today student - aliphatic |
Banyak yang mengkritik
PPMI sebab dianggap tidak responsif terhadap kondisi yang dihadapi pers
mahasiswa saat itu. Kongres V PPMI di Mataram 2000 setidaknya menjadi catatan,
secara umum pers mahasiswa ingin mencari format baru gerakan.
Kegairahan akan kesadaran
kebersamaan mulai tumbuh, setidaknya di Yogyakarta, tidak hanya PPMI, PPMY pun
ingin mensolidkan hubungan antar pers mahasiswa. Namun terbukti setiap kali
pertemuan disambut dingin dan tidak banyak yang hadir.15 Hal ini karena pers
mahasiswa larut dengan nasib dirinya sendiri untuk bertahan hidup. Persoalan pers maha-siswa yang bermunculan mulai
pendanaan, sumber daya manusia (SDM), manajemen organisasi, sampai birokrasi
kampus menjadi dimitoskan.
Format baru sebenarnya muncul ketika Kongres V yang menilai
ketidakberesan kinerja pengurus 1998-2000. Edi Sutopo sebagai Sekjen
menjadi objek justifikasi tidak berjalannya roda organisasi. Puncaknya ketika
pembahasan pandangan umum menyoal orientasi PPMI ke depan.
Kritikan terhadap PPMI menitikberatkan pada format organisasi yang
dianggap mandul dan tidak bermasa depan. Bentuk organisasi dinilai belum
sempurna. Terutama permasalahan dana yang tak pernah kelar. Alih-alih
menguntungkan, PPMI justru kerap menganggap sebagai program pemiskinan
mahasiswa indonesia. Tidak jarang para akitivis pers mahasiswa musti merogoh
koceknya untuk sekedar memutar roda kehidupan organisasi. PPMI terancam pecah.
Berbagai serangan dituduhkan kepada PPMI khususnya melihat dari LPJ Sekjen PPMI
periode 1998-2000.16
Dalam tulisannya, Lukman Hakim, Pemimpin Redaksi Balairung 1999,
menilai Sekjen bekerja sendirian (one man show).
Padahal menurut AD/ART PPMI seyogyanya sinergis dengan Sekjen
sebagai sebuah kekuatan struktural PPMI ternyata tak cukup mampu dan peduli
terhadap nasib PPMI sendiri. Menurutnya PPMI terlalu banyak keinginan,
sebagai-mana dalam misi organisasinya, terlalu banyak mimpi, sehingga satu pun
tidak ada yang terealisasi.
“Lalu, mengapa hanya Sekjen yang dimintai pertanggung-jawaban? Mengapa
yang lain tak dimintai pertanggung-jawaban? Di sini jelas: tak ada alasan yang
cukup kuat untuk memuarakan forum LPJ pada kata penerimaan ataupun penolakan?”
tulisnya.17
Jadi, jelasnya lagi, “Aku meminta
mereka untuk ‘sudahlah kita fokuskan’ ke satu atau dua hal, yang memang menjadi
konsentrasi dari pers mahasiswa. Misalnya mengelola manajemen komunikasi di
kampus. Kalau kita menerbitkan agar kemudian publik Indonesia secara khusus
membaca terbitan-terbitan pers mahasiswa sudah tidak zamannya, waktu itu,
apalagi sekarang.”18 Lukman memandang lebih baik melakukan hal-hal
kecil tapi yang dirasakan benar oleh mahasiswa, oleh orang-orang di sekitar
kita. Tidak terkungkung dengan mimpi-mimpi besar.
Bagian visi misi itu yang kemudian jadi bagian yang dikritik Lukman. Maka bagaimana kemudian pers mahasiswa mampu lebih membumi, tidak
mengawang-awang. Tidak bombastis. Jauh lebih memperbaiki kondisi internalnya
yang sebenarnya keropos. Tetapi
tanpa mengurangi kepedulian terhadap yang ada di
sekitar kita termasuk kondisi negara. Demikian sebenarnya reposisi yang
dimaksud Lukman.
Dalam pandangannya, sewaktu Kongres PPMI tidak berani melakukan pilihan.
“Kita ngelihatnya itu tidak sesuai dengan apa yang dikatakan dengan apa
yang dilakukan. Kalau nggak sesuai, kenapa harus tetap dipertahankan?
Gantilah orientasinya, gantilah taktiknya. Tidak membuai,” serunya.19
Tidak adil kiranya ketika menggugat, memaki dan mencaci sebab
membincangkan PPMI adalah mengata-ngatakan pers mahasiswa sendiri. PPMI
seolah-olah “sosok di luar sana” dan kita berhak menggugat dan memaki-makinya.20
Lukman mengkritik bahwa ada tiga sektor yang, harus diakui, sangat lemah pada
PPMI selama ini. Pertama, persoalan struktur dan mekanisme kerja organisasi; Kedua,
persoalan dana dan sarana; dan terakhir, persoalan SDM.
Padahal sebagai organisasi, susunan, aturan dan pengurusnya merupakan
kesatuan yang utuh dalam usaha mencapai tujuan. “Kalaupun kita sepakat bahwa
PPMI merupakan organisasi, akankah organisasi itu sudah bisa dikatakan
terorganisasir?” tanya Huda, Wakil Pemimpin Umum Pendapa UST.21
Huda mengkritik PPMI, sebagai organisasi tidak pernah mendata
anggotanya, tidak punya kantor yang jelas. Beberapa kasus tersebut, menurutnya,
adalah contoh kecil yang kemudian terakumulasi menjadi “insiden” walk out-nya
beberapa delegasi dari Yogyakarta, Bali dan Jawa Tengah saat Kongres V PPMI di
Mataram. Pekerjaan rumah buat PPMI segera menyikapi persoalan-persoalan yang
muncul di tubuh PPMI sendiri, dan tantangan terhadap upaya melemahkan organisasi
dari dalam maupun dari luar. “Jangankan suara-suara yang melemahkan,
suara-suara yang bertentangan saja kita tabrak, maksudnya, kita lawan. Kok
apalagi hanya melemahkan,” tegas Edi.
Pada tahun 2000 terbentuk pula Forum
Komunikasi Pers Mahasiswa Indonesia (Forkom Persma). Sebagai organisasi baru
bagi pers mahasiswa yang tidak puas dengan kinerja PPMI. Karena memang pers
mahasiswa selalu membutuhkan wadah. Forkom bersifat terbuka, dengan target
menjalin komunikasi antar pers mahasiswa se-Indonesia. Dengan berorientasi
dapat menyikapi permasalahan-permasalahan intern dari pers mahasiswa dan
masalah-masalah regional atau nasional yang sedang berkembang.22 Maka PPMI
sejak itu bukan lagi satu-satunya organisasi setingkat nasional yang mewadahi
pers mahasiswa Indonesia.
Pergeseran Orientasi Pers Mahasiswa
Ada dua hal yang menarik dicermati terkait orientasi gerakan mahasiswa.
Pertama, sebagai media, pers mahasiswa terkena dampak kondisi politik
Indonesia. Setelah tumbangnya rezim otoritarian, kebebasan pers seolah tanpa
batas. Pers umum yang semula tidak berani memberitakan hal-hal yang sensitif di
masa kepemerintahan Orde Baru kini jauh lebih berani. Euforia kebebasan ini
juga berdampak pada menjamurnya media-media umum. Banyak media baru yang
bermunculan pasca tumbangnya Soeharto.
Dalam kondisi demikian, posisi dan orientasi pers mahasiswa sebagai
media alternatif pun dievaluasi. Pengertian alternatif dalam konteks ini adalah
menunjuk pada sikap keberanian pers mahasiswa dalam memberitakan berita-berita
yang tidak berani diangkat media umum kala itu. Lantas apa lagi yang dikatakan
alternatif sekarang? Pertanyaan yang muncul masa itu. Jangankan membuat berita
kasus atau investigasi, menerbitkan media sendiri saja berkala: kala-kala
terbit, kala-kala tidak. Banyak faktor yang menyebabkannya, mulai dari soal SDM
sampai pendanaan.
Kedua, sebagai bagian dari gerakan mahasiswa, pers mahasiswa tak luput
dari dampak polarisasi dan segmentasi organisasi gerakan mahasiswa. Hubungan
antar organisasi gerakan mahasiswa tidak lagi harmonis seperti sebelum 1998.
Karena selain menilai musuh bersama gerakan mahasiswa sudah tidak ada lagi dan
menyebarnya wacana kekuasaan di daerah-daerah, banyaknya
kepentingan yang sulit untuk dicari jalan tengahnya.
Wilayah dan sasaran gerakan seperti menyempit, lahan garapan gerakan
mahasiswa hanya melingkar-lingkar di kampus saja: muncullah gerakan back to
campus.23 Gerakan mahasiswa seolah-olah bingung: apa yang dapat dilakukan
ketika rezim sudah tak lagi represif dan kebebasan terbuka luas? Perjuangan
sepertinya selesai dan saatnya kembali ke bangku kuliah.
Tidak heran jika mahasiswa pasca 1999-an lebih
akademis daripada memilih jalan gerakan. Pemerintah pun lihai memanfaatkan
kondisi ini. Gerakan mahasiswa dibuat sibuk dengan kondisi kampus. Tidak hanya
menceraikan mahasiswa dengan rakyat namun juga mengadu domba gerakan mahasiswa
dengan memperebutkan kader dan kekuasaan kursi pemerintahan mahasiswa (Badan
Eksekutif Mahasiswa atau Senat Mahasiswa). Pers mahasiswa yang cenderung oposan
dengan kekuasaan mengkritisi penguasa kampus, entah itu BEM atau Senat
Mahasiswa maupun birokrasi kampus. Sebenarnya, retaknya
hubungan pers mahasiswa dengan gerakan mahasiswa lainnya ini cukup ironis.
Mengingat misi dan idealisme mahasiswa, berpihak kepada yang tertindas dan
melawan terhadap kekuasaan.
Komentar
Posting Komentar