Langsung ke konten utama

Etika dan Kritik atas Penelitian Ilmiah




A.    Pengantar
Pernahkah anda mempertanyakan untuk apa kita belajar linguistik? Linguistik tak bisa menciptakan tanaman varietas baru untuk meredakan kelaparan saudara kita di Afrika. Linguistik pula tak bisa menciptakan teknologi canggih untuk menemukan planet “biru” baru sehingga manusia bisa transmigrasi ke sana. Terlebih lagi lunguistik menjelaskan bahasa yang pada dasarnya anak balitapun mampu berbahasa. Sepertinya alasan demikian cukup untuk membuat anda merenung kembali untuk melanjutkan studi anda atau tidak.
Bandingkan dengan disiplin ilmu lain yang nampaknya lebih populer dan bergengsi. Ilmu pertanian semisal, dengan ilmu itu manusia akademisi bisa menciptakan terobosan dalam ketahanan pangan. Mereka bisa menciptakan benih padi yang lebih bisa menghasilkan sehingga mampu membuat bangsa ini swasembada pangan. Disiplin ilmu komputer lebih populer lagi. Dengan berbagai program pengembangan mereka yang menekuni ilmu komputer bisa menciptakan software yang bisa mempermudah komunikasi dan kerja manusia. Terlebih ilmu hukum, dengan ilmu yang keren ini anda bisa menjadi kaya dengan menjadi pengacara ataupun notaris. Anda juga bisa menjadi orang yang sangat berkuasa jika anda menjadi hakim.

Selain soal jurusan anda yang kurang populer, anda juga mesti berhitung betul ihwal cita-cita orang tua anda. Harapan anda dan orang tua mengeluarkan biaya yang tidak sedikit di program pascasarjana tentu cukup jelas. Orang tua Anda ingin agar kehidupan anda di masadepan bisa lebih baik darinya. Dalam benak sendiripun pasti muncul mimpi untuk menjadi sejahtera dengan melanjutkan studi hingga S2. Namun hitung-hitungan matematis sepertinya akan sedikit membuat anda dan orang tua Anda mengerutkan dahi. Menjadi linguis tak lebih menghasilkan dibanding menjadi pejabat bank maupun pekerja tambang minyak bumi di Kalimantan semisal. Mungkin anda memiliki rekan yang lulusan SMA namun baru beberapa tahun saja bekerja di tambang, pulang saat lebaran, dia sudah menunggangi Honda Jazz; yang RS pula, untuk sekedar sholat Ied. Sepertinya anda akan sulit menyamai pencapaian teman anda itu. Lalu, untuk apa menjadi “tua” di kampus jika lulus SMA rupanya bisa lebih kaya?
Sampai di sini anda barangkali mulai kehilangan alasan untuk mengatakan ilmu linguistik itu mantab. Bayangkan jika anda harus menjelaskan jika sebagai mahasiswa linguistik anda bisa meyakinkan calon mertua anda bahwa anda bisa membahagiakan putrinya kelak. Anda semakin kalah pamor jika selain anda, ada calon lain yang dokter dan ustadz. Rival anda yang dokter tentu hanya butuh sedikit kata untuk membuktikan ia mampu. Sebagai seorang dokter ia hanya cukup memerikasa beberapa menit dan uang terkumpul sudah dengan derasnya. Anda barangkali juga akan kalah dengan rival ustadz yang lulusan “Gontor” apalagi dari Al Azhar Mesir. Setidaknya mereka lebih paham Agama yang kini menjadi standar baik-tidaknya seseorang. Mereka juga berpotensi menjadi Uje atau ustadz Soulmet yang cukup mendalil hadiz populer sudah bisa kaya raya. Dengan penjelasan ini barangkali anda perlu bersiap menynyikan lagi “Someone Like You” dari Adele – “I heard that you marry now” namun dengan lelaki lain. Menyakitkan!
Selain bersiap untuk “galau”, anda sebaiknya mulai menggali alasan yang berada di dalam hati terdalam anda untuk menjadi linguis. Paling tidak dengan itu anda punya sedikit alat untuk “mbungah-mbungahke ati” – menyusun alasan untuk bisa menawar pilu hati. Pertanyaan yang perlu anda camkan baik-baik adalah semisal, “untuk apa dan bagaimana linguistik itu?”
Pertanyaan itu nampak sepele namun akan cukup sulit dijawab jika anda benar-benar sepenuh hati menjawabnya; bukan dari buku ataupun profesor linguistik anda. Dari buku mungkin anda akan menyimpulkan bahwa linguistik adalah ilmu yang menjelaskan persoalan kebahasaan. Profesor anda akan memotivasi anda dengan mengatakan bahwa dengan melakukan penelitian linguistik anda bisa menguraikan persoalan kebahasaan. Namun, kembali lagi, apakah dengan jawaban itu anda akan tampil lebih baik ketimbang manfaat kelimuan pertanian, teknologi komputer, hukum, ekonomi, geologi, kedokteran, bahkan ilmu agama? Apakah sebagai ilmuan kita bisa menutup telianga dari pertanyaan-pertanyaan tentang “nilai” tersebut?

B.     Realitas dan Interpretasi  
Sebelum memulai menjawab pertanyaan di atas dari lubuk hati anda yang terdalam, ada baiknya anda menganalisa mengapa orang tua anda menganggap dengan kuliah S2 anda berkesempatan untuk hidup lebih sejahtera. Anda juga cukup perlu kiranya untuk mempertanyakan mengapa dokter dan ustadz lebih baik di mata calon mertua anda.
Bukan hanya orang tua anda, orang lain bahkan menteri pendidikan dan presiden juga akan beranggapan bahwa tingkat pendidikan berbanding lurus dengan kesejahteraan. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka ia akan lebih masuk akal untuk lebih kaya. Mentri pendidikan menamakan pandangan ini dalam konsep pandang human capital. Manusia dalam perspektif ini dipandang sebagai modal kemajuan ekonomi. Dengan mendidik manusia dengan sistem pendidikan nasional maka manusia itu kelak bisa menjadi pekerja ahli dan pekerja terampil yang mendukung proses produksi. Dalam benak presiden, sistem pendidikan yang demikian akan membuatnya punya data memuaskan di depan PBB untuk mengatakan bahwa ia berhasil menaikan kesejahteraan rakyatnya – dengan perhitungan pendapatan perkapita dan produksi nasional. Dengan itu PBB akan menempatkan Indonesia dalam jajaran negara maju dan berhak bergabung dalam G20. Jika sekelas PBB presiden saja berpandangan bahwa ilmu itu untuk uang, apalagi orang tua anda.
Dalam ranah bahasa, bisa dibahas contoh lebih detil semisal tentang sedang populernya bahasa alay. Sejak berkembangnya media belasan tahun ini, kosakata-kosakata yang melenceng dari kaidah bahasa Indonesia. Bahasa unik itu ternyata diterima secara baik oleh masyarakat dalam kesehariannya. Bahasa alay juga menempati prestis khusus pada pergaulan masyarakat. Mereka yang menuturkan istilah baru tersebut akan dianggap sesuai dengan perkembangan zaman atau “gaul”. Mereka, apalagi kaum muda, yang enggan menggunakan bahasa gaul bisa saja dianggap kurang mengikuti perkembangan zaman atau “nggak gaul”.
Dalam menyikapi perkembangan bahasa alay tersebut tentu muncul pro dan kontra. Mereka yang pro dengan akan membela jika fenomena kebahasaan tersebut adalah sebuah kreatifitas yang mesti diapresiasi. Itu juga membuktikan bahwa bahasa itu kreatif, bahasa itu mana suka. Jika dengan penggunaan bahasa alay komunikasi bisa berjalan lebih mudah maka tidak ada alasan untuk menolaknya. Bahasa alay juga menimbulkan efek khusus yang tak mampu dicapai oleh bahasa konvensional. Efek lucu dan menggelekian bisa dengan mudah tercipta dengan menggunakan bahasa alay. Dalam pandangan semantik, alay juga masuk dalam ketegori unique karena spesifik. Dengan itu bahasa alay bisa menjelaskan dengan lebih mendetail sebuah pesan hanya dengan sejumlah kecil kata.
Perkembangan bahasa alay yang pesat membuatnya memiliki daya untuk menjadi simbol dalam semiotika produk. Perusahaan oprator telekomunikasi besar seperti XL semisal menggunakan istilah alay untuk memperkenalkan produknya. Hanya dengan kosakata ciyus miapa – yang berarti serius demi apa – iklan XL bisa didongkrak kepopulerannya. Dengan itu akan lebih mungkin kiranya masyarakat tertarik dengan produk XL tersebut. Saiangan XL yakni Telkomsel tak mau kalah dalam menggunakan bahasa alay dalam iklannya. Ia menggunakan istilah, “Terus gua mesti bilang wow sambil guling-guling gitu?” Telkomsel mampu mencuri perhatian masyarakat. Sebagian besar pemirsa TV akan membahasa iklan Telkomsel tersebut. Berawal dari kepopuleran istilah alay yang dipakai, masyarakat akan lebih tertarik membeli produk Telkomsel.
Bagi mereka yang tidak sepakat dengan perkembangan bahasa alay akan menilai secara preskriptif bahasa para alayers – sebutan bagi penutur bahasa alay – tersebut sebagai penyimpangan terhadap kaidah berbahasa. Peneliti di Balai Bahasa tentu akan mengkritisi perkembangan bahasa alay. Bahasa alay dinilai merusak tujuan Balai Bahasa dalam kampanye penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Balai Bahasa setidaknya akan mengatakan di media bahwa perkembangan bahasa alay telah sangat memperihatinkan. Lebih lanjut balai bahasa akan melakukan penelitian kebahasaan untuk menganalisa dampak penggunaan bahasa alay terhadap kelestarian bahasa Indonesia. Hasil penelitian itu kelak akan dihubungkan dengan konstutusi yang menjamin keberadaan bahasa Indonesia. Dasar hukum tersebut bisa saja digunakan sebagai senjata untuk membasmi penggunaan bahasa alay.
Dari contoh permasalahan ihwal bahasa alay bisa dilihat bahwa realitas perkembangan bahasa alay bukan hal yang serta merta tepat didefinisakan dengan satu pandangan tertentu saja. Mereka yang pro tidak begitu saja memutuskan untuk mengatakan bahwa bahasa alay itu bermanfaat. Tentu ada latar belakang yang menjadikan mereka berkata demikian. Anak “gaul” barangkali memiliki perspektif bahwa semua yang namapak unik, aneh, dan nyleneh itu baik. Hampir semua alayers adalah anak remaja yang dalam masa pencarian identitas. Semua hal baru akan mereka nilai bisa dicoba. Bagi pengusaha operator, alasan mereka menilai bahasa alay itu menguntungkan juga tak ujug-ujug terjadi begitu saja. Para pengusaha pasti akan berusaha keras menciptakan keuntungan. Jika menggunakan bahasa alay bisa membuat barang jualan mereka laku keras pastilah bahasa alay itu baik.
Pihak yang kontra, yakni Balai Bahasa memandangan perkembangan bahasa alay sebagai hal buruk juga dilatarbelakangai hal tertentu. Balai Bahasa memiliki perspektif tertentu sehingga sampai pada simpulan bahwa bahasa alay itu tidak baik. Para peneliti di Balai Bahasa berpandangan preskriptif – berfikir hitam putih – terhadap fenomena kebahasaan termasuk perkembangan bahasa alay. Semua yang menyalahi kaidah bisa dianggap mengancam dan bisa untuk diambil tindakan. Ancaman kebahasaan mesti diselesaikan dengan penelitian.
Realitas kebahasaan ternyata tidak bisa dipisahkan dari perspektif individu yang menilainya. Relitas ternyata bukan begitu saja dinilai namun lebih menyangkut perspektif penilainya. Di sinilah letak ideologi. Ideologi akan menjadi filter seseorang dalam menimbang sebuah realitas. Bisa disebut bahwa realitas apapun termasuk realitas kebahasaan itu patologis – terkait siapa dan bagaimana si penilai. Dengan itu sepertinya realitas memang perlu dipertanyakan. Realitas tak bisa dianggap sendiri dan netral. Lebih tepat disebut bahwa realitas itu tidak ada dan yang ada hanya patologi realitas, realitas semu.          
Istilah patologi realitas akhirnya juga bisa menjawab pertanyaan anda tentang pandangan orang tua anda dan calon mertua anda. Penilaian orang tua anda bahwa dengan melanjutkan studi, anda berkesempatan lebih untuk menjadi sukses mendasari analisa mereka dalam mendefinisikan urgensitas pendidikan. Perspektif itu digunakan untuk menganalisa fenomena pengangguran intelek yang saat ini masif terjadi. Mereka para sarjana, meski bergelar S1, banyak yang menganggur. Dengan setingkat diatas S1 dan maka realitas tentang pendidikan akan dinilai sebagai sebuah perjuangan nasib. Penilaian calon mertua anda soal profesi dokter dan ustadz juga dilatarbelakangi oleh prespektif tertentu. Selain soal finansial, profesi dokter dan ustadz juga dinilai mulia. Realitas bahwa anda seorang linguis dan rival anda seorang dokter dan ustadz menjadi sangat subyektif bagi mertua anda. Kata-kata pujangga bahwa “Don’t Judge A Book from Its Cover” – jangan melihat seseorang dari sisi yang nampak saja – adalah mitos yang menjadi alibi. Pada kenyataannya, prespektif dan interpretasi calon mertua anda bahwa mantu yang baik adalah yang bisa mensejahterakan putrinya adalah sesuatu yang lebih akurat. Dan anda sebagai linguis tidak lebih baik soal itu daripada dokter dan ustadz melalui analisa calon mertua anda dengan prespektif dan interpretasinya tersebut.

C.    Penelitian Ilmu Alam, Ilmu Sosial dan atau Linguistik
Kembali ke persoalan mengenai mengapa keilmuan pertanian, teknologi komputer dan ilmu sains lainnya untuk sementara ini bisa dianggap memiliki kontribusi yang jelas dalam kehidupan manusia. Mengapa pula ilmu sosial seperti ilmu hukum pun sama dianggap bisa lebih menyelesaikan persoalan manusia kontemporer. Steriotip tersebut tak muncul karena persoalan logika sederhana saja soal kemanfaatan. Sejarah perkembangan ilmu sains dan sosial sendiri telah mendikotomikan kedua ilmu itu. Itu termasuk mengenai penelitian dua ilmu yang memiliki obyek kajian berbeda tersebut.
Tujuan dalam setiap penelitian dan observasi adalah pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang kenyataan, tentang realitas. Bermacam-macam objek penelitian menentukan macam-macam ilmu pengetahuan yang dihasilkan. Namun, satu hal yang semakin serius dilihat dalam filsafat pengetahuan dewasa ini bahwa bermacam-macam pendekatan, metode, prosedur, dan seterusnya juga menentukan macam-macam pengetahuan yang dihasilkan. Secara sangat umum dibedakan dua macam ilmu pengetahuan yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Fisika, kimia, biologi, dan barisan ilmu sejenis yang mengamati objek-objek alamiah masuk ke dalam tipe Naturwissenschaften – ilmu-ilmu alam - dalam istilah W. Dilthey. Sementara berbagai macam gejala kemanusiaan dan kebudayaan diamati oleh ilmu tipe Geisteswisseschaften – ilmu-ilmu roh/budaya. Masalahnya di sini apakah dengan objek yang berbeda itu lalu juga dipergunakan pendekatan yang berbeda.
Ternyata pendekatan-pendekatan ilmu alam yang telah sukses menjelasakan gejala-gejala alam sampai menjadi teknologi, diyakini bahwa sukses yang sama akan diperoleh jika pendekatan itu dipakai dalam ilmu-ilmu tentang masyarakat. Pengandaian-pengandaian dasar dari penelitian ilmu alam digunakan juga dalam penelitian sosial. Pengandaian itu seperti para ahli kimia yang mengambil jarak dalam menghadapi proses-proses alamiah dan menganggapnya sebagai objek belaka. Penelitian ini mengambil sikap distansi penuh. Kemudian dengan distansi penuh ia harus menghadapi fakta sebagai “fakta netral” yaitu data yang bersih dari unsur-unsur subjektifnya seperti keinginan, nafsu, penilaian, moral dan sebagainya. Dengan jalan itu ia dapat memanipulasi objeknya dalam eksperimen untuk menemukan pengetahuan menurut model sebab-akibat. Hasil manipulasi adalah sebuah pengetahuan tentang hukum-hukum yang niscaya. Rumusan semacam itu bisa disebut sebagai rumusan deduktif-nomologis. Teori yang kemudian dihasilkan merupakan sebuah pengetahuan yang bebas dari kepentingan dan dapat diterapkan secara instrumental, secara universal.
Semua pengandaian (distansi penuh, netralitas, manipulasi, hukum-hukum, bebas kepentingan, universal, instrumental) oleh positivisme diterapkan pada penelitian sosial, hanya sekarang objeknya bukan tikus putih , asam amino, mesin, sel, dan sebagainya, melainkan kenyataan sosial. Ilmu-ilmu sosial yang dihasilkan diyakini sebagai potret tentang fakta sosial yang biasa dikenal sebagai istilah “bebas nilai” yaitu tak mengundang interpretasi subjektif dari penelitinya. Siapapun dia – asal memenuhi prosedur penelitian diatas – tak mempengaruhi pengetahuan yang dihasilkan , sehingga pengetahuan itu itu dapat dipakai secara instrumental oleh siapa saja, sebab bersifat universal dan instrumental. Dengan mengkuantifikasi data dan mencapai perumusan deduktif –nomologis, ilmu –ilmu sosial lalu bertujuan untuk meramalkan dan pengendalian proses-proses sosial, menurut semboyan Comte, Savoir pour prevoir (mengetahui untuk meramalkan). Dengan cara ini , ilmu-ilmu sosial dapat membantu terciptanya susunan masyarakat yang rasional.
Pada kritik-kritik pada awalnya terhadap positivisme, para pendahulu Habermas, menunjukan bahwa positivisme bermasalah, karena pandangan tentang penerapan metode ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial tak lain dari ideologi. Pembuktian mereka dapat disederhanakan sebagai berikut. Dengan pengandaian tersebut diatas (netral, bebas-nilai dan seterusnya) dan dengan hanya meng-”kontemplasikan” masyarakat, positivisme melahirkan status quo konfigurasi masyarakat  yang ada. Mengapa ? penelitian harus memperoleh pengetahuan tentang das Sein (apa yang ada) dan bukan tentang das Sollen (apa yang seharusnya ada). Dengan cara itu pengetahuan tidak mendorong perubahan, hanya menyalin data sosial itu. Kemudian mereka menunjukan bahwa pengetahuan semacam itu pada gilirannya juga dipakai untuk membuat rekayasa-sosial, menangani masyarakat sebagai perkara teknis seperti menangani alam. Meskipun sangat tajam, kritik mereka masih berbau moralitas, dan baru dalam pemikiran Habermas persoalan ini ditunjukkan secara epistimologis. Teori kritik Habermas ini menghasilkan sebuah prespektif yang berharga bagi kita untuk melihat dua paradigma penelitian.   
Setiap usaha untuk mengatasi positivisme mau tak mau perlu mengakui adanya wilayah ilmu-ilmu sosial. Bagaimanapun juga wilayah ini adalah wilayah sosial yang manusiawi, suatu wilayah yang dihayati. Disini terdapat berbagai macam bentuk objek simbolis yang kita hasilkan  lewat percakapan dan tindakan. Mulai dari  ungkapan-ungkapan langsung, sperti pikiran, perasaan, dan keinginan, melalui endapan-endapannya seperti teks-teks kuno, karya seni dan sebagainya sampai pada susunan-susunan yang dihasilkan secara langsung yang sifatnya stabil seperti pranata sosial, struktur kepribadian, dan sistem sosial. Sungguhpun dalam penelitian kerap disebut “objek-objek sosial”, hal-hal yang ada dalam wilayah ini dihasilkan oleh subjek sosial yang setara dengan subjek peneliti. Jika dalam wilayah ilmu alam kita mendapati objek-objek mekanis yang tunduk dalam hukum alam, di sini kita bukan hanya menjumpai struktur-struktur simbolis yang ditafsirkan terus-menerus oleh para pelaku, melainkan juga menjumpai apa yang oleh Weber disebut “masalah-masalah makna”, yang bersifat eksistensial: kejahatan, penderitaan, frustasi, kemalangan dan setrusnya. Dengan demikian wilayah ini bukan hanya bertumpu pada Lebenselt, melainkan juga tetap merupakan Lebenswelt sosial (dunia kehidupan sosial). Penafsiran ilmu Libenswelt (dunia kehidupan sosial). Penafsiran-penafsiran ilmu sosial bersumber dalam dunia kehidupan sosial, sebab di sini peneliti tak bisa berpikir lepas dari dunia-kehidupan sosial itu, seperti yang bisa dilakukan dalam wilayah ilmu-ilmu alam.
Telah di singgung bahwa wilayah-wilayah operasi penelitian itu sebenarnya adalah perspektif-perspektif, maka tidak hanya menyangkut objek pengetahuan tetapi juga sebagai subjek pengetahuan. Oleh karena itu, peneliti yang hendak memperoleh pengetahuan tentang wilayah-wilayah itu juga perlu mengambil pendekatan-pendekatan yang berbeda-beda. Mengapa? Habermas menjawab, karena kepentingan tindakan, dan akhirnya pengetahuan yang secara radikal berbeda dalam kedua wilayah terakhir. Masalah yang sesungguhnya telah terlihat adalah bahwa pengetahuan seperti yang dirumuskan dalam teori-teori itu tidak lepas dari praksis. Ada keterkaitan antara teori dan praksis. Praksis, yang bisa diasa diperlawankan dengan kontemplasi atau teori murni, mengandung unsur-unsur subjektif, seperti penilaian moral dan kepentingan. Oleh karena itu, menerapkan pendekatan ilmu-ilmu alam pada wilayah dunia kehidupan sosial ini (seperti dilakukan positivisme) berarti juga menerapkan praksis tertentu yang tidak cocok untuk menghadapi masyarakat dan kebudayaan.
Untuk mendekati wilayah ilmu-ilmu alam, seorang pakar ilmu alam seperti pakar bilogi harus menghadapi gejala-gejala alam seperti proses metabolisme, jaringan, otak, dan sebagainya sebagai objek murni. Oleh karena itu ia harus menyingkirkan berbagai macam unsur subjektifnya seperti rasa jijik, takut, penilaian moralnya bahkan keyakinannya sehingga tidak mengganggu penelitiannya dalam laboratorium. Proses-proses alamiah itu harus diteliti sampai ditemukan kaitan-kaitan sebab-akibat yang bersifat niscaya. Lalu ditarik kesimpulan umum atau hukum umum, dan kemudian kesimpulan deduktif, yaitu hukum umum itu diberlakukan pada data-data khsusus lain, melalui rumusan deduktif-nomologis (bila…, maka…).
Untuk mendekati wilayah-wilayah ilmu sosial memerlukan pendekatan yang spesifik berbeda. Kehidupan sosial yang memuat objek-objek dan struktur-struktur simbolis yang telah dijelaskan sebelumnya tak dapat dimasuki dengan distansi penuh atau menghadapinya sebagai objek manipulasi belaka. Seorang peneliti sosial hanya bisa memasuki objek dengan apa yang disebut dengan pemahaman sebab yang ditemukan di wilayah ini bukanlah hubungan-hubungan kausal yang bersifat niscaya belaka melainkan makna. Kematian seorang bocah yang diiringi dengan slametan-slametan dan upacara arwah yang menghimpun penduduk kampung, bukan sekedar peristiwa alamiah meski disebabkan oleh nyamuk demam berdarah. Kematiannya juga adalah peristiwa sosial dan eksistensial yang luput dari mata seorang fisikus yang mengamatinya persis seperti mengamati kematian kelinci-kelici percobaannya. Diperlukan “mata seorang manusia” yang dapat memahami makna. Oleh karena itu, dalam wilayah ini seorang peneliti sosial tidak lebih tahu daripada para pelaku. Ia harus masuk dengan cara tertentu untuk menjelaskan objek simbolis itu, yaitu dengan cara memahami makna. Namun, untuk memahaminya, ia harus berpartisipasi dalam proses menghasilkan objek dan struktur simbolis itu. Akhirnya, partisipasi juga telah mengandaikan bahwa sang peneliti sudah termasuk kedalam dunia kehidupan itu.
Dalam memasuki wilayah ini, seorang peneliti sosial tak lebih dari seorang asing yang ingin memahami apa-apa yang ada dalam wilayah sosial yang ia teliti. Untuk itu, ia harus berbicara, bertanya, menanggapi, menyimpulkan, melihat perubahan air muka, menangkap perubahan-perubahan, mendengar pengalaman, dan mengikuti semua itu juga dengan kesadaran akan dirinya sendiri. Ada sebuah kepentingan kognitif khusus yang mendorong seluruh proses ini. Habermas menyebutnya kepentingan praktis. Tujuannya adalah pemhaman timbal balik, yang dalam konteks ini antara peneliti dan para pelaku. Di sini tujuannya bukan kontrol atas orang lain sebagai objek, melainkan saling memahami sebagai subjek-subjek yang sama. Jika pada wilayah ilmu-ilmu alam, peneliti melakukan monolog, di sini mau tak mau harus diadakan dialog. Kepentingan praksis ini  mendorong tindakan yang di sebut tindakan komunikasi. Tindakan komunikatif yang memiliki tujuan pemahaman timbal balik itu juga hendak merealisasikan konsensus sosial, karena dengan konsensus itu manusia dapat hidup aman dalam masyarakat dan kebudayaan. Secara umum hal yang mesti kita pahami dari dua wilayah yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial menurut F. Budi Hardiman adalah sebagai berikut:

Penelitian dalam Ilmu Alam
Penelitian dalam Ilmu Sosial
Kepentingan
Teknis
Praktis
Praksis
Kerja
Komunikasi
Orientasi
Sukses
Pemahaman timbal-balik
  Pertanyaannya sekarang dimanakah wilayah ilmu linguistik. Jika mencermati ruang lingkup Geisteswisseschaften bisa disimpulkan bahwa ilmu linguistik masuk kedalam wilayah ilmu sosial. Jika ada anggapan bahwa ilmu linguistik tak lebih menarik dari ilmu alam sebagaimana dinarasikan dalam pengantar sebelumnya, jelas sudah jawabannya. Ilmu linguistik sebagai bagian dari ilmu sosial mau tak mau mesti diakui mengikuti pola penelitian ilmu alam. Ambil contoh soal teori langue, langage, dan parole yang diajukan oleh peletak dasar lingusti modern, Ferdinan De Saussure. Ia memutuskan bahwa bahasa bisa dilacak menjadi ilmiah tatkala dalam bentuk langue. Dalam beberapa literasi bahkan Saussure memunculkan rumus langue adalah hasil pengurangan antara langage  dan parole. Pada Initinya, bahasa akan menjadi objek penelitian yang ilmiah tatkala langue itu sudah dipisahkan dari konsep penutur atau deep structure dalam istilah Noam Chomsky. Selain itu, langue menjadi ilmiah jika ia terpisahkan dari unsur sosial dalam masyarakat. Saussure dalam hal ini memang terpengaruh seorang sosiolog besar saat itu, Emile Durkheim, yang tersohor dengan teori kesadaran individu dan kesadaran kolektifnya.
Selain dianggap tersubordinasi oleh ilmu alam dalam hal seputar penelitian dan praksisnya, positivisme bisa juga menjadi sebab mengapa ilmu linguistik kurang dianggap memberikan kontribusi nyata dalam kehidupan manusia. Ketika linguistik dikerjakan dengan praksis ilmu alam maka akan menghasilkan formula atau pola-pola umum yang kelak menjadi sebuah hukum-hukum yang niscaya: rumusan yang disebut sebagai deduktif-nomologis, (bila…, maka…). Ini sekaligus menjawab sikap preskriptif Balai Bahasa ihwal bahasa alay. Terlepas dari peneliti Balai Bahasa yang pasti memiliki prespektif indvidual yang mengarah pada patologi realitas, pendekatan, metode, prosedur, dan seterusnya yang digunakan mereka adalah hal yang dikritik Habermas. Dengan menganggap wilayah bahasa dengan cara distansi penuh, netralitas, manipulasi, hukum-hukum, bebas kepentingan, universal, instrumental kiranya peneliti Balai Bahasa hanya khatam analisisnya dalam pandangan hitam-putih bahasa alay. Jika saja ada kehendak dan etikat baik dari Balai Bahasa untuk meneliti bahasa alaya dalam sebuah praksis komunikasi pemhaman timbal balik bisa jadi apa yang dihasilkan penelitian Balai Bahasa memiliki kontribusi yang lebih terhadapa nasib bahasa dan terutama para penuturnya.
Lebih utama, jika kritik atas positivisme dalam ilmu linguistik bisa secara sadar anda perhatikan, anda akan dengan gagah menjawab harapan orang tua anda soal kemanfaatan studi lanjut S2. Lebih penting lagi, anda akan bisa mendebat konsep “kesejahteraan” yang menjadi alibi calon mertua anda untuk lebih memilih dokter atau ustadz. Anda bisa berkata, “Kesejahteraan bukan soal pendapatan perkapita atau seberapa kaya kita tapi lebih kepada ketulusan cinta yang lebih mungkin membuat putri anda bahagia”.

D.    Kepentingan, Praksis, Orientasi dalam Bingkai Etika     
Jika dalam tulisan ini diawali dengan sejumlah perbandiangan antara beberapa hal, kemudian memunculkan istilah realitas dan iterpretasi yang berujung pada patologi realitas, maka sebenarnya kita hampir menyentuh sebuah cabang filsafat yang sangat penting yakni etika. Melalui penjelasan ihwal etika kita bisa merangkum kritik atas positivisme dalam penelitian sosial dan bahasa. Hal yang juga penting dibahasa adalah etiket yang agak berbeda dengan etika namun akan sengat berguna dalam pengembangan penelitian. Arti dan makna etika barangkali penting untuk dijabarkan.
Etika berasal dari bahasa Yunani “ethikos”, yang berarti “timbul dari kebiasaan” atau dalam bentuk jamaknya adalah ”ta etha” yang artinya adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukan filsafat moral. Istilah lainnya yang memiliki konotasi makna dengan etika adalah moral. Katak moral dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa latin yaitu mores yang berarti adat kebiasaan. Kata mores ini mempunyai sinonim mos, moris, manner mores, manner, morals. Kata moral berarti akhlak  atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Kata moral dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang menjadi etika.  
Secara istilah etika mempunyai tiga arti : pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sutau kelompok dalam mengatur tingkah  lakunya. Kedua. etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode etik). Ketiga, etika berarti ilmu tentang yang baik atau buruk, Etika merupakan cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi suatu studi mengenai standard dan penilaian moral. Etika dalam hal ini mencakup analisis dan penerapan konsep benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis.
Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum tentang sikap, perbuatan, kewajuban dan sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk pada ukuran-ukuran yang telah diterima oleh suatu komunitas, sementara etika umumnya lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan di berbagai wacana etika. Saat ini mulai digunakan secara bergantian dengan filsafat moral sebab dalam banyak hal, filsafat moral juga mengkaji secara cermat prinsip-prinsip etika.
 Refleksi unsur-unsur etis dari pendapat spontan merupakan awal dari etika. Etika diperlukan karena pendapat etis dari setiap orang berbeda-beda. Sebagai suatu ilmu, etika merupakan ilmu yang memiliki sudut pandang normatif. Obyek yang dipelajari dalam etika yaitu tingkah laku manusia. Etika berbeda dengan etiket, perbedaan keduanya cukup tajam, antara lain : etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, etika menunjukkan norma tentang perbuatan itu. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, etika berlaku baik saat sendiri maupun dalam kaitannya dengan lingkup sosial. Etiket bersifat relatif, tergantung pada kebudayaan, etika lebih absolute. Etiket hanya berkaitan dengan segi lahiriya, etika menyangkut segi batiniah. Etika terbagi menjadi tiga bagian utama yaitu : meta-etika(studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).
Beranjak dari pengertian di atas, secara etimologis, dimana etika dimaknai sebagai ajaran tentang baik buruk yang diterima umum tentang sikap, perbuatan, kewajuban dan sebagainya, sebuah penelitian termasuk penelitian bahasa merupakan hal yang sama-sekali tak bebas nilai. Pada dasarnya etika bersifat luas dan universal sehingga dari itu sebuah penelitian juga mesti memperhatiakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam penelitian yang bersifat positivis, etika barangkali mesti dikesampingakan demi menjaga distansi penuh, netralitas, manipulasi, hukum-hukum, bebas kepentingan, universal, instrumental yang menjadi pola utama dalam penelitian ilmu alam. Seharusnya sebuah penelitian tidak bisa dipisahkan dari etika yang hidup dalam masyarakat karena etika mengikat baik bagi peneliti maupun pelakunya.
Kepentingan, praksis, orientasi diatur dalam sebuah etiket. Ini mengacu pada pengertian etiket. Sehingga pendekatan, metode, prosedur selain dilihat sebagai hal yang menentuka dalam proses penelitian juga merupakan etiket tersendiri. Diskusi di atas mengenai banyak hal terkait penelitian ilmiah salah satunya membahas wilayah etiket. Dengan sejumlah analisa sebelumnya, kita bisa menjelaskan atau barangkali membantah sebuah contoh etiket di bawah ini.
Etiket yang perlu dimiliki para ilmuwan itu antara lain adalah pertama tidak ada rasa pamrih (disinterestedness), artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi; kedua, bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap pelbagai hal yang dihadapi. Misalnya hipotesis yang beragam, metodologi yang masing-masing menunjukkan kekuatannya masing-masing, atau, cara penyimpulan yang satu cukup berbeda walaupun masing-masing menunjukkan akurasinya; ketiga, adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun alat-alat indera serta budi (mind); keempat, adanya sikap yang mendasar  kepada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang teerdahulu telah mencapai kepastian; kelima, adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset, dan riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya; dan  akhirnya keenam, seorang ilmuwan  harus memiliki sikap etis (akhlaq) yanga selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara.

E.     Kesimpulan
 Pada intinya tulisan ini membahas etika dan etiket dalam penelitian ilmiah. Narasi dan contok kasus yang disajikan dari awal bertujuan agar kita mampu menguraikan permasalahan seputar penelitain ilmiah, khsusunya dalam bidang linguistik sekaligus, membangun benang merah yang kuat antara penelitian ilmiah dengan etika. Benang mereh tersebut diharapkan bisa memunculkan paradigma kritis ihwal sikap dan pandangan kita sebagai peneliti. Secara umum, potongan-potongan kasus dalam tuliasan ini memiliki simpulan sebagai berikut.
Relitas bukan begitu saja dinilai namun lebih menyangkut perspektif penilainya. Di sinilah letak ideologi. Ideologi akan menjadi filter seseorang dalam menimbang sebuah realitas. Bisa disebut bahwa realitas apapun termasuk realitas kebahasaan itu patologis – terkait siapa dan bagaimana si penilai. Dengan itu sepertinya relitas memang perlu dipertanyakan. Realitas tak bisa dianggap sendiri dan netral. Lebih tepat disebut bahwa realitas itu tidak ada dan yang ada hanya patologi realitas, realitas semu.
Penelitian harus memperoleh pengetahuan tentang das Sein (apa yang ada) dan bukan tentang das Sollen (apa yang seharusnya ada). Dengan cara itu pengetahuan tidak mendorong perubahan, hanya menyalin data sosial itu. Dengan demikian wilayah ini bukan hanya bertumpu pada Lebenselt, melainkan juga tetap merupakan Lebenswelt sosial (dunia kehidupan sosial). Penafsiran ilmu Libenswelt (dunai kehidupan sosial). Penafsiran-penafsiran ilmu sosial bersumber dalam dunia kehidupan sosial.
Penelitian ilmiah dalam ilmu sosial memiliki kepentingan praktis. Tujuannya adalah pemahaman timbal balik, yang dalam konteks ini antara peneliti dan para pelaku. Di sini tujuannya bukan kontrol atas orang lain sebagai objek, melainkan saling memahami sebagai subjek-subjek yang sama. Jika pada wilayah ilmu-ilmu alam, peneliti melakukan monolog, di sini mau tak mau harus diadakan dialog. Kepentingan praksis ini  mendorong tindakan yang di sebut tindakan komunikasi.


Referensi
Hamami, Abbas, M. Dkk. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
Hardiman, Budi, F. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisius.
Kattsoff, Louis, O. 2004. Pengantar Filsafat. Penterjemah Drs. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacanba.
Kridalaksana, Harimurti.2005. Mongin- Ferdinand de Saussure (1857-1913). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Palmquis, Stephen. 2007. Pohon Filsafat. Penterjemah Muhammad Shodiq. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Surajiyo. 2008. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.
Suriasumatri, Jujun. 2012. Ilmu dalam prespektif. Jakarta: Pustaka obor Indonesia.
Suriasumatri, Jujun. 2007. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pancaranintan Indahgraha.

Disamapaikan pada presentasi Filsafat Ilmu, Pascasarjana Ilmu Linguistik 
Universitas Gadjah Mada (UGM)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ellipsis in Discourse Analysis

The essential characteristic of ellipsis is something that is present in the selection of underlying (systematic) option that omitted in the structure. According to Halliday and Hasan (1976: 143), ellipsis can be regarded as substitution by zero. It is divided into three kinds, namely nominal ellipsis, verbal ellipsis, and clausal ellipsis. 1)         Nominal Ellipsis Nominal ellipsis means the ellipsis within the nominal group or the common noun that may be omitted and the function of head taken on by one of other elements (deictic, numerative, epithet or classifier). The deictic is normally a determiner, the numerative is a numeral or other quantifier, the epithet is an adjective and the classifier is a noun. According to Hassan and Halliday, this is more frequently a deictic or a numeral than epithet or classifier. The most characteristic instances of ellipsis, therefore are those with deictic or numerative as head.

Lexical Cohesion in Discourse Analysis

Lexical Cohesion Lexical cohesion comes about through the selection of items that are related in some way to those that have gone before (Halliday, 1985: 310). Types of lexical cohesion are repetition, synonymy and collocation. Furthermore, Halliday and Hasan (1976: 288) divide types of lexical cohesion into reiteration (repetition, synonymy or near-synonym, superordinate and general word) and collocation.

Substitution: A Grammatical Cohesion

Grammatical Cohesion According to Halliday and Hasan (1976: 4), cohesion occurs when the interpretation of some elements in the discourse is dependent on that of another. It concludes that the one element presupposes the other. The element cannot be effectively decoded except by recourse to it. Moreover, the basic concept of it is a semantic one. It refers to relations of meaning that exists within the text. So, when this happens, a relation of cohesion is set up, and the two elements, the presupposing and the presupposed, are thereby integrated into a text. Halliday and Hasan (1976: 39) classify grammatical cohesion into reference, substitution, ellipsis and conjunction. Substitution Substitution is a relation between linguistic items, such as words or phrases or in the other word, it is a relation on the lexico-grammatical level, the level of grammar and vocabulary, or linguistic form. It is also usually as relation in the wording rather than in the meaning. The criterion is the gram