“Jati Diri Pers Mahasiswa sebagai Kontrol Sosial dan
Agen Perubahan” adalah tema yang dipilih Kongres V PPMI tahun 2000 di Mataram.
26 Tema tersebut dimaksudkan agar pers mahasiswa selain menyikapi konstelasi
politik nasional juga berusaha menyelesaikan problem internal yang belum usai.
Di satu sisi, idealisme dan fungsi pers mahasiswa yang
melekat tidak bisa begitu saja dilepaskan karena itu sebagai ruh perjuangan
pers mahasiswa. Fungsi konrol sosial pers mahasiswa tentu menempati posisi
prioritas jika dibandingkan dengan fungsi pendidikan, informasi apalagi sekedar
hiburan. Maka sangat aneh bila pers mahasiswa merasa kehilangan nyali dan isu
di tengah hiruk-pikuknya problem riil berbagai bidang kehidupan dalam
masyarakat. Pers mahasiswa mestinya dapat menyediakan
alternatif bacaan yang sehat. Artinya bacaan itu harus jujur, objektif dan
benar. Jangan biarkan rakyat memeroleh informasi seadanya dari pers umum yang
sudah terkontaminasi dengan kepentingan ideologis pasar media. Bacaan yang
jujur dan membebaskan akan merangsang dialog wacana sehingga berpengaruh
positif bagi proses demokratisasi.
Sebuah
tantangan bagi pers mahasiswa untuk sejauhmana merefleksikan fenomena-fenomena
sosial politik sehingga mampu diformulasikan pada program-program aksi
kerakyatan-kemasyarakatan. Hal ini sekiranya sebagai upaya menjawab pertanyaan;
di mana letak kepedulian sosial dan daya kritis mahasiswa?
Di sisi
lain, pencarian jati diri dan format yang tepat belum kunjung terjawab. Usia
yang masih cukup muda dan kurangnya SDM sepertinya bukanlah alasan utama untuk
terus berbenah, tetapi yang lebih subtantif lagi adalah menemukan format
organisasi yang tidak berorientasi praktis namun mampu mendorong pencapaian
serta penguatan organisasi. Landasan substansial perhimpunan untuk menjalin
konsolidasi tidak mungkin tercakup dalam angka-angka atau penyeder-hanaan yang
praktis. Solidaritas anggota dan potensi pem-bangunan wacana pers mahasiswa
dalam perhimpunan sepertinya menjadi basis yang perlu dibicarakan. Pemahaman
utuh tentang fungsi-fungsi jaringan media, dan sikap pers mahasiswa sendiri
dalam mengawal fenomena sosial politik yang berkembang. Tidak reaktif atau
sporadis. Pendekatan kritis harus diproritaskan daripada instingtif atau
spekulatif.
PPMI yang
terdiri dari pers mahasiswa se-Indonesia adalah sebuah kekayaan tersendiri.
Pemaksimalan potensi tersebut akan memperkaya khasanah wacana aktivis pers
mahasiswa dengan sarana konsolidasi organisasi, bahkan menjadi kekuatan
pendorong proses-proses gerakan mahasiswa. Beban historis dan romantisme heroik
bukan pertimbangan utama dalam upaya konsolidasi pers mahasiswa. Setiap
generasi punya masanya sendiri. Jelas berbeda konteks pers mahasiswa hari ini
dengan kemarin, apalagi besok.
Syaratnya
adalah organisasi yang solid. Bagaimanapun bentuk dan strukturnya, kebersamaan
adalah kuncinya. Melihat struktur pada tahun 1998-2000 ini terdiri atas Sekjen,
Presidium Wilayah (Preswil), Dewan Kota (DK), lalu pers mahasiswa sebagai
anggota. Akan tetapi tidak adanya kekuasaan lebih pada Sekjen berupa garis instruksi ke bawah membuat kewenangan
melakukan koordinasi berkaitan dengan program kerja, lebih-lebih penyikapan
terhadap fenomena aktual, menjadi agak terhambat. Sedangkan organisai butuh staffing
untuk melakukan controlling dan aktualisasi kerja-kerja.
Tanggungjawab
yang sangat sentralistik pada Sekjen setidaknya berdampak pada dua hal.27 Pertama,
lemahnya pengawasan terhadap Sekjen berpotensi terhadap penyalah-gunaan wewenang dan
jabatan. Kedua, dengan minimnya kekuatan
sumberdaya organisasi akibatnya sangat minim koordinasi dan pelaksanaan program
kerja. Perlu dipikirkan kewenangan instruktif Sekjen kepada Presidium Wilayah,
Dewan Kota dan pers mahasiswa supaya pola koordinasinya lebih jelas.
Jaringan Kerja Organisasi (JKO) hasil Kongres IV
Jombang awalnya diharapkan dapat memfasilitasi hambatan tanggungjawab personal
itu, namun demikian dalam perjalanan selanjutnya JKO tidak bekerja secara
maksimal dan fungsi riilnya sering dipertanyakan. Pertama, karena overlapping
kerja dengan Presidium Wilayah dan Dewan Kota. Kedua, sangat sedikit person
yang bersedia duduk di JKO dan mampu melakukan aktivitas atas nama pribadi
untuk kerja-kerja PPMI. Beberapa individu yang intensif
melakukan kerja-kerja JKO lebih disebabkan tanggungjawab pribadi dan
kedekatannya dengan Sekjen, sehingga fungsi JKO tidak
sesuai dengan yang diharapkan.
Menurut Rudi Astriyono, salah satu peserta Kongres IV
asal Jember, JKO hanya buang-buang bahasa saja. Karena sebenarnya secara kultur
sudah melakukan jaringan kerja organisasi. Selain itu, karena rekomendasi
Kongres IV di Jombang, maka ketika Mukernas 1999 di Bandung JKO dipahami
sebagai sebuah mekanisme yang harus coba dilakukan untuk PPMI nasional.28
Sedikit kembali ke belakang, Pra-Mukernas di
Yogyakarta pada tanggal 17-18 April 1999 di Wisma Barek IKIP Yogyakarta yang
diikuti oleh 73 peserta menghasilkan materi Mukernas II Bandung.29 Materi
Mukernas berupa materi stressing dari draf Program Kerja, draf Kode Etik
Jurnalistik PPMI, dan draft Jaringan Kerja Organisasi (JKO).
Seminggu setelah itu, pada 25-26 April 1999,
diselenggarakan Mukernas II PPMI di IKIP Bandung bertema “Menatap Masa Depan
Pers Mahasiswa dalam Kebebasan Pers.” Mukernas yang diikuti 123 peserta lebih
ini lalu membentuk 5 komisi, yaitu: Komisi A membahas program kerja, Komisi B
membahas JKO, Komisi C membahas Advokasi dan Kode Etik, Komisi D membahas
kurikulum Diklat, Komisi E membahas Tabloid Merah Putih.30
Setelah pembahasan program kerja, Merah Putih, JKO,
dan advokasi selesai, forum menugaskan kepada Sekjen untuk menindaklanjuti
pembahasan kurikulum dan kode etik jurnalistik di lain forum, karena butuh
konsentrasi pembahasan lebih mendalam. Selanjutnya diagendakan pertemuan untuk
membahas dua hal tersebut di beberapa tempat yang menjadi alternatif yaitu
Surabaya, Malang, Purwokerto dan Palembang.
Akhirnya acara itu dilaksanakan di Palembang, IAIN
Raden Fatah Sumatera Selatan. Jadilah Lokakarya Nasional Kode Etik dan
Kurikulum Diklat Pers Mahasiswa PPMI pada 7-8 Agustus 1999. Lokakarya ini
diikuti oleh 50 aktivis pers mahasiswa dengan tema “Menguatkan Basis Moral,
Memantapkan Sistem Pengkaderan dan Meningkatkan Profesionalisme Pers Mahasiswa
menuju Demokrasi Sejati”.31
Pembahasan kode etik dan kurikulum Diklat tepatnya
berlangsung di Pusdiklat Pemda Bukit Siguntang. Dengan berangkat dari perbedaan
visi dan misi dari berbagai pihak yang ada dalam masyarakat, termasuk di
dalamnya pers mahasiswa, yang merupakan pers alternatif, maka sangat penting
untuk menyatukan pandangan terutama berkaitan dengan hal kode etik dan
kurikulum pelatihan jurnalistik. Hasilnya rumusan resmi Kode Etik Jurnalistik
PPMI ini kemudian dikembangkan hingga Kongres VI PPMI 2002 di Malang.
Berikutnya Dies Natalis PPMI ke VII di Wisma Warsiki
Sanur Bali pada 4-6 Desember 1999.32 Beranjak dari kebutuhan organisasi akan
konsolidasi serta transformasi antar generasi dan antar sejarah dengan harapan
dapat menjalin kembali rasa kebersamaan dan solidaritas sosial.
Kesempatan itu sekaligus digunakan untuk merekatkan
kembali silaturahmi dengan pers mahasiswa di Bali
yang sempat non aktif sepanjang 1998-1999.33 Momen Dies Natalis ini
dimanfaatkan untuk konsolidasi. Pembahasan diantaranya soal gagasan JKO,
jaringan dengan alumni PPMI, iuran wajib PPMI, tabloid Merah-Putih dan advokasi
Sa’datul Fitriya yang meninggal pada September 1999. Karena belum dapat
dipastikan soal meninggalnya aktivis pers mahasiswa dari Teknokra Universitas
Lampung ini, maka forum kemudian menyepakati dibentuknya tim pencari fakta
sebagai advokasi terhadap Fitriya.34
Gagasan menjalin alumni pers mahasiswa pada Dies
Natalis ini salah satunya, karena kehadiran Rommy Fibri, Asep Wahyu, Alumni
PPMI Bali, dan tokoh-tokoh generasi pertama PPMI lainnya. Namun akhirnya forum belum kunjung terbentuk. Banyak
faktor dan perdebatan yang muncul. Yang jelas kesiapan dan kebutuhan organisasi
menjadi alasan utamanya. Sedangkan keinginan untuk membuat Pusat Dokumentasi
dan Komunikasi dunia pers mahasiswa semakin membulat ketika ada tawaran dari detik.com
dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk menyelenggarakan Kampus Online.
Tawaran kerjasama berikutnya,
yakni dari kampuskita.com yang melayani jasa dokumentasi, komunikasi,
dan sosialisasi. Di akhir periode ini juga ditawari koleksi majalah dan tabloid
pers mahasiswa oleh beberapa alumni PPMI. Lagi-lagi ketika periode berakhir
maka berakhir pula rencana-rencana dan keinginan itu, padahal program belum
selesai dan belum pula ada transformasi ke pengurus berikutnya. Sehingga ketika
periode baru dimulai, agenda kerja pun dari awal lagi.
Di akhir periode, Edi Sutopo menjelaskan, untuk
mencapai tujuan dibutuhkan model organisasi yang solid, hubungan yang kuat
antar anggota menjadi modal besar dalam menjawab kebutuhan PPMI. Tentu saja hal
ini dengan tidak mengabaikan atribut seperti karakter, kesiapan dan esensi.35
Pertama, Karakter. Organisasi ini dipenuhi balutan
kultur, apakah itu dalam kerangka aktivis mahasiswa, ataupun aktivis pers
amatiran sehingga idealisme yang dikedepankan tidak jauh dari situ,
berputar-putar dan marak dengan wacana, gagasan atau konsep meledak-ledak.
Karakter ini sangat kuat mendominasi dan saya yakin kita semua tahu.
Kecenderungan inilah yang membuat kita kadang-kadang spekulatif.
Kesiapan, untuk dapat mempertahankan kondisi ini saja
sudah bagus. Kita perlu memaklumi pada tingkatan kerangka yang bersifat teknis
organisatoris, bahwa PPMI sangat rapuh. Namun pada konsep yang sangat kaya,
eratnya hubungan antar LPM tidak bisa ditampik.
Esensi, ada
dua mainstream memaknai esensi. Pertama, esensi diletakkan pada akibat. Kedua, esensi
merupakan sebab kita sering terjebak di sini. PPMI memiliki dua lini
organisasi, above line organization (organisasi lini bawah) yang
merupakan jaringan regional antar LPM. Up line
organization (organisasi lini atas) yang memediasi
hubungan antar LPM antar regional. Karena ini adalah perhimpunan maka esensi terbentuk dari model
hubungan-hubungan itu. Gagasan tentang model organisasi tidak
lepas dari ketiga atribut di atas. Kegagalan dalam peletakan atribut itu
menyebabkan PPMI tidak menjadi organisasi yang solid dengan paradigma dan arah
gerakan yang mantap. PPMI bisa saja
menamakan apapun dalam balutan apapun juga untuk tetap bisa berhubungan satu
sama lainnya. Jadi sekali lagi karena model perhimpunan maka akan memudahkan
hubungan-hubungan itu. Kita akan sulit bertemu dan berkumpul di sini kalau
bukan karena hubungan dalam PPMI. Model akan menjadi inspirasi strategis dalam
konstelasi apapun di PPMI. Selanjutnya, antara harapan dan kenyataan pers
mahasiswa membuat pola persepsi dan memengaruhi bentuk dan sikap anggota PPMI.
Berkaitan dengan hal ini, terdapat tiga pola sikap memandang PPMI.
Pertama, menolak. Pers mahasiswa yang
bersikap demikian (menggugat organisasi PPMI) biasanya dimulai dari berbagai
pertanyaan yang cukup mendasar, seperti: eksistensi, orientasi organisasi,
kontribusi organisasi, dan semacamnya. Gugatan selajutnya menyangkut persoalan
teknis seperti masalah geografis, sulitnya koordinasi, sosialisasi, komunikasi,
dan sebagainya. Namun gugatan menyangkut hal-hal yang sifatnya prinsipil berupa
idealisme, keberpihakan, prinsip dan gagasan, hampir tidak ada yang mempermasalahkan
sebab ada mekanisme kongres dan forum lain untuk
menyelesaikan soal ini. Meskipun menggugat tetapi hubungan baik yang sudah
terbangun tetap terjaga, setidaknya pada generasi itu. Tergantung transformasi
generasi di LPM. Keinginan untuk berkomunitas mewujudkan kolektifitas bahkan
kebutuhan solidaritas dan advokasi membuat tingkat hubungan itu semakin erat,
karena pers mahasiswa tetap butuh hidup berkomunitas dan menghimpun diri.
Kedua, setengah-setengah. Hal ini biasanya disebabkan
adanya benturan kepentingan antara LPM dengan kepentingan pribadi. Apapun
alasannya, ketika kepentingan itu berbenturan akan membuat rintangan peralihan
persepsi pada seseorang lebih-lebih jika tidak dapat membuat skala prioritas.
Sikap setengah-setengah itu biasanya dimulai dari keluhan keraguan dan adanya
keluhan yang dihadapi, realitas pribadi, realitas LPM dan realitas PPMI. Hal itu terjadi biasanya karena
putusnya kaderisasi, dan minimnya informasi tentang PPMI.
Ketiga, mendukung. Sikap mendukung biasanya ditunjuk-kan
dengan support moral dan intelektual. Kepedulian itu dapat merangsang
ide-ide kreatif bagi tumbuhnya pembaruan-pembaruan organisasi. Munculnya
sikap-sikap tersebut adalah imbas resistensi LPM terhadap PPMI karena
ketidakpercayaan LPM pada PPMI. Kesadaran bersosial dan berkomunitas ini belum
dibarengi dengan keaktifan LPM menjadi anggota dan pengurus PPMI sebagai
struktur organisasi.
Soal
optimalisasi struktur sebenarnya sudah dibahas ketika Mukernas II 1999 di
Bandung. Pada forum itu
menggariskan bahwa kerja organisasi dilaksanakan secara bersama-sama. Pada
akhirnya aktivitas LPM di tingkat lokal sangat ditentukan oleh kinerja
Presidium Wilayah atau Dewan Kota untuk mengintensifkan komunikasi dan
sosialisasi pers mahasiswa.
Nomaden
Perihal kesekretariatan tetap menjadi persoalan meski dinilai kurang serius dan
hampir selalu dipertanyakan. Ketika Sekjen PPMI terpilih periode IV 1998-2000
dari Yogyakarta, mendapatkan sekretariat hibah dari Sri Sultan HB X.
Sekretariat terletak di Jalan Tentara Pelajar, Pingit, Yogyakarta. Letaknya
sangat strategis, yakni di pusat kota bersebelahan dengan Stasiun Tugu dan Perpustakaan
Daerah DIY. Kemudian untuk digunakan bersama-sama dengan PPMY (Perhimpunan Pers
Mahasiswa Yogyakarta).36 Tetapi hal ini justru tidak
berarti ketika periode berakhir.
Dalam hukum kebiasaan, sekretariat berlokasi
(mengikuti) di mana Sekjen berada. Maka menjadi
masalah tersendiri ketika Sekjen terpilih
periode berikutnya (2000-2002) dari Mataram. Kemudian diserahkan kepada Presidium
Nasional untuk mencari kepastian, maka ditentukan beberapa daerah sebagai
alternatifnya, seperti Bandung, Solo, atau Yogyakarta.
Akhirnya, Solo disepakati
sebagai sekretariat PPMI. Tetapi ini pun difungsikan tidak lama, hanya beberapa waktu
saja. Namun setidaknya berguna untuk persiapan Dies Natalis IX PPMI 2001 di
Riau. 37 Kendala yang tidak mudah dijangkau hanya alasan klasik yang muncul
akibat tidak difungsikan lagi sekretariat di Solo.
Disusul
dengan acara Informal Technical Meeting PPMI di Jember pada Juni 2001
merekomendasikan sekretariat PPMI di Surabaya. Dan akhirnya sekitar bulan Juli
2001, ditetapkan sekretariat PPMI di
Wonocolo Gang III, Surabaya, Jawa Timur (di belakang IAIN Sunan Ampel
Surabaya).38
Sampai
akhirnya, masalah sekretariat menjadi alasan klasik dan terus digelindingkan di
tiap pertemuan (baik informal maupun formal), karena organisasi nasional
seperti PPMI seharusnya memiliki pusat informasi. Demikian pandangan mengenai
kesekretariatan PPMI. Kebutuhan atau keinginan? Padahal sejak berdirinya, PPMI
belum pernah berdiam diri di satu tempat atau sekretariat tetap. Keputusan
sebuah organisasi bawah tanah yang tanpa bentuk ini adalah konsekuensinya; sekretariat berada di tempat di mana Sekjen berada. Bahkan bagi Sekjen I (Rommy Fibri) dan Sekjen
II (Dwidjo Utomo Maksum) sekretariat PPMI ada di tas punggungnya.
Perdebatan
soal sekretariat lerai dengan sendirinya karena dinilai bukan hal utama yang
harus didahulukan dalam agenda perhimpunan pers mahasiswa. Hingga periode
2008-2010 sekretariat PPMI masih tetap: berada di LPM asal Sekjen terpilih dan berada di tas punggung ke mana Sekjen itu pergi.
Bukan
Sinterklas
Akumulasi
problem riil yang harus dijawab PPMI usai kongres
yang diselenggarakan pada tahun 2000 menjadi catatan tersendiri bagi generasi
berikutnya. Bukan sekedar perlunya perubahan struktural organisasi, tapi posisi
organisasi, kondisi objektif konstelasi politik, orientasi gerakan, dan
kekhawatiran kepentingan, serta pencapaian dan kontribusi organisasi pada masa
transisi memaksa PPMI berbenah diri.
Harapan Edi
Sutopo soal kongres bisa menjadi tonggak sejarah bangkitnya PPMI
hanya tinggal harapan. Ketidakberhasilan kongres meletakkan dasar pondasi dan
menjawab problem yang dihadapi akan semakin menambah beban Sekjen terpilih nanti. Apalagi jika transformasi keanggotaan
PPMI tidak lancar. Kongres V PPMI 2000 ini banyak diikuti oleh angkatan baru
mesti diakui bahwa PPMI membutuhkan perbaikan organisasi.
Pada tataran
wacana, gugatan tersebut bagus karena menggugat keadaan agar menjadi lebih
baik, akan tetapi bila gugatan itu menjadi konsep diri, maka sangat tidak
produktif. “Sehingga kenyataannya telur diujung tanduk dan pecah,” ungkap
Lukman.39
Setidaknya
untuk menjadi yang lebih baik, perlu menjawab untuk apa bergabung dalam PPMI?
Karena setiap masa punya pertanyaan yang mesti dijawab. Suatu pertanyaan yang
wajar dilontarkan, sebab agak mustahil bergabung dalam suatu organisasi, tanpa
harapan mendapatkan reward apapun. Dalam kasus PPMI, jika pada masa lalu
harapan anggota lebih berorientasi pada adanya kebersamaan gerakan
melawan tirani kekuasaan Orde Baru. Kini harapan itu lebih pada bagaimana
meningkatkan kemampuan jurnalistik, manajemen redaksi, dan sejenisnya.
Tergantung sejauhmana pemahaman soal media (idealisme pers mahasiswa), jika
tirani dipahami sudah tidak ada lagi, atau untuk apa pers mahasiswa ada.
Bila dulu pers mahasiswa lebih pada upaya
mengaktualisasikan sikap diri, kini lebih pada upaya mendapatkan skill.
Dulu lebih mengharapkan PPMI bisa jadi wadah perjuangan, kini lebih
mengharapkan PPMI menjadi “sinterklas” yang siap membagi-bagikan hadiah.
Terhadap situasi ini, berkembang dua gagasan.40 Pertama,
PPMI menjadi organisasi yang punya aturan tegas dan ketat, dan melakukan
kerja-kerja layaknya lembaga profesional lainnya. Hal ini harus dijawab
bilamana PPMI hendak memenuhi harapan para anggotanya yang menginginkan PPMI
memberikan kontribusi riil atau materiil. Tanpa itu, PPMI akan tetap seperti
sekarang: menjadi lembaga yang hanya bisa bersifat paguyuban namun memaksakan
diri untuk jadi profesional. Karena itu, supaya bisa profesional, PPMI dituntut
melakukan perubahan radikal dan revolusioner dalam struktur organisasi,
utamanya tentang keanggotaan.
Kedua, PPMI cukup menjadi lembaga
paguyuban. Alasan-nya, selama ini dalam praktiknya PPMI tidak bisa
meng-instruksikan sesuatu pada lembaga lain (LPM anggotanya dan Dewan Kota).
Karena itu, ia menjadi tak lebih dari sekadar sebagai payung bagi
lembaga-lembaga yang menjadi anggotanya tersebut. PPMI mengalami kondisi
seperti ini karena berusaha menolak sejarah.
Kedua pandangan yang menggunakan logika formal ini
kurang memperhatikan aspek kultural yang selama ini tidak dapat diabaikan dalam
PPMI. Faktor solidaritas dan kebersamaan sebagai prinsip perhimpunan non-formal
yang mewadahi lembaga-lembaga formal (LPM). Unik memang. Semua kepentingan dan
orientasi pers mahasiswa ditampung di dalamnya. Ada yang menginginkan jaringan
luas, advokasi, materi jurnalistik, data, dan sebagainya. Ada orientasi gerakan
politik, gerakan moral, dan gerakan lainnya. Ada yang radikal kekiri-kirian
sampai yang kekanan-kanan. Berbagai macam kebutuhan
pers mahasiswa ada di dalamnya, maka demikianlah format perhimpunan.
Dikatakan profesional, karena berupaya memadukan
kerja-kerja struktural dengan kultural yang telah dibangun sebelumnya.
Independen dan khas, sebagaimana pers mahasiswa: khas sebagai oposan. Maka
ketika kondisi berubah, ketika rezim otoritarian berganti, pers mahasiswa tetap
dengan khasnya. Sedangkan struktur dan bentuk tergantung dengan kebutuhan dan
pembacaan melihat kondisi yang sedang dihadapi.
Hasil Kongres V 2000 di Mataram menyisakan luka dan
harus segera diobati. Konsep diawali dengan perubahan struktur Sekjen menjadi Koordinator
Presidium Nasional. Dengan sifat kepemimpinan kolektif, yang dibantu oleh
beberapa pengurus di setiap wilayah dan kota. Model
Presidium ini hasil dari Mukernas Agustus 2000.
Persoalan Keanggotaan
Persoalan keanggotaan ini merupakan pertanyaan besar
bagi pengurus, terutama Presidium Nasional. Sebenarnya,
selama periode 2000-2002, pembahasan ini telah dimulai saat kongres,
Mukernas dan diperjelas lagi pada Informal Technical Meeting di Jember. Bahkan dengan keadaan ini, pernah ada keinginan untuk
menjadikan PPMI sebagai badan hukum (akte). Tawaran terakhir, yakni hasil
Lokakarya Nasional di Surabaya pada Januari 2002 di sekretariat PPMI menetapkan
bahwa keanggotaan akan didata pada saat pendaftaran sebagai peserta di Kongres
VI April 2002 di Malang.
Sejak pertama didirikan, PPMI beranggotakan pers
mahasiswa (LPM).41 Sedangkan pengurus PPMI
adalah delegasi-delegasi dari organisasi pers mahasiswa anggota. Persoalan
mengenai keanggotaan ini dibahas dan ditegaskan lagi pada Kongres 2002.
Perdebatan mengenai keanggotaan pada saat itu
memunculkan dua opsi: apakah PPMI beranggotakan pers mahasiswa(LPM) sebagaimana yang sudah berjalan
selama ini ataukah beranggotakan individu yang didelegasikan oleh pers mahasiswa (LPM) untuk berkosentrasi penuh mengurusi
PPMI.
Opsi beranggotakan individu ini muncul karena berkaca dari
pengalaman selama ini, ketika PPMI beranggotakan LPM, maka kerja-kerja PPMI
tidak bisa maksimal. Kenapa? Karena LPM itu sendiri merupakan sebuah lembaga atau organisasi yang sudah memiliki
aturan dan sistem tersendiri serta beranggotakan sekian banyak orang. Ketika
PPMI ingin memaksimalkan kerja dan menuntut tanggungjawab, kepada siapa itu
dialamatkan? Sebab LPM sekali lagi beranggotakan banyak orang. Pendek kata,
tidak ada individu pasti yang bisa diikat oleh sistem PPMI, karena keanggotaan
PPMI berupa LPM. Istilahnya, lembaga yang menghimpun lembaga-lembaga.
Hal ini terjadi ketika individu yang didelegasikan oleh LPM tidak mampu memosisikan dirinya
sebagai pengurus PPMI. Ini berdampak kepada LPM yang diwakilinya dan kinerjanya
di PPMI. Tidak mungkin misalnya tanpa membawa identitas pers mahasiswa tempat
ia berasal, karena seluruh pengurus di PPMI
pada dasarnya adalah delegasi dari LPM masing-masing.
Oleh sebab kurang dipahami sistem keanggotaan ini dalam praktiknya banyak dijumpai pertanyaan. Apakah yang bersangkutan lebih mengutamakan
kepentingan LPM atau PPMI? Ketika delegasi fokus di PPMI maka akan
mengorbankan tugas-tugasnya di LPM dan sebaliknya; ketika fokus di LPM, dia
membengkalaikan tugas-tugasnya sebagai pengurus PPMI. Tapi pada umumnya, mereka
lebih ‘berat’ pada LPM-nya dibanding PPMI. Akibatnya, salah satunya, adalah
kurang adanya komunikasi dan konsolidasi di daerah masing-masing sehingga
beberapa daerah kehilangan jejak (mengalami keterputusan historis dengan PPMI). Tambah bahwa individu belum mampu
memposisikan dirinya sebagai aktivis gerakan pers mahasiswa.
Untuk wilayah Sumatera konsolidasi PPMI sangat kurang,
walaupun mempunyai Presidium Nasional sendiri. Keadaan ini terlihat ketika
acara Dies Natalis VIII di Riau, sehingga perlu melakukan konsolidasi dengan
mereka, seperti daerah Lampung, Palembang, Medan, Padang, Pekanbaru, dan Aceh.
Begitu juga dengan Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan
Papua. Pada saat Mukernas, beberapa delegasi dari Kalimantan Selatan masih
hadir. Beruntung mediator untuk wilayah Sulawesi dari Universitas Tadulako,
Palu, Sulawesi Tengah punya hubungan komunikasi yang cukup intens. Tetapi untuk Maluku dan Papua
betul-betul kehilangan jejak.42 Cukup memprihatinkan. Menyikapi hal ini
beberapa pers mahasiswa membentuk divisi khusus jaringan (kerja-kerja
eksternal) yang salah satu fungsinya, sebagai delegasi dari LPM.
Komentar
Posting Komentar