Langsung ke konten utama

Filsafat Ilmu Pendidikan dalam Al-Qur’an



Siapapun barangkali mengamini jika pendidikan di negeri ini masih terpuruk. Belum ada tanda-tanda bahwa persoalan seputar dunia pendidikan akan mengalami pemulihan. Perbaikan ihwal pendidikan hanya seputar tata rias dan pakaian semata. Sementara itu, jiwa dari pendidikan sendiri tak pernah dicoba tuk disentuh.

Terakhir ini, pemerintah sudah menentukan Kurikulum 2013 sebagai acuan baru. Melihat dari sejumlah kegagalan kurikulum sebelumnya, Kurikulum 2013 mencoba memasukan pendidikan karakter sebagai temanya. Pemerintah nampaknya sadar jika kurikulum-kurikulum sebelumnya tidak menyentuh persoalan pembinaan moral. Akibatnya sangat memperihatinkan. Tentu masih segar di ingatan bagaimana seorang siswa SMA, di depan Menteri Pendidikan, mengaku puas setelah menghabisi siswa lain dalam sebuah tawuran. Selain itu, begitu banyak pula pejabat, termasuk di  dalamnya yang menyandang gelar guru besar dan doktor yang menjadi pesakitan kasus korupsi. Seolah, pendidikan kita selama ini hanya menciptakan zombi kanibal yang berjalan tanpa hati nurani.
Menyikapi situasi pendidikan yang mencemaskan ini ada baiknya kita mawas diri ihwal hal yang mendasar: falsafah pendidikan. Sebagaimana pendidikan modern di dunia, pendidikan Indonesia juga berangkat dari filsafat barat. Peradaban dunia modern ini memang disokong oleh filsafat barat sebagai fondasi. Bermula dari zaman pencerahan di Eropa, filsafat barat terus melebarkan pengaruhnya melalui jargon moderniasai. Menjadi modern adalah menjadi barat. Berbicara bagaimana pendidikan yang modern pun tak luput dari guidline yang telah dirumuskan barat.
Perlu diingat, pendidikan ala barat bertumpu pada falsafah ilmu beraliran empirisme, materialisme, dan bisa jadi pragmatisme. Dalam empiriseme, sumber ilmu – yang disajikan dalam pendidikan – berasal semata dari apa yang bisa dijangkau panca indra manusia. Hal tersebut akan menimbulkan penemuan aspek ontologis - proses dalam memperoleh pengetahuan – pada hal bisa dijangkau akal saja. Akibatnya, aspek kebermanfaatan (axiologis) atas ilmu sendiri menjadi kering akan nilai.
Terlebih dalam paham materialisme, proses pendidikan – sebagai proses transformasi ilmu – akan terbatas pada seputar hal material semata. Jiwa hanya dipandang sebagai padatan materi semata. Nilai atau norma dalam pandangan materialisme dinilai hanya patologi yang membatasi manusia dari kesadarannya. Dalam kacamata pragmatisme, sesuatu pantas menjadi ilmu hanya ketika sesuatu tersebut mempunyai kegunaan praktis. Keluaran dari keilmuan yang demikian adalah nilai – sesuatu yang berharga – memiliki derajat dari kegunaan dan fungsi praktis dalam kehidupan. Sementara kehidupan ditetapkan hanya terbatas pada perjuangan tuk tetap bernyawa dan ‘berkehidupan’.
Puluhan tahun pendidikan kita mengacu pada paham yang demikian. Paham yang mengamini adanya pemisahan antara akal dan hati nurani. Wajar adanya jika produk pendidikan kita hanya menjadi zombi atau robot yang digerakan dengan hati yang kering. Mesti disadari bahawa bisa jadi, pendidikan telah mengobrak-abrik sistem nilai bangsa ini yang adhiluhung – nilai yang otentik berkembang dalam jati diri bangsa.
Terdapat sebuah kritik yang menarik dari kaum idealis terhadap pemberhalaan akal dan ilmu pengetahuan: “kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan sama sekali tidak merendahkan alam semesta melainkan justeru menunjukan kejumbuhan yang hakiki antara jiwa dan materi”. Barangkali, kita membutuhkan konsepsi pendidikan dari pandangan yang demikian. Sebuah landasan pendidikan yang tak parsial dalam menterjemahkan manusia, ilmu pengetahuan, dan pendidikan. Muh. Anis, dalam Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan: Meretas Konsep Pendidikan dalam Al-qur’an membahasakan bagaimana Al-qur’an memang sepantasnya menjadi rujukan utama dalam kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan.
Buku setebal 311 halaman tersebut lahir didasari atas keperihatinan penulis atas dunia pendidikan yang seolah memandang sebelah mata Al-Qur’an. Sejumlah kritikus bahkan menilai bahwa landasan epistemologis pendidikan via Al-Qur’an tidaklah kokoh karena berasal dari wahyu. Namun demikian, penulis justru berpandangan bahwa pendidikan kita yang salah arah hanya bisa diluruskan dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar. Guna membuktikannya, penulis mencoba mengkaji konsep-konsep dalam Qur’an yang relevan dengan pendidikan. Ia lantas menemukan begitu banyak ayat yang terkait dengan pendidikan. Pada ayat pertama dalam wahyu pertama, Qur’an telah menuliskan, “Iqra’bismi rabbika allazi khalak.” Setelah ayat tersebut, pada surah-surah selanjutnya ternyata Qur’an semakin banyak berbicara mengenai pendidikan. Allah sendiri menyatakan bahwa Ia adalah Rabb yang berarti pendidik, pemelihara, pemilik, yang menumbuhkan, dan menyempurnakan.
Dengan sistematis, Muh. Anis mengelompokan ayat-ayat yang terkait pendidikan ke dalam lima bab. Bab-bab tersebut sekaligus menunjukan bagaimana aspek ontologis, epistemologis, dan axiologis dari pendidikan berdasar Qur’an. Pada bab pertama, penulis memaparkan konsep manusia dalam pandangan Al-Qur’an. Beberapa ayat yang menerangakan konsepsi manusia adalah Surah al-Tin: 4-8, Surah al-Isra’: 70, Surah al-Mu’minun: 12-14, dan Surah al-Nisa’: 1. Salah satu petikan Surah al-Isra’ ayat 70 menyatakan, “Dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami cinptakan.” Petikan tersebut menunjukan betapa manusia merupakan mahluk paling sempurna. Allah memuliakan manusia dengan karunia yang besar dengan diberi akal dan hati. Oleh karena itu manusia harus bersyukur kepada Allah atas karunia yang telah diberikan. Sikap syukur tersebut ditunjukan dengan bagaimana manusia mengelola segala kelebihannya guna menjad khalifah bagi semesta.
Bab kedua membahas konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an. Ilmu Pengetahuan merupakan hal yang diutamakan dalam ajaran Islam. Ini terlihat dari wahyu pertama (Surah al-‘Alaq: 1-5) adalah perintah untuk membaca. Selain membaca wahyuNya yang tertulis (qaulliyah), manusia juga ditekankan untuk membaca tanda-tandaNya yang tersebar di alam semesta. Sumber ilmu dalam presepektif Qur’an adalah Allah SWT. Ilmu Allah atau din sebagian kecil ditunjukan dalam AL-Qur’an dan cabang-cabang din, dari sains hingga humaniora berserakan di alam semesta. Tugas manusia adalah menemukan, meneliti, kemudian menjadikannya bermanfaat bagi umat semesta alam. Proses keilmuan tersebut menempati posisi penting dalam derajat keimanan seseorang. Ini sebagaimana firmanNya, “Niscaya Allah akan meninggalkan orang-orang beriman di antara kamu dan orang yang berilmu. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Surah at-Taubah: 122). Rassullualh juga bersaba, “Siapa saja yang meniti jalan untuk mencari ilmu pengetahuan, Allah akan memudahkan jalannya ke surga.” (H.R. Abu Daud dan at-Tirmizi). Dalam konteks pendidikan, Al-Qur’an telah menjamin bahwa usaha memperoleh ilmu adalah ibadah. Firman Allah terkait konsepsi ilmu pengetahuan adalah lainnya adalah Surah al-Baqarah: 31-32, Surah at-Taubah: 122, Surah al-Mujadilah: 11, dan Surah al-Isra’: 85.   
Selanjutnya, bab ketiga menerangkan bagaimana tujuan pendidikan menurut Al-Qur’an. Sejumlah ayat yang mengarah pada penjelasan tersebut adalah Surah az-Zariyat 56, Surah al-Bayyinah: 5, Surah al-Baqarah: 201, dan Surah al-Qashash: 77. Dalam tafsir Muh. Anis, tujuan pendidikan menurut Qor’an adalah kesadaran transendesial. Surah az-Zariyat 56 menyatakan, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.” Pendidikan dalam pandangan Qur’an mesti menyadarkan siapa dan dari mana serta akan ke mana manusia (peserta didik) itu. Kesadaran eksistensial dalam pendidikan menjadi penting agar seseorang bisa memaknai dirinya di dalam kehidupan. Surah al-Bayyinah: 5 menyatakan, “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan memurnikan untuk-Nya.” Ayat tersebut menyiratkan bahwa tugas mahluk tiada lain adalah untuk beribadah. Sebagaimana pengertian ibadah yang terbagi kedalam yang ma’doh dan amalliyah maka selain melaksanakan rukun Islam, manusia juga mesti beramal. Amal yang dimaksudkan terjadi ketika semua hal, tindakan, pekerjaan terkait dunia ditujukan bagiNya. Dengan memurnikan katauhidan maka hal yang menyimpang tak akan terjadi. Dengan kata lain, pendidikan bertujuan untuk menjadikan ilmu sebagai sumber ketaatan kepada Allah.
Pada bab empat, penulis menafsirkan sejumlah ayat mengenai konsep pendidik dan dan peserta didik dalam pandangan Al-Qur’an. Tafsir tersebut dilakukan pada ayat-ayat: Surah Al-Fathihah: 2-3, Surah Al-Baqarah: 151, Surah Al-Jum’ah: 2, Surah Al-Tahrim: 6, dan Surah Al-Rum: 30. Tafasir pada bab ini menyiratkan bahwa pendidik utama manusia adalah Dia sebagai Rabb. Allah mendidik manusia dengan cara memberi potensi, akal pikiran dan hati. Sebagai perantara, manusia yang berperan sebagai pendidik di dunia mesti memiliki sikap rahmah yaitu kasih sayang, pemurah dan sifat lemah lembut kepada peserta didik. Pendidik juga mesti “membebaskan” pikiran pesrta didik dari kesyirikan. Kesyirikan, jika ditelusuri, merupakan hambatan untuk berkreasi, berinovasi, dan berkarya. Di dunia barat, tokoh pendidikan seperti Paulo Freire, dengan pandangan Marxist-nya baru pada awal abad 20 berbicara soal “pendidikan yang mebebaskan”. Ternyata, Al-Qur’an telah puluhan abad sebelumnya berbicara mengenai konsep pendidikan pembebasan. Selain itu, bab ini menjelaskan bahwa model proses pendidikan yang paling ideal adalah seperti saat Nabi Muhammad saw mendidik umatnya.
Bab terakhir membahas bagaimana konsep materi pendidikan dalam Al-Qur’an. Beberapa ayat yang menyiratkan pembahasan terkait hal tersebut adalah Surah Luqman: 13-18, Surah al-Rahman: 1-4, Surah al-Jum’ah: 2. Materi pendidikan, menurut tafsir Muh. Anis mesti bermuara pada tauhid dan ahlaq. Secara konsep, materi pendidikan mesti dihubungkan dengan kesadaran transenden tentang adanya Allah dan di tahapn praksisnya, materi pendidikan mesti mendidik perilaku peserta didik. Namun demikian, materi pendidikan pula tak boleh membuat peserta didik statis dan hanya berkutat pada dirinya. Materi pendidikan harus bisa menggugah kesadaran sosial mereka. Muh. Anis menyebutnya sebagai materi amar makruf nahi mungkar: materi yang mendorong peserta didik untuk mau bersikap dan memperjuangakan kebenaran.
Penjelasan bab demi bab Muh. Anis telah membuktikan bahwa landasan pendidikan dalam preseperktif Qur’an sangatlah kokoh. Bahkan kita temukan betapa banyak konsep yang dianggap baru atau penemuan fenomenal dari kaum positivis (empirisme, materialisme, pragmatisme) sudah beratus tahun sebelumnya diajar AL-Qur’an. Kritik yang dianggap berhasil oleh kaum intlektual kepada positivisme seringkali disematkan pada paham postmodernisme. Akan tetapi, postmodernisme hanya bisa “membongkar” keboborkokan postivisme tanpa mengajukan solisi tepat guna. Al-Qur’an tentu bisa menjelaskan semua hal yang belum bisa terpecahkan oleh pemikiran kontemporer. Namun demikian, kita musti telaten dan ajeg dalam menemukan penjelasan itu dengan kembali mempelajari Al-Qur’an.


Resensi
Judul   : Tafsir Ayat-ayat Pendidikan: Meretas Konsep Pendidikan dalam Al-Qur’’an
Penulis            : Dr. Muh. Anis, M.A.
Penerbit : Mentari Pustaka
Jml Hal            : 311 halaman
Tahun             : 2012
 



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram