Perubahan situasi politik boleh saja
terjadi tapi semangat bergerak mestinya tak
boleh menyerah. Peran dan idealisme kadang memang tidak sejalan dengan gagasan dan kenyataan. Dalam catatan di atas
lika-liku pers mahasiswa pernah saja redup atau sebaliknya. Sederhananya bagi PPMI perubahan tidak
hanya dilakukan tetapi perlu pula dikawal sampai kapanpun. Tidak ada yang menghendaki pers mahasiswa tenggelam dalam perubahan. Harapan organisasi perhimpunan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) mestinya tegas beranjak dan berbenah
untuk mengakhiri kegamangan perubahan tersebut.
Sebagai wadah
atau perhimpunan, selain menghimpun melalui keanggotaan organisasi internal dan
memiliki posisi strategis untuk merangkul peranan gerakan mahasiswa yang lain. Bila PPMI menyadari dengan
cermat bahwa potensi posisi
strategis pers mahasiswa ini dapat dilakukan masif di berbagai kanal-kanal. Barangkali spirit dan orientasi
saja tidak cukup, gerakan perhimpunan perlu terus menjaga bara pers mahasiswa tidak padam. Keberpihakan, perlawanan, dan kemampuan pers mahasiswa bukan angan-angan diwujudkan, bukan
pula sekadar romantisme. Sedangkan bagi pers mahasiswa, media adalah ujung tombak gerakannya.
Membaca catatan
ini, entah siapapun dia
dan kacamata apapun yang digunakan, hanya generasi sekarang yang berhak menegaskan orientasi dan membuktikan peran pers mahasiswa. Persoalan orientasi bila merunut-cermati dinamika pers
mahasiswa, keberpihakan dan sikapnya sudah sangat cukup jelas. Maka tinggal
bagaimana generasi berikutnya bergerak. Oleh sebab itulah, catatan ini belum
selesai saat ini.
Sebuah pilihan yang lebih tepat disebut gila memang melanjutkan perhimpunan tanpa perangkat yang lengkap dan
mapan. Maka seperti satire jika
diperdengarkan, latah mengikuti wacana kehilangan orientasi.
Bila gagasan dan gerakan yang setengah-setengah dilakukan PPMI, maka bukan
tidak mungkin sejarah kembali berulang.
Pada dekade
1980, pers mahasiswa bergelut
dengan birokratisasi atau ideologi terstruktur, maupun hegemoni wacana
pembangunan oleh pemerintah. Awal dekade 1990, pers mahasiswa melawan diskursus ‘pers’ dan ‘penerbitan’.
Setelah runtuhnya era otoritarian (1998) pers mahasiswa berseteru dengan hal-hal amatir dan
sporadis gerakan. Berdebat soal pergeseran nilai gerakan dan perlawanan. Redup,
tidak jauh berbeda dengan awal dekade
1980. Tetapi spirit kritisisme pers mahasiswa seolah tetap bergejolak
meski masa telah berubah, periode dan generasi
berganti.
Tentu penulisan catatan ini, baik yang tercatat maupun yang berada di baliknya, menjadi awal sebuah langkah untuk bergerak dalam cara
dan posisi PPMI. Ada yang luput
bila pers mahasiswa mengabaikan ambiguitas nilai dan
kebimbangan generasi masa transisi. Maka ‘ini belum selesai’ dan mesti ditegaskan, begitu saja. Lantas, apakah
mampu perhimpunan bergerak dalam entitas yang
majemuk tanpa intervensi
apa dan siapapun?
Penutup Buku "Catatan yang Belum Selesai" By Moch. Fathoni: Mantan Koor. Litbangnas PPMI, alumni POROS UAD, Mahasiswa S2 Sastra UGM.
Komentar
Posting Komentar