sekolah terabaikan |
Persoalan seputar dunia pendidikan memang
sangatlah kompleks. Hampir pada semua segi masalah dan kekurangan itu selalu
ada. Dari sisi yang sifatnya konseptual seperti penyusunan kurikulum,
pendidikan Indonesia dinilai tidak berakar pada kearifan lokal. Selanjutnya
dari sisi pemerataan akses pendidikian, kebijakan pendidikan yang lahir juga
seringkali diniali tak berpihak pada rasa keadilan masyarakat. Adanya
ketimpangan perlakuan antara lembaga pendidikan negeri dengan swasta
akhir-akhir ini adalah salah satu persoalan yang harus mendapat perhatian cukup
dari semua pihak.
Lembaga
pendidikan swasta telah ada jauh sebelum negara Indonesia ada. Organisasi
masyarakat seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Yayasan-yayasan Kristen,
Hindu, dan Budha, Tamansiswa, dan sebagainya telah menyelenggarakan pendidikan
jauh sebelum adanya istilah sekolah negeri. Namun demikian hari-hari ini
pendidikan yang dirintis oleh organisasi-organuisasi besar itu semakin
tersisih. Terdapat sejumlah kebijakan yang dirasa semakin menyesakan nafas
lembaga pendidikan swasta.
Kebijakan
kepegawaian yang menempatkan guru PNS hanya di sekolah negeri adalah salah satu
kebijakan yang dirasa semakin membebani sekolah swasta. Guru non-PNS mesti
mengabdi sebagai guru honorer di sekolah swasta terlebih dahulu. Kelak setelah
lolos menjadi PNS, guru bersangkutan mesti meninggalkan sekolah swasta. Kondisi
tersebut membuat sekolah swasta mesti mencari guru baru. Itu berarti sekolah
terkait mesti memulai dari nol dan harus terbebani tanggungan gaji bagi sang
guru.
Kebijakan
berikutnya adalah pembangunan sekolah negeri yang di banyak tempat tidak
direncanakan secara baik. Meski telah berdiri sekolah swasta pada suatu
wilayah, pemerintah tiba-tiba membanun sekolah negeri di wilayah yang sama.
Akibatnya, karena kalah segalanya, masyarakat lebih condong memilih sekolah negeri.
Sekolah swasta mesti gigit jari mendapati dari tahun-tahun muridnya semakin
berkurang bahkan habis.
Pemerintah
dengan sekolah negerinya barangkali akan beralasan bahwa semua kebijakan itu
adalah untuk kemajuan pendidikan. Namun alasan tersebut masih butuh pendalaman.
Harus dimengerti bahwa kemampuan negera dalam menyediakan akses pendidikan
tidak sebanding dengan jumlah anak usia sekolah seluruh Indonesia. Di pelosok
negeri masih banyak masyarakat pinggiran yang tak mampu mendapatkan akses
pendidikan secara semestinya. Anehnya, pendirian sekolah negeri baru sangat
gencar pada wilayah di Jawa yang kebetulan telah dijangkau sekolah swasta
seperti di Jogja.
Sekolah
swasta yang mengalami nasib tragis memang tak seluruhnya. Beberapa sekolah
swasta justru mampu menyelenggarakan pendidikan di atas standar minimal. Namun sekolah swasta
yang demikian jumlahnya cukup sedikit dan hanya terdapat di kota-kota besar.
Yang mampu mengakses sekolah tersebut juga hanya masyarakat kalangan atas.
Sementara di pinggiran, sekolah sawasta terus
saja terdesak oleh berbagai kebijakan dan keadaan. Padahal selama ini sekolah
swasta pinggiran menjadi tempat menuntut ilmu bagi peserta didik yang secara
angka akademis tak lolos masuk sekolah negeri. Merekapun sebagian besar adalah anak
dari keluarga tak mampu yang hampir mustahil mampu membayar “bangku cadangan”
di sekolah negeri. Membiarkan sekolah swasta pinggiran lunglai sama saja tengah
merenggut hak pendidikan anak-anak kurang beruntung dari keluarga tak mampu.
Nasib malang yang tengah dialami sekolah
swasta pinggiran tentu saja bukan semata kesalahan pemerintah dan negara.
Yayasan sebagai pengelola utama juga patut untuk dimintai pertanggungjawaban.
Sejumlah sekolah swasta yang tengah mati suri mengaku jika tak ada perhatian serius
dari yayasan. Yayasan lebih senang mengurusi sekolahnya yang berkibar ditengah
kota daripada melakukan pendampingan serius bagi sekolahnya di pingiran.
Yayasan
sepatutnya memperbaiki sistem dan kinerja pengelolaannya. Harus ada sebuah
pengelolaan terpadu antar sekolah dalam satu naungan yayasan. Kepaduan itu bisa
terwujud dari adanya subsidi silang antara sekolah yang sukses dengan yang
kurang beruntung. Yayasan juga bertanggungjawab untuk memastikan pejabat dan
manajemen sekolah sesuai standar. Harus ada pengarahan dan pendampingan kepada
kepala sekoalah beserta jajarannya.
Barangkali
benar kacang tidak boleh lupa dari kulitnya. Pun negara ini tidak boleh lupa
bahwa hampir semua pejuangnya adalah hasil didikan sekolah yang kini
dikategorikan sekolah swasta. Lebih dari semangat romantisme itu sekolah swasta
juga sangat berjasa dalam proses mencerdaskan bangsa. Nasib sekolah swasta
harus sederajat dengan dengan sekolah negeri agar hak semua warga negara akan
pendidika terjamin. Bukankah mereka yang menuntut ilmu di sekolah swasta juga
adalah anak Indonesia?
Komentar
Posting Komentar