ABSTRAKSI
Karya tulis ini berusaha memberikan alternatif solusi,
penulis mencoba menawarkan Filsafat sebagai sebuah kursus di jenjang pendidikan
SMP dan SMA sederajat. Filsafat yang dalam arti umum adalah ilmu yang digunakan
untuk menyebut berbagai pertanyaan yang muncul dalam pikiran manusia tentang
berbagai kesulitan yang dihadapinya, serta berusaha untuk menemukan solusi yang
tepat merupakan sebuah jawaban dari terpuruknya dunia pendidikan Indonesia .
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari karya tulis ini
adalah kursus Filsafat pada anak didik tingkat SMP dan SMA sederajat dapat
membantu anak didik yang sedang berada dalam fase operasional formal dan
pubertas tersebut dapat menanamkan nilai kebijaksanaan hidup. Anak didik mampu
mengetahui metode berpikir yang baik sehingga tidak mudah terjerumus pada
tindakan kekerasan. Sifat Filsafat yang memerlukan energi besar dalam berpikir
juga dapat menjadi wadah ekspresi energi anak didik yang sedang memuncak. Dengan
demikian kursus Filsafat bagi anak didik SMP dan SMA dapat mereduksi fenomena
kekerasan di dunia pendidikan sekaligus dapat sebagai pendukung anak didik
dalam menghadapi problematika hidup.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Filsafat yang dalam arti umum adalah ilmu yang
digunakan untuk menyebut berbagai pertanyaan yang muncul dalam pikiran manusia
tentang berbagai kesulitan yang dihadapinya, serta berusaha untuk menemukan
solusi yang tepat[1]
merupakan sebuah jawaban dari terpuruknya dunia pendidikan Indonesia .
Dengan tidak adanya ruang untuk berkembang menjadi
dewasa didalam proses pendidikan, secara alami anak didik akan mencari ruang
lain untuk mencapai kedewasaan tersebut. Sebagaimana aliran Konvergensi yang
berpendapat bahwa perkembangan anak tidak hanya ditentukan oleh pembawaannya
saja dan tidak hanya ditentukan oleh hasil kerjasama antara kedua faktor
tersebut (pembawaan dan lingkungan)[2].
Dengan berbagai kasus kekerasan tersebut mengindikasikan bahwa sistem
pendidikan di Indonesia
tidak cukup memiliki ruang bagi perkembangan kedewasaan anak didik. Anak didik
dengan semua kebutuhan untuk berkembang
kemudian bergabung dengan lingkungan yang menawarkan kekerasan sebagai media
perkembangan.
Berdasarkan ciri-ciri anak didik
pada usia operasional formal[3](>11
tahun) untuk meminimalisir potensi terjunnya anak didilk ke dalam kekerasan
harus ada sebuah materi pendidikan yang sifatnya tidak hanya dapat memenuhi media
anak didik dalam berkembang tetapi juga harus mampu menandaskan nilai-nilai
kebijaksanaan dalam memandang hidup. Nilai kebijaksanaan tersebut sangat
penting agar anak didik mampu memecahkan problematika kehidupan.
Filsafat sebagai sebuah ilmu yang menurut Phytagoras,
seorang Filsuf Yunani klasik, berasal dari dua kata Yunani, yaitu philo yang
berarti cinta dan shopia yang berarti bijaksana. Dalam arti lain
Filsafat atau philoshopia berarti cinta kebijaksanaan[4].
Walaupun masih banyak pengertian lain dari filsafat yang lebih mendalam,
berdasarkan arti tersebut dapat
disimpulkan bahwa nilai kebijaksanaan adalah nilai utama dari Filsafat.
Dengan berpatokan pada nilai
kebijaksanaan yang ditawarkan oleh Filsafat tersebut, penulis ingin memberikan
sebuah tawaran solusi yaitu mengadakan kursus Filsafat bagi anak didik pada
usia operasional formal atau jenjang SMP dan SMA atau sederajat.
Sebagaimana kita ketahui bahwa selama ini Filsafat hanya diberikan sebagai
kuliah umum pada tingkatan perguruan tinggi, meskipun ada pada tingkatan SMP
dan SMA bentuknya telah menjadi mata pelajaran umum seperti kewarganegaraan
yang lebih mementingkan tujuan pragmatis seperti cinta tanah air dan bela
negara. Dengan menjadikan Filsafat terpisah dan tidak dipelajari secara rinci dalam
mata pelajaran umum, esensi Filsafat yang mengutamakan kebijaksanaan tidak utuh
lagi.
Anak didik pada jenjang SMP dan SMA secara psikologis
telah mampu berpikir secara abstrak. Filsafat yang bersifat abstrak tentu dapat
masuk dalam pembelajaran anak didik SMP dan SMA. Filsafat yang dianggap sulit
juga merupakan sebuah potensi bagi pemberdayaan anak didik. Filsafat yang
mengajarkan untuk berfikir sampai pada titik “radix” atau akar-akarnya selain
sebagai bantuan bagi anak didik untuk berpikir kritis dan bijaksana, juga
merupakan sebuah penyaluran energi anak didik yang sedang memuncak di usia
tersebut.
1.2.Rumusan Masalah
Kekerasan di dunia pendidikan menjadi berita yang
pasti sering ditayangkan disetiap program berita televisi kita. Dari mulai
kekerasan guru terhadap murid, perkelahian antar geng, sampai pada demo
mahasiswa yang hampir bisa dipastikan selalu berujung pada aksi anarkis. Rating
pemberitaan kekerasan di dunia pendidikan tersebut hingga mampu mengalahkan
pemberitaan tentang kekerasan oleh para preman di setiap televisi. Pertanyaan
yang spontan dan ironis yang muncul adalah apakah sistem pendidikan Indonesia
telah bertanggung jawab terhadap degradasi moral tersebut.
Jika Langeveld berkeyakinan tujuan pendidikan tak lain dan tak bukan
adalah mencapai kedewasaan bagi anak didik[5],
kedewasaan adalah aktifet pendidikan yang terakhir, maka disitulah kekurangan
pendidikan Indonesia .
Pendidikan Indonesia
hanya memusatkan pada hal-hal praktis yang bermuara pada pragmatisme memandang
masalah. Bagaimana cara membuat anak didik berkembang secara baik dan mampu memecahkan
berbagai masalah hidup sangat kurang.
Kekerasan didunia pendidikan kebanyakan terjadi pada
tingkat SMP sampai pada perguruan tinggi atau dalam teori perkembangan terdapat
pada masa operasional formal (> 11 tahun). Masa di mana sebuah
individu memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
- Sifat hipotesis diduktif, kemampuan untuk melihat
segala kemungkinan dan membentuk sebuah hipotesis, anal telah mampu
berfikir yang oprasional.
- Sifat Kombinatoris, kemampuan untuk menegerjakan
sesuatu secara kombinatoris, metodis dan sistematis, perkembangan
intelektual, titik puncak, semua hal berikutnya adalah perluasan,
penerapan, dan penghalusan, pada taraf ini manusia mampu melepaskan diri
secara maksismal dari realiatas yang dapat diamati dan diraba secara
langsung. Masuk akal dalam dunia logis yang berlaku secara mutlak dan
universal, yaitu idealitas yang paling tinggi[6].
Pada masa yang juga sering disebut sebagai periode
pubertas tersebut muncullah sikap-sikap yang cenderung negatif sebagai akibat
dari perubahan hormonal. Sikap yang paling ketara adalah mekanisme pertahanan
ego. Ego merupakan komponen psikologis, mengikuti kenyataan dan tujuannya
adalah mencegah terjadinya ketegangan sampai ditemukanya obyek yang cocok untuk
pemuasan kebutuhan. Membedakan dunia batin dan di luarnya. Proses sekunder,
berfikir realis, sehingga dalam pemuasan kebutuhan ego akan menguji rencana ,
ia mengontrol semua fungsi kognitif dan intlektualnya (S. Freud,1856-1939).
Dengan kondisi ego yang telah berkembang seperti itu
tentu kebutuhan akan objek pemikiran yang abstrak semakin meningkat. Muncullah
berbagai pertanyaan-pertanyaan yang tidak mendapat pencerahan dalam mata
pelajaran sekolah baik IPA maupun IPS. Pertanyaan besar tentang “siapa aku?”,
“untuk apa hidupku?”, dan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar menjadi sebuah
kegelisahan yang terus-menerus.
Jika kita hubungkan dengan Filsafat, kasus tersebut
sama halnya saat Aristoteles mengumpamakan dirinya sebagai manusia goa yang
hanya tahu batu dan batu. Saat dirinya masih di goa, goa tersebut satu-satunya
keindahan baginya. Setelah dia keluar goa dia melihat berbagi keindahan lain.
Dia bertanya sebenarnya apa itu arti keutamaan. Setelah dia memahaminya dia kemudian mengukapakan bahwa “Dari akal
dan kehendak aku membangun sumber untuk mengethui dan memilih perbuatan utama”[7].
Dari kedua ilustrasi di atas kita menemukan korelasi yang jelas bahwa kebutuhan
untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang bersifat abstrak itu ada dan hanya lewat
penjelasan-penjelasan pikiran individu itu sendirilah jawaban tersebut dapat
memuaskan.
Realitas menunjukan bahwa pendidikan kita tidak mampu
menyediakan media bagi perkembangan siswa pada tataran tersebut. Akibat dari
tidak adanya media tersebutlah kemudian siswa mencari jawaban lewat hal-hal
yang bersifat negatif seperti kekerasan untuk memenuhi kegelisahannya.
Berawal dari kegelisahan tersebut kemudian menjadi
sikap dan perilaku yang sangat potensial memicu terjadinya kekerasan denagan individu
lain. Sikap dan perilaku tersebut adalah
inkoordinasi, Antagonisme, dan emosi yang meninggi (Alif Mu’arifah, 2008).
Pendidikan moral seperti Kewarganegaraan dan Agama
ternyata tidak cukup kuat untuk membendung sifat anak didik pada masa Formal
Oprasional tersebut. Kewarganegaran dan Agama memiliki kekurangan untuk masuk
pada ranah abstrak anak didik. Kedua mata pelajaran tersebut tidak memiliki
akses pada pembentukan pola kerangka berfikir anak didik dan hanya
mengedepankan pendidikan dogmatis dan pendoktrinan (Konrad Kebung, 2005). Sifat masa operasinal
formal awal yang idealis menuntut sebuah pendekatan yang bersifat abstrak
namun dapat dikorelasikan kedalam kehidupan sehari-hari.
Gagasan mengenai Filsafat pendidikan sebenarnya telah
ada. Hal tersebut masih terganjal pada masalah legislasi. Upaya mendorong
pemerintah untuk memberi isyarat akan pentingnya merumuskan filsafat pendidikan
yang bercorak Indonesia
sudah pernah menjelang sidang umum MPR 1993 (Kompas, 27 November 1992),
sebagai suatu sumbangan untuk bahan sidang tersebut. Namun GBHN 1993 sebagai
produk sidang tersebut tidak mencantumkan perlunya perumusan Filsafat. Itu
menunjukan kemauan politik pemerintah ke arah tersebut belum ada (Prof. Made
P,2000).
1.3.Uraian Singkat
Kursus Filsafat Sebagai Pendidikan Non Formal
Mengingat pentingnya Filasafat dalam dunia pendidikan
khususnya dalam mengatasi masalah kekerasan di dunia pendidikan Filsafat
seharusnya di masukan sebagai mata pelajaran di jenjang pendidikan formal.
Namun melihat realitas belum terdapatnya legitimasi legislasi kita bisa
memulainya melalui pendidikan non-formal dalam bentuk kursus Filsafat.
Sebagaimana
amanat UU No 20/2003 tentang sistem pendidikan
nasional pasal 26 bahwa pendidikan non-formal diselengarakan bagi warga
masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti,
penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung
pendidikan sepanjang hayat dengan menimbang kebutuhan tentang pendidikan
Filsafat maka kita bisa merintis kursus Filsafat tersebut.
Dalam
realisasinya kursus Filsafat sebagai pendidikan non formal harus dilaksanakan
secara teratur dengan sadar dilakukan tetapi tidak mengikuti
peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Mengingat jenis pendidikan non-formal
bermacam-macam tergantung pada obyek dan tujuannya, seperti 1. Pendidikan
kemasyarakat, 2. Pendidikan Rakyat, 3. Mass
Education, 3. Adult education, 4.
Extention Education, dan 7. Fundamental Education. Melihat kesesuaiannya
dengan kursus Filsafat maka kursus Filsafat termasuk Extention Education.
Extention Education adalah kegiatan
pendidikan yang di laksanakan di luar lingkungan sekolah biasa, diselenggarakan
oleh perguruan-perguruan tinggi untuk mengimbangi hasrat masyarakat yang ingin
menjadi peserta aktif dalam pergolakan zaman[8].Jenis
tersebut sesuai karena diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi di mana Filsafat
adalah bidang yang perlu kecermatan dalam mengajarkannya. Para
mahasiswa dianggap mampu untuk mengajarkannya. Selain itu, kekerasan di dunia
Pendidikan juga merupakan sebuah masalah yang terkait dengan pergolakan zaman.
1.4. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan karya ilmiah “KURSUS FILSAFAT
PADA JENJANG PENDIDIKAN MENENGAH SEBAGAI SOLUSI KEKERASAN DI DUNIA PENDIDIKAN”
adalah menemukan sebuah solusi yang efektif terhadap masalah-masalah di dunia pendidikan
yang semakin naik. Diharapkan dengan adanya tulisan ini dapat membuahkan tindak
lanjut yang akan diaplikasikan terhadap dunia Pendidikan., terutama kekerasan
yang selama ini merebak ke permukaan dalam dunia pendidikan.
1.5.Manfaat Penulisan
Dengan diadakannya kursus Filsafat secara terkonsep
dan teratur pada hasilnya akan menjadikan para pelajar memiliki kemampuan lebih
untuk memandang persoalan dan dinamika kehidupan secara bijaksana. Dengan kebijaksanaan
tersebut setiap masalah akan diselesaikan secara baik.
Kegelisahan yang secara psikologis dialami di masa operasional formal dapat diminimalisir
dengan adanya media untuk berpikir abstrak. Filsafat juga akan memberikan kesadaran
yang lebih tinggi tentang konsep dari setiap individu. Dengan pemahaman
mendalam tentang diri sendiri tersebut para anak didik akan mampu melihat
persoalan yang berkaitan dengan dirinya tidak selalu menonjolkan emosi.
Selain
tujuan utama kursus filsafat sebagai media untuk meminimalisir kekerasan di
dunia pendidikan, kursus tersebut juga akan memberikan dampak positif.
Nilai-nilai kebijaksanaan didalamnya sangat membantu dalam berbagai hal, mulai dari
masalah prestasi belajar sampai pada masalah yang bersifat personal.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
Sesunggguhnya
filsafat telah ada sejak manusia ada, tetapi keberadaannya tidak diakui secara
formal seperti filsafat sekarang. Sebab ia tidak digali, dihimpun dan
disistematikan menjadi suatu hasil pemikiran. Manusia semenjak mereka ada di
muka bumi dan hidup bermasyarakat sudah memiliki gambaran dan cita-cita yang
mereka kejar dalm hidupnya, baik secara individu maupun secara berkelompok, walaupun masih sangat sederhana.
Gambaran dan cita-cita itu makin lama makin berkembang sesuai dengan kebudayaan
mereka.[9]
Filsafat
dalam arti sekarang mulai dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Para
tokoh filsafat pada waktu itu adalah Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM)
dan Aristoteles (384-322 SM). Socrates mengajarkan bahwa manusia harus mencari
kebeenaran dan kebijaksanaan dengan cara berpikir secara dialektis. Plato
mengatakan kebenaran hanya ada di alam ide yang bisa diselami dengan akal,
sedang Aristoteles merupakan peletak dasar empirisme yaityu kebenaran harus
dicari melalui pengalaman panca indera.[10]
Filsafat
pendidikan yang cocok dengan alam dan budaya Indonesia belum terbentuk, yang ada
baru filsafat negara yaitu Pancasila, maka tidak banyak konsep pendidikan yang
bisa diturunkan. Memang benar adanya sejumlah filsafat pendidikan internasional
yang ada sudah tentu berdampak terhadap pendidikan, namun filsafat itu belum
tentu sesuai diterapkan di Indonesia .
Filsafat pendidikan Indonesia
perlu segera duwujudkan agar ilmu pendidikan bercorak indonesia lebih mudah dibentuk.
Kuinci terealisasinya sutu kejadian pada dewasa ini adalah pemerintah. Sebab
itu dibutuhkan kemauan pemerintah untuk menggerakkan kegiatan ini.[11]
BAB III
METODE
PENULISAN
Metode yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini
adalah studi pustaka, yaitu mengkaji informasi melalui sumber-sumber yang
tertulis untuk menguatkan berbagai gagasan yang muncul.
Data yang digunakan dalam analisis ialah data yang
terdapat dari sumber-smber tertulis, antara lain :
1. Filsafat Bahasa oleh Asep Ahmad Hidayat
2. Cepat Menguasai Filsafat oleh Dr. Fuad Farid Isma’il
dan Dr. Abdul Hamid Mutawalli
3. Filsafat Yang Mengelak oleh DR. john W. M. VerHaar SJ
4. Filsafat Manusia oleh Zainal Abidin
5. Pendidikan Sebagai Praktik Pembebasan oleh Prof. Dr.
Paulo Freire
6. Landasan Kependididkan oleh Prof. Dr. Made Pidarta
7. Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan oleh Tim Dosen
FIP-IKIP Malang
8. Pengantar Ilmu Pendidikan oleh Drs. HM. Hafi Anshari
9.
Handout Perkembangan
Peserta Didik oleh Dra. Alif Mu’arifah, S. Psi,M. Si.
BAB IV
ANALISIS DAN
SINTESIS
1.1. Analisis
Dari berbagai sumber data tertulis, penulis menemukan
beberapa permasalahan yang berkaitan dengan dunia pendidikan terutama mengenai
Filsafat.penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut kedalam sebuah
tulisan. Permasalahan tersebut antara lain maraknya kekerasan dan terjadinya
degradasi kualitas pendidikan yang terjadi di dunia pendidikan. Fakta tersebut
menunjukkan bahwa perlu adanya suatu solusi alternative untuk memecahkannya.
Kurangnya pengetahuan mengenai Filsafat dalam dunia pendidikan menyebabakan
anak didik hanya diberi doktrin-doktrin yang tidak mengembangkan pola pikir
anak didik tersebut untuk dapat berpikir secara kritis dan kreatif.
1.2. Sintesis
Pendidikan Filsafat memberikan pedoman bagi para anak
didik agar dapat berpikir secara sistematis dan memiliki gambaran tentang hidup
dan cita-cita. Filsafat menjadikan para pelajar memiliki kemampuan lebih untuk
memandang persoalan dan dinamika kehidupan secara bijaksana. Oleh karena itu
penulis yakin bahwa dengan adanya kursus Filsafat sangat membantu para anak
didik. Filsafat juga akan memberikan kesadaran yang lebih tinggi tentang konsep
dari setiap individu. Dengan pemahaman mendalam tentang diri sendiri tersebut
para anak didik akan mampu melihat persoalan yang berkaitan dengan dirinya
tidak selalu menonjolkan emosi.
SIMPULAN DAN
SARAN
1.1. Simpulan
Dari karya penulisan karya ilmiah ini, penulis dapat
menyimpulkan bahwa :
a.
Kursus Filsafat pada anak didik tingkat SMP dan SMA
atau sederajat dapat membantu anak didik yang sedang berada dalam fase operasional
formal dan pubertas tersebut dapat menanamkan nilai kebijaksanaan hidup
b.
Anak didik mampu mengetahui metode berpikir yang baik
sehingga tidak mudah terjerumus pada tindakan kekerasan.
c.
Sifat Filsafat yang memerlukan energi besar dalam berpikir
juga dapat menjadi wadah ekspresi energi anak didik yang sedang memuncak.
1.2. Saran
Penulis mengharapkan tulisan ini dapat terealisasikan
demi kemajuan system pendidikan di Indonesia . Dengan demikian kursus
Filsafat bagi anak didik SMP dan SMA dapat mereduksi fenomena kekerasan di
dunia pendidikan sekaligus dapat sebagai pendukung anak didik dalam menghadapi
problematika hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Hafi HM.1983. Pengantar Ilmu Pendididikan. Surabaya :
Usaha Nasional
Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa. Bandung :
Rosda
Ismail, Fuad Farid dan Abdul Hamid
Mutawalli.2005.Cepat Menguasai Ilmu Filsafat. Yogyakarta :
IRCiSoD. Terjemahan dari: Mabadi ‘al-Falsafah wa al-akhlaq
Mu’arifah, Alif. 2008. Handout Perkembangan Peserta Didik.Yogyakarta
Pidarta, Made. 2000. Landasan Kependidikan. Jakarta :
Rineka Cipta
Tim Dosen FIP-IKIP Malang . 1988. Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan. Surabaya : Usaha Nasional
[1] Wizarah al-Tarbiyah : 1978.
[2] Anshari,
HM hanafi, Pengantar Ilmu Pendidikan ( Surabaya , 1983), hlm. 83.
[3] Ciri-ciri :
Sifat Hipotesis diduktif ( kemampuan untuk melihat segala kemungkinan yang
membentuk sebuah hipotesis), Sifat Kombinatoris ( kemampuan untuk mengerjakan
sesuatu secara kombinatoris metodis dan sistematis)
[4] Ismail, Fu’ad
Farid dan Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat (Yogyakarta , 2005), hlm. 20.
[5]
Langeveld MJ, Pengantar Ilmu Pendidikan (Surabaya , 1983). Hlm.24.
[7]
Wizarah Al-Tarbiyah, 1978.
[8]
Anshari, Hafi, Pengantar Ilmu Pendidikan
(Surabaya ,1983),
hlm. 115.
[9]
Pidarta, Made. Landasan Kependidikan(Jakarta , 2000), hlm. 75.
[10]
Op.cit , hlm. 76.
[11]
Op.cit , hlm. 105.
Komentar
Posting Komentar