Langsung ke konten utama

Gebrakan Segar dari Pesantren Modern



Muhammadiyah Boarding School (MBS) Yogyakarta terhitung masih sangat muda. Namun, gebrakan pesantren modern ini cukup membahana. Dalam rentang waktu yang relatif singkat, prestasi MBS melejit menggeser sekolah milik Muhammadiyah lainnya. MBS diperkirakan akan menjadi model pendidikan milik Muhammadiyah di masa depan.

 Warna biru mendominasi ruangan kantor MBS Yogyakarta. Gedungnya tampak mencolok di tengah persawahan Kecamatan Prambabanan yang mengering. Kemegahannya seperti mengulang kejayaan kompleks Candi Ratu Boko — yang berada di atas bukit persis di samping MBS. Sosok nan ramah menyapa di pintu ruang tamu. Dia adalah Ustadz Nasir: penggagas sekaligus direktur MBS. Di sampingnya, berjejer rapih puluhan piala. Sebuah bukti bahwa pesantren yang baru berdiri pada tahun 2008 ini sudah banyak menuai prestasi.


Obrolan santai namun serius segera dimulai. Nasir berkisah mengenai sejarah berdirinya MBS. Alasan ideologis rupanya menjadi hal utama yang mendorongnya menjadi salah seorang pengagas MBS. “Pendidikan Muhammadiyah mulai ditinggalkan warganya. Sisi-sisi agamanya (sekolah Muhammadiyah, Red.) dianggap kurang,” ujar Nasir. Warga Muhammadiyah justeru mempercayakan pendidikan anaknya pada sekolah atau pesantren non-Muhammadiyah. Persoalan tersebut sangat berpengaruh pada keberlangsungan persyarekatan secara umum. “Kader Muhammadiyah semakin menipis,” tambah sosok dengan nama lengkap Nasirul Akhsan ini. Nasir sendiri merupakan anak tokoh penting Muhammadiyah di Prambanan. Namun, demi mendapatkan pendidikan keagamaan yang baik, ia dan semua saudaranya justeru dipondokan pada pesantren yang notabene bukan Muhammadiyah.

Atas latar belakang tersebut, ia kemudian memiliki mimpi jika Muhammadiyah dapat memiliki pesantren yang berkelas. Setelah berkelana sebagai pengajar di berbagai pesantren, Nasir kemudian mulai membangun konsep pesantren. Konsep itu ingin ia terapkan di tanah kelahirannya: Prambanan, Yogyakarta. Sejumlah pihak dalam struktur Muhammadiyah ia temui. Tanggapan yang didapat cukup beragam. Hingga akhirnya ia sowan kepada mantan Ketua PP Muhammadiyah: Prof. Amien Rais. Prof. Amien memberi tanggapan positif. Dari situlah Nasir kemudian membuka jaringan dengan tokoh Muhammadiyah lainnya seperti Prof. Siti Chamamah, Prof. Imam Robandi, hingga Bupati Sleman: Sri Purnomo.

Berbekal kesamaan pandangan dari sejumlah tokoh, mimipi Nasir akhirnya terwujud pada tahun 2008. “Kita ingin membuat terobosan baru,” kata pria 48 tahun ini. Tim yang ia bentuk kemudian mengakuisisi SMP Muhammadiyah Prambanan. Saat itu, SMP tersebut berada pada titik nadir. Jika dibiarkan, SMP yang cukup bersejarah itu bisa saja mati. Tim yang Nasir bentuk, pengelola SMP, dan Pimpinan Cabang Prambanan kemudian berembug soal konsep pesantren yang ingin diwujudkan. Diskusi yang terjadi cukup hangat dan membutuhkan sekian waktu. Konsep pesantren modern yang memadukan pendidikan umum dan agama akhirnya disepakati. Unikanya, meski berwujud pesantren, MBS mengikuti kurikulum Kemendiknas dalam pendidikan umumnya. Ini cukup unik bagi sebuah pesantren.

Karena didasarai semangat yang ideologis dan lurus, MBS berkembang pesat. Diawali dengan SMP, dalam rentang kurang dari dua tahun MBS merambah ke tingkat SMA. Areal pesantren kini sudah berkembang menjadi 3,5 Hektar. Untuk membantu keuangan pesantren, MBS juga memiliki perkebunan pohon jati di Gunung Kidul. Jumlah santri MBS kini hampir mencapai 2000 santri. Peningkatan dari segi kuantitas juga diimbangi dengan akselerasi kualitas. Ini tampak dari begitu banyaknya kejuaraan dan lomba yang dimenangkan oleh santr-santri MBS — baik dalam bidang agama maupun ilmu umum.

Tak ayal, semua itu menjadikan minat untuk belajar di MBS. Santri MBS saat ini bisa dikatakan berasal dari seluruh Indonesia. Sekolah-sekolah Muhammadiyah lainnya kemudian terinspirasi untuk mengubah diri menjadi pesantren modern. Sayangnya, beberapa sekolah yang memproklamirkan diri menjadi MBS tidak cukup serius. “Kami inginnya itu tidak hanya merek. Mestinya secara kurikulum dan sistem pendidikan juga disesuaikan,” kritik Nasir atas kemunculan sejumlah sekolah dengan label MBS.

Hingga saat ini, cabang MBS yang secara resmi dibina oleh MBS Yogyakarta adalah MBS Klaten. Di luar itu, sekolah yang berlabel sama belum secara resmi menjadi cabang. “Kalau sistemnya lebih baik kami sangat bersyukur. Harapannya MBS bisa menjadi motor terwujudnya peradaban baru yang lebih baik,” pungkas alumni Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam (LIPIA) Jakarta ini. Ia berharap bisa ikut membantu sekolah-sekolah Muhammadiyah yang ingin dan telah menjadi MBS. Jika MBS dapat tumbuh di seluruh Indonesia dan saling berjejaring, hal tersebut dapat memunculakan harapan baru. Harapan yang tidak saja bagi Muhammadiyah tetapi Indonesia.
****

  Awalnya menyedihkan. Ia mesti berpiasah dengan orang tua dan keluarganya. Lambat laun, remaja kelahiran Tarakan, Kalimantan Utara ini bisa menerima. Ia justeru merasa berhuntung dapat melanjutkan pendidikan di MBS Yogyakarta. Begitulah kesan yang Nabil terkait MBS. “Bisa mengenal temen-temen dari banyak tempat seperti Sulawesi dan lain-lain,” ujar santri kelas 5 (kelas 11 SMA) ini. Menurutnya, di MBS santri tidak saja dididik menjadi ulama tetapi juga sebagai intelektual yang dapat bermasyarakat.

Kesedihan berpisah dengan orang tua bagi remaja seperti Nabil tentunya juga dirasakan oleh santri lain. Namun demikian, lingkungan pembelajaran di MBS membuat mereka segera larut dalm kegiatan-kegiatan yang positif. Ini hal yang barangkali sulit ditemui pada model pendidikan umum. Santri MBS memang dididik untuk menjadi kader yang mumpuni. Kader yang tidak hanya berilmu tapi juga memilik kemampuan meneruskan cita-cita KH. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah.

Usaha menuju pencapaian tersebut tentunya mesti didukung oleh sistem pembelajaran yang mumpuni. Dengan beban mata pelajaran yang lebih banyak, santri dituntut untuk ekstra disiplin. “Kami beraktifitas mulai jam tiga pagi mulai dengan shalat tahajud,” kata Nabil yang juga ketua IPM untuk periode 2014-2015 ini. Aktifitas dilanjutkan dengan materi keagamaan, materi sekolah umum, hingga kegiatan ekstrakulikuler. “Setelah jam tiga sore kami ikut HW, Tapak Suci, IPM, dan sebagainya. Harinya berbeda-beda untuk masing-masing kegiatan,” tambah sosok yang pernah menjuarai lomba bahasa Arab ini. Kegiatan ekstra khas Muhammadiyah tersebut ditujukan bagi pembangunan kader. Santri juga diwajibkan untuk setor hafalan ayat tiap harinya. Materi pengkajian kitab dan khotbah juga mewarnai aktifitas para santri selama belajar di MBS.

Rutinitas yang demikian ternyata tidak dirasa memberatkan bagi para santri. Peribahasa “alah bisa karena biasa” barangkali tepat ditujukan bagi santri-santri MBS. “Awalnya sulit tapi lama-lama mudah saja. Ya, mungkin karena menu maknanannya juga enak,” canda Wahid Nurrasyid: santri kelas 3 (SMP kelas 7). Fasilitas MBS juga cukup mempengaruhi keberhasilan pembelajaran. Wahid merasa cukup puas dengan kelengkapan fasilitas MBS. “Walaupun bagus tapi masih harus ditingkatkan. Fasilitas bermain dan berolahraga kayaknya perlu ditambah,” tambah sosok humoris yang pernah meraih juara 2 Olimpiade Sains Nasional untuk bidang matematika ini.

Selain dari sisi fisik, MBS juga mencoba untuk memperkuat dirinya dengan pengajar-pengajar yang memenuhi kualifikasi. MBS sendiri memiliki kurang lebih 100 tenaga pengajar yang berasal dari perguruan tinggi baik dalam dan luar negeri. Agus Mualimin adalah salah satunya. Ia munuturkan jika dalam rangka penguatan ideologi, sebagian besar pengajar merupakan aktifis Muhammadiyah — dengan tetap memperhatikan kualifikasinya. Selain itu, materi pembelajaran juga tetap mempertimbangkan aspek ideologis. “Kurikulum agama di rancang sendiri dan kadang mengambil dari PWM seperti buku Kemuhammadiyahan. Tapi, untuk buku berbahasa Arab kita ambil dari Madinah, Libya, Gontor dan sebagainya,” kata Agus yang kebetulan juga menjabat sebagai wakil bidang kesiswaan ini. Untuk materi pelajaran umum MBS sepenuhnya mengikuti kurikulum dan buku-buku dari Depdiknas.
            
           Mengikuti kurikulum Depdiknas bagi sebuah pesantren memiliki tantangan tersendiri. Santri mesti tetap mengikuti Ujian Nasional — yang oleh sekolah umum saja dianggap memberatkan. Namun demikian, beban itu ternyata tidak begitu dirasakan oleh MBS. “Mungkin karena kami (MBS, Red.) berorientasi pada pendidikan dunia sekaligus akherat,” ujar pria 29 tahun ini. Sebagai bukti, pada UN kemarin semua siswanya lulus. Beberapa alumnusnya kini ada yang melanjutkan di Timur Tengah. Sebagian lainnya melanjutkan di perguruan tinggi baik negeri dan swasta. Sebagai bentuk komitmen pada proses kaderisasi, alumnus yang masuk perguruan tinggi diarahkan untuk aktif di IMM. “Kami ingin membina iman, akhlak, dan ilmu para santri agar akhirnya menjadi kader yang berkualitas dan idealis,” pungkas guru untuk mata pelajaran agama Islam ini.


Dimuat di Majalah Surya Mataram Majelis Pustaka & Informasi PWM DIY

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram