Langsung ke konten utama

Merangkai Indonesia dalam Bingkai Karang Taruna


logo HPMK dan MFC: gerakan pemberdayaan pemuda Desa Karanggedang

Kang Wardoyo adalah lajang usia 25-an yang menggantungkan hidup dengan membuat arang. Di pagi buta ia membuat bara untuk kemudian ia benam di tanah agar menjadi arang. Ketika matahari mulai muncul ia menjual arang yang telah jadi di pasar Pajangan, Bantul, Yogyakarta. Demikian rutinitas yang bisa membuatnya bisa bertahan hidup hingga kini.
Hitam pekat arang adalah filosofi hidup Kang Wardoyo: nasib hidupnya bisa saja kelam tapi layaknya bara arang, ia mesti bermanfaat bagi kehidupan banyak orang. Filosofi hidupnya itu ia coba wujudkan dengan menjadi anggota karang taruna. Ia mencoba berbakti sekaligus belajar pada masyarakat melalui Karang Taruna “Sejati”.

Karang Taruna Sejati adalah organisasi pemuda di Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Bantul, Yogyakarta. “Sejati” adalah singkatan dari Seta Jalanidhi Timur. Cukup panjang makna dari nama karang taruna tersebut. Ringkasnya, “Sejati” adalah bertemunya pemuda dari latar belakang beragam menjadi satu kekuatan yang mampu memberikan manfaat bagi masyarakat.
Anggota Karang Taruna Sejati datang dari latar belakang sosial-ekonomi yang berbeda-beda. Di organisasi ini Kang Wardoyo bekerjasama dengan penjaga minimarket, pelajar, hingga mahasiswa pascasarjana. Semua anggota memiliki komitmen bersama untuk memberdayakan masyarakat desa. Mereka telah dan sedang melaksanakan program-program sosial dan kepemudaan.
Program Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) menjadi salah satu program unggulan. Program PMKS lahir dari adanya keperihatinan ihwal timpangnya tingkat kehidupan masyarakat Desa Sendangsari. Masyarakat yang sejahtera ada tapi yang belum sejahtera ada lebih banyak lagi.
Program ini dimuali dengan pendataan masyarakat kurang sejahtera dan anak putus sekolah. Hampir tiap sore Kang Wardoyo bersama anggota lainnya berkunjung sekaligus melakukan wawancara pada tiap Dukuh (kepala dusun) untuk mengetahui tingkat kesejahteraan warga. Jika jawaban Pak Dukuh kurang memuaskan, mereka terpaksa harus mengunjungi langsung ke-2.648 kepala keluarga di Desa Sendangsari secar bergilir.
Wawancara mengacu pada indikator kesejahteraan dari Dinas Sosial DIY. Warga yang tergolong kurang mampu dan anak putus sekolah didata. Data itu lantas masuk dalam proposal yang kemudian diajuakan ke beberapa instansi dan lembaga donor. Warga desa yang tergolong mampu juga mendapat proposal tersebut.
Sampai saat ini program tersebut mampu mempertemukan masyarakat kurang sejahtera dengan para donatur. Bentuk bantuan sebagian besar adalah bantuan modal. Bagi anak putus sekolah, Dinas Sosial memberikan pendidikan keterampilan gratis di balai pelatihan milik Dinsos DIY. Setelah bantuan tersampaikan, karang taruna tetap mendampingin warga dengan mengadakan sejumlah pelatihan pertanian, peternakan, hingga kewirausahaan. 
Karang Taruna Sejati juga berhasil mengumpulakan aktivis karang taruna seluruh Indonesia. Lewat Jambore Nasional Karang Taruna  November 2010 silam, perwakilan pemuda dari 33 profinsi bisa berkumpul. Selama sebulan mereka saling tukar pikiran dan membahas langkah karang taruna kedepan. Beberapa daerah masih aktif menjalin komunikasi dan sebagiannya tak diketahui lagi kabarnya.
Kisah Kang Wardoyo bersama Karang Taruna Sejati menjadi oase di hamaparan apatisme dan pesimisme. Karang taruna berhasil menyatukan seorang pembuat arang dengan seorang magister untuk bersama memberdayakan masyarakat. Karang Taruna juga membuat Kang Wardoyo tak hanya bergaul dengan Paijo atau Sidiq tapi juga si Ucok, Made, Paulus, bahkan Numberi - sebuah praktik nyata Bhinneka Tunggal Ika. Harus ada usaha menggemakan kembali karang taruna sebagai gerakan untuk kemajuan Indonesia.    
Karang Taruna, Development based Community, dan Nasionalisme
Tidak meratanya kesejahteraan di Desa Sendangsari mewakili kesenjangan ekonomi yang terjadi di Indonesia. Kekayaan alam yang melimpah di negeri ini tak jua membuat sebagian besar rakyatnya segera sejahtera. Jalan ekonomi yang diambil hanya memperkaya sebagaian kecil dan menyengsarakan sebagian besar lainnya. Kesenjangan itu membuat rasa Kebhinekaan kita goyah. Konflik horizontal dan vertikal yang berkecamuk akhir-akhir ini adalah gejala bahwa rasa keadilan sebagai sesama anak bangsa tengah terkoyak.
Namun, solusi tidak akan datang tatkala semuanya hanya banyak bicara, saling menyalahkan, dan merasa paling benar. Semua mesti melakukan gerakan perubahan dari hal yang kecil, dari diri sendiri, dan saat ini juga untuk kepentingan bersama. Karang taruna memiliki kemampuan dan modal yang cukup sebagai ujung tombak gerakan perubahan tersebut.
Karang taruna merupakan organisasi kepemudaan yang hadir hingga tingkatan desa/kelurahan. Dalam satu desa/kelurahan, karang taruna juga terdiri dari sub-sub pada tingkatan dusun. Oleh karena itu organisasi ini sangat dekat dan menjadi bagian masyarakat itu sendiri. Karakateristik sosial dan kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat cukup baik dipahami oleh karang taruna. Pengetahuan menganai masyarakat tersebut adalah modal fundamental sebuah program pemberedayaan.     
Cakupan karang taruna yang berbasis di desa/kelurahan manjadi faktor penting dalam pemetaan potensi sosial maupun ekonomi. Pengetahuan mengenai potensi masyarakat adalah hal penting dalam perencanaan langkah-langkah pemberdayaan. Hal ini seperti apa yang dilaksanakan oleh Karang Taruna Sejati yang dengan pemahaman tentang tingkat ekonomi masyarakatnya mereka lantas mencetuskan program PMKS. Pengetahuan tentang potensi ekonomi lantas mereka tindaklanjuti dengan mengadakan pelatihan pertanian, peternakan, dan kewirausahaan.
Usaha yang dilaksanakan oleh Karang Taruna Sejati bisa digolongkan sebagai gerakan pemberdayaan berbasis komunitas (development based community). Gerakan pemberdayaan ini bersifat otonom sesuai dengan karakteristik dan potensi masing-masing masyarakat pada semua wilayah. Peran karang taruna dalam konsesp ini adalah sebagai fasilitator dan koordinator.
Konsep pemberdayaan berbasis komunitas berbeda dengan konsep kelompok usaha atau semacamnya yang terfokus pada peningkatan nilai dan tingkat produksi saja.  Dalam konsep pemberdayaan berbasis komunitas, capaian yang ingin diraih bukan hanya kuantitas pertumbuhan ekonomi tapi juga pemerataannya. Pemberdayaan berbasis komunitas adalah untuk menjaga agar sumber dan potensi ekonomi pada satu wilayah bisa dinikamati oleh semua anggota masyarakat wilayah tersebut.   
Dalam contoh Karang Taruna Sejati ditunjukan dengan adanya pemberdayaan ekonomi berbentuk bantuan modal dan pendampingan berupa pelatihan sesuai potensi setempat. Namun di sisi lain tetap ada program PMKS sebagai sarana bagi adanya aliran sumber dan modal ekonomi di dalam masyarakat. Kondisi tersebut menciptakan sebuah sistematika ekonomi diamana masyarakat yang sejahtera tetap bisa membantu masyarakat lain untuk meningkatkan tigkat kehidupannya secara mandiri. Disebut mandiri karena bantuan yang diberikan berbentuk modal dan keterampilan yang mendapat pendampingan dari karang taruna.
Sistematika ekonomi tersebut tidak hanya berkutat pada logika ekonomi tapi juga menyentuh aspek sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu program pemberdayaan berbasis komunitas ini bisa memanfaatkan hubungan sosial masyarakat sebagai dorongan dalam mensukseskan program. Pemahaman karang taruna terhadap kearifan lokal yang hidup dalam masyarakatnya juga menentukan keberhasilan program. Kearifan lokal seperti gugur gunung atau gotongroyong atau istilah lain dapat digunakan sebagai pijakan program pemberdayaan.
Pemberdayaan berbasis komunitas ini bisa dikembangkan hingga lingkup nasional. Ini karena karang taruna secara struktur berada dalam koordinasi Kementrian Sosial. Keberadaan karang taruna disahkan dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonsia No : 77 / HUK / 2010. Artinya, jika saja ada semacam kebijakan atau minimal himbauan resmi agar seluruh karang taruna melakukan program pemberdayaan berbasis komuntas maka program ini berpotensi hadir di seluruh nusantara.
Dalam Peraturan Menteri tersebut juga disebutkan bahwa karang taruna terdapat dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga nasional. Struktur yang kuat itu bisa membuat koordinasi dan sosialisasi mengenai program pemberdayaan bisa lebih efektif. Legitimasi pemerintah pusat dan daerah akan membantu program pemberdayaan bisa diterima masyarakat. Program juga akan bisa disesuakan dengan program pemerintah agar bisa saling mendukung.   
Meski terdapat di berbagai pelosok negeri, secara hirarkis karang taruna tetap memiliki induk di tingkat nasional. Komunikasi dalam rangka penyelerasan program pemberdayaan masing-masing daerah akan berjalan lebih efektif. Spesialiasasi pemberdayaan bisa dilakukan dengan pembacaan potensi masing-masing masyarakat. Forum komunikasi itu juga memungkinkan karang taruna bisa saling membantu dalam mensukseskan program pemberdayaan.  
Lebih dari itu, komunikasi seluruh karang taruna se-Indonesia sangat mendorong tegaknya Bhinneka Tunggal Ika. Karang taruna bisa mengikis fanatisme kedaerahan yang akhir-akhir ini bangkit dan salah satunya disebabkan tumbuhnya organisasi kedaerahan yang eksklusif. Karang taruna paling tidak bisa mewadahi keinginan pemuda untuk berserikat tanpa harus mengikuti organisasi yang anti nasionalisme. Jambore Nasional Karang Taruna yang dimotori oleh Karang Taruna Sejati adalah suatu bukti potensi karang taruna sebagai perekat nasionalisme pemuda.
Ketika karang taruna di pelosok negeri bisa berkembang sehat dan mampu melaksanakan program pemberdayaan maka kualitas hidup masyarakat juga meningkat. Dengan itu rasa keadilan pun tumbuh dan Kebhinekaan dapat diwujudkan. Secara bertahap usaha itu akan membawa bangsa Indonesia ke keadaan yang lebih baik.     
Top–down dan Bottom–up
Usaha menjadikan karang taruna sebagai ujung tombak gerakan pemberdayaan masyarakat membutuhkan dukungan seluruh pihak. Mesti diakui perhatian pemerintah terhadap potensi karang taruna masih sangat kurang. Pemerintah mesti memulai usaha menggemakan kembali karang taruna.
Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Sosial mesti merancang SOP (Standar Operating System) karang taruna. SOP tersebut membahas program-program pemberdayaan apa saja yang relevan dilaksanakan karang taruna. Dari soal perencanaan, pelaksanaan, hingga standar pencapaian program mesti ditentukan acuannya. Sistem koordinasi antar karang taruna secara vertikal maupun horizontal juga mesti diatur dalam SOP tersebut. Usaha yang tergolong top–down ini juga mesti melibatkan pemerintah provinsi hingga desa/kelurahan untuk memiliki komitmen bersama dalam mengembangkan karang taruna. Pemerintah juga wajib memberikan fasilitas yang memadai bagi seluruh karang taruna.
Secara bottom–up, masyarakat terutama pemuda dituntut memiliki kesadaran lebih untuk menghidupakan karang taruna. Secara formal semua desa/kelurahan memiliki karang taruna dibawah naungan Kaur Kesra. Artinya secara otomatis kita sebagai pemuda adalah bagian dari karang taruna. Kita bisa berbuat sesuatu bagi Indonesia dari hal yang kecil, dari diri sendiri, dan saat ini juga dengan melakukan usaha pemberdayaan bersama karang taruna.
Usaha itu bisa dimulai dengan mengaktifkan kembali kepengurusan karang taruna di wilayah kita masing-masing. Setelah itu mulai dilakukan penjajakan program pemberdayaan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. Program itu dimulai dengan yang ringan seperti kerja bakti, pendirian taman bacaan, atau kelompok belajar. Setelah dirasa mampu, kita bisa melangkah untuk merancang program pemberdayaan berbasis komunitas. Secara bertahap kita juga membuka jaringan dengan karang taruna dari lain desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi, bahkan dalam lingkup nasional. Jaringan akan membuat kita menganal kawan-kawan pemuda dari wilayah, suku, dan agama yang berbeda.
Mulai dari lingkungan sekitar kita bisa berbuat untuk Indonesia. Dengan apa yang kita bisa, yang kita mampu, kita bisa membantu Indonesia untuk lebih maju dan sejahtera. Sperti filosofi “arang” Kang Wardoyo, kita mesti mau berjuang untuk kepentingan orang banyak tanpa harus meilihat siapa kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram...

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.