
dari oposan dengan idealismenya akan terus mengawasi penyalahgunaan kekuasaan
dan melawan segala bentuk kesewenangan yang dilakukan oleh penguasa, karena hal
itu hanya akan menjadikan rakyat sebagai korbannya.
Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian dan
independensi PPMI sebagai wadah pers mahasiswa agar tidak terjebak pada
orientasi praktis. Setelah 1998, gerakan mahasiswa terpecah: ada yang merasakan
kemenangan maka euforia terjadi.62 Sedangkan
PPMI tetap konsisten terhadap wacana kritis sebagai pers mahasiswa, bahkan
memandang hal ini sebagai sandiwara, dan kecurigaan ini dipublikasikan kepada
gerakan mahasiswa. “Sebagai gerakan tentu emosi isu penggulingan sangat kuat,
namun apakah masyarakat siap dengan perubahan,” ujar Imun, panggilan Dwi
Muntaha.63
Jika gerakan mahasiswa yang berorientasi praktis
itu memiliki senior-senior yang berada di kekuasaan, maka gerakan mahasiswa
akan menjadi underbouw kepentingan tertentu. Akhirnya, jika ukurannya
kesadaran, maka gerakan 1998 itu menjadi kesadaran naif. Ketika terjadi
pergantian rezim, penguasa aktor lama bisa masuk lagi dengan pola-pola yang tak
berbeda.64
Banyaknya golongan yang menjadi agen percepatan
penggulingan Soeharto baik dari kalangan akademisi, praktisi politik, gerakan
sosial, media, dan sebagainya menjadi gerakan besar 1998. Sehingga yang
demikian itu sulit dibedakan antara kepentingan praktis dan gagasan independen
gerakan mahasiswa waktu itu.65 Sebelum
1998, pemerintahan Soeharto memang telah dinilai tidak efektif lagi dalam
menopang kepentingan global (kapitalisme). Gerakan untuk mempercepat
penggulingan bukan rahasia lagi. Suhu politik pun memanas. Di sisi lain, banyak
pula akademisi lulusan luar negeri yang bersentuhan langsung dengan mahasiswa
menghembuskan wacana tersebut.
Tidak disangka perubahan terjadi begitu cepat, Soeharto lengser dari presiden. Di
daerah-daerah sudah banyak terjadi tekanan gerakan yang dilakukan baik oleh
mahasiswa maupun masyarakat. Maka ketika isu itu dihembuskan segera menyebar
dan gerakan 1998 adalah klimaksnya. Akumulasi dari gejolak gerakan masyarakat,
mahasiswa, dan kepentingan-kepentingan politik tertentu sejak beberapa tahun
sebelumnya. Dari 1998 itu, ada yang diuntungkan, pun sebaliknya: ada yang dikorbankan. Ada kepentingan-kepentingan bermunculan yang
mengarah pada keinginan terhadap kekuasaan dan dominasi tertentu. Sehingga PPMI
waktu itu kecewa dengan berubahnya gerakan. “Kecewa itu jelas, tapi bukan
pesimis. Masih mungkin juga membangun gerakan yang memang substansial. Yang konsisten,” tegas Imun.66
Dalam Kongres III PPMI tahun 1997, PPMI berusaha untuk tetap konsisten
dalam mengawal perubahan. Wacana pembahasan kongres masih
meneguhkan fungsi pers mahasiswa sebagai media alternatif. “Yang pasti dalam
sebuah gerakan memerlukan konsistensi, mau menerima konsekuensi, berbesar hati
dan sadar diri,” ujar Eka, Sekjen PPMI yang terpilih dalam Kongres III itu.
Isu yang dibahas dalam kongres belum ada kaitannya dengan gerakan 1998, meski dipahami
bersama bahwa kondisi politik waktu itu merupakan akumulasi dari berbagai isu
daerah67,
kondisi ekonomi (krisis moneter), dan penguatan akar solidaritas pers mahasiswa
dan gerakan mahasiswa secara menyeluruh. Soal penggulingan Orba tidak ditulis
secara verbal dalam rekomendasi PPMI. Dalam kondisi yang demikian dinilai bahwa
melawan sebuah rezim otoriter adalah sebuah sikap dan nilai perjuangan pers
mahasiswa. Namun PPMI tidak menyerukan gerakan 1998 dalam penggulingan Orde
Baru.68 PPMI sebenarnya menawarkan format grass
root bagi pers mahasiswa saat itu, untuk melakukan suatu aliansi kekuatan
opini mahasiswa melalui pers mahasiswa.
Kongres III PPMI ini, seperti sebelum-sebelumnya, ‘menumpang’ Diklat
Lanjut Lembaga Pers Mahasiswa Solidaritas (lembaga perbitan tingkat
institut) IAIN Sunan Ampel Surabaya. Hal ini selain untuk menyiasati soal
pendanaan juga menyiasati agar agenda PPMI yang ketika itu termasuk dalam OTB
(Organisasi Tanpa Bentuk) bisa berjalan. Eka Satialaksmana terpilih menjadi Sekjen III PPMI
periode 1995-1997 setelah melewati proses pemilihan. “Awalnya ada dua calon,
yakni delegasi dari Lampung, namun saat pemilihan dia mundur. Jadi nggak
ada pilihan. Tapi sudah syukur, sudah ada yang mau,” terang Imun.69
Kesolidan kota dan LPM menjadi pertimbangan utama dalam memilih
seorang Sekjen, selain figur dan komitmennya. Karena keanggotaan PPMI adalah delegasi,
perwakilan dari LPM dan pengurus nasional adalah delegasi kota.
Sedangkan profil Eka waktu itu dipandang sebagai
orang baru dalam jaringan pers mahasiswa di PPMI. Perdebatan terjadi ketika Sekjen dilihat belum memahami organisasi ini. Dengan beratnya konsekuensi
dalam mengemban amanat kongres, akhirnya Eka mengundurkan diri delapan bulan kemudian karena
beberapa faktor yang
melatarbelakanginya.
Komentar
Posting Komentar