Langsung ke konten utama

Sejarah Pers Mahasiswa - PPMI dan Isu-isu Kerakyatan


Penyikapan terhadap gerakan pasca 1998 lebih pada orientasi kritis terhadap kekuasaan. PPMI tetap tidak berubah sebagai oposisi. Mengawal isu-isu kerakyatan sebagai bagian dari gerakan mahasiswa. Pilihan alternatif disandarkan pada pertimbangan bahwa reformasi 1998 hanya menghasilkan pergantian warna dan nama. Hal ini terlihat dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat. Meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran, korupsi yang kian menggejala, dan kebijakan ekonomi yang belum dirasakan oleh rakyat bawah, masih pada tataran elit-elit semata. Ini yang hendaknya menjadi pemahaman dan catatan pekerjaan rumah PPMI sebagai bagian dari gerakan mahasiswa.
Akhirnya, kesadaran dan penekanan orientasi tersebut pasti membutuhkan energi dan materi pewujudan atau pembentukan perangkat pendukung. Dalam hal pembekalan skill dan penanaman nilai orientasi gerak, maka metode pelatihan bagi pers mahasiswa di PPMI pun dikonsep dan diarahkan pada beberapa jenis jurnalisme tertentu. Adalah jurnalisme investigasi dan jurnalisme advokasi yang menjadi pilihan orientasi pelatihan-pelatihan di PPMI pada periode 2002-2006 ini.30 Dari pertimbangan tersebut, dimasukkanlah materi ideologi pers mahasiswa dalam setiap pelatihan angkatan baru.

Metode investigasi dipilih karena dalam pelaksanaan genre jurnalisme ini, pegiat persma diharuskan untuk melakukan penggalian dan pembongkaran kasus secara mendalam. Akhirnya mau tidak mau pers mahasiswa harus terjun langsung ke lapangan bersentuhan dengan kasus yang dihadapi. Dalam pemberitaan kasus publik, diharapkan pers mahasiswa akan bersentuhan langsung dengan korban dan lebih jauh mampu melakukan pengorganisiran massa. Sedangkan genre jurnalisme advokasi, lebih banyak menekankan pada penegasan sikap keperpihakan pers mahasiswa yang lebih jauh diformulasi pada metode analisa permasalahan publik dengan segala tarikan kekuasaan yang ada. Untuk kemudian mampu meramu segala hasil penggalian data dalam bentuk media yang jelas berpihak dan memunyai akibat positif bagi obyek dimana pers mahasiswa berpihak.31 
Konsep jurnalisme kritis pada masa itu pun muncul yang kemudian mengerucut pada aplikasi jurnalisme investigasi dan advokasi untuk menguatkan gagasan alternatif idealisme pers mahasiswa. Gagasan jurnalisme alternatif sebenarnya telah digagas sejak periode 1998-2000. Orientasi  kerakyatan yang ditawarkan masa itu menjadi pilihan yang diarahkan hingga akhir periode, pada kongres V PPMI tahun 2000 di Mataram.32
Tawaran jurnalisme kerakyatan, secara kontekstual dipahami dengan analisis kritis tanpa orientasi karier yang praktis. Perubahan kondisi politik yang cepat di satu sisi menguntungkan pihak-pihak tertentu. Sedangkan euforia lengsernya Soeharto tidak disikapi secara kritis sehingga banyak pihak-pihak oportunis dan pragmatis memanfaatkan kondisi yang demikian. Maka PPMI menegaskan bukan berorientasi karier dan pilihan alternatif bukan merupakan romantisme gerakan atau stigma negatif dalam wacana yang dipahami umumnya.
Ketika pergantian pemimpin bangsa dan arus politik semakin deras. Kontroversi pengganti Soeharto menjadi sangat rentan konflik. Menyikapi kondisi yang demikian PPMI tidak mendukung siapa-siapa antara Habibi atau yang lain. Bahkan militer pun dinilai masih tetap kuat hanya berubah penampakannya saja. Sikap terhadap militer akhirnya mencuat dalam Lokakarya Nasional di Palembang 1999 yang menghasil-kan pernyataan sikap PPMI tentang militerisme dan pelang-garan HAM yang ditandatangani oleh Sekjen dan sepuluh Dewan Kota yang hadir. Sepuluh Dewan Kota itu adalah Dewan Kota dari Palembang, Jambi, Mataram, Lampung, Bandung, Malang, Bali, Yogyakarta, Surabaya, dan Gorontalo.33 
PPMI memandang bahwa militer yang telah menjadikan bangsa ini sebagai arena pembantaian dan penyimpangan serta pelecehan HAM kaum sipil.  Dengan potensi yang dimilikinya, militer bukannya menjadi pihak pengaman rakyat dan pengawal kedaulatan bangsa, tetapi justru dengan arogansinya menjadikan politik sebagai alat memperebutkan kekuasaan. Hal ini terlihat dari kasus-kasus yang terjadi di Aceh, Ambon, dan sebagainya. Maka PPMI dalam pernyataan sikapnya menuntut:
“Penghapusan peran sosial politik militer, penarikan segera pasukan dari Acheh, Ambon dan daerah lainnya, mencabut pembagian kekuasaan militer pada tataran teritorial, TNI tidak memiliki hak suara pada sidang umum MPR 1999, peningkatan profesionalisme militer dengan tujuan efisiensi dan efektifitas dalam pelaksanaan tugas sebagai pengayom masyarakat, penghapusan militerisme terhadap masyarakat sipil dan sebaliknya, militer untuk kembali ke barak masing-masing, dan seterusnya.”
Pada tahun 2004 misalnya, masa periode VI PPMI, orientasi kerakyatan dengan pembacaan lokalitas mengangkat isu-isu di masing-masing kota. Di Surabaya mengangkat isu penggusuran penghuni bantaran kali Jagir-Wonokromo, PKL dan Pasar Tambakrejo oleh Pemkot Surabaya. Di Bali, kasus Banjar Sawangan soal relokasi petani rumput laut dan kewenangan pihak bupati. Di Bandung soal program pembangunan tata ruang kota yang berdampak ekologis dan sosial (anak-anak jalanan) menjadi sorotan utama.
Di Yogyakarta, masih soal penggusuran yang terjadi di tujuh titik, antara lain Pedagang Kaki Lima di Malioboro, Selokan Mataram, angkringan dan lainnya terkait dengan pembangunan mal-mal besar. Di Jember yang berbasis daerah agraris dengan komoditas tembakau dan kopi menjadi sengketa dengan penguasaan oleh TNI. Di Cirebon, penggusuran dan relokasi Pasar Tanjung sebagai pusat perdagangan di tiga wilayah seperti Kuningan, Sumber, kabupaten dan kota. Di Madura terkait dengan kontroversi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Sedangkan di Mojokerto, soal biaya pendidikan yang mahal. Di Ponorogo, terkait dengan program Lembaga Swadaya Masyarakat yang memanfaatkan kasus penghijauan dan kasus relokasi Pekerja Seks Komersial bermasalah. Serta kasus-kasus yang terjadi di daerah masing-masing yang terkadang luput dari pantauan media umum, ataupun dengan sudut pandang yang beda.
Penyapaan isu-isu kerakyatan yang didasarkan pada lokalitas masing-masing ini mulai menjadi agenda priotas PPMI ketika Dies Natalis ke-X di Makassar tahun 2003, tepatnya di Balai Somba Opu, yang kemudian ditindaklanjuti dengan pelatihan jusnalisme investigasi di Surabaya, tepatnya di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Pertemuan di Surabaya ini bermaksud untuk menajamkan temuan isu-isu tiap daerah/kota yang sudah berhasil ditabulasi untuk kemudian diteruskan menjadi kerja praksis investigasi yang dilaksanakan oleh masing-masing kota.
Selain berhasil mengikat komitmen untuk mulai menyapa isu-isu kerakyatan, pertemuan di Makassar itu juga berhasil menghidupkan kembali Buletin Merah Putih yang sudah lama vakum. Konsep Merah Putih kali ini berbeda dengan sebelumnya, jika dulu seluruh isi pemberitaan hanya diwenangkan kepada pengurus nasional kini Merah Putih dibagi menjadi dua kanal: kanal nasional dan daerah/kota.
Ketebalannya disepakati 12 halaman dengan pembagian: 8 halaman untuk isu nasional dan 4 halaman untuk isu daerah. Dengan begitu, dalam tiap edisi, sajian isu nasionalnya akan sama namun untuk isu daerahnya berbeda-beda, bergantung pada masing-masing pengurus PPMI Kota/Dewan Kota akan mengisi 4 halaman tersebut dengan isu apa.
Teknis pengelolaannya pun dibuat sistem rolling. Masing-masing kota berkewajiban untuk mengisi 8 halaman (isu nasional) secara bergantian. Karena waktu itu yang dinilai paling siap adalah PPMI Kota Surabaya, maka proyek penggarapan Merah Putih edisi pertama diserahkan ke pengurus PPMI Kota Surabaya. Di edisi pertamanya ini, Merah Putih mengangkat isu Golput.
“Pertemuan (Dies Natalis) di Makassar ini merupakan tonggak baru bagi kebangkitan PPMI sebagai tindak lanjut konkret dari Kongres VI di Malang yang mengamanahkan kepada organisasi ini untuk mulai menyapa isu-isu kerakyatan. Jadi mulai periodeisasi ini PPMI sudah tidak lagi berkutat dengan persoalan-persoalan internal organisasi yang tidak pernah ada habisnya,” tutur Muhammad Kodim, Ketua PPMI Kota Surabaya 2002-2004.34 
Kerja-kerja investigasi dan penerbitan media Merah Putih ini kemudian diteruskan oleh kepengurusan berikutnya, periode VII, dengan dinamika dan corak yang berbeda dengan masa sebelumnya tentunya. Kausus-kasus kerakyatan yang coba diinvestigasi pun kian banyak jumlahnya. Kondisi ini menandakan ada kecenderungan banyaknya jumlah ketimbangan yang terjadi.
Maka, jika pers mahasiswa mampu konsisten dalam mengawal isu-isu kerakyatan di tingkatan lokal, maka akan di-blow up sebagai isu nasional. Tawaran konsep pengolahan isu dapat berasal dari lokal kemudian diteruskan ke nasional atau sebaliknya, isu nasional yang ditindaklanjuti ke lokal-lokal.35 Konsep ini lantas diaplikasikan dalam kinerja pengurus Badan Pekerja (BP) Nasional PPMI yang bersinergi dengan pengurus BP Kota/Dewan Kota PPMI.
Gagasan pengawalan isu kerakyatan diteruskan oleh periode berikutnya. Periode VIII ini menitik beratkan pada pengawalan isu ekonomi kerakyatan. Namun sedikit berbeda dalam wilayah aplikasi dan mekanisme kerjanya. Sebab sejak Kongres VIII 2006 di Makassar, struktur pengurus PPMI membengkak. Yang sebelumnya dari tingkatan nasional langsung ke bawah (pengurus kota) dirubah dan ditambah dengan struktur wilayah, yakni dengan membentuk Koordinator Wilayah (Korwil). Penambahan Korwil ini dimaksudkan sebagai penghubung dan pengganti tugas-tugas teknis di tingkatan wilayah, yakni menghubungkan antara pengurus nasional dengan kota-kota.
Korwil yang waktu itu akan dibentuk meliputi Sumatera, Jawa Barat dan Banten, Jawa Tengah-Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur-Madura, Bali-Lombok, Kalimantan, dan Sulawesi. Harapan ini kemudian ditindaklanjuti ketika Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) PPMI36 di Universitas Trunojoyo, Bangkalan, Madura pada 14-16 September 2006. Rakornas dilaksanakan, sebagaimana sebelumnya, untuk memperjelas dan mensinkronkan dengan kondisi kota-kota agar dapat melaksanakan program kerja secara lebih maksimal.
Secara garis besar, Rakornas di Madura dapat dikatakan kurang berjalan seperti yang diharapkan. Banyak kendala yang dihadapi oleh pengurus nasional, diantaranya belum terbentuknya Korwil yang seharusnya sudah terbentuk sebelum Rakornas.
Selain itu, beberapa peserta menganggap gerakan PPMI masih terlalu global dan perlu diperjelas. Hal ini membuat suasana Rakornas menjadi menegang. Walaupun upaya-upaya pembangunan frame bersama mengenai langkah PPMI sudah digulirkan, tetapi masih terdapat kebuntuan. Sampai dengan Rakornas berakhir belum juga pengurus nasional mencapai kesepahaman bersama mengenai gerak PPMI. Konsep ekonomi kerakyatan yang mestinya dapat dipahami dan diaplikasikan pada program, serta garapan isu belum mengerucut pada bentuk yang riil. Perbedaan pandangan yang terjadi tidak membuahkan kesepakatan. Transformasi kerakyatan ke arah aplikatif pada gerakan pengawalan sebagai pers mahasiswa belum tuntas dibahas. Sehingga pada praktiknya kemudian mengalami ketidaksinergisan isu antara nasional, wilayah dan kota.
Hingga pada Dies Natalis di Semarang April 2007 digunakan untuk konsolidasi yang akhirnya disepakati bahwa konsep kerakyatan ekonomi secara global dalam pengertian nasional kemudian diinterpretasikan oleh kota masing-masing sesuai dengan kondisi dan kasus yang terjadi di daerahnya. Hingga setelah pembacaan dilakukan, pangkal permasalahan yang difokuskan pada regulasi-regulasi yang belum menyentuh masyarakat bawah, bahkan justru merugikan mereka.
Karena konsolidasi yang mestinya selesai ketika pembahasan di Rakornas baru selesai pada konsolidasi yang memanfaatkan Dies Natalis, yang berarti 13 bulan setelah Kongres, maka waktu kepengurusan terulur selama itu. Sehingga dalam sisa kepengurusan itu kinerja PPMI dinilai belum maksimal.
Bermula dari Rakornas yang belum tuntas dalam penggagasan isu kerakyatan dan wacana kritis, serta konsolidasi terbahas dalam mekanisme kerja kepengurusan berdampak pada relasi antar pengurus nasional hingga kota tidak berjalan. Akibat buruknya, karena pergantian pengurus pers mahasiswa anggota PPMI dan Pengurus Kota yang singkat tanpa diiringi transformasi yang cukup, ada beberapa pers mahasiswa anggota PPMI dan Pengurus Kota yang sulit dikoordinasi. Hal ini terlihat dari partisipasi peserta anggota PPMI dalam kegiatan-kegiatan nasional. Komunikasi antar anggota dan Pengurus Kota terputus. Salah satunya karena struktur Korwil di beberapa wilayah tidak terbentuk dan belum berjalan fungsinya. Hingga akhir periode 2006-2007 hanya terbentuk tiga Korwil: wilayah Jawa Barat, Jawa Timur dan Indonesia Timur.37 Sedangkan kota yang aktif hingga akhir periode antara lain Jember, Surabaya, Malang, Tulungagung, Bangkalan, Yogyakarta, Semarang, Makassar, Mataram, Kendari, dan Denpasar. Selain kota tersebut, seperti Padang, Bandung, Cirebon, Mojokerto, Lampung, Purwokerto, Solo, Palu, Manado, Medan, Pontianak, Banjarmasin, Jambi, Palembang, dan lainnya terputus konsolidasinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram...

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.